Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp.A

Disusun Oleh:
Prakosa Jati Prasetyo
G4A014111

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
HALAMAN PENGESAHAN
1

Telah dipresentasikan serta disetujui referat dengan judul :


ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Prakosa Jati Prasetyo
G4A014111

Purwokerto,

September 2016

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Supriyanto, Sp. A

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat dan
karuniaNya, sehingga dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat yang berjudul
Anemia Hemolitik Autoimun ini merupakan salah satu syarat ujian kepanitraan
klinik dokter muda SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD. Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Supriyanto, Sp. A sebagai
pembimbing atas bimbingan, saran, dan kritik yang membangun dalam
penyusunan tugas referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih belum sempurna
serta banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis tetap mengharapkan
saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.

Purwokerto,

September 2016

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 7
A. Definisi........................................................................................................ 7
B. Epidemiologi............................................................................................... 7
C. Etiologi........................................................................................................ 7
D. Klasifikasi.................................................................................................... 9
E. Patomekanisme.......................................................................................... 10
F. Penegakan Diagnosis..................................................................................12
G. Penatalaksanaan......................................................................................... 15
H. Komplikasi................................................................................................ 17
I. Prognosis................................................................................................... 17
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 19

I.

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu penyakit pada darah, dimana sel darah merah tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Didalam sel darah merah terdapat
hemoglobin, sebuah protein yang berfungsi untuk membawa oksigen keseluruh
tubuh (National Institutes of Health, 2011). Salah satu penyabab terjadinya anemia
adalah akibat reaksi autoimun didalam tubuh yaitu anemia hemolitik
autoimun(AIHA). AIHA adalah penyakit autoreactive antibodi sel darah merah
yang menyebabkan kerusakan pada sel darah merah itu sendiri (Erin and Scott.,
2015).
AIHA merupakan anemia yang jarang ditemui,angka kejadian penyakit ini
diperkirakan 1:80.000. meskipun AIHA termasuk jarang, autoantibodi sel darah
merah yang mengikat sel darah merah sering ditemui pada pemeriksaan darah
dilaboratorium (Erin and Scott., 2015). AIHA dapat disebabkan oleh banyak hal
seperti obat-obatan, infeksi virus, ataupun mikoplasma. Meskipun demikian
penyebab secara pasti masih belum dapat diketahui. AIHA dapat diklasifikasikan
menjadi AIHA tipe hangat dan dingin, AIHA akibat obat, AIHA akibat tranfusi,
Paroxysmal Cold Hemoglobinuri, dan lain-lain. Dari banyak jenis AIHA, 70%
kasus AIHA adalah tipe hangat.
AIHA secara umum memiliki gejala dan tanda mirip dengan keluhan
anemia pada umumnya. Cara membedakan dengan anemia lainnya adalah salah
satunya menggunakan tes laboratorium darah yaitu direct coombs test dan
indirect coombt test. Tes laboratorium tersebut dapat mengevaluasi adanya
aglutinasi akibat reaksi autoantibodi yang dapat mengakibatkan kerusakan pada
sel darah merah. Setelah dikonfirmasi bahwa iagnosa adalah AIHA maka perlu
dilakukan evaluasi kepada pasien terkait jenis AIHA yang ada.hal itu dilakukan
karena setia jenis dari AIHA memiliki terapi yang berbeda-beda.
Pada pasien dengan AIHA harus dilakukan penanganan secara cepat dan
tepat, karena jika tidak ditangani dengan baik komplikasi dari AIHA salah satnya
adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler . Dokter umum sebagai pintu gebang
pertama dalam menangani kegawatan pasien harus mengetahui betul mengenai

