Anda di halaman 1dari 28

Case Report Session

EPILEPSI

Oleh :

Diana Ardila 1210313077

Preseptor :

dr. Srinti Melati, Sp. S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

RSUD ADNAN WD PAYUKUMBUH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PAYAKUMBUH

2018

1
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi dan Klasifikasi

Epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan

untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi

neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan

terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik. Bangkitan epileptik adalah

terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang

abnormal dan berlebihan di otak.3

Berdasarkan definisi operasional/definisi praktis, epilepsi adalah suatu

penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:

1) Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks

dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.

2) Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan

kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama

dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/

bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah

kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural

dan epileptiform dischargers)

3) Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial)

dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari

cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran

2
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari

cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik,

tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.3

Klasifikasi epilepsi sendiri dikelompokan menjadi tiga kelompok antara

lain; epilepsi idiopatik, epilepsi kriptogenik, dan epilepsi simtomatik. Epilepsi

idiopatik yaitu epilepsi dengan serangan kejang umum dengan penyebab serangan

kejang tidak diketahui. Umumnya karena predisposisi genetik. Epilepsi

kriptogenik yaitu epilepsi yang dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui. Seperti pada west syndrome, lennox gastaut syndrome, dan pada

epilepsi mioklonik. Epilepsi simtomatik yaitu terdapat lesi struktural di otak yang

mendasari misalnya sekunder dari trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat (SSP),

kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak,

toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegenerative.4,5

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh International

League Against Epilepsy (ILAE) yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. ILAE

pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe

serangan epilepsi);

1) Serangan parsial dibagi menjadi dua kelompok yaitu parsial sederhana dan

parsial kompleks. Pada parsial sederhana kesadaran baik sedangkan pada

parsial kompleks kesadaran terganggu gejala meliputi motorik, sensorik,

otonom, dan psikis;

2) Serangan kejang umum (kesadaran terganggu) gejala meliputi absans/lena,

atonik, tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonik. Pada kasus kejang diawali

pada satu ektremitas kemudian menjalar ke ekstremitas lainnya sehingga

3
tipe bangkitan kejang pada kasus yaitu kejang tipe parsial menjadi

umum.6,7

Epilepsi post stroke didefinisikan sebagai setidaknya 2 serangan epilepsi

yang tidak beralasan yang terjadi setelah fase akut stroke dan tanpa penyebab lain

yang jelas atau riwayat epilepsi prestroke.8 Kejang pasca stroke diklasifikasikan

sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya

iskemia serebral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca

trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar dua minggu,

dalam waktu dua minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat

kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu dan

lebih dua minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme

kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak

ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam

kurun waktu dua minggu.9

1.2 Epidemiologi

Stroke merupakan penyebab yang paling sering diidentifikasi dari kejadian

epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35 tahun. Lebih dari separuh

kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi, penyebabnya meliputi gangguan

degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala. Dari data register stroke, sekitar 5% -

20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan mengalami

kejang, namun epilepsi (kejang berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil

dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000

orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang

setelah stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.1

4
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265

pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan

stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien,

termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan

perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan

transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran dari

perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien

dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi pada saat pasien

berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang terjadi saat pasien

berada di rumah sakit (4,1%).1

1.3 Patogenesis

Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam

rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel

neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus

untuk kejang onset lambat, sama seperti sikatriks meningocerebral yang mungkin

bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat epilepsi pasca trauma.5 Sebuah

lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi dengan

onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan kejadian

dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan timbulnya

serangan dari kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk terjadi

epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien

epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90% pasien pada kejang onset

lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29%

5
pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat sedangkan 93% dengan

kejang onset lambat.8,9

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat

menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk

terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus

otak dibandingkan dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap stroke

subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang. Penelitian

sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuro imaging yang masih kurang

sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabkan

terjadinya aktivitas kejang. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling

sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu

penyebab kejang tidak dapat diketahui.9

1.4 Manifestasi Klinis

Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi

fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah

studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis

yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam

penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan

kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder. Kebanyakan serangan

berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata-rata

kurang dari satu tahun.9

Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki

status epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang

6
lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis

stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau

pola electroencephalographic (EEG).9

1.5 Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada

pemeriksaan fisik sering tidak ditemukan kelainan kecuali pada epilepsi

simptomatik. Sering dibutuhkan pemeriksaan penunjang EEG atau radiologis.

Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang

berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.2,10 Anamnesis yang

cermat sangat penting untuk mengetahui jenis kejang karena pemeriksa hampir

tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami pasien. Anamnesis dapat

memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,

gangguan aliran darah di otak (stroke), ensefalitis, meningitis, gangguan

metabolik, dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala

sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala klinis

dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan

kunci diagnosis. Anamnesis meliputi; pola/bentuk serangan, lama serangan, gejala

sebelum, selama kejang, dan sesudah kejang, frekuensi serangan, ada/tidaknya

penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit, penyebab, dan terapi

sebelumnya, serta riwayat epilepsi dalam keluarga.10

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di

otak.Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan

sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan

7
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi

desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik.11

1.6 Tatalaksana

Tujuan terapi pada kasus epilepsi adalah tidak ada gejala kejang dan

sedikit efek samping. Prinsip terapi epilepsi yaitu menggunakan monoterapi.

Rekomendasi ILAE untuk pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk tipe kejang

parsial, yaitu: carbamazepine, fenitoin, topiramate, oxcarbazepine, levetiracetam,

lamotrigin dan asam valproat. Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone.

Pada dewasa dengan tipe kejang umum; asam valproat, levetiracetam, topiramate,

lamotrigin, Phenobarbital, carbamazepine, dan oxcarbazepine.12

Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan

tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang

dapat dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal

pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin

dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki keuntungan dari pemberian

parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental

yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan yang

menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari

fenitoin.Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan kepada

pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung

penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan kejang onset

lambat.9

8
Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang

terkena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama

melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada

protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk

mempertahankan rentang terapi yang konsisten dari kedua agen.9

Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American

Heart Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode

akut setelah perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan

intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi

lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk

mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal

dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi

kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis

fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan

penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi

selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi

munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan

mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang.9

9
BAB II

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn A

Jenis kelamin : laki -laki

Umur : 54 tahun

Suku bangsa : Minangkabau

Alamat : Payakumbuh

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 54 tahun dirawat di bangsal Neurologi

RSUD Dr. Adnan WD Payukumbuh pada tanggal 20 Maret 2018 dengan:

Keluhan Utama :

Kejang berulang

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Kejang berulang ( 3 kali) sejak ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit.

Kejang pertama pukul 14.30 WIB saat pasien istirahat . Kejang berupa

kaku setengah badan, selama ± 5 menit, mata melirik ke kanan, mulut

berbusa tidak ada. Setelah kejang pasien sadar. Antara jarak kejang

pertama, kedua, dan ketiga berjarak ± 5 menit, kejang terjadi setengah

badan, pola kejang sama, berlangsung selama ± 5 menit. Kemudian pasien

di bawa ke IGD RSUD Adnan WD. Mendapatkan terapi injeksi diazepam

½ ampul – 1 ampul kemudian kejang berhenti.

 Muntah tidak ada

10
 Nyeri kepala tidak ada

 Demam tidak ada

 Kelemahan anggota gerak baru tidak ada.

 Buang air kecil dan buang air besar biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat kejang (+) sejak 4 tahun yang lalu.

 Riwayat stroke tahun 2013, bicara pelo dan lemah anggota gerak kanan.

kontrol teratur ke poli syaraf.

 Riwayat DM tidak ada.

 Riwayat hipertensi tidak ada.

 Riwayat penyakit jantung tidak ada.

 Riwayat tumor di organ lain tidak ada.

 Riwayat trauma kepala tidak ada.

 Riwayat infeksi di sinus dan telinga tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Tidak ada riwayat kejang pada keluarga pasien.

 Tidak ada keluarga yang menderita penyakit stroke, DM, jantung,

hipertensi dan kolesterol.

Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan:

Pasien tidak merokok, pasien pensiunan ojek.

11
PEMERIKSAAN FISIK

I. Umum

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)

Kooperatif : kooperatif

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Frekuensi nadi : 84x/menit

Frekuensi nafas : 20x/menit

Suhu : 36,7˚C

Keadaan gizi : Baik

Tinggi badan : cm

Berat badan : kg

Turgor kulit : baik

Kulit dan kuku : pucat (-), sianosis (-)

Kelenjar getah bening

Leher : tidak teraba pembesaran KGB

Aksila : tidak teraba pembesaran KGB

Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB

Paru

Inspeksi : simetris kiri dan kanan

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

12
Jantung

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : irama murni, reguler, bising (-)

Abdomen

Inspeksi : tidak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Korpus vertebrae

