Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

BRONKOPNEUMONIA

OLEH :

Diana Ardila 1210313077

PRESEPTOR:

Prof. dr. Darfioes Basir, Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 156 juta

kasus pneumonia setiap tahun pada anak usia dibawah lima tahun, dengan

sebanyak 20 juta kasus cukup parah untuk membutuhkan perawatan di rumah

sakit. Pneumonia adalah penyebab utama kematian karena penyebab infeksi pada

anak usia <5 tahun, dengan mayoritas kematian terjadi di negara-negara

berkembang, karena terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan masyarakat.

Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara

terutama negara berkembang termasuk Indonesia.1,2,3

Di negara maju, kejadian pneumonia tahunan diperkirakan 33 per 10.000

pada anak usia dibawah lima tahun dan 14,5 per 10.000 pada anak usia 0 sampai

16 tahun. Insiden penumonia pada anak <5 tahun di negara maju adalah 2-4

kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100

anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada

anak balita di negara berkembang.1,3

Pneumonia menempati urutan pertama penyebab kematian tersering pada

perempuan di dunia tahun 2015 dan urutan kedua penyebab kematian pada laki-

laki. Sedangkan pada pada data tahun 2015, pneumonia merupakan urutan kedua

setelah kelahiran prematur yang merupakan penyebab disabilitas terbanyak pada

anak-anak.4

2
1.2 Batasan Masalah

Case report session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,

etiologi, fakor risiko, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan

komplikasi pada bronkhopneumonia pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan

Case report sessionini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

pemahamanmengenai bronkopneumonia pada anak yang diterapkan pada kasus yang

ditemukan.

1.4 Metode Penulisan

Case report session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan

pustaka yang dirujuk dari berbagai literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar

disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan

oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll).5

Pneumonia adalah peradangan pada kantung udara di paru sebagai respon

terhadap cedera, seperti infeksi. Bila saluran udara juga terlibat, bisa juga disebut

bronkopneumonia. Pneumonia bisa berada di satu atau beberapa bagian di paru

(pneumonia "ganda" atau "multilobar"), karena proses infeksi akibat invasi dan

pertumbuhan berlebih mikroorganisme pada parenkim paru, menghancurkan

pertahanan tubuh, dan memprovokasi eksudat di intraalveolar.6,7

2.2 Epidemiologi

Perkiraan jumlah kasus pneumonia klinis yang mengenai anak berusia

dibawah 5 tahun pada berbagai negara dikumpulkan ke dalam enam wilayah

WHO (Wilayah Afrika, Wilayah Amerika, Wilayah Asia Tenggara, Wilayah

Eropa, Kawasan Mediterania Timur dan Wilayah Pasifik Barat) seperti daerah

berkembang dan maju. Perkiraan kejadian pneumonia klinis paling tinggi terdapat

di Asia Tenggara (0,36 episode per usia anak), diikuti oleh Afrika (0,33 episode

per usia anak) dan Mediterania Timur (0,28 episode per usia anak), dan terendah

di Pasifik Barat (0,22 episode per usia anak), Amerika (0,10 episode per usia

anak) dan Eropa (0,06 episode per usia anak).8

4
Gambar 1. Insiden pneumonia klinis pada anak di berbagai negara8

Pneumonia di Indonesia merupakan urutan kedua penyebab kematian

pada balita setelah diare. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007,

proporsi pneumonia sebagai penyebab kematian balita di Indonesia adalah sebesar

15,5% yang merupakan urutan kedua setelah diare sebesar 25,2%. Prevalensi

pneumonia pada balita menurut provinsi pada tahun 2007 memiliki rentang antara

0,15% hingga 14,8% dengan prevalensi di Provinsi Sumatera Barat sebesar 0,8%.

Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia, prevalensi pneumonia pada

balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada

tahun 2007.9

5
2.3 Etiologi

Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus

group B dan bakteri gram negatif seperti E.coli, Pseudomonas sp., dan Klebsiella

sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh

infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza tipe B, dan

Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain

bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Pada

negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping

bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan adalah

Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Berikut

ini berbagai bakteri dan virus yang menjadi penyebab pneumonia pada anak

sesuai kelompok usia di negara maju disajikan dalam Tabel 1.5

6
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai kelompok usia di negara maju5
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Bakteri Bakteri
E. Coli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillud influenzae
Lahir – 3 hari Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus herpes simpleks
Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe
B
Moraxella catharalis
3 minggu – 3 bulan Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
Virus Virus
Virus adeno Virus sitomegalo
Virus influenza
Virus parainfluenza 1, 2, 3
Respiratory syncytial virus
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenza tipe
Mycoplasma pneumoniae B
Streptococcus pneumoniae Moraxella catharalis
4 bulan – 5 tahun Neisseria meningitidis
Staphylococcus aureus
Virus Virus
Virus adeno Virus varisela zoster
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncytial virus
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp.
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
5 tahun – remaja Virus adeno
Virus Epstein-Barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus reno
Respiratory syncytial virus
Virus varisela zoster