anemia hemolitik autoimun ini, sehingga perlu mengetahui jenis dan terapi yang
tepat bagi pasien. Pada referat kali ini kami akan membahas mengenai anemia
hemolitik autoimun.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia hemolitik autoimun adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan adanya autoantibodi yang mengikat eritrosit pasien sendiri, sehingga
sel darah merah dapat mengalami kerusakan (hemolisis), dan ketika hemolisis
melebihi kemampuan sumsum tulang untuk menggantikan sel-sel darah
merah yang hancur, maka akan menimbulkan tanda dan gejala anemia (Ware,
E. Rusell, 2016). Antigen akan menghancurkan sel darah merah melalui
sistem komplemen dan retikuloendotelial. Sebagian kasus AIHA sering
diikuti dengan infeksi virus terutama pada anak-anak (Nazan. S.dkk., 2011).
B. Epidemiologi
AIHA adalah gangguan yang relatif jarang terjadi pada anak dan sering
terlihat setelah adanya infeksi virus. AIHA dapat terjadi pada usia berapapun,
tetapi yang menjadi catatan adalah ketika AIHA terjadi pada usia remaja
mereka lebih mungkin untuk memiliki penyakit sistemik yang mendasari.
Jumlah insidensi secara pasti AIHA masih belum diketahui secara pasti.
Tetapi diperkirakan jumlah penderita AIHA usia dibawah 20 tahun mencapai
0,2/100.000, dengan jumlah tertinggi pada anak-anak usia pra-sekolah (Vaglio
S. et al., 2007).
C. Etiologi
Etiologi secara pasti dari penyakit autoimun masih belum jelas.
Kemungkinan terjadi akibat gangguan central tolerance, dan gangguan pada
proses pembatasan limfosit autoreaktif residual (Elias & Kartika, 2009).
Namun selain faktor diatas AIHA juga kemungkinan dapat disebabkan oleh
cotinfeksi EBV dan mycoplasma, drug induced (peniciline, a-metldopa,
quinidine), penyakit autoimun kronik,dan keganasan (Norton, A.R., 2006).
1. Central Tolerance

Adalah penghapusan pada limfosit T dan B reaktif selama proses


pematangan pada organ sentral limfoid (thymus untuk selT, sumsum
tulang untuk sel B). Toleransi sentral mencegah persebarluasan autoimun
oleh non autoreaktif khusus sel T melalui sirkulasi ke perifer. Toleransi
sentral yang tidak lengkapdan populasi sel T yang memiliki aviditas
menengah dapat menjadi self antigens yang masuk melalui sirkulasi tubuh.
Sehingga kondisi ini dapat mengakibatkan aktivasi organ spesifik dan
penyakit sistemik akibat autoimun (Walters Kluwer. 2014).
2. Peripheral Tolerance
Mekanisme diperantarai oleh sel T self-reactive yang melalui intrathymic
negative selection dan penghapusan jaringan perifer melalui toleransi
perifer termasuk anergy, penekanan sel T melalui pengatur sel T, dan
penghapusan clonaloleh aktivasi yang diinduksi oleh kematian sel(Walters
Kluwer. 2014).

D. Klasifikasi
Anemia autoimun hemolitik dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Russell.
E. W. 2016):
1. Anemia hemolitik autoimun
a. AIHA tipe hangat
Tipe ini memiliki angka kejadian 70% dari total pasien dengan AIHA
dan 50% diantaranya disertai dengan penyakit lain.
1) Idiopatik
2) Sekunder karena penyakit CLL, limfoma SLE
b. AIHA tipe dingin
1) Idiopatik
2) Sekunder karena penyakit infeksi mycoplasma, mononucleosis,
virus, keganasan limforetikuler
2. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
Anemia jenis ini memiliki angka kejadian 2-5% kasus AIHA. Dahulu
anemia jenis ini sering ditemui karena berhubungan dengan penyakit
sifilis.
a. Idiopatik
b. Sekunder karena infeksi viral dan sifilis
3. AIHA atipik
a. AIHA tes antiglobulin negatif
b. AIHA kombinas tipe hangat dan dingin
1) AIHA diinduksi obat (Methyldopa)
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya hemolisis akibat
obat, seperti hapten (penyerapan obat yang tergantung dari
antibodi),
autoantibodi

pembentukan
yang

kompleks

bereaksi

dengan

ternary,

induksi

eritrosit,

oksidasi

hemoglobin. Mekanisme hapten terjadi karena obat akan


melapisi permukaan eristrosit sehingga memicu timbulnya
antibodi pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi
akan dirusak pada spleen. Mekanisme kmplek ternary adalah
melibatkan obat, sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen
4. Reaksi hemolitik tranfusi
Hemolisis aloimun yang berat adalah reaksi tranfusi akut ( tranfusi PRC
golongan A pada penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM
anti-A pada serum), yang akan mengaktifasi komplemen dan terjadi
hemolisis intravaskular yang dapat menimbulkan DIC dan infark ginjal.
5. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (Elias & Kartika, 2009).

