Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

Anemia merupakan sebuah permasalahan kesehatan global yang mempengaruhi baik negara
berkembang maupun negara maju dengan konsekuensi terhadap kesehatan dan perkembangan
sosio-ekonomik.1 Anemia dapat ditemukan dalam setiap kelompok umur, namun mayoritas
ditemukan pada wanita hamil dan anak-anak.1 Efek klinis anemia bergantung pada durasi dan
tingkat keparahannya. Anemia yang timbul secara akut dapat menyebabkan kegagalan fungsi
kardiovaskular yang akan berlanjut pada hipoksemia dan hipovolemia yang apabila tidak
ditangani dapat menyebabkan kerusakan otak, kegagalan multiorgan (multiorgan failure), dan
kematian.2 Anemia yang terjadi secara perlahan (kronik) akan memberikan waktu bagi tubuh
untuk melakukan kompensasi sehingga memperlambat komplikasi yang mungkin terjadi,
namun anemia berkepanjangan dapat menyebabkan gagal tumbuh kembang pada anak (failure
to thrive).3

Anemia pada anak umumnya disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah atau
peningkatan hemolisis.4 Anemia hemolitik merupakan salah satu jenis anemia dengan etiologi
dan tingkat keparahan anemia yang bervariasi dari anemia yang asimtomatik sampai
mengancam nyawa. Beragamnya variasi etiologi dan tingkat keparahan anemia menuntut
dokter untuk dapat melakukan pendekatan diagnosis yang efektif dan efisien pada anemia
hemolitik supaya terapi yang sesuai dapat dilaksanakan.

Autoimmune hemolityc anemia (AIHA) adalah gangguan imunologis yang


menyebabkan antibodi yang diproduksi berikatan dengan eritrosit target.5 AIHA dapat
diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu AIHA tipe hangat, AIHA tipe dingin, paroxysmal cold
hemoglobinuria (PCH), dan tipe campuran. Pasien dengan AIHA tanpa adanya penyakit
penyerta dinamakan AIHA primer atau idiopatik, sedangkan AIHA pada pasien yang
berhubungan dengan penyakit autoimun, defisiensi imun, atau penyakit infeksi dinamakan
AIHA sekunder. AIHA tipe hangat merupakan 80% dari semua jenis AIHA.6

Insiden AIHA pada anak berkisar 1-3 per 100.000 per tahun. Pada remaja dan dewasa,
AIHA lebih sering terjadi pada perempuan. Insiden AIHA pada anak tertinggi pada usia 3,8
tahun, anak laki-laki lebih sering pada perempuan. Mayoritas kasus AIHA pada anak
merupakan onset akut dan sembuh sendiri, terutama terjadi dalam 6 bulan. Pada remaja dan
orang dewasa, AIHA lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Laki-laki
memiliki kemungkinan 2,5 kali lebih besar untuk terkena AIHA.7

1
Definisi

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) adalah anemia yang timbul karena terbentuknya
autoantibodi terhadap self antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan destruksi
eritrosit. Reaksi antibodi ini menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi
menjadi lebih pendek.7

Epidemiologi

Insiden AIHA pada anak berkisar 1-3 per 100.000 per tahun. Pada remaja dan dewasa, AIHA
lebih sering terjadi pada perempuan. Insiden AIHA pada anak tertinggi pada usia 3,8 tahun,
anak laki-laki lebih sering pada perempuan. Mayoritas kasus AIHA pada anak merupakan onset
akut dan sembuh sendiri, terutama terjadi dalam 6 bulan. Pada remaja dan orang dewasa, AIHA
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Laki-laki memiliki kemungkinan 2,5
kali lebih besar untuk terkena AIHA.7 Pada anak yang lebih kecil, kasus AIHA sekunder lebih
sering daripada bentuk idiopatik. Infeksi virus atau bakteri sering mendahului AIHA, dan
AIHA tersebut biasanya akut dan waktu perbaikannya cepat. Immunodefisiensi atau keganasan
(khususnya keganasan jaringan limforetikular), sistemik lupus erythematosus (SLE), dan jenis
penyakit vaskuler dan kolagen lainnya sering dikaitkan dengan kejadian anemia hemolitik pada
anak-anak. AIHA yang dicetuskan oleh obat biasanya berkaitan dengan antibodi IgG dan
berhubungan dengan pemberian obat seperti penicillin.8

Klasifikasi AIHA

Klasifikasi AIHA secara patofisiologis dibagi menjadi anemia hemolitik autoimun tipe hangat,
anemia autoimun tipe dingin, anemia tipe campuran.9

2
Patogenesis

Patogenesis AIHA sampai saat ini belum jelas, dan beberapa mekanisme yang mendasari
timbulnya autoantibodi. Mekanisme ini melibatkan autoantigen, kurangnya presentasi efektif
autoantigen, dan kelainan fungsional sel B dan T. Sebagian besar bukti menunjukkan dasar
penyakit adalah karena kerusakan dalam mekanisme toleransi diri terhadap antigen eritrosit.5

Target paling umum dari autoantibodi eritrosit adalah protein golongan darah Rh, tetapi
spesifisitas antigen golongan darah lainnya, termasuk antibodi yang diarahkan pada
glikophorins, dan protein anion eritrosit dapat juga menjadi target. Reaktivitas silang antara
antigen lingkungan dan autoantigen yang dikenal dengan antigen mimikri, telah diusulkan
sebagai mekanisme untuk menjelaskan autoantibodi tersebut. Antigen precenting cell (APC)
yang menyajikan antigen seperti sel dendritik dan makrofag menghasilkan antigen sendiri
untuk menginduksi toleransi sel-T. Autoantigen bekerja kurang efektif disebabkan oleh tidak
diprosesnya self epitope dan dipresentasikan oleh APC. Suatu predisposisi genetik untuk
AIHA juga telah diusulkan melibatkan human leucocyte antigen (HLA),gen yang
menyandikan protein APC.10,11

Sepertiga dari kasus AIHA, autoantibodi memiliki kekhususan untuk antigen dalam
sistem Rh. Sepertiga lagi, protein dalam glikoprotein (glikophorin) dari eritrosit menjadi target
antibodi. Dalam kasus lain, antibodi AIHA memiliki spesifisitas untuk antigen di Kell atau
Sistem golongan darah Duffy (sangat jarang untuk antigen ABO) atau untuk struktur dalam
membran yang bukan golongan darah antigen (misalnya band 3; titik jangkar dalam membran
untuk sitoskeleton sel darah merah). Dalam semua kasus ini, eritrosit pasien menampilkan
antigen yang relevan. AIHA primer menggambarkan autoantibodi spesifik hanya untuk protein
membran eritrosit. AIHA dapat terjadi pada pasien yang memiliki gangguan regulasi sitem
imun. Pada pasien dengan AIHA sekunder, penyakit ini mungkin terkait dengan gangguan
mendasar dalam sistem kekebalan tubuh.12

Mekanisme aktivasi komplemen dan produksi sitokin pada patofisiologi dari AIHA
masih diinvestigasi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa pasien dengan AIHA primer atau
sekunder dapat mengalami defisiensi ekspresi CD59 di eritrosit, yang akan mengaktivasi
komplemen. Pasien dengan AIHA juga menunjukkan peningkatan kadar IL-1a, IL-2,IL-4, IL-
2R, IL-6, IL-10, dan IL-3. Salah satu mekanisme yaitu adanya ketidakseimbangan produksi
IL-10 dan IL-12 yang mempengaruhi produksi autoantibodi.13