Inspeksi : deformitas (-)

Palpasi : gibus (-)

II. Status Neurologikus

1. Tanda rangsangan selaput otak

 Kaku kuduk : (-)

 Brudzinsky I : (-)

 Brudzinsky II : (-)

 Tanda Kernig : (-)

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

 Pupil isokor, Ø 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+

 Muntah proyektil tidak ada

3. Pemeriksaan nervus kranialis

N. I (Olfaktorius) =

13
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif (+) (+)
Objektif (dengan bahan) (+) (+)

N. II (Optikus)

Penglihatan Kanan Kiri


Tajam penglihatan Kabur Kabur

Lapangan pandang Normal Normal

Melihat warna Normal Normal


Funduskopi Tidak diperiksa

N. III (Okulomotorius)

Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bergerak bebas ke Bergerak bebas ke
segala arah segala arah

Strabismus (-) (-)

Nistagmus (-) (-)

Ekso/endotalmus (-) (-)

Pupil
 Bentuk Bulat Bulat
 Refleks cahaya (+) (+)
 Refleks akomodasi (+) (+)
 Refleks konvergensi (+) (+)

N. IV (Trochlearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Bergerak bebas Bergerak bebas
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia (-) (-)

N. VI (Abdusen)

14
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Bergerak bebas Bergerak bebas
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia (-) (-)

N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik
 Membuka mulut Simetris
 Menggerakkan rahang Simetris
 Menggigit Simetris
 Mengunyah Simetris

Sensorik
 Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
 Divisi maksila
- Refleks masetter (-) (-)
- Sensibilitas (+) (+)
 Divisi mandibula (+) (+)
- Sensibilitas

N. VII (Fasialis)

Kanan Kiri

Raut wajah Simetris

Sekresi air mata (+) (+)

Fisura palpebra Simetris

Menggerakkan dahi (+) (+)

Menutup mata (+) (+)

Mencibir / bersiul (+) (+)

Memperlihatkan gigi Plika nasolabialis kiri lebih datar

Sensasi lidah 2/3 (+) (+)

15
Hiperakusis (-) (-)

N. VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri

Suara berisik (+) (+)

Detik arloji (+) (+)

Rinne test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Weber test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Scwabach test

Memanjang Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Memendek Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Nistagmus

Pendular Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Vertikal Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Slklikal Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pengaruh posisi kepala (-) (-)

N. IX (Glossopharyngeus)

Kanan Kiri

Sensasi lidah 1/3 belakang (+) (+)

Reflek muntah/ Gag reflek (+) (+)

16
N. X (Vagus)

Kanan Kiri

Arkus faring Simetris

Uvula Di tengah

Menelan (+)

Artikulasi Baik

Suara Baik

Nadi Regular, kuat angkat

N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri

Menoleh kekanan (+) (+)

Menoleh kekiri (+) (+)

Mengangkat bahu kekanan (+) (+)

Mengangkat bahu kekiri (+) (+)

N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri

Kedudukan lidah dalam Deviasi ke kiri

Kedudukan lidah dijulurkan Deviasi ke kanan

Tremor (-) (-)

Fasikulasi (-) (-)

Atrofi (-) (-)

17
4. Pemeriksaan koordinasi

Keseimbangan :

Romberg test Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Romberg test dipertajam Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Stepping gait Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Tandem gait Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Koordinasi :

Jari-jari Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Hidung-jari Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Pronasi-supinasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Test tumit lutut Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Rebound phenomen Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

5. Pemeriksaan fungsi motorik

A. Badan Respirasi Spontan

Duduk (+)

B. Berdiri dan berjalan Gerakan spontan (+) (+)

Tremor (-) (-)

Atetosis (-) (-)

Mioklonik (-) (-)

Khorea (-) (-)

C. Eksternitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan aktif Aktif Aktif Aktif

18
Kekuatan 5/5/5 5/5/5 5/5/5 5/5/5

Trofi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi

Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas

Sensibilitas taktil (+)

Sensibilitas nyeri (+)

Sensibilitas termis Tidak dilakukan

Sensibilitas sendi dan posisi (+)

Sensibilitas getar Tidak dilakukan

Sensibilitas kortikal

Stereognosis Tidak dilakukan

Pengenalan 2 titik (+)

Pengenalan rabaan (+)

7. Sistem refleks

a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
Berbangkis Tidak diperiksa Triseps ++ ++
Laring Tidak diperiksa KPR ++ ++
Masetter Tidak diperiksa APR ++ ++
Dinding perut Bulbokavernosus Tidak diperiksa
 Atas Cremaster Tidak diperiksa
 Tengah Sfingter Tidak diperiksa

