Anda di halaman 1dari 29

Referat Kardiologi Kepada Yth :

Dr. Yoely Ardiansyah dr.Khairunnisa, SpA, MBiomed

Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Kritis

Pendahuluan

Penyakit jantung bawaan kritis (PJBK) adalah sekelompok penyakit jantung bawaan yang
mengancam jiwa dan memerlukan intervensi segera pada masa neonatus.  PJBK yang
bergantung duktus arteriorus merupakan bagian dari PJBK yang memerlukan intervensi
segera setelah lahir karena perburukan bahkan kematian dapat terjadi seiring dengan
menutupnya duktus.1,2

Insidens penyakit jantung bawaan (PJB) adalah 6 – 10 tiap 1000 kelahiran hidup,
menyebabkan 6-10 % kematian dimasa bayi dan merupakan 20 – 40 % penyebab kematian
bayi dengan malformasi.3 Lima belas persen dari PJB tersebut merupakan PJBK. Insidens
gangguan fungsi organ yang berat akibat PJBK yang tidak terdiagnosis sebelum berusia 12
jam di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1/15.000 sampai 1/26.000 kelahiran hidup. 4 Di
Indonesia kemungkinan insidensnya lebih tinggi. Sakit berat dan kematian seringkali terjadi
sebelum pasien mendapatkan tatalaksana yang tepat. Gambaran klinis PJBK ini seringkali
tidak dikenali karena menyerupai penyakit lainnya, sehingga mengakibatkan keterlambatan
diagnosis dan menyebabkan kematian sebelum diagnosis ditegakkan.5

Angka kelahiran di Indonesia menurut profil kependudukan dan pembangunan BKKBN


tahun 2013 adalah 4.242.300 jiwa,dengan insidensi PJB sebesar 8 – 10 % kelahiran hidup
maka jumlah penderita PJB Indonesia tahun 2013 diperkirakansekitar 339.384 hingga
424.230 kasus. Di RSUP Dr. M. Djamil ditemukan kejadian penyakit jantung bawaan (PJB )
sianotik sebanyak 17 dari 53 anak (31 %) dengan penyakit jantung bawaan yang dirawat
dibangsal anak selama Januari 2010 – Mei 2012. Kelainan yang paling sering ditemukan
adalah tetralogy fallot (TF) (21,8 %). Kelainan lain berupa Transposisi Arteri Besar (TAB)
1,8 %, Total Anomalous Pulmonal Vein Drainage (TAPVD) 1,8 % dan unspecified sebanyak
5,5 %.6

Angka kematian akibat PJB kritis di Amerika Serikat mencapai 29 % dari seluruh
kematian akibat kelainan kongenitaldan sekitar 5,7 % seluruh kematian pada bayi. Di Eropa
Barat prevalensinya 45 % dari seluruh kematian yang disebabkan oleh kelainan kongenital,

1
sementara di Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Timur, dan Asia Pasifik (termasuk
Jepang) proporsinya sekitar 35 %, 37 %, 42 %, dan 48 %.1

Kasus-kasus kelainan sianotik dan sirkulasi tergantung duktus, termasuk PJB kritis.
Terdapat dua tipe sirkulasi tergantung duktus, yaitu sirkulasi sistemik tergantung duktus (lesi
obstruktif jantung kiri) dan sirkulasi pulmonal tergantung duktus (lesi obstruktif jantung
kanan). Kelainan tersebut memerlukan patensi duktus arteriosus untuk menjaga perfusi paru
atau seluruh tubuh tetap terpenuhi. Secara alami, duktus arteriosus akan menutup secara
fungsional dalam 10 – 15 jam setelah kelahiran melalui konstriksi otot polos lapisan medial.
Penutupan anatomis duktus arteriosus akan terjadi setelah usia 2 – 3 minggu dengan
perubahan permanen lapisan endotel dan subintima. Penutupan duktus arteriosus pada PJB
dengan sirkulasi sistemik tergantung duktus akan menyebabkan kolaps sirkulasi dan gagal
jantung berat. Sedangkan pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus akan
menyebabkan kolaps sirkulasi dan sianosis berat.7