3
Destruksi eritrosit diperantarai IgM

Kerusakan eritrosit yang disensitasi oleh antibodi IgM diperantarai oleh sistem komplemen.
Komplemen memperantarai kerusakan eritrosit secara langsung dengan sitolisis dan tidak
langsung dengan interaksi dari ikatan eritrosit dan degradasi fragmen C3 dengan reseptor
spesifik pada sitem retikuloendotelial, seperti makrofag di hepar( sel kuffer).13 Struktur
pentametrik dari IgM memungkinkan aktivasi komplemen secara efisien. Kadar antibodi IgM
yang tinggi dapat menyebabkan hemolisis intravaskular langsung melalui sitolisis oleh
komplemen pada permukaan eritrosit. Jumlah antibodi yang cukup dapat menyebabkan
hambatan pada aktivitas inhibitor komplemen pada permukaan eritrosit sehingga terjadi
hemolisis.13

Destruksi eritrosit diperantarai IgG

Antibodi IgG merupakan inisiator yang kurang efektif pada jalur komplemen klasik. Sitolisis
yang diperantarai oleh komplemen pada permukaan eritrosit merupakan hal tidak biasa.
Pembersihan antibodi IgG eritrosit dilakukan oleh limpa. Terdapat dua proses yang terjadi,
pertama ikatan pada reseptor Fc yang diekspresikan oleh makrofag pada limpa dapat
memediasi fagositosis langsung. Kedua, fagositosis parsial, dimana fagosit menghancurkan
sebagian membran sel sehingga berkurangnya rasio permukaan membran dibandingkan
volume. Proses ini dapat menyebabkan terjadinya produksi sferosit, yang merupakan bentuk
klasik dari AIHA.13

Hepar membersihkan IgG yang berikatan dengan eritrosit tidak seefektif limpa,
walaupun hepar memegang peranan dalam penghancuran eritrosit. Komplemen menyebabkan
pembersihan eritrosit lebih cepat terjadi karena tingginya densitas IgG. Fagositosis IgG yang
berikatan dengan eritrosit terjadi di limpa dan dimediasi oleh reseptor permukaan di molekul
IgG. Terdapat 3 grup dari klas reseptor FcƔ. FcƔRI memediasi aktivitas sitotoksik in vitro.
FcƔRII menghambat aktivasi sel mast dan limfosit B. FcƔRIII bertanggung jawab terhadap
fagositosis, endositosis, sitotoksisitas yang diperantarai antibodi dan memegang peranan dalam
proses hemolisis.13

4
Patogenesis anemia hemolitik autoimun tipe hangat

Autoantibodi IgG anti eritrosit menyebabkan kehancuran eritrosit yang terjadi diluar sirkulasi
disebut hemolisis ekstravaskuler. Apabila komponen hemolisis masuk ke dalam sirkulsi,
penghancuran eritrosit terjadi di dalam sirkulasi yang dikenal dengan hemolisis intravaskluar.
IgG terlibat dalam aktivitas autoantibodi AIHA tipe hangat, yang mengalami reaktivitas
maksimal dengan eritrosit pada suhu 37oC.12 IgG antibodi yang berperan pada AIHA tipe
hangat merupakan antibodi IgG poliklonal, yang mempunyai 4 tipe yaitu IgG1,IG2,Ig3,Ig4.
IgG antibodi merupakan aktivator yang kurang berperan dalam jalur klasik komplemen,
khususnya antibodi IgG1,IgG3 yang dapat dikenali dengan mudah oleh reseptor Fc pada
berbagai sel fagositik.13 IgG antibodi yang sensitif dengan eritrosit umumnya dieliminasi oleh
sistem fagosit retikuloendotelial. Faktor komplemen C3 (C3b dan iC3b) memicu hemolisis
ekstravaskuler oleh sistem retikuloendotelial pada pasien yang memiliki reseptor komplemen
tersebut. Autoantibodi yang terkait eritrosit terperangkap di dalam limpa dan pada tingkat yang
lebih rendah pada sel kupfer di hepar. Proses ini mengarah ke pembentukan eritosit dan
fragmentasi eritrosit yang mengandung antibodi. Sferositosis merupakan ciri khas yang
konsisten dari diagnosis AIHA, dan derajat sferositosis berkorelasi dengan dengan tingkat
keparahan hemolisis. AIHA yang langsung diperantarai komplemen dalam proses hemolisis
dan terjadi hemoglobinuria tidak biasa terjadi pada tipe hangat. Aktivitas sitotoksik makrofag
dan limfosit juga dapat memainkan peran dalam penghancuran eritosit pada AIHA tipe
hangat.12

5
Anemia pada AIHA tidak hanya tergantung pada tingkat kerusakan eritrosit tetapi juga
pada kemampuan sumsum tulang untuk meningkatkan produksi eritrosit. Dengan memadai
pasokan nutrisi dan faktor pertumbuhan yang memadai, sumsum tulang bisa mengatasi tingkat
hemolitik sekitar tiga kali normal; anemia tidak muncul sampai setengah eritrosit rusak. Waktu
paruh 5 atau 6 hari tidak biasa terjadi pada anemia hemolitik autoimun. Sumsum tulang dapat
mengkompensasi kecepatan kerusakan eritrosit dengan meningkatkan jumlah prekursor
eritrosit 10 kali dari jumlah normal (hiperplasia erythroid), mempercepat pelepasan retikulosit,
dan dalam beberapa kasus, memungkinkan sel-sel merah berinti untuk memasuki sirkulasi.12

Patogenesis anemia hemolitik autoimun tipe dingin

Antibodi AIHA tipe dingin menunjukkan peningkatan aktivitas titer dan aktivitas ikatan
eritrosit ketika suhu menurun menuju 0 ° C dan terjadi dalam dua bentuk: (1) Penyakit
agglutinin dingin (CAD) - terkait dengan antibodi IgM biasanya berkaitan dengan antigen
eritrosit, biasanya terjadi pada pasien dewasa dan bisa merupakan penyakit primer atau
berhubungan dengan penyakit lain, dan (2) Paraxysmal cold hemoglobunuria (PCH) –
disebabkan oleh antibodi Donath-Landsteiner, IgG hemolisin.12

Kandungan aglutinin AIHA tipe dingin terutama yaitu antibodi IgM. Sebagian besar
agglutinin dingin tidak mampu mengaglutinasi eritrosit pada suhu lebih 30oC. Suhu tertinggi
di mana antibodi ini dapat menyebabkan aglutinasi disebut amplitudo termal. Umumnya,
pasien dengan aglutinin dingin dan amplitudo termal yang lebih tinggi memiliki risiko lebih
besar untuk menjadi penyakit aglutinin dingin, contohnya anemia hemolitik aktif diamati pada
pasien dengan aglutinin dingin dari titer sederhana (mis. 1: 256) dan amplitudo termal yang
tinggi. Lebih dari 90 persen antibodi aktif pada AIHA dingin memiliki antigen I sebagai target
mereka yang terdapat pada eritrosit. Eritrosit pada neonatal mengekspresikan sejumlah besar
antigen i, mengonversinya antigen i pada usia 18 bulan.12

Patogenisitas dari aglutinin dingin tergantung pada kemampuannya untuk mengikat


eritrosit dan untuk mengaktifkan komplemen. IgM yang tersensitasi oleh eritrosit umumnya
terkait dengan kombinasi hemolisis intravaskular dan ekstravaskular. Struktur pentamerik IgM
memungkinkan aktivasi pelengkap yang efisien. Penghancuran eritrosit yang berikatan dengan
antibodi IgM dimediasi oleh sistem komplemen. Komplemen memediasi penghancuran
eritrosit baik secara langsung oleh sitolisis atau secara tidak langsung melalui aktivasi dan
degradasi eritrosit-terikat fragmen C3 dengan reseptor spesifik pada sel retikuloendotel,
terutama makrofag hati (sel Kupfer). Karena adanya regulasi protein eritrosit seperti decay

6
accelerating factor (DAF, CD55) dan membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL, CD59),
aktivasi komplemen biasanya diperlukan untuk menghasilkan hemolisis intravaskular yang
terbukti secara klinis. Namun, di kebanyakan situasi klinis, antibodi IgM anti-eritrosit terdapat
dalam jumlah sublisis. Di bawah kondisi ini, DAF (CD55) dan MIRL (CD59) mampu
mencegah langsung lisis eritrosit. Lebih umum, IgM mensentisasi eritrosit dan mengalami
hemolisis ekstravaskuler. Sementara itu sel RE tidak punya reseptor untuk fragmen Fc antibodi
IgM, sehingga hemolysis ekstravaskuler terjadi di hepar bukan limpa.