10

E. Patomekanisme
Kerusakan sel-sel eritrosit diperantarai oleh antibodi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.
1. Aktivasi sistem komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan
hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravakuler yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen
dpat teraktivasi melalui jalur klasik ataupun alternatif. Antibodi-antibodi
yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1,
IgG2, IgG3. IgM memiliki peran sebagai aglutinin pada AIHA tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan
sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG berperan
sebagai aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel
eritrosit pada suhu tubuh (Rosse WF, Schrier SL. 2004).
a. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Jalur klasik dimulai dari aktivasi C1 suatu protein yang dikenal
sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun
antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksireaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C2 dan C4
menjadi suatu kompleks C4b,2b(dikenal sebagai C3-convertase).
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b
mengalami perubahan konformasional sehingga mampu berikatan
secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel
eritrosit berlabel antibodi). C3 juga dapat membelah menjadi C3b,d,
dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada memberan sel eritrosit
dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk
kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b
yang berperan dalam kompleks penghancur membran.

Kompleks

penghancur membran sel eritrosit terdiri dari C5b, C6, C7, C8, dan
beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke dalam membran
sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas

11

membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel
sehingga sel membengkak dan ruptur (Rosse WF, Schrier SL. 2004).
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivator dari jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang
terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B
kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba
dan Bb. Bb merupakan protease serin, dan tetap melekat pada C3b.
Ikatan C3bBb selanjutnya akan memcah C3 molekul mejadi C3a dan
C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh bb dipecah menjadi C5a
dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran
(Rosse WF, Schrier SL. 2004).

c. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular


Jika eritrosit disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak
terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel eritrosit tersebut akan
hancur oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel.
Immunoadherence,

terutama

yang

diperantarai

menyebabkan fagositosis (Aladjidi N., et al. 2011).

IgG-FcR

akan

12

F. Penegakan Diagnosa
Diagnosa anemia hemolitik autoimun secara pasti dapat dilakukan
dengan pemeriksaan deteksi autoantibodi pada eritrosit. Tetapi anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat digunakan sebagai pendukung dalam menentukan
diagnosis pasti penyakit ini. Pemeriksan untuk mendeteksi autoantibodi pada
eritrosit dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Direct antiglobulin test (direct coombs test)
Prosedur ini dilakukan dengan mencuci eritrosit pasien dari protein-protein
yang melekat dan direaksikan dengan anti serum atau antibodi monoclonal
terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan
C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3
maka akan terjadi aglutinasi (Thomas G.DeLoughery. 2013).
2. Indirect antiglobulin test (indirect Coombs test)
Prosedur ini dilakukan dengan cara mendeteksi autoantibodi pada serum.
Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang
beredar pada serum akan melekat pada sel reagen dan dapat dideteksi
dengan antiglobulin serta terjadinya aglutinasi (Reardon JE, Marques MB.

13

2006).

Diagnosa anemia hemolitik autoimun tergantung dari setiap jenis atau


klasifikasi dari anemia itu, seperti:
1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
a. Gejala dan tanda

14

Onset penyakit sering tidak dketahui, gejala anemia berlangsung


perlahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dapatditemukan
nyeri abdomen dan anemia berat. Urin berwarna gelap, ikterik yang
terjadi

pada

40%

kasus,

dan

organomegali

(splenomegali,

hepatomegali, dan limfadenopati) (Maria C.L.A., et al., 2006).


b. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 g/dl, dengan disertai
pemeriksaan direct antiglobulin test yang positif, dan pemeriksaan
didapatkan autoantibodi yang terdapat didalam serum dan dapat
dipisahkan dengan eritrosit. Autoantibodi ini berasalh dari kelas IgG
dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe
hangat biasanya bereaksi dengan antigen sel eritrosit pasien sendiri,
yaitu antigen Rh (Kliegman, et al., 2015).
2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
a. Gambaran klinik
Terjadi aglutinasi jika suhu permukaan dalam kondisi dingin, yaitu 22
+ 10oC, hemolisis berjalan kronik, anemia biasanya ringan dengan Hb
9-12 g/dl. Sering disertai dengan akrosianosis dan splenomegali
(Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. 2006).
b. Laboratorium
Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes coombs positif, anti-I,
anti-Pr, anti-M, atau anti-P (Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA.
2006).
3. Anemia hemolitik imun diinduksi obat
a. Gambaran klinis
Riwayat pemakaian obat tertentu. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi
sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang
berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan
disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut,
maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis
tunggal (Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. 2006).
b. Laboratorium
Penurunan Hb, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif, leukopenia,
trombositopenia,

