Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

AUTOIMUN ANEMIA HEMOLITIK

Oleh:

Dyah Anjani Utami 1740312095

Kagami Gari Lindo 1740312075

Yolanda Juni Ardi 1740312119

Perseptor:

dr. Liza Fitria, SpA

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau
konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh
bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-
gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal
jantung.1,2
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Anemia terjadi
pada 43% anak usia kurang dari 4 tahun, 56% pada anak usia kurang dari 5 tahun dan 24-35%
dari anak usia sekolah.3,4 Menurut data WHO, anemia terdapat pada 1,62 miliar penduduk dunia
atau sebanyak 24,8% dari populasi. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak sebelum usia sekolah,
lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.5
Anemia fisiologis yang ditemukan pada bayi aterm usia 2-3 bulan dan bayi preterm usia
1-2 bulan adalah proses normal yang yang tidak menyebabkan munculnya tanda-tanda penyakit
tertentu dan tidak memerlukan pengobatan. Ini merupakan kondisi fisiologis yang diperkirakan
berhubungan dengan beberapa faktor seperti peningkatan oksigenasi jaringan yang memang
terjadi pada saat lahir, penurunan masa hidup eritrosit dan rendahnya kadar eritropoietin.2

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Case Report Session ini adalah meningkatkan pengetahuan mengenai
definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan
tatalaksana AIHA.

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah Case Report Session ini adalah definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana AIHA.
1.4 Metode
Case Report Session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia, AIHA) adalah suatu
kondisi dimana penghancuran eritrosit terjadi akibat pembentukan antibodi terhadap antigen
eritrosit sendiri. AIHA dibagi primer dan sekunder. AIHA primer termasuk tipe warm, cold dan
paroxysmal cold hemoglobinuria. AIHA sekunder termasuk yang akibat penyakit autoimun
sistemik (contoh: SLE), keganasan, dan obat.6

2.2 Epidemiologi
Pada anak, AIHA relatif jarang terjadi dan paling sering terjadi setelah infeksi virus.
AIHA terdapat dua jenis antibodi yaitu warn dan cold, tergantung suhu optimal untuk binding
antibodi ke eritrosit. AIHA lebih tidak sering menjadi kronik pada anak ketimbang dewasa,
tetapi anemia mungkin berat pada awal gejala. Mayoritas kasus AIHA anak bersifat akut dan
prognosis cukup baik dengan kemungkinan resolusi spontan dalam 6 bulan. Sisanya bersifat
kronik dan biasanya lebih sulit diterapi, ditemukan pada anak < 2 tahun dan remaja. Pada dewasa
insidens AIHA 1-3/100.000 dengan tipe warm lebih sering terjadi yaitu sekitar 90% dari total
kasus AIHA dewasa. Insidens pada anak tidak diketahui secara pasti, namun jumlah anak dengan
AIHA (< 20 tahun) kira-kira kurang dari 0,2/100.000 dengan tingkat tertinggi di anak sebelum
usia sekolah.7,8

2.3 Etiologi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan melihat
jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit. Selain itu dengan dasar ukuran eritrosit
(mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi
eritrositnya. Pada klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan
makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan patologis. Penyebab
anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan produksi eritrosit yaitu
kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan maturasi eritrosit dan
penghancuran eritrosit yang lebih cepat. Kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari
satu mekanisme dapat terjadi.3,5
Pada anemia hemolitik, penghancuran eritrosit terjadi lebih cepat. Hemolisis dapat
bersifat asimptomatik seumur hidup, tetapi biasanya bermanifestasi sebagai anemia saat
eritrositosis tidak dapat menutupi jumlah eritrosit yang dihancurkan.6
Tabel 1. Batasan Anemia berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin3
Gambar 1. Alur Diagnosis Anemia1
2.4 Klasifikasi & Patofisiologi

AIHA tipe warm adalah karena antibodi IgG terhadap protein membran eritrosit,
dimana antibodi-antibodi tersebut menempel secara maksimal pada suhu tubuh (37ºC),
menyebabkan hemolisis ekstravaskular.Sebagian besar penghancuran eritrosit melalui makrofag
lien, namun melalui hepar mungkin juga terjadi. AIHA pada anak tadinya diperkirakan akibat
infeksi virus yang menyebakan terbentuknya antibodi anti-eritrosit, kemungkinan melalui
mekanisme molecular mimicry seperti ITP yang berhubungan dengan infeksi. Antibodi yang
paling sering adalah antibodi anti-Rh, biasanya anti-e atau anti-c.7
Sindrom Evans menunjuk ke pasien dengan AIHA dan ITP. Sindrom ini dapat terjadi
bersamaan atau berurutan, serta relapsnya sering terjadi. Disregulasi imun dapat mendasari ini,
dengan bukti terbaru menunjukan sindrom ini adalah bagian dari Autoimmune
Lymphoproliferative Diseasae (ALPS). Pengobatan sindrom evans dan AIHA saja berbeda,
dimana pada sindrom evans dibutuhkan tambahan obat immune modulatory namun banyak yang
respon terhadap kortikosteroid.7
AIHA tipe cold adalah akibat antibodi IgM, disebut juga cold agglutinins, dimana
antibodi akan menempel pada eritrosit pada suhu lebih rendah (maksimal pada 4ºC). Infeksi
mycoplasma adalah pencetus paling sering AIHA tipe cold pada anak. Biasa antibodinya yang
anti-I atau anti-i. Antibodi AIHA tipe cold biasa monoclonal dan hemolisis biasa intravaskular.
Tabel 2. Klasifikasi AIHA7

Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH) disebabkan oleh antibodi IgG yang menempel
pada suhu rendah namun menyebabkan lisisnya eritrosit pada suhu yang lebih hangat.
Antibodinya sering disebut dengan antibodi Donath-Landsteiner, menyerang antigen P. Gejala
khas PCH pada dewasa berhubungan dengan sifilis, namun pada anak, infeksi virus adalah
penyebab tersering termasuk Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, dan adenovirus.7
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) biasanya proses akut, self-limited, yang muncul
setelah infeksi (Mycolplasma, Epstein-Barr, atau infeksi viral lain). AIHA dapat juga menjadi
gejala yang terlihat dari penyakit autoimun kronik (Systemic Lupus Erythematous,
lymphoproliferative disorder atau imunodefisiensi). Obat-obatan dapat menyebabkan anemia
hemolitik yang Coombs positif dengan membentuk hapten pada membran eritrosit (penisilin)
atau membentuk kompleks imun (quinidine) yang menempel pada membran eritrosit. Antibodi-
antibodi kemudian mengaktivasi hemolisis intravascular yang dicetuskan oleh komplemen.
Penggunaan terapi α-metildopa berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan pada membran
eritrosit, menyebabkan pembentukkan neoantigen. Antibodi-antibodi diproduksi menempel pada
neoantigen; hal ini lebih sering membuat hasil tes antiglobulin (coombs) positif daripada
menyebabkan hemolisis.1
2.5 Manifestasi Klinis
Onset akut anemia dapat menyebabkan keadaan yang terkompensasi buruk, didapatkan
takikardi, murmur, toleransi exercise buruk, sakit kepala, mengantuk terutama pada bayi atau
terlihat lemas, gelisah, tidak mau menetek, dan sinkop. Sebaliknya pada anemia kronik keadaan
umum anak terlihat baik karena terkompensasi oleh jantung. Biasanya anak dengan anemia
kronik hanya punya takikardi minimal dan murmur dari pemeriksaan fisik.1
Anemia pada usia berapapun harus dicari apakah saat itu sedang terjadi perdarahan.
Riwayat ikterik, pucat, riwayat anemia anak kehamilan sebelumnya, ibu mengkonsumsi obat
selama kehamilan, perdarahan banyak saat melahirkan penting untuk diagnosis anemia pada
neonatus. Selain itu juga perlu ditanyakan secara cermat riwayat makan anak. Kunci diagnosis
anemia hemolitik adalah jaundice, pucat dan splenomegali. Penyakit hemolitik kongenital
(defisiensi enzim dan gangguan membran eritrosit) biasanya muncul pada 6 bulan pertama
kehidupan tetapi biasanya tidak terdiagnosis. Riwayat konsumsi obat juga harus ditanyakan
secara lengkap.1

Gambar 2. Alur Diagnosis Anemia berdasarkan Hitung Retikulosit1


AIHA menyebabkan anemia hemolitik. Anak akan datang dengan lemas atau pucat
karena anemia. Pusing, sakit kepala, dan nafas pendek adalah tanda anemia lebih berat. Jaundice
atau sclera ikterik dapat ditemukan karena bilirubin naik akibat hemolisis ekstravaskular. Urin
berwarna gelap seperti soda coca cola terjadi bila hemolisisnya intravaskular (dan berat). Nyeri
abdomen, bisa terdapat demam subfebris (low-grade fever), khususnya dengan infeksi virus
sebagai pencetus.7