Aglutinin dingin dapat mengikat eritrosit di pembuluh darah superfisial di ekstremitas,


di mana suhu umumnya berkisar antara 28 dan 31 ° C, tergantung pada temperatur ambient.14
Aglutinin dingin dari amplitudo termal tinggi dapat menyebabkan agregasi eritrosit pada suhu
tersebut, dan menghambat aliran eritrosit dan menghasilkan akrosianosis. Aglutinin dingin
yang berikatan dengan eritrosit dapat mengaktifkan koplemen melalui jalur klasik. Setelah
komplemen diaktifkan, protein komplemen dihantarkan ke permukaan eritrosit, dan aglutinin
dingin tidak perlu berikatan dengan eritrosit untuk terjadinya hemolisis . Sebaliknya, aglutinin
dingin dapat berdisosiasi dari eritrosit pada suhu inti tubuh yang lebih tinggi dan mampu
mengikat eritrosit lainnya pada suhu yang lebih rendah di pembuluh superfisial. Akibatnya,
pasien dengan aglutinin dingin yang memiliki amplitudo termal tinggi cenderung menuju
proses hemolitik berkelanjutan dan akrosianosis. Sebaliknya, pasien dengan antibodi
amplitudo termal yang lebih rendah membutuhkan pendinginan yang signifikan untuk memulai
proses hemolisis yang diperantarai komplemen.14

Berbeda dengan aglutinin dingin, hemolysin dingin yang diberi nama antibodi Donath
dan Landsteiner (D-L), adalah antibodi IgG poliklonal. Antibodi ini pertama kali ditemukan
oleh Donath dan Landsteiner pada tahun 1903 pada pasien dengan sindrom paroxymal cold
hemoglobinuria (PCH) . Antibodi Donath dan Landsteiner (D-L) adalah hemolysin yang
mengikat eritrosit pada suhu rendah. Eritrosit dihancurkan oleh komplemen ketika eritrosit
dihangatkan. Antibodi IgG D-L adalah hemolysin yang kuat, menyebabkan kerusakan eritrosit
yang signifikan bahkan dalam titer rendah. Antibodi D-L dijelaskan secara klasik sebagai
hemolysin "biphasic". Antibodi ini membutuhkan suhu dingin (0–4oC) untuk berikatan dengan
eritosit, tetapi lisis oleh komplemen tidak berlanjut sampai suhu menjadi (37oC). Antibodi
pada PCH diarahkan melawan antigen P, ditemukan pada eritrosit kebanyakan individu.
Antigen P mirip dengan glikolipid Forssman yang terdapat pada banyak mikro-organisme.15

7
Antibodi D-L terjadi pada tiga sindrom klinis: (A) PCH kronis terkait dengan tahap
akhir atau sifilis kongenital, (b) PCH transien akut terjadi setelah infeksi, dan (c) PCH idiopatik
kronis. Meningkatnya proporsi autoantibodi Donath-Landsteiner yang memediasi anemia
hemolitik terjadi sebagai satu episode postviral pada anak-anak, tanpa serangan berulang
(paroxysms). Prognosis untuk kasus-kasus seperti itu sangat baik.

MANIFESTASI KLINIS

AIHA muncul dalam dua bentuk klinis. Pertama, tipe akut yang berlangsung selama 3-6 bulan
dan biasanya muncul pada anak-anak usia 2-12 tahun (70-80%). Gejala klinis ini sering
didahului oleh infeksi, biasanya infeksi saluran nafas. Gejala klinis yang bisa ditemui seperti
malaise, pucat, ikterik, demam dan hemoglobuminuria dan apabila berlanjut dapat menjadi
lelah, fatigue, sesak nafas saat beraktivitas dan bertambah pucat.16

Bentuk klinis yang lain yaitu tipe kronis yang biasanya muncul pada bayi dan anak pada
usia lebih dari 12 tahun. Hemolisis dapat berlanjut selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Abnormalitas juga terjadi pada elemen darah yang lain. Anemia hemolitik kronik ringan
dengan eksaserbasi pada musim dingin merupakan gejala dari penyakit aglutinin dingin.
Hemoglobin jarang ditemukan di bawah 7 g/dl. Pucat dan kuning dapat terjadi apabila laju dari
hemolisis lebih besar dari kemampuan endogen untuk memetabolisme bilirubin. Beberapa
pasien memiliki riwayat hemolisis yang hilang timbul terkait dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria pada paparan dingin dan mungkin terpaksa pindah ke iklim lebih hangat untuk
mencegah serangan. Acrosianosis dapat terjadi karena aglutinasi eritrosit di pembuluh darah
perifer yang terdapat di tangan, telinga, hidung, dan kaki. Jari bisa menjadi dingin, kaku, sakit,
atau mati rasa dan bisa berubah keunguan. Pada tungkai dapat terjadi ruam retikuler yang
reversibel setelah pemanasan daerah yang terkena. Jarang dari jari yang mengalami sianosis
berkembang menjadi ganggren. Jika hemolisis terjadi setelah infeksi Mycoplasma, biasanya
dimulai ketika pasien sudah sembuh dari pneumonia dan titer untuk autoantibodi dingin berada
pada puncaknya. Anemia hemolitik pada infeksi mononucleosis terjadi dalam 3 minggu
pertama penyakit.16

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan hemolisis. Gejala akan
lebih ringan pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme
homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya darah membawa oksigen. Gejala
anemia disebabkan oleh 2 faktor yaitu berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya
hipovolemia. Pasokan oksigen dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme

8
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb
mencapai 5 gr/dl. Gejala timbul apabila kadar Hb turun dibawah 5 gr/dl.16

Anak-anak dengan AIHA sering kali tidak memiliki riwayat medis, maka diperlukan
anamnesis yang cermat untuk menentukan apakah pasien pernah mengalami gejala seperti ini
atau menderita infeksi virus baru-baru ini. Riwayat infeksi, paparan obat-obatan atau vaksinasi,
atau tanda-tanda penyakit autoimun dapat mengarahkan kepada AIHA sekunder. Anamnesis
harus mencakup kemungkinan penyakit autoimun, defisiensi imun primer, gangguan inflamasi
dan penyakit keganasa.Riwayat keluarga sering tidak menunjukkan hubungan, tetapi kasus-
kasus AIHA pada keluarga lain telah dilaporkan dan kemungkinan merupakan predisposisi
untuk gangguan autoimun seperti sistemik lupus erythematosus (SLE).17

Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien AIHA bisa normal dengan anemia
ringan, tetapi anak-anak dengan anemia tingkat sedang hingga berat biasanya terlihat pucat dan
ikterik. Ikterik, yang mungkin menjadi gejala yang sangat menonjol ketika proses hemolisis
berlangsung, disebabkan oleh keluarnya bilirubin dari lisis eritrosit. Namun, harus ditekankan
bahwa eritrosit yang dihancurkan oleh komplemen dibersihkan di ekstravaskuler dan eritrosit
sulit untuk dihancurkan setelah terjadi aktivasi komplemen. Pemeriksaan jantung pada anak-
anak AIHA dapat ditemukan takikardia, tergantung derajat anemia, dapat ditemukan bising
sitolik karena anemia yang berat, dan dapat juga ditemukan gallop yang merupakan tanda dari
gagal jantung kongestif. Spenomegali ringan sampai sedang dapat ditemukan pada pasien
anemia hemolitik berat.16

