EPILEPSI
Oleh :
Preseptor :
PAYAKUMBUH
2018
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial)
dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari
cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
2
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari
cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik,
idiopatik yaitu epilepsi dengan serangan kejang umum dengan penyebab serangan
diketahui. Seperti pada west syndrome, lennox gastaut syndrome, dan pada
epilepsi mioklonik. Epilepsi simtomatik yaitu terdapat lesi struktural di otak yang
mendasari misalnya sekunder dari trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat (SSP),
kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak,
League Against Epilepsy (ILAE) yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. ILAE
pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan epilepsi);
1) Serangan parsial dibagi menjadi dua kelompok yaitu parsial sederhana dan
3
tipe bangkitan kejang pada kasus yaitu kejang tipe parsial menjadi
umum.6,7
yang tidak beralasan yang terjadi setelah fase akut stroke dan tanpa penyebab lain
yang jelas atau riwayat epilepsi prestroke.8 Kejang pasca stroke diklasifikasikan
sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya
trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar dua minggu,
dalam waktu dua minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat
kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu dan
lebih dua minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme
kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak
ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam
1.2 Epidemiologi
epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35 tahun. Lebih dari separuh
kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi, penyebabnya meliputi gangguan
degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala. Dari data register stroke, sekitar 5% -
20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan mengalami
kejang, namun epilepsi (kejang berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil
dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000
4
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265
pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan
stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien,
termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan
perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan
perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien
dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi pada saat pasien
berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang terjadi saat pasien
1.3 Patogenesis
neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus
untuk kejang onset lambat, sama seperti sikatriks meningocerebral yang mungkin
bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat epilepsi pasca trauma.5 Sebuah
lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi dengan
dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan timbulnya
serangan dari kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk terjadi
epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien
epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90% pasien pada kejang onset
lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29%
5
pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat sedangkan 93% dengan
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat
menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk
terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus
sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabkan
sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi
fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah
studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis
yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam
penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan
berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata-rata
status epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang
6
lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis
stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau
1.5 Diagnosis
cermat sangat penting untuk mengetahui jenis kejang karena pemeriksa hampir
sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala klinis
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
7
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
1.6 Tatalaksana
Tujuan terapi pada kasus epilepsi adalah tidak ada gejala kejang dan
Rekomendasi ILAE untuk pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk tipe kejang
lamotrigin dan asam valproat. Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone.
Pada dewasa dengan tipe kejang umum; asam valproat, levetiracetam, topiramate,
tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang
pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin
parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental
menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari
pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung
penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan kejang onset
lambat.9
8
Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang
melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada
protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk
lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk
mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal
dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi
kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis
penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi
selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi
munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan
9
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn A
Umur : 54 tahun
Alamat : Payakumbuh
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 54 tahun dirawat di bangsal Neurologi
Keluhan Utama :
Kejang berulang
Kejang pertama pukul 14.30 WIB saat pasien istirahat . Kejang berupa
berbusa tidak ada. Setelah kejang pasien sadar. Antara jarak kejang
10
Nyeri kepala tidak ada
Riwayat stroke tahun 2013, bicara pelo dan lemah anggota gerak kanan.