2.6 Diagnosis
Diagnosis AIHA merangkap berbagai macam pemeriksaan laboratorium yaitu dengan
pemeriksaan darah lengkap ditemukan anemia, biasa dengan MCV normal (normositik
normokrom). RDW biasa tinggi karena peningkatan hitung retikulosit sehingga juga terdapat
retikulositosis sesaat, leukosit dan trombosit normal (kecuali sindrom Evans. Pemeriksaan apus
darah tepi menunjukan sferosit, terbentuk ketika bagian dari membran eritrosit yang diselimuti
oleh antibodi dibuang oleh lien, menyebabkan sferosit, bukan eritrosit bentuk bikonkaf seperti
biasanya. Peningkatan hemolisis menyebabkan peningkatan sferositosis. AIHA tipe cold dapat
menyebabkan aglutinasi eritrosit di apus darah tepi. Dapat juga ditemukan eritrofagositosis.
Pemeriksaan kimia darah menunjukan peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, namun
kadar bilirubin terkonjugasi normal, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) karena
peningkatan pembentukan eritrosit, penurunan haptoglobin (menempel dengan Hb bebas) karena
hemolisis. Hemoglobinuria jarang terjadi pada AIHA tipe warm tapi cukup sering ditemukan
pada tipe cold dan PCH. Pemeriksaan patognomonik untuk AIHA adalah Coombs test atau
disebut juga Direct Antiglobulin Test (DAT) mendeteksi antibodi IgG atau C3 yang menempel
pada eritrosit pasien. Pada tipe warm, IgG DAT akan positif, pada tipe cold, komplemen DAT
akan positif, menunjukan adanya komplemen di permukaan eritrosit. DAT dilakukan dengan
inkubasi eritrosit pasien dengan reagen yang mengandung anti-IgG atau anti-komplemen untuk
mendeteksi antibodi. Terkadang AIHA dapat Coombs test negative, atau lebih jarang lagi, pasien
AIHA asimptomatik dengan Coombs test positif. Pemeriksaan dilakukan pada suhu 4ºC, 22ºC,
30ºC dan 37ºC untuk menentukan suhu maksimal terjadinya aglutinasi. Pemeriksaan Donath-
Landsteiner dilakukan bila curiga PCH, serum pasien diinkubasi dengan eritrosit normal pada
0ºC dan 37ºC tidak ditemukan lisis eritrosit, tetapi bila inkubasi pertama terjadi pada 0ºC
kemudian pindah ke 37ºC lisis akan terjadi.7,9
A. Anamnesis
Pada anemia hemolitik secara umum, terdapat beberapa petunjuk diagnosis dari riwayat
penyakitnya seperti dari usia didapatkan:1
1. Anemia pada neonatus dengan retikulositosis mengarah ke hemolisis atau perdarahan, bila
dengan retikulositopenia mengarah ke gagal sumsum tulang.
2. Talasemia beta muncul saat HbF menghilang yaitu usia 4-8 bulan.
Selain itu, dari riwayat penyakit keluarga dan genetic didapatkan defisiensi G6PD
diturunkan secara X-linked, sferositosis secara autosomal dominan, talasemia lebih banyak
terjadi pada penduduk daerah Mediterania dimana talasemia beta pada penduduk Mediterania,
keturunan Afrika, dan Asia, sedangkan talasemia alfa pada penduduk keturunan Afrika dan Asia;
anemia defisiensi G6PD lebih banyak terjadi pada penduduk daerah Asia Tengah. Status gizi
seperti kekurangan vitamin atau asam folat tidak mempengaruhi anemia hemolitik.1
Obat-obatan tertentu seperti jenis oxidants (Nitrofurantoin, obat-obatan anti-malaria) dapat
menyebabkan anemia defisiensi G6PD, antibiotic seperti golongan penisilin dapat menyebabkan
hemolisis yang dimediasi imun (Immune-mediated hemolysis). Infeksi mycoplasma dan malaria
dapat menyebabkan hemolisis sehingga terjadi anemia hemolitik.1

Tabel 3. Riwayat Penyakit Jenis-jenis Anemia1


B. Pemeriksaan Fisik
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik pada Anemia1
Pada anemia hemolitik, kulit akan terlihat pucat, konjungtiva anemis disertai jaundice,
sklera ikterik. Bisa terdapat splenomegali atau normal. Bisa terdapat takikardi, khususnya bila
onset anemia nya baru-baru ini. Bila terdapat hepatosplenomegali dan limfadenopati patut
dicurigai apakah ada keganasan. AIHA tipe cold bisa terdapat acrocyanosis seperti yang terlihat
pada sindrom Raynaud.7
C. Pemeriksaan Penunjang
Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit,
MCV menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan
makrositik. Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai evaluasi
awal. Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs, jumlah
leukosit, dan trombosit. Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi dapat menunjukkan etiologi
anemia. Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan dengan penyebab anemia; pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan terakhir seandainya penyebab anemia masih belum diketahui.3,4
Tabel 5. Pemeriksaan Laboratorium untuk AIHA

Gambar 2. Sediaan Apus Darah Tepi AIHA (Sferosit dan Eritrofagositosis)