Hasil hemolisis intravaskular pada hemoglobinemia ketika hemoglobin dilepaskan ke


dalam darah dan segera terikat oleh haptoglobin untuk pembersihan di hati. Laju hemolisis
dapat melebihi produksi haptoglobin, dan tambahan hemoglobin bersirkulasi bebas,
menyebabkan hemoglobinemia. Hemoglobin bebas biasanya hilang di ginjal dan diserap
kembali dalam bentuk besi. Namun, jika hemolisis melebihi kapasitas reabsorptif dari tubulus
ginjal, hemoglobinuria terjadi dan hemosiderin urin terdeteksi. Pasien dengan hemolisis
intravaskular dapat mengalami nyeri perut akut, nyeri ketok costovetebra angel, dan demam.
Hemolisis ekstravaskular terjadi karena ikatan antibodi dengan eritrosit dan dibersihkan oleh
makrofag hepar dan lien. Pasien dengan gejala klinis yang sering ditemukan seperti
splenomegali, hiperbilirubinemia, sedangkan hemoglobinemia dan hemoglobinuria jarang
ditemukan.16

9
Pada anak-anak usia <5 tahun, PCH menyumbang hampir 40 persen pasien. Infeksi
saluran pernapasan atas pada anak-anak biasanya berkaitan dengan PCH. Campak, vaksinasi
campak, gondong, Mycoplasma pneumoniae, influenza A, adenovirus, varicella,
cytomegalovirus, Haemophilus influenzae, dan mononukleosis menular telah diidentifikasi
sebagai penyakit yang mendahulu PCH. Gejala awal penyakit ini diawali dengan demam yang
tinggi (bahkan hingga 40oC), nyeri pada punggung dan kaki, Awitan penyakit ini tiba-tiba
dengan demam (bahkan hingga 40oC), nyeri punggung atau kaki, dan hemoglobinuria setelah
terpapar cuaca dingin dingin bahkan beberapa menit. Gejala timbul segera atau beberapa jam
kemudian. Kram perut, sakit kepala, mual, muntah, dan diare juga bisa terjadi. Urin warna
merah kehitaman saat berkemih dan biasanya hilang dalam beberapa jam, dan jarang berlanjut
dalam beberapa hari. Limpa dapat teraba selama onset penyakit dan ikterik ringan dapat terjadi.
Gejala sistemik dapat muncul tanpa hemoglobinuria dan sebaliknya.16

Pemeriksaan laboratorium rutin

Pasien dengan AIHA menunjukkan gejala anemia yang berkisar dari ringan hingga mengancam
jiwa. Anak-anak dengan AIHA primer sering muncul dengan anemia yang nyata, dengan
konsentrasi hemoglobin 4 hingga 7 gl / dL dan tidak ada gejala kardiovaskular yang jelas.
Kebanyakan pasien memiliki jumlah trombosit normal, leukositosis ringan, neutrophilia, tetapi
kadang-kadang pasien mengalami leukopenia, neutropenia, atau thrombositopenia. Jika
thrombocytopenia yang signifikan, harus dipikirkan diagnosis sindrom Evans dan antibodi
antiplatelet harus dilakukan pemeriksaan pada pasien. Anemia hemolitik mikroangiopati
termasuk thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) atau hemolytic uremic syndrome (HuS)
juga harus dipertimbangkan dengan adanya trombositopenia. Jumlah retikulosit biasanya
meningkat untuk mengkompensasi anemia, tetapi lebih dari sepertiga pasien menunjukkan
gejala transien retikulositopenia meskipun memiliki fungsi sumsum tulang yang normal atau
hiperplastik. Pemeriksaan pungsi sumsum tulang dianjurkan pada pasien AIHA dan bisa
melihatkan hasil hiperplasia pada mayoritas pasien.7

Pemeriksaan hapusan darah perifer lengkap merupakan tanda diagnostik penting untuk
menegakkan diagnosis AIHA. Sferosit biasa terdapat pada AIHA tipe hangat yang dimediasi
IgG yang menunjukkan proses hemolitik imun tanpa adanya sferositosis kongenital. Sferosit
yang merupakan hasil dari kerusakan yang disebabkan limpa pada antibodi berikatan dengan
eritrosit dan paling sering terlihat pada AIHA tipe hangat yang dimediasi IgG. Sferosit jarang
terjadi pada AIHA tipe dingin, tetapi sferositosis yang dimediasi oleh komplemen juga bisa

10
terjadi akibat mikrofragmentasi permukaan eritrosit, dan dapat terlihat pada pemeriksaan hapus
darah tepi. Polikromasi biasanya berkorelasi dengan derajat retikulositosis. Kelainan morfologi
lainnya termasuk eritosit yang terfragmentasi dan berinti. Eritrofagositosis jarang ditemukan
pada hapusan darah tepi. Aglutinasi eritrosit sering terlihat pada AIHA tipe dingin yang
dimediasi IgM ketika ikatan yang mengikat antibodi mencapai suhu kamar.18

Pemeriksaan kimia klinik dapat menunjukkan hasil yang mungkin abnormal sebagai
akibat dari hemolisis eritrosit tetapi tidak penting untuk menegakkan diagnosis AIHA.
Peningkatan kadar dehidrogenase laktat dan aspartat aminotransferase mencerminkan
kerusakan eritrosit dan pelepasan enzim seluler. Sebaliknya, kadar serum enzim hati alanin
aminotransferase dan gamma glutamyl transferase seharusnya tidak meningkat pada pasien
dengan AIHA. Jumlah serum bilirubin total meningkat pada sebagian besar pasien dengan
AIHA dan terutama bilirubin tidak terkonjugasi sebagai akibat dari pemecahan eritrosit yang
cepat. Penurunan kadar haptoglobin merupakan indikasi hemolisis intravaskular cepat ketika
tingkat hemolisis melebihi produksi haptoglobin oleh hati. Namun, kadar haptoglobin akan
rendah pada bayi baru lahir yang tidak mensintesisnya dengan baik atau kadar yang tinggi pada
infeksi atau inflamasi sebagai reaktan fase akut. Urinalisis mungkin normal, tetapi ketika
terjadi hemoglobinuria, analisis dipstick urin menunjukkan adanya darah, meskipun
pemeriksaan mikroskopis menunjukkan jumlah eritrosit yang sedikit. Hemosiderin urin

11
terdeteksi pada pasien dengan hemoglobinuria sebagai akibat dari hemolisis intravaskular dan
dapat digunakan untuk membedakan hemoglobinuria dari hematuria dan bilirubinuria.18

Pemeriksaan serologi

Direct antiglobulin test (DAT) yang biasanya dinamakan tes coomb adalah pemeriksaan
sederhana tetapi penting untuk menegakkan diagnosis yang dicurigai dengan AIHA. DAT
mendeteksi imunoglobulin dan / atau komplemen pada permukaan eritrosit dan membantu
dalam klasifikasi hemolisis yang disebabkan oleh proses yang dimediasi imun atau non-imun.
Pemeriksaan DAT ini pertama kali dilaporkan pada awal 1900-an tetapi penggunaannya
menjadi tersebar luas setelah dideskripsikan pada tahun 1945 oleh Coombs dan rekannya.
Awalnya pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan antibodi dalam serum, tetapi
kemudian disesuaikan untuk menunjukkan aglutinasi in vivo eritrosit dengan komponen
antibodi atau komplemen.19