11
PEMERIKSAAN FISIK
I. Umum
Kooperatif : kooperatif
Suhu : 36,7˚C
Tinggi badan : cm
Berat badan : kg
Paru
12
Jantung
Abdomen
Perkusi : timpani
Korpus vertebrae
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
N. I (Olfaktorius) =
13
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif (+) (+)
Objektif (dengan bahan) (+) (+)
N. II (Optikus)
N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bergerak bebas ke Bergerak bebas ke
segala arah segala arah
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Refleks cahaya (+) (+)
Refleks akomodasi (+) (+)
Refleks konvergensi (+) (+)
N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Bergerak bebas Bergerak bebas
Sikap bulbus Ortho Ortho
N. VI (Abdusen)
14
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Bergerak bebas Bergerak bebas
Sikap bulbus Ortho Ortho
N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut Simetris
Menggerakkan rahang Simetris
Menggigit Simetris
Mengunyah Simetris
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
Divisi maksila
- Refleks masetter (-) (-)
- Sensibilitas (+) (+)
Divisi mandibula (+) (+)
- Sensibilitas
N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
15
Hiperakusis (-) (-)
N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Scwabach test
Nistagmus
N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
16
N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Uvula Di tengah
Menelan (+)
Artikulasi Baik
Suara Baik
N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
17
4. Pemeriksaan koordinasi
Keseimbangan :
Koordinasi :
Duduk (+)
18
Kekuatan 5/5/5 5/5/5 5/5/5 5/5/5
6. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas kortikal
7. Sistem refleks
Bawah
19
Chaddocks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
8. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
9. Fungsi luhur
Darah :
Leukosit : 6.400/mm3
20
Trombosit : 145.000/mm3
Hematokrit : 40%
- EEG
- Brain CT-scan
Diagnosis :
Diagnosis Sekunder :
Prognosis :
Terapi :
1. Umum
- O2 3 l/menit
21
2. Khusus
- Fenitoin 3x100 mg
22
BAB III
DISKUSI
diagnosis klinik epilepsi, diagnosa topik yaitu intraserebral dan diagnosa etiologi
datang ke rumah sakit dengan keluhan utama kejang berulang. Kejang berulang
klinisnya, kejang yang dialami pasien termasuk dalam kejang simplek dimana
kesadaran pasien tidak terganggu. Pasien memiliki riwayat stroke tahun 2013
yang lalu dengan bicara pelo dan kelemahan pada anggota gerak kanan. Kejang
merupakan gejala neurologis yang paling umum terjadi pada penderita stroke.
Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca
stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.
Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab tersering dari
sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun
sebagai komplikasi pasca stroke. Usia menjadi faktor risiko independen untuk
23
merupakan dasar patogenesis terjadinya fokus epileptik. Neuron-neuron korteks
yang tersisa di area otak yang rusak akan menjadi sangat peka (hipereksitabilitas)
dan inilah yang akan berkembang menjadi fokus epileptogenik. Sehingga dapat
idiopatik yaitu epilepsi dengan serangan kejang umum dengan penyebab serangan
kejang tidak diketahui, umumnya karena predisposisi genetik. Pada pasien ini
sekunder dari trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat (SSP), kelainan
kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah di otak, toksik
tidak didapatkan riwayat tumor di organ lain, riwayat trauma kepala, riwayat
infeksi di sinus sehingga penyebab kejang akibat trauma kepala, infeksi sistem
saraf pusat (SSP), proses desak ruang di otak dapat disingkirkan. Pada kasus ini
simtomatik.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah (TD): 140/80
mmHg, nadi: 84 x/menit, pernafasan: 20 x/menit, dan suhu 36,7 oC. Pemeriksaan
24
status neurologis didapatkan nervus kranialis pada plikanasolabialis kiri lebih
datar dan deviasi lidah ke kanan ketika lidah dikeluarkan, pada pemeriksaan
inferior kanan/ kiri 555/555. Kesan pada pemeriksaan fisik didapatkan gangguan
Tujuan terapi pada kasus epilepsi adalah tidak ada gejala kejang dan
Rekomendasi ILAE untuk pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk tipe kejang
lamotrigin dan asam valproat. Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone.
Pada dewasa dengan tipe kejang umum; asam valproat, levetiracetam, topiramate,
Pada kasus ini diberikan fenitoin dengan dosis 300mg/ hari. Fenitoin dapat
diberikan dengan; dosis awal: 15-25 mg/ kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/ hari
atau 5-6 mg/ kg/ hari pada tiga dosis terbagi atau satu sampai dua dosis terbagi
untuk pelepasan bertahap. Fenitoin efektif untuk kejang fokal maupun kejang
tonik klonik umum. Kontraindikasi pada tipe kejang mioklonik. Selain itu fenitoin
menyebabkan steven johnson syndrome. Pada pasien ini juga diberikan diazepam
juga perlu diberikan pada pasien dan keluarganya sebagai suatu bentuk
25
ulang seperti kontrol teratur, minum obat teratur, hindari faktor pencetus, tidak
26
DAFTAR PUSTAKA
27
12. Glauser T, Ben-Menachem E, Bourgeois B, Cnaan A, Guerreiro C,
Kalviainen R, et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug
efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and
syndromes. Epilepsia. 2013; 54(3):551-6
28