Proses stabilisasi dan persiapan rujukan pada bayi dimulai sejak pemeriksaan awal oleh
dokter yang menjumpai pertama kali atau dokter triase, yang mengumpulkan informasi dan
melakukan pemeriksaan fisik awal. Tatalaksana awal untuk stabilisasi sebelum dan selama
perjalanan ke RS tersier yang memiliki kemampuan untuk menatalaksana PJB kritis harus
dipersiapkan dengan baik. Persiapan ini tidak hanya dilakukan dokter dan tim transpotasi
yang akan merujuk, namun juga oleh RS tujuan rujukan. Dalam proses stabilisasi dan
persiapan rujukan ini dapat dilakukan konsultasi kepada dokter konsultan penyakit jantung
anak atau dokter di unit intensif  jantung terdekat atau di tempat tujuan rujukan. Untuk itu
diperlukan kemudahan komunikasi dan koordinasi, serta sistem transpor yang memadai untuk
menjamin rujukan yang cepat dan aman.5

Gejala Klinis Penyakit Jantung Bawaan Kritis

Gejala klinis PJB kritis bervariasi tergantung kelainan anatomisnya. Gejala klinis tersebut
antara lain sianosis persisten, dispnea, atau edema paru akibat gagal jantung, dan kolaps
sirkulasi. Murmur tidak selalu terdengar.7

1) Sianosis

Sianosis terlihat jelas jika saturasi oksigen turundi bawah 80 % atau konsentrasi hemoglobin
ter-deoksigenasi sebesar 5 g/dL atau lebih. Sianosis sentral dapat terlihat di bibir, lidah,
dan membran mukosa.8 Sianosis sentral yang tidak membaik dengan pemberian oksigen

2
100% mengindikasikan adanya PJB sianotik. Sianosis sentral terjadi pada PJB kritis
dengan aliran darah pulmonal berkurang dan bila terjadi percampuran darah arteri-vena. Tes
hiperoksia dengan pemberian oksigen 100 % dapat dilakukan jika terdapat fasilitas analisis
gas darah. Peningkatan kadar tekanan parsial oksigen dalam darah (pO2) lebih dari 220
mmHg menunjukkan adanya penyakit pernapasan; kadar pO2 antara 100 – 220 mmHg
menunjukkan diperlukannya evaluasi adanya PJB sianotik; kadar pO2 kurang dari 100
mmHg menunjukkan adanya PJB sianotik.8 Sianosis diferensial (sianosis tubuh bagian
bawah tetapi tidak pada tubuh bagian atas) juga dapat merupakan gejala PJB kritis seperti
pada coarctatio aorta atau interrupted aorticarch.

2) Dispnea

Kelainan dengan pirau besar dapat menunjukkan gejala dispnea, takipnea, kesulitan menyusu,
rewel dan distres. Dispnea dapat terjadi karena gagal jantung kongestif. Gagal jantung
kongestif terjadi pada PJBkritis dengan obstruksi pada sisi kiri jantung dan bila terjadi
peningkatan aliran darah pulmonal.7 Pemeriksaan foto toraks dapat membantu membedakan
penyebab dispnea pulmonal atau kardiovaskular; gambaran yang mengarah pada PJB antara
lain kardiomegali, perubahan corakan vaskular paru dan kongesti vena pulmonal.7

3) Kolaps sirkulasi.

Gejala kolaps sirkulasi dapat terjadi pada PJB kritis dengan sirkulasi tergantung duktus. Syok
terjadi saat duktus arteriosus mulai menutup. Neonatus dengan sirkulasi sistemik tergantung
duktus akan mengalami dispnea progresif, akral dingin dan lembap, asidosis, syok dan
oliguria karena gangguan perfusi ginjal. Neonatus dengan sirkulasi pulmonal tergantung
duktus akan mengalami sianosis berat tanpa peningkatan usaha napas (quiet tachypnea),
asidosis, dan distres napas.7

4) Murmur.