Gambar 3. Coombs Test1

Gambar 4. Pendekatan Diagnosis berdasarkan MCV dan Jumlah Retikulosit3


2.7 Tatalaksana
Sekitar 70-80% anak dengan AIHA datang dengan gejala bersifat akut dan anemia
ringan, serta biasanya remisi spontan dengan resolusi dalam 6 bulan sehingga intervensi
mungkin minimal atau tidak perlu. Transfusi mungkin diperlukan pada AIHA berat. Mayoritas
anak-anak dengan AIHA sebelumnya sehat, tidak mungkin terekspos kondisi seperti hamil atau
transfusi yang dapat menyebabkan pembentukan aloantibodi. Karena mayoritas antibodi AIHA
menyerang antigen eritrosit yang umum yaitu epitope Rh, mencari unit darah yang cocok
sempurna tidak mungkin dilakukan. Maka dari itu, transfusi eritrosit lambat boleh dilakukan,
sambil dipantau reaksi transfusi. Setelah ditransfusi, eritrosit yang baru kemungkinan juga dapat
diserang oleh antibodi juga, namun transfusi tetap dilakukan dahulu untuk meredakan gejala
sambil dilakukan terapi lain. Beberapa klinisi menganjurkan diberi unit darah yang “least
incompatible” yaitu yang ketidakcocokannya paling minimal namun guideline transfusi paling
baru mendukung dilakukannya transfusi darah tidak peduli hasil crossmatch ketika sudah
diketahui aloantibodinya. Kadar Hb kurang dari 4 butuh transfusi, begitu juga dengan anak
dengan gejala klinis yang signifikan, terutama yang dengan retikulositopenia. Untuk AIHA tipe
cold, penghangat darah dibutuhkan untuk mempertahankan suhu 37ºC.8,9
Terapi lini pertama adalah kortikosteroid, biasa prednisone 1,0-1,5 mg/kgBB/hari selama
1-3 minggu hingga kadar Hb > 10 g/dl. Respon terutama saat minggu kedua, dan apabila tidak
ada respon atau respon minimal pada minggu ketiga, terapi steroid dianggap tidak efektif.
Setelah Hb stabil, prednisone di tapper off 10-15 mg/minggu, kemudian 5 mg per 1-2 minggu
hingga dosis mencapai 15 mg, kemudian 2,5 mg/2 minggu dengan tujuan menghentikan obat
secara total. Meskipun ada keinginan untuk tapper off steroid lebih cepat lagi, pasien AIHA
harus diobat minimal 3-4 bulan dengan prednisone low dose (≤ 10 mg/hari). Malah pasien yang
diterapi steroid low dose selama lebih dari 6 bulan, insidens relapsnya lebih rendah dan durasi
remisi lebih lama daripada yang dalam 6 bulan sudah stop steroid. Selain itu pasien yang diterapi
steroid harus ditambahkan suplemen bifosfonat, vitamin D, kalsium dan asam folat.8
Pasien AIHA dengan hemolisis cepat dan anemia sangat berat atau kasus kompleks
seperti sindrom Evans, mungkin butuh Metilprednisolon IV 100-200 mg/hari 10-14 hari atau
250-1000 mg/hari 1-3 hari, meskipun terapi steroid dosis tinggi ini hanyalah dari laporan kasus.
Terapi steroid diharapkan menghasilkan respon pada 75-80% pasien namun hanya 1 dari 3 kasus
tetap dalam remisi begitu steroid dihentikan, 50% butuh dosis maintenance, 20-30% butuh terapi
lini kedua tambahan. Pasien yang tidak respon terhadap steroid wajib dievaluasi apakah ada
penyakit yang mendasari seperti keganasan atau autoantibody IgM yang refrakter terhadap
steroid.8
Terapi lini kedua pilihan untuk AIHA tipe warm adalah splenektomi (karena
penghancuran eritrosit utamanya adalah di lien). Indikasinya adalah:8,9
- Tidak respon terhadap steroid
- Butuh steroid prednisone dosis maintenance lebih dari 10 mg/hari
- Yang sering relaps
Namun kegunaannya dan durasi remisi post splenektomi belum diketahui datanya. Faktor
yang mendukung splenektomi adalah kegunaannya yang cepat terlihat, respon awal baik: remisi
parsial atau komplit pada 2 dari 3 pasien (38-82% tergantung primer atau sekunder, yang
sekunder lebih tidak responsif). Selain itu, sebagian dari pasien yang sudah splenektomi tetap
dalam remisi beberapa tahun tanpa obat, dengan tingkat kesembuhan diasumsikan sekitar 20%.
Bila post splenektomi masih perdarahan, steroid tetap diberikan, namun dosisnya lebih rendah
daripada pre-splenektomi. Bila harus dilakukan splenektomi, harus dipertimbangkan risiko
operasi, yang paling ditakutkan terjadi adalah sepsis, walau sudah diberi vaksinasi
(pneumokokus, meningokokus dan hemofilus) dan antibiotik profilaksis, dan juga perlu
dipertimbangkan risiko tromboemboli. Pada sebuah penelitian yang terdapat 256 pasien AIHA
anak (99 nya dengan sindrom Evans), splenektomi dilakukan pada 13,9% dari total kasus. Perlu