7
Pneumonia klinis masa kanak-kanak disebabkan oleh kombinasi paparan

faktor risiko yang terkait dengan host, lingkungan dan infeksi. Kategori faktor

risiko pneumonia masa kanak-kanak berikut antara lain definite (memiliki bukti

paling konsisten menunjukkan peran faktor risiko); likely (sebagian besar bukti

konsisten menunjukkan perannya, namun dengan beberapa temuan yang

berlawanan, atau bukti peran yang jarang namun konsisten); dan possible (dengan

laporan peran secara sporadis dan tidak konsisten dalam beberapa konteks).

Faktor risiko pengembangan pneumonia yang terkait dengan host atau lingkungan

disajikan dalam Tabel 2.8

Tabel 2. Faktor risiko pneumonia yang berhubungan dengan host dan lingkungan8

Faktor risiko definite


Malnutrisi (BB/U <-2 SD pada z-score)
Berat lahir rendah (≤ 2500 g)
Pemberian ASI non-eksklusif (selama 4 bulan pertama kehidupan)
Tidak imunisasi campak (dalam 12 bulan pertama kehidupan)
Polusi udara dalam ruangan
Keadaan lingkungan yang sesak

Faktor risiko likely


Orang tua merokok
Defisiensi zink
Pengalaman ibu sebagai pengasuh
Penyakit penyerta (misalnya diare, penyakit jantung, asma)

Faktor risiko possible


Pendidikan ibu
Dititipkan di tempat penitipan anak
Curah hujan (kelembaban)
Daerah dataran tinggi (udara dingin)
Kekurangan vitamin A
Urutan kelahiran
Polusi udara luar

8
2.4 Patogenesis

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru.

Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran napas dan paru dapat melalui

berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara, aspirasi dari bahan-bahan

yang ada di nasofaring dan orofaring, perluasan langsung dari tempat lain,

maupun penyebaran secara hematogen. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka

mikroorganisme dapat mencapai alveoli yang dapat meyebabkan radang pada

dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.11

Mikroorganisme penyebab umumnya terhisap ke paru bagian perifer

melalui saluran respiratori. Organisme infeksius yang terhirup harus melewati

mekanisme pertahanan imun dan non imun normal pada host untuk menyebabkan

pneumonia. Mekanisme non imun meliputi penyaringan aerodinamis partikel

yang dihirup berdasarkan ukuran, bentuk, dan muatan elektrostatik yaitu refleks

batuk, mukosiliar, dan beberapa zat yang disekresikan (misalnya lisozim,

komplemen, defensin).5,10

Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan sekitarnya. Bagian paru

yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan PMN, fibrin, eritrosit,

cairan edema, dan ditemukan kuman di alveoli. Infeksi virus ditandai oleh

akumulasi sel mononuklear di submukosa dan ruang perivaskular, yang

mengakibatkan obstruksi parsial jalan napas.Pada infeksi bakteri, alveoli dipenuhi

cairan protein, yang memicu masuknya sel sel darah merah dan sel

polimorfonuklear, stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya

deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli

9
dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi

kelabu. Selama resolusi, debris intraalveolar dicerna dan dikeluarkan oleh

makrofag alveolar.Konsolidasi ini menyebabkan penurunan masuknya udara dan

perkusi yang tumpul.Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan

mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini

disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena

akan tetap normal.5,10

Pada tahap pertama, yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah infeksi,

paru dikarakteristikkan secara mikroskopis oleh kongesti vaskular dan edema

alveolar. Terdapat banyak bakteri dan beberapa neutrofil.Tahap hepatisasi merah

(2-3 hari), disebut demikian karena kesamaannya dengan konsistensi hati, ditandai

dengan adanya eritrosit, neutrofil, sel epitel yang deskuamasi, dan fibrin di dalam