 Bawah

b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Lengan Tungkai
Hoffmann- (-) (-) Babinski (-) (-)
Tromner

19
Chaddocks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

8. Fungsi otonom

- Miksi : baik

- Defekasi : baik

- Sekresi keringat: baik

9. Fungsi luhur

Kesadaran Tanda Dementia

Reaksi bicara (+) Reflek glabela Tidak diperiksa

Fungsi intelek Belum bisa Reflek snout Tidak diperiksa


dinilai

Reaksi emosi Belum bisa Reflek mengisap Tidak diperiksa


dinilai

Reflek memegang Tidak diperiksa

Reflek palmomental Tidak diperiksa

III. Pemeriksaan laboratorium

Darah :

Rutin : Hb : 14.8 gr/dl

Leukosit : 6.400/mm3

20
Trombosit : 145.000/mm3

Hematokrit : 40%

Kimia klinik : Ur/Cr : 28/0.9 mg%

Rencana Pemeriksaan Tambahan :

- EEG

- Brain CT-scan

Diagnosis :

Diagnosis klinis : Epilepsi simple tonik

Diagnosis topik : Intraserebral

Diagnosis etiologi : Post Stroke Iskemik

Diagnosis Sekunder :

Prognosis :

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Terapi :

1. Umum

- Elevasi kepala 30 derajat

- O2 3 l/menit

- IVFD Asering 16 gtt

21
2. Khusus

- Injeksi diazepam ½-1 ampul bila kejang (bolus pelan)

- Fenitoin 3x100 mg

22
BAB III

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 54 tahun dirawat di

bangsal Neurologi RSUD Adnan WD pada tanggal 20 Maret 2018 dengan

diagnosis klinik epilepsi, diagnosa topik yaitu intraserebral dan diagnosa etiologi

post stroke iskemik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien

datang ke rumah sakit dengan keluhan utama kejang berulang. Kejang berulang

sebanyak 3 kali pada setengah badan bagian kanan kemungkinan pasien

menderita epilepsi dengan manifestasi motorik. Berdasarkan manifestasi

klinisnya, kejang yang dialami pasien termasuk dalam kejang simplek dimana

kesadaran pasien tidak terganggu. Pasien memiliki riwayat stroke tahun 2013

yang lalu dengan bicara pelo dan kelemahan pada anggota gerak kanan. Kejang

merupakan gejala neurologis yang paling umum terjadi pada penderita stroke.

Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca

stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.

Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab tersering dari

sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun

sebagai komplikasi pasca stroke. Usia menjadi faktor risiko independen untuk

stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian dan prevalensi

pasca stroke seiring peningkatan usia.1

Pada pasien ini bisa terjadi kejang karena kerusakan neuron-neuron di

korteks motorik hemisfer. Kerusakan tersebut menyebabkan ketidakseimbangan

antara neuron eksitatori (glutamatergic) dan neuron inhibisi (GABAergic) yang

23
merupakan dasar patogenesis terjadinya fokus epileptik. Neuron-neuron korteks

yang tersisa di area otak yang rusak akan menjadi sangat peka (hipereksitabilitas)

dan inilah yang akan berkembang menjadi fokus epileptogenik. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa kasus tersebut kemungkinan disebabkan oleh kelainan yang

mendasari yaitu pasien pernah mengalami serangan stroke.9

Klasifikasi epilepsi sendiri dikelompokan menjadi tiga kelompok antara

lain; epilepsi idiopatik, epilepsi kriptogenik, dan epilepsi simtomatik. Epilepsi

idiopatik yaitu epilepsi dengan serangan kejang umum dengan penyebab serangan

kejang tidak diketahui, umumnya karena predisposisi genetik. Pada pasien ini

tidak ditemukan predisposisi genetik. Epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi yang

dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Seperti pada west

syndrome, lennox gastaut syndrome, dan pada epilepsi mioklonik. Epilepsi

simtomatik yaitu terdapat lesi struktural di otak yang mendasari misalnya

sekunder dari trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat (SSP), kelainan

kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah di otak, toksik

(alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegenerative. Pada pasien

tidak didapatkan riwayat tumor di organ lain, riwayat trauma kepala, riwayat

infeksi di sinus sehingga penyebab kejang akibat trauma kepala, infeksi sistem

saraf pusat (SSP), proses desak ruang di otak dapat disingkirkan. Pada kasus ini

didapatkan riwayat bahwa pasien pernah mengalami serangan stroke sebelumnya,

sehingga epilepsi yang dialami pasien termasuk kedalam epilepsi jenis

simtomatik.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah (TD): 140/80

mmHg, nadi: 84 x/menit, pernafasan: 20 x/menit, dan suhu 36,7 oC. Pemeriksaan

24
status neurologis didapatkan nervus kranialis pada plikanasolabialis kiri lebih

datar dan deviasi lidah ke kanan ketika lidah dikeluarkan, pada pemeriksaan

sistem motorik didapatkan ekstremitas superior kanan/kiri 555/555, ekstremitas

inferior kanan/ kiri 555/555. Kesan pada pemeriksaan fisik didapatkan gangguan

pada nervus VII dan XII.

Tujuan terapi pada kasus epilepsi adalah tidak ada gejala kejang dan

sedikit efek samping. Prinsip terapi epilepsi yaitu menggunakan monoterapi.

Rekomendasi ILAE untuk pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk tipe kejang

parsial, yaitu: carbamazepine, fenitoin, topiramate, oxcarbazepine, levetiracetam,

lamotrigin dan asam valproat. Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone.

Pada dewasa dengan tipe kejang umum; asam valproat, levetiracetam, topiramate,

lamotrigin, Phenobarbital, carbamazepine, dan oxcarbazepine.

Pada kasus ini diberikan fenitoin dengan dosis 300mg/ hari. Fenitoin dapat

diberikan dengan; dosis awal: 15-25 mg/ kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/ hari

atau 5-6 mg/ kg/ hari pada tiga dosis terbagi atau satu sampai dua dosis terbagi

untuk pelepasan bertahap. Fenitoin efektif untuk kejang fokal maupun kejang

tonik klonik umum. Kontraindikasi pada tipe kejang mioklonik. Selain itu fenitoin

juga jarang menyebabkan kejadian steven johnson syndrome dibanding dengan

pemberian OAE seperti karbamazepin yang menurut kepustakaan sering

menyebabkan steven johnson syndrome. Pada pasien ini juga diberikan diazepam

10 mg IV bolus lambat dalam 5 menit sebagai tatalaksana kejang akut. Edukasi

juga perlu diberikan pada pasien dan keluarganya sebagai suatu bentuk

penatalaksanaan non farmakologis untuk mengurangi resiko terjadinya bangkitan

25
ulang seperti kontrol teratur, minum obat teratur, hindari faktor pencetus, tidak

melakukan aktivitas yang melelahkan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Bladin CF, Alexandrov AV, Bellavance A, Bornstein N, Chambers B, Cote R,


et al. Seizures after stroke: a prospective multicenter study. Arch Neurol. 2000;
57(11):1617-22.
2. Epsztein J, Ben-Ari Y, Represa A, Crepel V. Late-onset epileptogenesis and
seizure. Tersedia dari: https://www.gmjournal.co.uk/uploadedfil
es/redbox/pavilion_content/our_content/
social_care_and_health/gm_archive/2012 /october/gmoct2012p33.pdf.
3. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
Edisi Kelima. Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia. Airlangga
University Press; 2014.
4. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Syaraf Indonesia bekerja sama dengan Gadjah Mada University
Press; 2005. hlm 59-83.
5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat;
2009.
6. International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for
Epilepsy (IBE). Definition: Epilepstic seizures and epilepsy. Geneva: ILAE
and IBE; 2005.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006.
8. Neil S.N. Graham, MBBS, Siobhan C, Koutroumanidis, M, Wolfe C, Rudd
AG,. Incidence and Associations of Poststroke Epilepsy The Prospective
South London Stroke Register. Stroke. 2013;44:605-611.
9. Stroke Assocoiation. Epilepsy after stroke. London: Stroke Association; 2012.
10. Boovalingam P, Witherall R, HO CL, Nagarajan R, Ardron M. Post-stroke
epilepsy [internet]. UK: GM Journal; 2012 [disitasi tanggal 27 Desember
2017].
11. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger C, et
al. ILAE official report: An operational clinical definition of epilepsy.
International League Against Epilepsy (ILAE). 2014; 55(4):475-82.

27
12. Glauser T, Ben-Menachem E, Bourgeois B, Cnaan A, Guerreiro C,
Kalviainen R, et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug
efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and
syndromes. Epilepsia. 2013; 54(3):551-6

28

Anda mungkin juga menyukai