diingat meskipun insidens infeksi pada anak dan dewasa dilaporkan mirip, tingkat mortalitas
anak lebih tinggi daripada dewasa (1,7% vs 1,3%).8
Tabel 6. Tatalaksana AIHA
Rituximab (antibodi monoclonal terhadap antigen CD20 sel B) dosis 375mg/m2 per
minggu selama 4 minggu terbukti efektif terhadap tipe warm baik yang primer maupun sekunder,
termasuk yang berhubungan dengan gangguan autoimun dan limfoproliferatif dan transplan
sumsum tulang. Dapat diberikan monoterapi atau dikombinasikan dengan steroid,
imunosupresan dan interferon-α. Jangka waktu hingga respon terhadap terapi timbul bervariasi,
dari penelitian didapatkan sebanyak 87,5% respon post terapi rituximab muncul setelah 1 bulan
dan 3 bulan pada 12,5% pasien. Terapi ini bermanfaat untuk anak dan pada sindrom Evans
(responnya sebesar 83%). Bahkan pada kasus-kasus terbaru, terdapat respon terhadap terapi
rituximab pada 94% pasien. Rituximab cukup aman, untuk menghindari terinfeksi hepatitis B
karena rituximab dan steroid berkepanjangan dapat menyebabkan reaktivasi hep B, diberi
antiviral profilaksis. Untuk meminimalisir efek samping dan pengeluaran, rituximab low-dose
(100mg fixed dose/minggu selama 4 minggu) terbukti efektif pada AIHA yang tidak respon
terhadap terapi konvensional, diberikan sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan
alemtuzumab. Lebih dari itu, rituximab low-dose sebagai terapi lini pertama atau kedua dapat
menimbulkan respon rate 89% (respon komplit 67%), 68% pasien bebas dari relaps selama 36
bulan, sehingga patut dipertimbangkan pemberian rituximab pada awal terapi. Kemudian trial
random fase III menunjukan 70% pasien diterapi glukokortikoid dan rituximab masih remisi
pada waktu 36 bulan post terapi, dibandingkan monoterapi dengan steroid, hanya 45% yang
masih remisi pada waktu 36 bulan post terapi.8
Intravenous Immunoglobulin (IVIG) sering dipakai pada kasus AIHA, monoterapi atau
kombinasi dengan prednisone, kebanyakan dipakai pada kasus anak, mungkin karena efektifnya
sudah terbukti pada kasus ITP, lebih respon terhadap terapi ini (54% kasus anak terdapat respon)
dan insidens efek samping lebih rendah dibanding terapi lain. Namun penggunaannya masih
kontroversial karena hanya sedikit kasus yang sudah dilaporkan. Di guideline baru, IVIG dosis
tinggi untuk AIHA tidak direkomendasikan, kecuali mengancam nyawa.8
Plasma exchange pernah dilakukan pada sedikit kasus AIHA tipe warm yang sangat
berat, pada anak dan dewasa yang anemia tidak dapat distabilkan dengan steroid dan transfusi
saja. Hasilnya tidak konsisten dan hasil yang baik hanya bertahan sebentar. Menurut American
Association of Blood Banks (AABB) dan American Society for Apharesis, plasma exchange untuk
AIHA dianggap indikasi kategori III.8
Terapi suportif dengan transfusi darah, keputusan untuk transfusi darah sebaiknya tidak
tergantung hanya dari kadar Hb, namun juga melihat klinis pasien dan komorbiditas, derajat
penyakit, kecepatan progress anemia, dan adanya hemoglobinuria/hemoglobinemia/manifestasi
hemolisis berat lain. Transfusi harus dilakukan pada kondisi kritis, bahkan pada kasus dimana
tidak ada unit darah yang benar-benar cocok karena autoantibody warm biasanya panreaktif.
Untuk meminimalisir febris akibat antibodi anti-leukosit, PRC yang leuko-depleted dipakai
untuk AIHA. Jumlah pemberian harus hati-hati supaya tidak mengganggu hemodinamik, diberi
perlahan, tidak lebih dari 1 ml/kg/jam.8
Edukasi
 Beritahukan anak bahwa kedepannya akan banyak kunjungan ke dokter, pengambilan
darah dan harus minum obat.
 Beritahukan bahwa kedepannya aktivitas dan rutinitas anak akan terganggu.Anak harus
istirahat bila lelah, boleh tetap sekolah seperti biasa tetapi bila harus pulang lebih awal
karena tidak mampu mengikuti aktivitas sepanjang hari, sebaiknya tugas sekolah dibawa
pulang.
 Diet makanan seimbang, banyak minum air putih dan istirahat banyak. Makan makanan
dari keempat golongan makanan dalam beberapa porsi kecil per hari. Konsumsi
suplemen, vitamin atau obat herbal sebaiknya ditanyakan ke klinisi yang bertanggung
jawab karena beberapa dapat mengganggu terapi.10
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : HJW
Umur : 6 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Payakumbuh
Agama : Islam
Nomor MR : 50.40.78