alveoli.Pada tahap hepatisasi kelabu (2-3 hari), paru berwarna abu kecoklatan

sampai kuning karena eksudat fibrinopurulen, disertai sel darah merah, dan

hemosiderin.Tahap akhir dari resolusi ditandai dengan resorpsi dan pemulihan

paru. Inflamasi fibrin dapat menyebabkan resolusi atau kongesti dan adhesi

pleura.5,10

Proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:11

1. Stadium I (4-12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler di tempat infeksi.Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan

mediator-mediator peradangan dari sel mast setelah pengaktifan sistem imun

dan cedera jaringan yaitu prostaglandin dan histamin.Degranulasi sel mast juga

mengaktifkan komplemen lalu komplemen bekerja bersama prostaglandin dan

10
histamin meningkatkan permeabilitas kapiler paru.Hal ini mengakibatkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruanginterstisial sehingga terjadi

pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.Penimbunan cairan

diantara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harusditempuh oleh

oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah dan paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh pejamu (host) sebagai bagian

dari reaksi peradangan.Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena

adanya penumpukan leukosit, eritrosit, dan cairan, warna paru menjadi merah.

Pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak

akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48

jam.

3. Stadium III (3-8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah

putihmengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan

fibrinterakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-

sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap

padatkarena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan

kapilerdarah tidak lagi mengalami kongesti.

11
4. Stadium IV (7-11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun

dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsoprsi

oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala pneumonia seringkali tidak spesifik dan bervariasi

secara luas berdasarkan usia pasien dan organisme infeksius yang terlibat.

Takipnea adalah temuan paling sensitif pada pasien dengan diagnosis

pneumonia.Pemeriksa harus mengamati usaha pernafasan pasien dan menghitung

pernapasan selama satu menit penuh. Pada bayi, pengamatan harus mencakup

usaha saat makan, kecuali bayi mengalami takipnea ekstrem.10

Temuan paru pada semua kelompok usia mungkin termasuk penggunaan

otot pernapasan tambahan, seperti napas cuping hidung dan retraksi subkostal,

interkostal, atau suprasternal. Tanda-tanda seperti mendengkur, takipnea parah,

dan retraksi harus mendorong klinisi memberikan bantuan pernapasan segera.

Retraksi terjadi dari upaya meningkatkan tekanan intra toraks untuk

mengkompensasi penurunan komplians.10

Anak-anak dengan takipnea seperti yang didefinisikan oleh ambang batas

tingkat pernapasan WHO lebih mungkin terkena pneumonia dari pada anak-anak

tanpa takipnea. Ambang batas tingkat pernapasan WHO adalah sebagai berikut:10

- Anak di bawah 2 bulan: ≥60x/menit

- Anak usia 2-11 bulan: ≥ 50x/menit

- Anak usia 12-59 bulan: ≥40x/menit

12
Penilaian saturasi oksigen dengan pulse oxymetry harus dilakukan pada

awal evaluasi semua anak dengan gejala pernafasan. Sianosis mungkin terjadi

pada kasus yang parah.Anak-anak dengan gejala pernafasan mungkin memiliki

infeksi saluran pernapasan atas yang bersamaan dengan sekresi saluran napas atas

yang berlebihan.Hal ini menciptakan masalah potensial lainnya, yaitu transmisi

suara pada saluran napas bagian atas.Dalam banyak kasus, suara yang dibuat oleh

sekresi saluran napas bagian atas hampir bisa mengaburkan suara nafas yang

benar dan menyebabkan diagnosis yang keliru.Jika etiologi suara yang didengar

melalui stetoskop tidak jelas, pemeriksa harus mendengarkan suara pada lapangan

paru dan kemudian menahan stetoskop di dekat hidung anak. Jika suara dari

kedua lokasi kira-kira sama, kemungkinan sumber suara napas abnormal adalah

jalan nafas atas.10

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-

ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:5

- Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare,

kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

- Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipneu,

napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak

perkusi, suara napas melemah, dan ronkhi.Akan tetapi pada neonatus dan bayi

kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragamdan tidak selalu jelas terlihat.

Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.5

13
Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar biasanya ditemukan

keluhan demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang

keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare.Secara klinis ditemukan gejala

respiratori seperti takipneu, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping

hidung, ronkhi, dan sianosis.Ronkhi hanya ditemukan bila ada infiltrat di alveolar.