Autoantibodi IgM bersifat pentamerik dan dapat menjembatani dan aglutinasi eritrosit
yang berdekatan. Sebaliknya, Autoantibodi IgG lebih kecil dan tidak dapat menjembatani
eritrosit yang berdekatan karena tolakan permukaan sel, yang dikenal sebagai potensi zeta.
Antihuman Globulin (AHG; reagen Coombs) berikatan dengan autoantibodi IgG pada eritrosit,
menjembatani potensi zeta, dan menyebabkan aglutinasi.19

Prinsip utama DAT yaitu AHG mengagregasi sel-sel yang dilapisi antibodi, dibuktikan
oleh terjadinya penggumpalan eritrosit. Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) – anti
koagulan sampel darah mencegah fiksasi in vitro dari komplemen.20 DAT bekerja secara
optimal pada eritrosit yang baru dicuci; mencuci diperlukan untuk menghilangkan protein dan
komplemen yang ada di sekitar plasma dan bisa menetralisir reagen AHG, menyebabkan hasil
yang false-negatif. Biasanya AHG polispesifik yang mengandung anti IgG dan anti komplemen
digunakan pertama. Hasil DAT positif menggunakan AHG polispesifik mengarah ke pengujian
dengan IgG monospesifik dan komplemen. Reagen komersial anti-IgG mengenali bagian rantai

12
berat gamma IgG, dan reagen komplemen monospesifik biasanya mengandung anti-C3d, yang
menandakan berikatan dengan IgM. Pemeriksaan DAT biasanya dilakukan pada suhu kamar
(25°C) tetapi dapat dilakukan pada suhu di antara 0°C dan 37°C untuk menentukan reaktivitas
termal dari antibodi. DAT dapat dilakukan dengan metode tabung reaksi konvensional, teknik
microcolumn gel, atau metode fase padat.19

Hasil DAT menggambarkan pola aglutinasi dengan reagen AHG polispesifik dan, jika
positif, hasil pengujian berikutnya dengan reagen IgG spesifik dan C3. DAT positif apabila
aglutinasi terjadi segera setelah sentrifugasi atau setelah sentrifugasi dan di inkubasi pada suhu
kamar. Antibodi yang berikatan dengan eritrosit biasanya segera mengalami aglutinasi,
sedangkan komplemen yang berikatan dengan eritrosit dapat dibuktikan setelah inkubasi. DAT
mungkin juga dilakukan pada temperatur yang berbeda termasuk 4 ° C, 10 ° C, 25 ° C (suhu
kamar) dan / atau 37°C untuk membedakan autoantibodi hangat serta untuk
mengkarakteristikan reaktivitas termal dan amplitudonya. Hasil aglutinasi DAT diberi skor
pada skala 1 hingga 4.

IgG yang terdapat pada eritrosit pasien dengan dugaan AIHA yang belum menjalani
transfusi adalah bukti yang baik untuk autoantibodi IgG. AIHA tipe hangat merupakan AIHA

13
yang tersering terjadi pada masa anak-anak dan biasanya disebabkan oleh antibosi IgG yang
bereaksi pada suhu temperatur atau suhu 37C. AIHA tipe dingin biasanya disebabkan oleh
autoantibodi IgM yang mengikat eritrosit pada suhu antara 0 ° C dan 37 ° C.20 Pemeriksaan
DAT yang menunjukkan adanya komplemen saja mengarah kepada antibodi reaksi dingin yang
komplemen bekerja pada suhu rendah tetapi berikatan yang jelek dengan eritrosit pada suhu
37oC. Evaluasi serologis lebih lanjut untuk keberadaan autoantibodi IgM atau autoantibodi IgG
Donath-Landsteiner akan diindikasikan

Hasil DAT mungkin negatif meskipun klinisnya sesuai dengan hemolisis autoimun,
dikarenakan kuantitas ikatan IgG dengan eritrosit di bawah ambang standar dari reagen DAT,
yang dapat mendeteksi sedikitnya 150 molekul IgG per eritrosit. Pemeriksaan ini lebih sensitif
untuk mendeteksi eritrosit-terikat IgG, dapat membantu dan termasuk tes immunosorbent
terkait enzim, analisis kartu gel, dan pemeriksaan sitometri.21 Autoantibodi dari subtipe IgA
atau IgM dapat menyebabkan hemolisis dengan DAT negatif karena tes ini dirancang untuk
mendeteksi IgG dan C3d. Reagen yang bereaksi dengan IgA atau IgM tersedia secara komersial
tetapi dilakukan pada laboratorium tertentu saja. Antibodi afinitas rendah yang relevan secara
klinis dapat dihilangkan dengan mencuci selama prosedur DAT. Mencuci dengan larutan
kekuatan ionik yang rendah atau dengan larutan garam es dingin pada suhu kamar dapat
membantu mempertahankan antibodi pada eritrosit. Pemeriksaan DAT yang positif harus di
korelasikan dengan riwayat pasien, termasuk penggunaan obat-obatan dan riwayat transfusi
darah. Hasil DAT yang positif ditemukan pada 1 dalam 1000 sampai 14.000 donor sehat tanpa
adanya proses hemolisis.21

Autoantibody bebas dapat dideteksi dalam plasma atau serum pasien dengan
pemeriksaan indirect antibody test (IAT). Pasien dengan hasil IAT positif dari autoantibodi

14
tipe hangat juga harus didapatkan hasil DAT yang postif. Pasien dengan hasil IAT positif dan
DAT negatif mungkin tidak memiliki proses autoimun tetapi lebih disebabkan oleh
alloantibodi yang dirangsang oleh transfusi sebelumnya.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari AIHA tipe hangat diantaranya anemia sferosis; misalnya, sferositosis
kongenital (HS;) yang memiliki banyak kesamaan gambaran klinis. HS adalah anemia
hemolitik yang disebabkan oleh lampiran defisiensi lapisan dari bilayer lipid yang merupakan
dasar rangka membran yang paling sering disebabkan oleh kekurangan parsial dari ankyrin
atau band 3 atau beta spectrin dan kurang dan juga bisa disebakan oleh defisiensi alpha spectrin
atau pita protein. Kebanyakan diagnosis HS ditegakkan pada masa anak-anak dengan riwayat
keluarga yang positif dengan gejala klinis menyerupai AIHA seperti anemia, ikterik, dan
splenomegali. Hasil DAT selalu negatif pada pasien dengan HS. Pemeriksaan sitometri
langsung dilakukan untuk memeriksa defek molekul pada HS yang dapat membedakan HS
dengan sferositosis karena penyebab lain atau AIHA.22

Pada pasien dengan anemia hemolitik dan hasil DAT positif, beberapa diagnosis harus
dipertimbangkan. Karakterisasi serologis dari autoantibodi akan membantu membedakan
AIHA tipe hangat, cold reactive autoantibody seperti CAD, PCH dan AIHA campuran. Pasien
yang baru mendapatkan transfusi darah, hasil DAT yang positif menunjukkan pembentukan
alloantibodi baru dari eritrosit donor yang mengindikasikan reaksi transfusi hemolitik tipe
lambat. Karakterisasi antibodi lebih lanjut dapat membedakan apakah itu diarahkan pada donor
atau sel darah merah autologous.22

Obat-obatan dapat menyebabkan anemia hemolitik melalui mekanisme imun atau


nonimun. Anemia hemolitik yang diinduksi obat melalui mekanisme imun (DIIHA) jarang
terjadi, tetapi lebih dari 100 obat telah terlibat. Obat-obatan umum yang menyebabkan anemia
hemolitik adalah piperasilin, cefotetan, dan ceftriaxone, dan gejala klinisnya dapat menyerupai
AIHA atau reaksi transfusi hemolitik tipe lambat pada beberapa pasien. Hemolisis berhenti
dalam beberapa hari setelah penghentian obat. Sferosit biasanya ditemukan pada hapusan darah
perifer pasien dengan AIHA tipe hangat, kadang-kadang ditemukan pada pasien dengan PCH,
dan jarang pada pasien dengan CAD. Anemia hemolitik yang di dapat jarang ditemukan pada
sferosit pada darah perifer, dengan hasil DAT negatif. Anemia hemolitik mikroangiopati
seperti TTP dan HuS ditandai oleh schistocytes dan sferositosis minimal dan dengan demikian
mudah dibedakan melalui hapusan darah perifer. Bahkan, trombositopenia adalah ciri umum