hemoglobinemia,

hemoglobinuria

terjadi

pada

15

hemolisis yang diperantarai oleh kompleks tertary (Hoffman PC, Gertz


MA, Brodsky RA. 2006).
4. Paroxysmal cold hemoglobinuri
a. Gambaran klinis
Hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala,
hemoglobinuria selama beberapa jam, dan sering disertai urtikaria
(Becca, G and Rebekah W. 2014).
b. Laboratorium
Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Coombs positif, antibodi
donath-landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah (Becca, G and
Rebekah W. 2014).
5. Anemia hemolitik aloimun karena transfusi
a. Gambaran klinis
Gejala yang timbul biasanya bersifat akut yaitu sesak nafas, demam,
nyeri pinggang, mengigil, mual,muntah, syok. Adapun reaksi tranfusi
tipe lambat yang berlangsung 3-10 hari setelah transfusi, biasanya
diakibatkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap
antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik,
antibodi akan meningkat secara pesat sehingga menyebabkan
hemolisis ekstravaskular (Becca, G and Rebekah W. 2014).
G. Penatalaksanaan
Terapi pada anemia hemolitik autoimun disesuaikan dengan penyebab
terjadinya anemia:
1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Terapi yang diberikan dapat berupa:
a. Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgbb/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar
akan menunjukan respon klinis baik yang ditunjukan dengan
peningkatan hematokrit, retikulosit, tes coombs direk positif lemah dan
indirek negatif). Nilai akan kembali nomal setelah pengobatan selama
30-90 hari. Jika respon terhadap steroid baik maka dosisi diturunkan
sampai 10-20 mg/hari. Terapi steroid < 30 mg/hari dapat diberikan
secara selang sehari. Pasien tetap membutuhkan pengobatan rumatan
dengan dosis rendah. Tetapi jika dosis perhari melebihi 15 mg/hari
dapat diberikan denga terapi modalitas lain (Zanella, A. And Wilma. B.
2014).

16

b. Danazol 600-800 mg/hari dapat diberikan berbarengan dengan steroid


sebagai terapi kombinasi. Bila terjadi perbaikan maka steroid dapat
diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200400 mg/hari. Kombinasi antara danazol dan prednison sering
memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol dapat berkurang
pada kasus relaps atau evans syndrome (Zanella, A. And Wilma. B.
2014).
c. Terapi imunoglobulin intravena 400mg/kgbb/hari selama 5 hari dapat
menunjukan perbaikan pada beberapa kasus. Tetapi penggunaannya
kurang efektif jika dibandingan dengan terapi kombinasi(Zanella, A.
And Wilma. B. 2014).
d. Pada AIHA refrakter dapat diberkan Mycophenolate mofetil 500 mg
perhari sampai 100 mg/hari
e. Splenektomi
Prosedur ini dilakukan ketidak pemberian steroid tidak adekuat atau
tidak bisa dilakukan tappering off dosis selama 3 bulan, maka dapat
dipertimbangkan

dilakukan

splenektomi.

Splenektomi

akan

menghilangkan tempat utama penghancur sel eritrosit. Meskipun sudah


dilakukan

splenektomi,

hemolisis

masih

dapat

terjadi

tetapi

membutuhkan sel eritrosit terikat antibodi yang lebih besar untuk


menimbulkan kerusakan eristrosit dengan jumlah yang sama(Zanella,
A. And Wilma. B. 2014).
f. Imunosupresi
Azathioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150 mg/hari
g. Terapi transfusi
Terapi tranfusi bukanlah kontraindikasi mutlak tetapi dapat diberikan
pada kondisi mengancam jiwa dengan Hb < 3g/dl. Sambil menunggu
efek steroid dan imunosupresif(Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
2. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Terapi pada AIHA jenis ini adalah :
a. Menghindari suhu dingin yang dapat memicu timbulnya anemia
b. Chlorambucil 2-4 mg/hari
c. Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM untuk mengurangi
emolisis, walaupun prosedur ini sulit untuk dilakukan
d. Terapi prednison dan splenektomi tidak banyak membantu (Zanella, A.
And Wilma. B. 2014).
3. Paroxysmal cold hemoglobinuri