Retraksi dan takipneu merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna.5

World Health Organization (WHO) telah mengembangkan pedoman

standar untuk diagnosis dan pengelolaan pneumonia padaanak-anak. Pedoman ini

mengandalkan gejala klinis sederhana dan terdiri dari 3 langkah: 1) identifikasi

anak-anak yang harus dievaluasi untuk pneumonia, 2) identifikasi kasus

pneumonia, dan 3) inisiasi pengobatan yang tepat. Kriteria masuk untuk algoritma

WHO adalah adanya batuk atau sulit bernafas, yang seharusnya mendorong klinisi

untuk mengevaluasi pasien terhadap pneumonia. Identifikasi pneumonia

selanjutnya tergantung terutama pada usia anak dan laju pernapasan. Tanda

pneumonia saat auskultasi mungkin juga ada, termasuk crackles, suara napas yang

berkurang atau suara napas bronkial. Kategorisasi lebih lanjut pada pneumonia

berat dan sangat parah tergantung pada temuan klinis tambahan seperti adanya

retraksi, radang pada hidung, pendarahan, sianosis sentral, ketidakmampuan untuk

makan, muntah, dan letargi.12

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pneumonia virus atau pneumonia mikoplasma pada umumnya ditemukan

leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat.Akan tetapi pada pneumonia

bakteri didapatkan leukosit berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan

14
predominan PMN.Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan

adanya infeksi bakteri, sering ditemukan dalam keadaan bakteremia.Kadang-

kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat.

Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat

membedakan infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.5

Foto thoraks pada pneumonia hanya direkomendasikan pada pneumonia

berat yang dirawat. Gambaran foto rontgen thoraks dapat membantu mengarahkan

kecendrungan etilogi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial

merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar

berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia, atau air bronchogram

sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pembacaan rontgen thoraks

dikategorikan sebagai pneumonia jika pembacaan termasuk kedalam deskripsi

berikut: konsolidasi, infltrat, pneumonia, dan atelektasis dengan infltrat,

atelektasis dengan pneumonia.5,13

Secara umum gambaran foto thoraks terdiri dari:5

- Infiltrat interstisial, ditandai dengan corakan bronkovaskular, peribronchial

cuffing, dan hiperaerasi.

- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi dengan air bronchogram. Konsolidasi

dapat mengenai satu lobus atau pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi

tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak

terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, disebut sebagai round

pneumonia.

15
- Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata dikedua paru

berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,

disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

2.7 Diagnosis

Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran

klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respirasi serta gambaran radiologis.

Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari

satu gejala respiratori berikut: takipneu, batuk, napas cuping hidung, retraki,

ronki, dan suara napas melemah. Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia

berdasarkan pedoman WHO:5

- Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

 Pneumonia berat

- Bila ada sesak napas

- Harus dirawat dan diberikan antibiotik

 Pneumonia

- Tidak ada sesak napas

- Ada napas cepat dengan laju napas:

>50x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun

>40x/menit untuk anak usia 1 – 5 tahun

- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

 Bukan pneumonia

- Bila napas tidak cepat dan tidak sesak napas

16
- Tidak perlu dirawat dan diberikan antibiotik, hanya diberikan pengobatan

simptomatik seperti penurun panas.

- Bayi berusia dibawah 2 bulan

 Pneumonia

- Bila ada napas cepat (>60x/menit) atau sesak napas

- Harus dirawat dan diberikan antibiotik

 Bukan pneumonia

- Tidak ada napas cepat atau sesak napas

- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

2.8 Tatalaksana

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal

dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.Pengobatan suportif berupa

pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan

keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah.Untuk nyeri dan demam dapat

diberikan analgetik atau antipiretik.Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan

kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus diberikan pada anak

dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.5

Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik beta-laktam

atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak respon dengan antibiotik beta-

laktam atau kloramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin,

amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etilogi yang ditemukan. Pada

pneumonia di rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta-

laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol.Terapi

17
antibiotik diterusan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa

komplikasi. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik

diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan.5

Kriteria WHO mengarah pada populasi tertentu: pasien anak-anak yang

berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan pneumonia

karena bakteri di negara berkembang, terutama pada kondisi klinis dengan

keterbatasan atau tidak adanya akses terhadap modalitas pengujian diagnostik

seperti radiografi atau laboratorium. Dengan demikian, agen antimikroba

umumnya disarankan untuk semua pasien yang memenuhi kriteria klinis saja.12

Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat

menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat

pneumonia berat.Antibiotik yang dianjurkan adalah ampisilin dan kloramfenikol,

co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime. Berikut ini disajikan

pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia dalam Tabel 3:3

18
Tabel 3. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia3

Antibiotik Dosis Frekuensi Keterangan

Penisilin G 50.000 unit/kg/kali Tiap 4 jam S. pneumoniae


dosis tunggal maks.
4.000.000 unit

Ampisilin 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam

Kloramfenikol 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam

Ceftriaxone 50 mg/kg/kali 1x/hari S. pneumoniae


dosis tunggal maks. H. influenza
2 gram

Cefuroxime 50 mg/kg/kali Tiap 8 jam S. pneumoniae,


dosis tunggal maks. H. influenza
2 gram

Clindamycin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam Grup A


Streptococcus,
dosis tunggal maks. S. aureus,
1,2 gram S. pneumoniae

Eritromisin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam S. pneumoniae,


dosis tunggal maks. Chlamydia
1 gram pneumoniae,
Mycoplasma
pneumoniae

2.9 Komplikasi

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis

purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis

purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada

pneumonia bakteri.5

19
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI

Nama : An. AH

MR : 994239

Umur / Tanggal Lahir : 3 bulan/ 2 Juni 2017

Jenis kelamin : Perempuan

Nama Ibu Kandung : Meri

Agama : Islam

Alamat : 50 kota

Suku Bangsa : Minang

Tanggal Masuk : 23 Oktober 2017

B. ANAMNESA

Diberikan oleh : Ibu kandung pasien

Seorang pasien, perempuan berumur 3 bulan masuk tanggal 23

Oktober 2017 dengan

Keluhan Utama: Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum

masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

 Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk

rumah sakit, tidak menciut, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan

makanan, kebiruan tidak ada. Awalnya anak muntah dan tersedak

20
setelah menyusu dengan ibu sebanyak 1x jumlah kurang lebih 2

sendok, anak bertambah sesak setelah muntah.

 Kejang 1 hari yang lalu satu kali lama < 5 menit, kejang seluruh tubuh,

berhenti setelah diberi stesolid rectal 5 mg, anak sadar setelah kejang,

ini merupakan episode kejang pertama kali.

 Demam sejak 3 hari yang lalu (400 C), tinggi, terus menerus, tidak

menggigil, tidak berkeringat

 Batuk sejak 6 hari yang lalu, berdahak, disertai pilek.

 Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal (≥ 2 minggu)

tidak ada

 Saat ini anak mendapat ASI OD, menyusui setiap 1-2 jam

 BAK dan BAB biasa.

 Anak sebelumnya telah dirawat di RSUD Suliki selama 2 hari telah

dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil Hb = 10,7 gr/dl, leukosit

13.100, trombosit 446.000. anak mendapat terapi IVFD KAEN-1B 25

tetes, ampisilin 4 x 500 mg iv, gentamisin 1x24 mg, luminal 2x17mg,

dexamethasone 4x1 mg, paracetamol.

 Telah dilakukan rontgen thoraks dengan kesan bronkopneumonia

bilateral

 Pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil dengan aspirasi pneumonia +

bronkiolitis + obesitas + suspek meningitis DD/ kejang demam

Riwayat Penyakit Dahulu

 Anak tidak memiliki riwayat menderita penyakit seperti ini

sebelumnya

21
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

 Riwayat Kelahiran

Masa kehamilan : Cukup bulan

Partus : Operasi caesar

Ditolong oleh : Dokter

Berat badan lahir : 4300 gram

Keadaan saat lahir : langsung menangis

 Riwayat Makan

ASI : 0 bulan – sekarang

Susu formula : -

Bubur susu :-

Nasi tim :-

Nasi biasa :-

 Riwayat Imunisasi

Hepatitis B : lahir

Polio : lahir

BCG : 1 bulan

DPT : 3 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

22
Tertawa : 1 bulan

Miring : 3 bulan

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan dalam

batas normal.