15
dari TTP dan HuS sedangkan itu jarang pada orang dengan AIHA kecuali itu dikaitkan dengan
sindrom Evans.23

TATALAKSANA

AIHA adalah kondisi yang berpotensi fatal, dan keputusan mengenai perawatan tergantung
pada tingkat keparahan dan kecepatan terjadinya anemia. Bukti klinis dalam pengobatan AIHA
sangat sedikit karena jarangnya kasus AIHA ditemukan, terutama tatalaksana AIHA pada anak.
Penelitian acak dan prospektif hanya ada pada 2 penelitian. Sebagian besar penelitian
merupakan penelitian retrospektif laporan kasus. Perbandingan modalitas pengobatan yang
berbeda tidak sesuai dengan ketersedian konsensus mengenai definisi dari respon hematologis
komplit atau parsial, remisi atau berulang. Sebagian besar pengobatan yang diberikan pada
kasus AIHA berdasarkan pengalaman individu. Dua determinan utama untuk pengobatan
adalah jenis antibodi yang terlibat (IgG vs IgM dimediasi) dan apakah AIHA bersifat primer
atau sekunder. Rawat inap hampir selalu diperlukan pada pasien AIHA.24

Pengobatan AIHA Akut

Terapi transfusi

Pasien AIHA akut, baik yang baru didiagnosis atau kasus yang berulang, klinisi harus
memutuskan apakah pasien memerlukan transfusi darah segera. Seorang anak yang memiliki
anemia yang relatif ringan dengan kadar hemoglobin 9 hingga 12 gr / dL mungkin memerlukan
observasi saja. Jika pasien dengan anemia derajat sedang hingga berat dengan kadar
hemoglobin 6 hingga 9 gr/dL atau dengan gejala klinis letargi atau sesak napas, atau terjadi
penurunan kadar hemoglobin dalam waktu yang sangat cepat, pemberian transfusi darah perlu
diberikan. Pasien dengan anemia berat dan kadar hemoglobin lebih rendah dari 6 gr/dL harus
segera dilakukan transfusi eritrosit. Pada kasus AIHA tipe hangat terutama yang idiopatik,
antibodi akan berikatan dengan antigen golongan darah terutama eritrosit. Oleh karena itu
tidak ada unit eritrosit yang benar-benar cocok untuk ditransfusikan, tetapi transfusi dapat
dilakukan dengan aman jika alloantibodi telah dikeluarkan. Pada anak-anak dan remaja,
alloimunisasi yang signifikan secara klinis seharusnya terjadi jika mereka sebelumnya
menjalani transfusi, sedang hamil, atau menerima transplantasi organ. Seorang pasien yang
sebelumnya tidak pernah menjalani transfusi seharusnya tidak ada risiko alloantibodi yang
mendasari

16
Pada pasien yang sebelumnya telah menjalani transfusi atau sedang hamil, adanya
alloantibodi harus dinilai untuk memberikan eritrosit yang sesuai. Pasien AIHA yang
berhubungan dengan autoantibodi hangat memiliki tingkat alloimunisasi antara 15% dan 45%,
tetapi penelitian ini berfokus terutama pada pasien dewasa. Apabila IgG terdapat dalam serum
akan mengakibatkan skrining antibodi pretransfusi dan pengujian kompatibilitas terganggu.
Antibodi IgG pada orang dengan PCH tidak mengganggu pengujian kompatibilitas rutin karena
autoantibodi tidak menyebabkan aglutinasi di atas 20°C.25 Prosedur autoadsorpsi atau
alloadsorpsi dilakukan untuk membuang autoantibodi dari sampel serum dengan adsorpsi
eritrosit autolog atau alogenik, sehingga memungkinkan identifikasi alloantibodi yang tersisa
dalam serum yang teradsorpsi. Adsorpsi autologus tidak dianjurkan untuk pasien yang telah
menjalani transfusi dalam 3 bulan terakhir karena sampel darah mungkin mengandung
beberapa eritrosit transfusi, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Eritrosit pasien biasanya
dihangatkan untuk memisahkan beberapa autoantibodi yang terikat dan kemudian reaksikan
dengan campuran enzim untuk meningkatkan kapasitas penyerapan autoantibodi dari sampel
serum secara in vitro.26

Dokter harus menyediakan sebanyak mungkin eritrosit yang kompatibel karena


prosedur autoadsorpsi merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi alloantibodi
pada pasien dengan autoantibodi hangat. Tes autoadsorpsi hangat tidak berguna pada pasien
yang mendapatkan transfusi dalam 3 bulan terakhir karena sebagian kecil sel yang
ditransfusikan dapat menyerap alloantibodi selama prosedur adsorpsi in vitro, sehingga
membatalkan hasil. Sebuah pendekatan alternatif, yang mungkin sama efektifnya dalam
menghindari efek alloantibodi, tetapi yang tidak dimplementasikan luas dalam layanan
transfusi, adalah melakukan fenotip eritrosit ekstensif pada pasien dan unit donor. Tes
sederhana lainnya yang memberikan keamanan termasuk rutinitas pengujian serum pasien
terhadap panel eritrosit dan mengencerkan serum pasien sebelum melakukan pengujian
kompatibilitas.26

Pengujian kompatibilitas antibodi AIHA tipe dingin dingin membutuhkan pemeriksaan


yang lebih intensif . Pada sindrom aglutinin dingin, autoantibodi tidak sering bereaksi sampai
suhu 37 ° C, sedangkan alloantibodi eritrosit yang signifikan secara klinis akan bereaksi pada
suhu ini. Dengan demikian, tes kompatibilitas dapat dilakukan secara ketat pada suhu 37°C.
Jika layanan transfusi tidak dapat dilakukan dengan pengujian ketat pada suhu 37 ° C, satu atau
dua autoadsopsi dingin harus dilakukan, yang tidak akan menghapus aglutinin titer dingin yang
tinggi sepenuhnya, tetapi cenderung menghilangkan reaksi yang terjadi pada 37°C.26

17
Glukokortikoid

Kortikosteroid merupakan terapi utama yang diberikan pada pasien AIHA tipe hangat yang
idopatik. kortikosteroid menurunkan laju hemolisis dengan menghambat fungsi makrofag
dengan meregulasi ekspresi reseptor Fcγ dan dapat menekan penyerapan eritrosit oleh
makrofag limpa, menurunkan produksi dari autoantibodi, dan mungkin dengan meningkatkan
elusi antibodi dari eritrosit. Pasien dengan AIHA akut tipe hangat atau PCH dapat diberikan
metilprednisolon intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb yang diberikan setiap 6 jam selama 1
sampai 3 hari. Selain itu dapat juga diberikan prednison oral dengan dosis 1-2 mg/kgbb per
hari, dan dosisnya dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgbb untuk mengurangi laju hemolisis.
Kortikosterid ini harus diturunkan secara bertahap untuk mencegah terjadinya relaps, dan
penurunan dosis berdasarkan dari kadar hemoglobin, retikulosit dan hasil DAT. Respon
pemberian terapi dapat dilihat dalam 3 sampai 4 minggu dengan meningkatnya jumlah
hematokrit dan menurunnya retikulosit. Durasi pengobatan pada AIHA berkisar 3-12 bulan
Tujuan dari pengobatan ini adalah menjaga agar jumlah hemoglobin stabil dengan pemberian
dosis rendah kortikosteroid.27