ANAMNESIS (Alloanamnesis dari ibu kandung)


Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 6 tahun 1 bulan sejak tanggal 26
November 2018 di Ruang Rawat Inap Organ, RSUD Dr. Achmad Mochtar dengan:

Keluhan Utama:

Tampak pucat yang semakin meningkat sejak 3 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:


 Tampak pucat yang semakin meningkat sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pucat telah
tampak sejak 1 minggu yang lalu.
 Mudah lelah dan lemah sejak 1 hari yang lalu
 Porsi makan berkurang, makan 3x per hari, setangah piring nasi dengan lauk ikan atau
ayam 4x per minggu.
 Penurunan berat badan tidak ada, muntah- muntah tidak ada
 Riwayat perdarahan atau trauma akut tidak ada
 Sesak nafas tidak ada
 Demam tidak ada, riwayat demam menggigil tidak ada
 Perdarahan hidung, gusi, kulit dan saluran cerna tidak ada.
 Kebiasaan sering bermain tanpa alas kaki tidak ada.
 Buang air kecil warna dan jumlah biasa.
 Buang air besar warna dan konsistensi biasa. Bab berdarah atau hitam tidak ada.
 Pasien telah mengalami pucat berulang disertai kuning sejak umur 9 bulan, dan telah
dilakukan transfusi darah sebanyak ± 20 kali. Satu tahun yang lalu telah dilakukan
pemeriksaan coomb test pada pasien, dan didapatkan hasil positif.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat keganasan tidak ada
 Riwayat perdarahan atau trauma tidak ada tidak ada
 Riwayat penyakit ginjal tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan pucat berulang
 Tidak ada keluarga menderita penyakit kelainan darah

Riwayat Kehamilan Ibu:


 Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat
 Kontrol ke bidan secara teratur
 Tidak ada riwayat minum obat-obatan atau mendapat penyinaran
 Hamil cukup bulan

Riwayat Persalinan:
 Anak keenam dari enam bersaudara, lahir sectio cessarea di rumah sakit ditolong oleh
dokter, cukup bulan, berat lahir 3200 gram, panjang badan 50 cm, a/s langsung
menangis.

Riwayat Nutrisi:
 Diberi ASI usia 0 - 6 bulan
 Diberi susu formula 0 - 12 bulan
 Nasi tim usia 9 bulan, frekuensi 3x sehari dicampur ikan, daging, telur, sayur secara
bergantian.
 Makanan keluarga sejak usia 2 tahun, frekuensi 3x sehari dicampur ikan, daging,
telur, sayur secara bergantian.
 Kesan makanan dan minuman : kualitas dan kuantitas cukup.

Riwayat Imunisasi:
 BCG : umur 2 bulan, parut (+)
 DPT : umur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
 Polio : umur 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
 Hepatitis B : umur 0 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
 Hib : umur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
 Campak : umur 9 bulan

Kesan : Riwayat imunisasi dasar lengkap.

Riwayat Higiene dan Sanitasi Lingkungan:


 Rumah permanen
 Ventilasi baik
 Jamban di dalam rumah
 Pekarangan cukup luas
 Sumber air dari PDAM
 Sampah dibuang ke tempat penampungan sampah
Kesan : Higiene dan sanitasi lingkungan baik.

Riwayat Tumbuh Kembang:


 Pertumbuhan gigi pertama: usia 7 bulan
 Perkembangan psikomotor:
o Tengkurap : 3,5 bulan
o Duduk : 6 bulan
o Berdiri : 10 bulan
o Berjalan : 11 bulan

Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal.


PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis cooperatif
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Napas : 22 x/menit
Suhu : 36,4oC
Tinggi badan : 111 cm
Berat Badan : 23 kg
Edema : Tidak ada
Anemis : Ada
Ikterus : Ada
BB/U : 109 % (Baik)
PB/U : 95% (Normal)
BB/TB : 115% (Gizi lebih) dengan hepatosplenomegali

Pemeriksaan Khusus:
Kulit : Teraba hangat, tampak pucat dan kuning.
KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening coli, aksila, dan inguinal.
Kepala : Bentuk bulat simetris, rambut hitam dan tidak mudah rontok.
Mata : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, pupil isokor diameter 2mm/2mm, refleks
cahaya +/+ normal.
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Napas cuping hidung tidak ada, tidak tampak kelainan
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah.
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tidak hipermis, Faring tidak hiperemis
Leher : JVP 5-2 cmH2O

Thoraks:
Paru:
Inspeksi : Normochest, simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dekstra, batas jantung kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, batas atas jantung RIC 2.
Auskultasi : Irama reguler, bising (-), murmur (-)
Abdomen:
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Supel, hepar 1/4-1/4, pinggir tajam, permukaan rata, tidak ada nyeri tekan,
lien Schuffner 4, pinggir tajam, permukaan rata, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Alat kelamin : Tidak ada kelainan, status pubertas A1M1P1
Anus : Colok dubur tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, refilling kapiler baik (<2 detik), refleks fisiologis +/+ normal,
refleks patologis -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah :
Laboratorium (26 November 2018)
Hb : 7,7 g/dl
Leukosit : 5250 /mm3
Trombosit : 113.000 / mm3
Ht : 24%
Hitung jenis : 0/1/4/43/51/1
Kesan : Anemia, Trombositopenia

Laboratorium (27 Februari 2018)


Hb : 9,8 g/dl
Leukosit : 6.750 /mm3
Trombosit : 207.000 / mm3
Ht : 30%
Retikulosit : 2,2 %
Hitung jenis : 0/0/1/58/39/2
Sel Patologis : Eritrosit berinti 1/100 leukosit
Gambaran darah tepi :
Eritrosit : Anisositosis, normokrom, polikrom (+), ditemukan eritrosit berinti
1/100 leukosit.
Leukosit : Jumlah cukup, distribusi normal
Trombosit : Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : Anemia normositik normokrom