 Identitas Orang Tua

Ayah Ibu

Nama Zul Meri

Umur 41 tahun 34 tahun

Pendidikan terakhir SMA SMA

Pekerjaan Wiraswasta IRT

Perkawinan Pertama Pertama

Penyakit Tidak ada Tidak ada

 Saudara kandung

Nama Jenis Kelamin Umur Keterangan

1 Farhan Laki-laki 12 tahun Sehat

2 Asyefi Perempuan 8 tahun sehat

3 Asyilathul Perempuan 3 bulan Pasien

husna

 Riwayat Higiene dan Sanitasi Lingkungan

Rumah tempat tinggal : Permanen

Buang air besar : Jamban di dalam rumah

Sumber air minum : Galon

23
Pekarangan : Luas

Sampah : Dibuang ke sungai

Kesan : Higiene dan sanitasi kurang

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sakit berat


Kesadaran : Sadar
Nadi : 110 kali/menit
Pernapasan : 55 kali/menit
Suhu : 37,8°C
Berat Badan : 9 kg
Panjang Badan : 64 cm
BB/U :
TB/U :
BB/TB :
Status Gizi :
Anemis : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Edema : Tidak ada

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali cepat.

Kepala

Bentuk : Normocephal, bulat, simetris.

Rambut : tidak mudah rontok.

Mata :Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.

Hidung : Pernapasan cuping hidung ada

Telinga : Tidak ditemukan kelainaan

24
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, sianosis tidak ada.

Tenggorokan : Tonsil dan faring sulit dinilai

Leher : JVP sulit dinilai

Thorak

Paru-paru

 Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan saat statis dan

dinamis, retraksi epigastrium ada.

 Palpasi : Fremitus sulit dinilai.

 Perkusi : Tidak dilakukan.

 Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring +/+,

wheezing tidak ada.

Jantung

 Inspeksi : Iktus kordistidak terlihat.

 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V.

 Perkusi : Tidak dilakukan.

 Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada.

Abdomen

 Inspeksi : Distensi tidak ada.

 Palpasi : Supel, hepar teraba ¼ - ¼ permukaan rata, pinggir tajam,

konsistensi kenyal, dan lien tidak teraba.

 Perkusi : Timpani.

 Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : Tidak ditemukan kelainan.

Ekstremitas : Akral hangat,CRT< 2 detik

25
Rangsangan meningeal (-)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb : 10,4 g/dl

Leukosit : 7.510 /mm3

Trombosit : 140.000 /mm3

Hitung jenis : 0/0/16/57/27/0

GD : 144 mg/dl

Ca / Na / K / Cl : 8,0 / 149 / 4,5 / 117

Kesan: hipokalsemia

Hipernatremia

E. Rontgen Thorax PA

F. DIAGNOSIS

• Bronkopneumonia

• Susp. Meningitis purulenta

• Obesitas

G. PENATALAKSANAAN

 O2 2 L/menit via nasal kanul

 Sementara puasa

 IVFD D5 Ns 105 cc/kg 735 cc/hari  30 tts

 Dexametason 4 x 1 mg iv

 Ampicilin 6x350 mg

 Gentamisin 2x26 mg

26
 Luminal 2x15 mg

Follow up tanggal 24 Oktober 2017(rawatan hari ke-1)

Pukul 07.00

S/ Sesak napas (+) berkurang dari sebelumnya, demam (-), batuk (+), kejang (-),

BAB dan BAK biasa.

O/ KU Kes
HR: 108x/i, RR: 56x/i, T: 36,8oC
sakit berat Sadar

Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung: napas cuping hidung (-)

Thorax: retraksi (+) epigastrium

Pulmo: suara napas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-

Cor: irama reguler, bising (-)

Abdomen: distensi (-), BU (+) normal

Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Suspek meningitis purulenta DD/kejang demam

Bronkopneumonia

P  O2 2 L/menit via nasal kanul

 IVFD D5Ns 105 cc/kg 735 cc/hari  10 tts/i makro

 Ampicilin 6x350 mg iv

 Gentamicin 2x26 mg iv

 Luminal 2x15 mg po

 Paracetamol 4x75 mg

27
 Lumbal pungsi

 Hasil lumbal pungsi : warna : jernih, jumlah 2 cc, jumlah sel 3, glukosa

95  tidak sesuai dengan meningitis

S/ Sesak napas (+) berkurang dari sebelumnya, demam (-), batuk (+), kejang (-),

BAB dan BAK biasa.