Efek samping penggunaan kortikosteroid harus di evaluasi pada pasien, seperti


iritabilitas, psikosis, gangguan tidur, hipertensi, hiperglikemia membutuhkan pemberian
insulin, meningkatnya berat badan, dan osteoporosis.Pasien yang mendapatkan kortikosteroid
lama harus diberikan kalsium dan suplementasi vitamin D, dilakukan skrining osteopenia atau
osteoporosis.27

Imunoglobulin Intravena (IVIG)

IVIG menyediakan blokade ampuh dari sistem retikuloendotel pada pasien dengan immune
trombositopenia purpura (ITP), tetapi manfaat pemberian IVIG pada pasien AIHA masih
diperdebatkan. Penelitian Kohort dilakukan pada 37 kasus yang diberikan IVIG, yang
dikombinasikan dengan ulasan dari 36 kasus dalam literatur, baik dewasa maupun anak. Semua
pasien tersebut mendapat terapi prednison selama pemberian IVIG. Dosis IVIG yang diberikan
0,5 gr/kgbb/hari selama 5 hari sampai 1 gr/kgbb/hari selama 5-7 hari dalam penelitian, dan
dosis yang dipublikasikan dalam penelitian 0,4- 2 gr/kgbb/ hari selama 2-5 hari. Secara
keseluruhan, 40% pasien respon dengan pengobatan yang dibuktikan dengan peningkatan
kadar hemoglobin 2 gr/dl dalam 10 hari sejak awal pemberian IVIG. Enam dari 11 pasien
anak (55%) respon dengan terapi IVIG, tetapi apakah mereka menerima terapi kombinasi
kortikosteroid tidak dilaporkan. Meskipun sejumlah kecil kasus, IVIG dosis tinggi (dosis total

18
5 gr / kg selama 5 hari) telah terbukti memiliki efikasi terbatas untuk pengobatan AIHA. Secara
umum, IVIG tidak dianggap sebagai frst-line pengobatan untuk AIHA pada anak-anak, tetapi
dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak respon terhadap pemberian steroid.

Threraupetic Plasma Exchange (TPE)

Peran TPE pada pasien AIHA tipe hangat dianggap intervensi kategori III oleh American
Society of Apheresis, yang berarti mungkin menguntungkan tetapi masih sedikit bukti dalam
pemberian terapi ini. Kasus-kasus individu telah dilaporkan di mana plasmapheresis telah
berhasil dilakukan. Apakah TPE meningkatkan kelangsungan hidup transfusi eritrosit pada
pasien dengan hemolisis berat masih kontroversial. Karena IgG sebagian besar besar berada
ekstravaskular dan diserap ke eritrosit pada suhu tubuh, TPE tidak dapat mengeluarkan
autoantibodi eritrosit secara efisien. Sebaliknya, IgM sebagian besar berada intravaskular dan
idak kuat berikatan buruk dengan eritrosit pada suhu tubuh, dan pada pasien dengan CAD,
TPE dapat menurunkan titer antibodi secara signifikan, terutama pada pasien dewasa.
Plasmapheresis dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemolisis berat yang memiliki
respon tidak optimal dengan pemberian transfusi eritrosit dan pada pasien yang tidak respon
dengan kortikosteroid.28

Terapi AIHA kronik atau relaps

Pasien dengan AIHA kronik atau relaps membutuhkan terapi yang agresif untuk menjaga kadar
hemoglobin dan kulaitas hidup pasien. Pemberian kortikosteroid jangka lama tidak dianjukan
karena pertimbangan efek samping. Beberapa terapi tambahan dapat diberikan pada psien
tergantung respon hematologi.

Rituximab

Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang berikatan dengan antigen CD20 yang
diekspresikan pada limfosit B dan digunakan untuk pengobatan limfoma sel B. Penggunaannya
untuk pengobatan AHA adalah berdasarkan kemampuan antibodi untuk menghilangkan
limfosit B, termasuk kemampuan membuat autoantibodi eritrosit. Rituximab diberikan dengan
dosis 375 mg / m2 setiap minggu selama rata-rata 4 minggu dan efektif dalam mengobati AIHA
dan CAD hangat, dengan respon pengobatan mulai dari 40 hingga 100 persen (median dengan
60%), dan dapat diberikan pada semua pasien AIHA. Pasien yang mendapatkan rituximab
menunjukkan reposn yang baik dan kondisi pasien stabil 3 tahun pada beberapa pasien efek

19
samping rituximad yang dilaporkan sedikit. Jumlah sel B tetap rendah selama berbulan-bulan
setelah perawatan, meningkatkan risiko infeksi untuk respon imun yang buruk.29

Splenektomi

Spenektomi dianjurkan pada pasien yang tidak repon dengan pengobatan steroid atau menjaga
kestabilan hemoglobin. Hal ini karena limpa merupakan tempat penghancuran eritrosit. Pada
peneilitian 53 pasien dengan AIHA primer dan sekunder yang telah dilakukan splenektomi,
63% pasien dengan remisi hematologis yang ditandai oleh penurunan nilai retikulosit dan 30%
pasien masih membutuhkan terapi kortikosteroid . Namun, tingkat kekambuhan setelah
splenektomi sangat tinggi. Banyak pasien membutuhkan terapi kortikosteroid lebih lanjut
untuk mempertahankan kadar hemoglobin, tetapi dengan dosis yang lebih rendah. Splenektomi
harus dilakukan segera apabila didapatkan pasien dengan hemolitik berat, tidak respon setelah
pemberian kortikosteroid dalam 1-2 bulan dan kondisi pasien yang menurun. Sebelum
dilakukan tindakan splenektomi perlu dilakukan imunisasi dengan vaksin
pneumococcal,meningococcal, dan haemophylus influenza. Setelah tindakan splenektomi,
pasien diberikan profilaks antibiotik dengan menggunakan penicilin V dengan dosis 2x250 mg
selama beberapa tahun. Komplikasi splenektomi yang dapat terjadi seperti sepsis, emboli paru,
perdarahan intrabdomen dan abses di abdomen.

Terapi Imunosupresif

Obat imunosupresif dan sitotoksik diindikasikan pada pasien yang tidak respon dengan
pengobatan kortikosteroid, rituximab, dan splenektomi atau pasien yang memiliki
kontraindikasi untuk mendapatkan terapi tersebut. Cyclophosphamide, cyclosporine,
azathioprine (6-mercaptopurine), dan Campath-1H digunakan untuk pengobatan AIHA yang
kambuh, tetapi data tentang penggunaan obat tersebut masih sedikit. Pengobatan ini dapat
memakan waktu berbulan-bulan dan pengobatan Cyclophosphamide dosis tinggi tanpa
implantasi sel induk pada pasien AIHA bisa memberikan hasil remisi lengkap dan parsia. Moyo
dan rekan-rekan merawat sembilan pasien dewasa yang mengalami AIHA relaps berat yang
diterapi dengan siklofosfamid 50 mg / kg / hari selama 4 hari. Enam pasien dengan remisi
komplit dengan kadar hemoglobin normal untuk usia dan jenis kelamin, dan tiga pasien remisi
parsial, dengan kadar hemoglobin minimal 10 gr / dL tanpa diberikan transfusi. Pasien
mendapatkan transfusi eritrosit setelah median 19 hari (kisaran, 15-31
hari) setelah pengobatan.156 Cyclophosphamide dosis tinggi dapat ditoleransi dengan baik,
efek samping umum yang terjadi seperti mual, muntah, dan mielosupresi transien.