Diagnosis Kerja
AIHA
Diagnosa Banding
Thalasemia

Tatalaksana
- Transfusi WE 2 x 200 cc
- Deferasirox 1 x 500 mg
- Asam folat 2 x 1 tablet
- B comp 1 x 1 tablet
- Lasix 20 mg pertengahan transfusi

Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit
26 November S/ Anak masih tampak pucat dan kuning, demam tidak ada, kejang tidak
2018 ada, sesak napas tidak ada, muntah tidak ada, BAB hitam atau berdarah
Pkl. 15.00 tidak ada.
O/ KU: sakit sedang, kesadaran: CMC, TD 110/70 mmHg, nadi: 110
x/menit, napas: 22 x/menit, suhu: 36,4oC, BB: 23 kg
Mata: konjungtiva anemis, sklera ikterik
Thoraks
Pulmo: Suara nafas vesikular, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
cor : Irama teratur, bising (-), murmur (-)
Abdomen: supel, hepar ¼- ¼ , lien S4, bising usus (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat, refilling kapiler <2 detik.

A/ AIHA

P/ - Transfusi WE 2 x 200 cc
- Deferasirox 1 x 500 mg
- Asam folat 2 x 1 tablet
- B comp 1 x 1 tablet
- Lasix 20 mg pertengahan transfusi

27 November S/ pucat dan kuning sudah berkurang, demam tidak ada, kejang tidak
2018 ada, sesak napas tidak ada, muntah tidak ada.
Pkl. 15.00 Pasien post transfusi WE 1 x 200 cc

O/ KU: sakit sedang, kesadaran: CMC, TD 110/70 mmHg, nadi: 104


x/menit, napas: 24 x/menit, suhu: 36,7oC, BB: 23 kg
Mata: konjungtiva anemis, sklera ikterik
Thoraks
Pulmo: Suara nafas vesikular, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
cor : Irama teratur, bising (-), murmur (-)
Abdomen: supel, hepar ¼- ¼ , lien S4, bising usus (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat, refilling kapiler <2 detik.

A/ AIHA

P/ - Transfusi WE 1 x 200 cc
- Deferasirox 1 x 500 mg
- Asam folat 2 x 1 tablet
- B comp 1 x 1 tablet
- Lasix 20 mg pertengahan transfusi
BAB IV

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 6 tahun 1 bulan sejak tanggal 25 November

2018 di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Achmat Muchtar Bukittinggi dengan keluhan utama

semakin pucat sejak 3 hari yang lalu. Pucat adalah adanya penurunan dari warna atau tone pada

kulit dan atau mukosa, yang mungkin disebabkan oleh penurunan aliran darah, anemia ataupun

mekanisme yang tidak diketahui. Banyak penyebab pucat pada anak, yaitu bisa karena (1)

defisiensi besi yang dikarenakan intak yang tidak cukup, perdarahan kronik, konsumpsi yang

berlebihan dari susu sapi, penyakit inflamasi usus, diverticulum meckel; (2) karena infeksi yang

sedang berlansung; (3) karena perdarahan seperti trauma atau perdarahan saluran cerna; (4)

karena peningkatan penghancuran sel darah merah karena kelainan pada struktur hemoglobin

ataupun defek pada enzim di eritrosit; (5) peningkatan penghancuran sel darah merah karena

reaksi autoimun.11.

Pendekatan yang dapat dilakukan pada pasien pucat yaitu membaginya berdasarkan

kondisi umum pasien seperti yang dapat dilihat dibagan dibawah ini.

Anemia terjadi karena penuranan Hb (atau hematocrit) lebih dari 2 standar deviasi

berdasarkan usia. Pada anak usia 5-7 tahun nilai rata-rata dari Hbnya dalah 13,0 dan nilai

terendahnya yaitu 11,5 (Nelson, 2018).12

Pasien tidak ada mengeluhkan adanya perdarahan spontan pada gusi, dan mimisan. Serta

tidak ada keluhan demam tinggi sehingga dapat menyingkirkan adanya kecurigaan penurunan

produksi dari sel darah pada sumsum tulang atau anemia aplasia.
Gambar 4. Pendekatan pada Pasien dengan Pucat

Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya pembesaran organ yaitu pembesaran

pada hepar ¼-¼ dan pembesaran lien sebear S4. Tidak ada pembesaran pada kelenjar getah

bening. Adanya hepatosplenomegali sering ditemukan karena proses hemolitik. Jika ditemukan

adanya hepatosplenomegali disertai dengan limfadenopati mengindikasikan adanya infiltrasi

penyakit ke sumsum tulang dan organ viseeral seperti pada leukemia.

Pada pemeriksaan fisik pada pasien tidak ditemukan adanya hipertensi sehingga dapat

menyingkirkan adanya penyakit ginjal kronik yang mungkin juga dapat menyebabkan anemia.

Tidak ada ditemukan nyeri pada pemeriksaan abdomen dan tidak adanya keluhan diare dapat

menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit inflamasi kronik pada saluran pencernaan.

Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 Februari 2018 dengan kesan anemia

normositik normokrom, dan ditemukan eritrosit berinti sebesar 1/100 leukosit dan retikulosit
sebesar 2,2%. Temuan labor anemia normositik normokrom dengan ditemukanya peningkatan

retikulosit dapat mengarahkan ke kemungkinan adanya defek enzim pada eritrosit, masalah auto

imun, hemoglobinopati atau kelainan pada membrane. Nilai retikulosit yang normal ditemukan

adalah sebesar 1%, sedangkan pada pasien ini ditemukan peningkatan kadar retikulosit. Pada

pasien ini dilakukan pemeriksaan Coomb Test dan dipatkan hasil positif.

Pasien didiagnosis banding dengan thalassemia. Pada pemeriksaan fisik kedua penyakit

ini dapat ditemukan adanya organomegali karena adanya proses hemolitik. Organomegali yang

dapat ditemukan adalah pembesaran lien dan hepar. Untuk mengkonfirmasi perbedaan dari

kedua penyakit ini dapat dengan pemeriksaan Coomb Test. Hasil positif pada pemeriksaan

Coomb Test dapat memastikan adanya proses auto imun yang terjadi.

Pada pasien di berikan terapi berupa WE 2 x 200 cc, deferasirox 1 x 500 mg, asam folat 2

x 1 tablet, B komplek 1 x 1 tablet dan lasik 20 mg di pertengahan transfusi. Transfusi darah

diberikan pada pasien ini sebagai suportif dikarenakan penurunan Hb pasien, dengan Hb 7,7

mg/dl. Pada literatur pasien dengan AIHA dapat ditatalaksana dengan pemberian kortikosteroid

yaitu prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 1-3 minggu hingga Hb > 10 gr/dl. Respon terutama

saat minggu kedua, dan apabila tidak ada respon atau respon minimal pada minggu ketiga, terapi

steroid dianggap tidak efektif. Setelah Hb stabil, prednisone di tapper off 10-15 mg/minggu,

kemudian 5 mg per 1-2 minggu hingga dosis mencapai 15 mg, kemudian 2,5 mg/2 minggu

dengan tujuan menghentikan obat secara total. Meskipun ada keinginan untuk tapper off steroid

lebih cepat lagi, pasien AIHA diobati minimal 3-4 bulan dengan prednisone low dose (≤ 10

mg/hari). Malah pasien yang diterapi steroid low dose selama lebih dari 6 bulan, insidens

relapsnya lebih rendah dan durasi remisi lebih lama daripada yang dalam 6 bulan sudah stop

steroid. Selain itu pasien yang diterapi steroid harus ditambahkan suplemen bifosfonat, vitamin
D, kalsium dan asam folat Untuk meminimalisirkan febris akibat antibody anti-leukosit,

diberkan PRC yang leuko-depleted. Jumlah pemberian juga harus diberikan hati-hati supaya

tidak mengganggu hemodinamik pasien sehingga diberi perlahan tidak lebih dari 1 ml/kg/jam.8

Pasien dipulangkan pada tanggal 27 November dengan tidak anemis, tidak ada

perdarahan, tidak ada demam, pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal serta extermitas

hangat, CRT < 2 detik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Panepinto JA, Punzalan RC, Scott JP. Hematology. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman
RM, penyunting. Nelson essentials of pediatrics. Edisi ketujuh. Philadelphia: Elsevier;
2015. h. 520-22.
2. Kett JC. Anemia in infancy. Pediatrics in Review 2012; 33: 186-7.
3. Irawan H. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. CDK 2013; 40: 422-25.
4. Lambert JF, Beris P. Pathophysiology and Differential Diagnosis of Anemia. Dalam:
Beaumont C, Beuzard Y, Brugnara C, dkk, penyunting. The handbook disorders of
erythropoiesis, erythrocytes, and iron metabolism. European: European School of
Haematology; 2009. h. 109-36.
5. Pasricha SR. Anemia: a comprehensive global estimate. Blood 2014; 123: 611-2.
6. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic anemia. American Family Physician
2004; 69: 2599-2606.
7. Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM, dkk. Textbook of Clinical Pediatrics. Edisi kedua.
New York: Springer; 2012.
8. Zanella A, Barcelini. Treatment of autoimmune hemolytic anemias. Haematologica 2014;
99: 1547-54.
9. Pediatric Clerkship. Autoimmune hemolitic anemia. The University of Chicago [serial
online] 2013 [cited 27 Nov 2018]. Didapat dari: URL:
https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/autoimmune-hemolytic-anemia.
10. IHTC. Autoimmune hemolytic anemia. Indiana Hemophilia & Trombosis Center, Inc
[serial online] 2018 [cited 27 Nov 2018]. Didapat dari: URL:
https://www.ihtc.org/autoimmune-hemolytic-anemia/.
11. Janus J, Moerschel SK. Evaluation of anemia in children. American Family Physician
2010; 81: 1462-71.
12. Brandow AM. Pallor and Anemia. Dalam: Kliegman RM, Lye PS, Basel D, dkk,
penyunting. Nelson pediatrics symptom-based diagnosis. Edisi pertama. Philadelphia:
Elsevier; 2018. h. 661-81.

Anda mungkin juga menyukai