KU Kes
HR: 100x/i, RR: 38x/i, T: 37oC
sakit berat Sadar

Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung: napas cuping hidung (-)

Thorax: retraksi (+) epigastrium

Pulmo: suara napas bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-

Cor: irama reguler, bising (-)

Abdomen: distensi (-), BU (+) normal

Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

Bronkopneumonia

kejang demam simpleks

 O2 2 L/menit via nasal kanul

 IVFD D5Ns 105 cc/kg 735 cc/hari  10 tts/i makro

 ASI 8x20 cc

 Ampicilin 6x350 mg iv

 Gentamicin 2x26 mg iv

 Luminal 2x15 mg po

28
 Paracetamol 4x75 mg

BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang anak perempuan usia3 bulan dengan

diagnosis bronkopneumonia dan kejang demam simpleks. Diagnosis pasien ini

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

29
Berdasarkan anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak napas yang

dikeluhkan berupa sesak napas yang tidak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi

cuaca, makanan, dan aktivitas, kebiruan tidak ada. Karakteristik ini

menyingkirkan kemungkinan sesak napas karena alergi, asma, maupun karena

penyakit jantung bawaan. Awalnya anak muntah dan tersedak setelah menyusu

dengan ibu dan sesak semakin bertambah. Kemungkinan sesak disebabkan

aspirasi cairan ASI. Kejang 1 hari yang lalu satu kali lama < 5 menit, kejang

seluruh tubuh, berhenti setelah diberi stesolid rectal 5 mg, anak sadar setelah

kejang, ini merupakan episode kejang pertama kali. Kejang demam adalah kejang

yang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam

serta tidak didapatkan kelainan intrakranium pada kenaikan suhu rectal > 380 C.

Oleh karena anak berusia 3 bulan, kejang yang terjadi dapat kita pikirkan suatu

infeksi di SSP dikarenakan usia anak <6 bulan. Namun, dari hasil pemeriksaan

lumbal pungsi warna jernih, jumlah 2 cc, jumlah sel 3, glukosa 95 menunjukkam

hasil tidak sesuai dengan meningitis. Kejang yang terjadi <15 menit, tipe kejang

umum, dan kejang terjadi 1x/24 jam merupakan suatu kejang demam simpleks.

Demam sejak 3 hari yang lalu, tinggi, terus menerus, tidak menggigil, tidak

berkeringat. Kriteria tersebut dapat menyingkirkan kemungkinan demam karena

malaria, demam berdarah dengue. Batuk yang dikeluhkan berupa batuk sejak 6

hari yang lalu, berdahak disertai pilek yang dapat terjadi karena berbagai

penyebab, dari anamnesis lebih lanjut ditemukan pasien tidak pernah berkontak

dengan penderita batuk-batuk lama (≥2minggu), hal ini dapat menyingkirkan

kemungkinan batuk karena tuberkulosis.

30
Keadaan umum pasien sakit berat, sadar, dengan laju nadi 110kali/menit

dan laju pernapasan 55 kali/menit, dan suhu aksila 37,8oC. Pada pasien ini

ditemukan adanya demam yang merupakan tanda adanya infeksi, dan pada pasien

ini laju pernapasan memenuhi kriteria takipnea menurut WHO yaitu ≥ 50

kali/menit untuk anak usia 2-11 bulan. Takipnea merupakan suatu kompensasi

ketika terjadi penumpukan karbondioksida di dalam paru yang menyebabkan

penumpukan karbondioksida di dalam darah sehingga darah bersifat lebih asam,

hal tersebut membuat otak mengirimkan sinyal ke sistem pernapasan untuk

memperbaiki ketidakseimbangan tersebut. Anak-anak dengan takipnea lebih

mungkin terkena pneumonia dari pada anak-anak tanpa takipnea. Takipnea adalah

temuan paling sensitif pada pasien dengan diagnosis pneumonia. Pneumonia

adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus terminalis yang

mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa infiltrat atau

konsolidasi pada alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini dapat

mengakibatkan gangguan pertukaran gas setempat.10,11

Pemeriksaan fisik didapatkan adanya retraksi epigastrium, dan pada

auskultasi paru ditemukan pola pernapasan bronkovesikuler dengan adanya ronkhi

basah halus nyaring di kedua lapangan paru. Pernapasan cuping hidung terjadi

akibat penggunaan otot-otot cuping hidung (ala nasi) serta retraksi epigastrium

yaitu penarikan otot dinding dada bagian bawah kedalam ketika menarik napas

merupakan peningkatan usaha untuk bernapas. Suara napas bronkovesikuler

merupakan bunyi yang terdengar antara vesikular dan bronkial, di mana ekspirasi

menjadi lebih keras, lebih tinggi nadanya, dan lebih memanjang hingga hampir

menyerupai inspirasi. Penyakit yang menyebabkan misalnya adalah penyakit paru

31
dengan infiltrat misalnya bronkopneumonia dan tuberkulosis paru. Ronki

merupakan bunyi napas tambahan yang terdiri dari ronki kering dan ronki basah.