20
Siklosporin, 6-merkaptopurin, dan MMF (mycophenolate mofetil) adalah agen
imunosupresif tambahan yang telah menyebabkan remisi klinis pada beberapa pasien dengan
AIHA relaps. Obat imunosupresif ini bekerja dengan mempengaruhi fungsi limfosit T, dan
mengganggu sintesis autoantibodi. Walaupun siklosporin memberikan efek yang baik pada
pasien dengan AIHA relaps, tetapi penggunaannya tidak rutin diberikan karena efek samping
dari sikosprin seperti nefrotoksik, hipertensi dan hirsutisme. Terapi tunggal dengan 6-
merkaptopurin pada pasien anak dengan AIHA dilaporkan sebagai bagian dari kasus sitopenia
autoimun. Tujuh pasien anak dengan AIHA refrakter (5 kasus AIHA primer dan 2 kasus AIHA
sekunder) berespon terhadap terapi dengan peningkatan kadar hemoglobin setidaknya 1,5 gr /
dL dan ke level 10 gr / dL atau lebih besar. Efek samping dari pengobatan 6-mercaptopurine
yaitu leukopenia, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. MMF juga
menghambat proliferasi limfosit .

Danazol

Danazol merupakan androgen semisintetik yang digunakan dalam pengobatan beberapa pasien
AIHA dewasa, taeapi belum diteliti pada pasien anak-anak. Efek sinergis danazol dan
kortikosteroid telah disarankan dalam dua penelitian. Kenaikan kadar hematokrit biasanya
terbukti dalam waktu 1 hingga 3 minggu.160 Mekanisme masih belum jelas, tetapi penurunan
titer IgG yang terikat dengan sel dan komplemen telah dilaporkan pada pasien yang respon
terhadap pengobatan. Karena potensi efek androgeniknya merugikan, biasanya tidak
disarankan untuk wanita muda, dan penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan toksisitas
hati.

Terapi AIHA tipe dingin

CAD biasanya terjadi setelah infeksi, yang dikaitkan dengan M. pneumoniae atau infeksi virus,
dan biasanya hanya membutuhkan perawatan suportif dengan transfusi eritrosit. Pasien
seharusnya tetap hangat dan mencegah rangsangan dingin. Pasien mungkin mengalami anemia
ringan, kompensasi yang mungkin tidak membutuhkan perawatan atau transfusi. Pasien dengan
anemia sedang dan berat diperlkan transfusi. IgM dingin tidak mempengaruhi uji
kompatibilitas sebelum transfusi, berbeda dengan AIHA tipe hangat. Tatalaksana pada pasien
PCH biasanya memerlukan transfusi saja, karena anemia yang terjadi biasanya sedang sampai
berat.

21
Daftar Pustaka

1. Benoist B, McLean E, Cogswell M, Egli I, Wojdyla D. Worldwide prevalence of


anaemia 1993–2005.WHO Global Database on Anaemia. Geneva, Switzerland: World
Health Organization,2008
2. Means RT, Glader B. Anemia: General Considerations. In: Greer et al. Wintrobe’s
Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins 2009; p. 780-809.
3. Zimbelman JD. Hemolytic Anemia. In: Bajaj L, Hambidge SJ, Kerby G, Nyquist AC.
Berman’s Pediatric Decision Making. 5th ed. Philadelphia: Saunders; 2011. p.596-597.
4. Jannus J, Moerschel SK. Evaluation of Anemia in Children. Am Fam Physician 2010;
81(12):1462-1471.
5. Barros MM, Blajchman MA, Bordin JO: Warm autoimmune hemolytic anemia: recent
progress in understanding the immunobiology and the treatment. Transfus Med Rev
24:195–210, 2010.
6. Packman CH: Hemolytic anemia due to warm autoantibodies. Blood Rev 22:17–31,
2008
7. Aladjidi N, Leverger G, Leblanc T, et al: New insights into childhood autoimmune
hemolytic anemia: a French national observational study of 265 children.
Haematologica 96:655–663, 2011
8. Vaglio S, Arista MC, Perrone MP, et al. Autoimmune hemolytic anemia in childhood:
serologic features in 100 cases. Transfusion. 2007;47:50
9. Gehrs BC, Friedberg RC. Autoimmune hemolytic anemia. American journal of
hematology. 2002:69;258-71.
10. Barker RN, Elson CJ: Multiple self epitopes on the Rhesus polypeptides stimulate
immunologically ignorant human T cells in vitro. Eur J Immunol 24:1578–1582, 1994.
11. Barker RN, Hall AM, Standen GR, et al: Identifcation of T-cell epitopes on the Rhesus
polypeptides in autoimmune hemolytic anemia. Blood 90:2701–2715, 1997
12. Schwartz RS. Autoimmune and intravascular hemolytic anemias. Chapter 164
Goldman: Cecil medicine, 23rd edn. Saunders: An imprint of Elsevier. 2007
13. Friedberg BC, Johari VP. Aiutoimmune hemolytic anemia. In: wintrobes clinal
hematology. Wolter kluwer. 2009;12:956-962
14. Naithani R, Agrawal N, Mahapatra M, et al. Autoimmune hemolytic anemia in children.
Pediatric HematologyOncology. 2007;4(24):309-15
15. Gottsche B, Salama A, Mueller-Eckhardt C. DonathLandsteiner autoimmune hemolytic
anemia in children: A study of 22 cases. Vox Sang. 1990;58:281.
16. Oliveira MC, Oliveira BM, Murao M, et al: Clinical course of autoimmune hemolytic
anemia: an observational study. J Pediatr (Rio J).2011. 82:58–62
17. Habibi B, Homberg JC, Schaison G, et al: Autoimmune hemolytic anemia in children.
A review of 80 cases. Am J Med 56:61–69,1974.
18. Sadrzadeh SM, Bozorgmehr J: Haptoglobin phenotypes in health and disorders. Am J
Clin Pathol 121(Suppl):S97–S104, 2004
19. Zantek ND, Koepsell SA, Tharp DR, Jr, et al: The direct antiglobulin test: a critical step
in the evaluation of hemolysis. Am J Hematol 87:707–709, 2012.
20. Petz LD: Cold antibody autoimmune hemolytic anemias. Blood Rev. 2008:22:1–15.
21. Chaudhary R, Das SS, Gupta R, et al: Application of flow cytometry in detection of
red-cell-bound IgG in Coombs-negative AIHA. Hematology .2006:11:295–300.
22. Bianchi P, Fermo E, Vercellati C, et al: Diagnostic power of laboratory tests for
hereditary spherocytosis: a comparison study in 150 patients grouped according to
molecular and clinical characteristics. Haematologica.2012:97:516–523.

22
23. Garratty G: Immune hemolytic anemia caused by drugs. Expert Opin Drug Saf.
2012:11:635–642.
24. Crowther M, Chan YL, Garbett IK, et al: Evidence-based focused review of the
treatment of idiopathic warm immune hemolytic anemia in adults. Blood.
2011:118:4036–40.
25. Shirey RS, Boyd JS, Parwani AV, et al: Prophylactic antigenmatched donor blood for
patients with warm autoantibodies: an algorithm for transfusion management.
Transfusion. 2002:42:1435–1441.
26. Petz LD: A physician’s guide to transfusion in autoimmune haemolytic anaemia. Br J
Haematol. 2004:124:712–716.
27. King KE, Ness PM: Treatment of autoimmune hemolytic anemia. Semin HematolI.
2005; 42:131–136.
28. Szczepiorkowski ZM, Winters JL, Bandarenko N, et al: Guidelines on the use of
therapeutic apheresis in clinical practice evidence-based approach from the Apheresis
Applications Committee of the American Society for Apheresis. J Clin Apher. 2010:
25:83–177.
29. Zecca M, Nobili B, Ramenghi U. Rituximab for the treatment of refractory autoimmune
hemolytic anemia in children. Blood. 2003;101:3857

23

Anda mungkin juga menyukai