17

Terapi paling baik pada anemia jenis ini adalah hindari pencetusnya,
karena penurunan suhu tubuh dapat berakibat penurunan Hb secara masif
terlebih jika sering terpapar suhu dingin. Terapi glukokortikoid dan
splenektomi tidak ada manfaatnya (Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
4. Anemia hemolitik imun diinduksi obat
Terapi paling efektif adalah menghentikan penggunaan obat yang menjadi
pemicu, untuk mengurangi hemolisis. Kortikosteroid dan transfusi dapat
diberikan pada kondisi berat (Zanella, A. And Wilma. B. 2014).
H. Komplikasi
Komplikasi AIHA yang paling sering terjadi terutama dalam masa
pengobatan adalah Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan kelainan
kardiovaskuler.
I. Prognosis
Prognosis AIHA dipengaruhi oleh banyak hal seperti usia pasien, perjalanan
penyakit, dan pengobatan yang dijalani. Hanya sebagian kecil pasien yang
mengalami sembuh sempurna dan sebagian besar memiliki perjalanan
penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun
berkisar 70%. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Pada kasus
AIHA sekunder tergantung dari penyakit yang mendasari

18

III.

KESIMPULAN

1. Anemia hemolitik autoimun adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan


adanya autoantibodi yang mengikat eritrosit pasien sendiri, sehingga sel darah
merah dapat mengalami kerusakan (hemolisis).
2. Etiologi secara pasti terjadinya anemia hemolitik autoimun masih belum
diketahui
3. Terdapat dua pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk memastikan
diagnosa anemia hemolitik autoimun yaitu Direct antiglobulin test (direct
coombs test) dan Indirect antiglobulin test (Indirect coombs test)
4. Terapi pada anemia hemolitik autoimun tergantung dari jenis anemia
hemolitik autoimun tersebut

19

Daftar pustaka
Aladjidi N, Leverger G, Leblanc T, et al. 2011. New insights into childhood
autoimmune hemolytic anemia: a French national observational study of 265
children. Haematologica; 96:655.
Becca, G and Rebekah W. 2014. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA).
Immunology; 1 (1)
Elias P dan Kartika W.T. 2009. Anemia Hemolitik Autoimun. Jakarta:Interna
Publishing
Erin, Q., and Scott K. 2015. Autoimmune Hemolytic Anemia and Red Blood Cell
Autoantibodies. Arch Pathology Lab Med. Vol 139.
Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. 2006. Immune Hemolytic Anemia-Selected
Topic. Haematology:1-6
Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2015. Nelson Textbook of Pediatrics 20th
Edition. Jakarta. Elsevier
Maria C.L.A., Benigna. M.O., Mitiko.M. Zilma. M. V., Leticia. T. G., Marcos. B.
V.2006.
Clinical Course of Autoimmune Hemolytic Anemia: an
Observational Study. Jornal de Pediatria. Vol. 82. No 1

20

Nazan S., Suar.C.K., Emine.Z., Sema.A.G. 2011. Management of Autoimmune


Hemolytic Anemia in Children and Adolescents: A Single Center Experience.
Turkey: Kocaeli University
Norton A, Roberts I. 2006. Management of Evans syndrome. Br J Haematology;
132:125
Provan D, Butler T, Evangelista ML. 2007. Activity and Safety Profile of Low
Dose Rituxzimab for the Treatment of Autoimmune Cytopenias in Adults.
Haematologica; 92: 1695-1698
Reardon JE, Marques MB. 2006. Laboratorium Evaluation and Tranfusion
Support of Patient with Autoimmune Hemolytic Anemia. Am J Clin Pathol:
125: S71-S77
Rosse WF, Schrier SL. 2004. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic Anemia:
Cold Agglutinin Disease. Uptodate. 12: 2
Rosse WF. 2004. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodate:12 :2
Russell. E. W. 2016. Autoimmune HemolyticAnemia In Children: Classification,
Clinical Features, and Diagnosis. Uptodate. 1
Thomas G.DeLoughery. 2013. Hematology Board Review Manual: Autoimmune
Hemolytic Anemia. Hematology. Vol 8 (1)
Vaglio S, Arista MC, Perrone MP, et al. Autoimmune hemolytic anemia in
childhood: serologic features in 100 cases. Transfusion 2007; 47:50.
Walters Kluwer. 2014. Wintrobes Clinical Hematology13th Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Zanella, A. And Wilma. B. 2014. Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemias.
Haematologica; 99 (10)

Anda mungkin juga menyukai