Pneumonia yang ditemukan adalah ronki basah. Ronki basah sering juga disebut

dengan suara krekels (crackles) atau rales. Ronki basah merupakan suara berisik

dan terputus akibat aliran udara yang melewati cairan. Ronki basah halus, sedang,

atau kasar tergantung pada besarnya bronkus yang terkena dan umumnya

terdengar pada inspirasi. Ronki basah halus biasanya terdapat pada bronkiale,

sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari alveolus yang sering disebut

krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Sifat ronki basah ini

dapat nyaring (infiltrat) atau tidak nyaring (pada edema paru).14

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-

ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah adanya gejala infeksi umum, yaitu

demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan

gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala

infeksi ekstrapulmoner, dan adanya gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak

napas, retraksi dada, takipneu, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan

sianosis.5

Rontgen thorax menunjukkan gambaran infiltrat di perihiler dan

paracardial kanan dan kiri.Foto thoraks pada pneumonia hanya direkomendasikan

pada pneumonia berat yang dirawat.Gambaran foto rontgen thoraks dapat

membantu mengarahkan kecendrungan etilogi pneumonia.

Pasien ini diberikan tatalaksana O2 2 L/menit via nasal kanul untuk

meningkatkan oksigenasi. Pasien diberikan antibiotic ampicilin 6x350 mg dan

gentamisin 2x26 mg IV. Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan

32
antibiotik beta-laktam. Pada pneumonia yang tidak respon dengan antibiotik beta-

laktam atau kloramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin,

amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etilogi yang ditemukan. Pada

pneumonia di rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta-

laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan

kloramfenikol.5Paracetamol 75 mg (T ≥ 38,5oC) diberikan sebagai antipiretik.

Dasar tatalaksana pneumonia adalah pengobatan kausal dengan antibiotik

yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif berupa pemberian cairan

intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa,

elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik atau

antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama

keberhasilan pengobatan.5

Pasien dipulangkan jika gejala dan tanda pneumonia menghilang,

asupan per oral adekuat, pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (oral),

keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol, dan

kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Rudan I, Tomaskovic L, Boschi-Pinto C, dan Campbell H. Global Estimate of

The Incidence of Clinical Pneumonia Among Children Under Five Years of

Age. Bulletin of The World Health Organization. 2004;82(12):895-903.

33
2. Saha S, Hasan M, Kim L, Farrar JL, Hossain B, Islam M, dkk. Epidemiology

and Risk Factors for Pneumonia Severity and Mortality in Bangladeshi

Children <5 Years of Age Before 10-Valent Pneumoccocal Conjugate

Vaccine Introduction. BMC Public Health. 2016;16:1233.

3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. 2010: 250-

255.

4. The Global Burden of Disease Child and Adolescence Health Collaboration.

Child and Adolescence Health from 1990 to 2015 Findings from The Global

Burden Diseases, Injuries, and Risk Factors 2015 Study. JAMA Pediatr.

2017:1-20.

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi. 2008. Badan Penerbit

IDAI.

6. American Thoracic Society. What is Penumonia?. Am J Respir Crit Care

Med. 2016;193:1-2.

7. Alcon A, Fabregas N, dan Torres A. Pathophisiology of Pneumonia. Clin

Chest Med. 2005;26: 39-46.

8. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, dan Campbell H.

Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia. Bulletion of The World

Health Organization.

9. Kementrian Kesehatan RI. Situasi Pneumonia di Indonesia. Buletin Jendela

Epidemiologi. 2010;3:1-10.

10. Bennett NJ. Pediatric Pneumonia. 2017. Tersedia di

http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#a3 diakses pada 21

Agustus 2017.

34
11. Price SA dan Mc Carty WL. Patofisiologi Proses Penyakit Edisi 4. 2006.

Jakarta: EGC.

12. Wingerter SL, Bachur RG, Monuteaux MC, Neuman MI. Application of The

World Health Organization Criteria to Predict Radiographic Pneumonia in a

US-based Pediatric Emergency Department. Pediatr Infect Dis J. 2012;31:

561-564.

13. Alcon A, Fabregas N, dan Torres A. Pathophisiology of Pneumonia. Clin

Chest Med. 2005;26: 39-46.

14. McGlynn B. Adams Diagnosis Fisik. 17thed. Jakarta: EGC. 1995:200-207.

35

Anda mungkin juga menyukai