Murmur pada anak sering sulit dibedakan apakah fisiologis atau patologis. Terdapat 6 tanda
murmur yang mengarah patologis yaitu: murmur pansistolik, intensitas 3/6 atau lebih,
punctum maximum di parasternal kiri atas, kualitas kasar, klik midsistolik awal dan suara
jantung kedua abnormal.8 Murmur yang segera terdengar setelah lahir pada umumnya
menandakan adanya obstruksi pada jalan keluar ventrikel. Murmur terdengar jelas segera
setelah lahir pada TOF atau stenosis pulmonal kritikal dengan septum ventrikel intak (critical

3
PS/IVS). Murmur dapat tidak terdengar pada simple TGA dan atresia pulmonal dengan defek
septum ventrikel (PA/VSD).7

Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis

Penyebab kesakitan dan kematian pada anak PJB kritis adalah ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi sebelum sempat dilakukannya intervensi paliatif atau definitif.
Sebagian besar PJB kritis tidak memperlihatkan gejala yang jelas sehingga baru terdiagnosis
setelah terjadi significant physiologic compromise (SPC) yang sebetulnya dapat dicegah
dengan terapi paliatif seperti pemberian PGE1, baloon atrial sptostomy sebelum
dilakukannya intervensi definitif.5

Significant physiologic compromise didefinisikan sebagai asidosis metabolik berat,


kejang, henti jantung atau terdapat bukti kerusakan ginjal atau hati sebelum dilakukannya
terapi invasif. Significant physiologic compromise akibat PJB kritis ini dapat dicegah jika
terjadi pada 12 jam pertama kehidupan, sehingga deteksi dini terhadap PJB kritis harus
dilakukan dalam 12 hingga 24 jam kehidupan atau selambat-lambatnya 48 jam kehidupan.5

Diagnosis prenatal menggunakan ultrasonografi (USG) masih menyisakan 10 % kasus


penyakit jantung bawaan yang tidak terdeteksi hal ini dipengaruhi oleh usia gestasi saat
dilakukannya USG prenatal, fasilitas pemeriksaan, kemampuan teknis pemeriksa, serta tidak
ditindaklanjutinya pemeriksaan USG prenatal yang abnormal dengan ekokardiografi
postnatal. Deteksi dini dengan oksimetri tidak memerlukan waktu lama, kemampuan teknis
maupun harga yang mahal, sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi dini yang
universal. Pemeriksaan oksimetri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan prenatal
menggunakan USG meningkatkan keberhasilan deteksi dini penyakit jantung bawaan kritis
yang pada akhirnya meningkatkan long term survival rate penderita.5

Pemeriksaan oksimetri pada bayi baru lahir memiliki sensitivitas 76,5 % serta spesifisitas
99,9 % untuk mendeteksi PJB kritis pada neonatus dengan rata-rata positif palsu 0,14 %. Dari
angka tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan oksimetri sangat spesifik dan cukup
sensitif untuk mendeteksi PJB kritis serta dapat digunakan sebagai alat deteksi dini universal
menurut rekomendasi dari American Heart Association (AHA) dan American Academy of
Pediatric (AAP).5

Deteksi dini dengan oksimetri pada neonatus secara dramatis mengurangi morbiditas dan
mortalitas dari berbagai kondisi penyakit jantung bawaan kritis. Diagnosis dini

4
memungkinkan tindakan paliatif maupun koreksi definitif segera pada bayi dengan penyakit
jantung bawaan kritis yang mengancam nyawa sehingga memiliki prognosis jangka pendek
maupun jangka panjang yang lebih baik. Deteksi dini yang terlambat menyebabkan kondisi
klinis praoperasi yang buruk serta keluaran passcaoperasi yang tidak optimal, yang pada
akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada anak dengan penyakit
jantung bawaan kritis.8

Penelitian yang dilakukan oleh Baron dan kawan kawan (dkk) pada tahun 2009
menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada penderita HLHS hingga usia 5 tahun
meningkat sebesar 65 % setelah terapi pembedahan.Menurut penelitian Henley dkk tahun
1993 harapan hidup penderita PA meningkat menjadi 64 % pada usia 2 tahun setelah terapi
18operatif.Menurut penelitian Derby dkk pada tahun 2005, 95 % penderita TOF dapat
mencapai usia 25 tahun setelah menjalani koreksi.Penderita TAPVR yang menjalani koreksi
65 %-nya dapat mencapai usia 14 tahun menurut penelitian Karamlou dkk pada tahun 2007.
Menurut Martin dan Castela tahun 2008, 80 % penderita TGA dapat mencapai usia 10 - 15
tahun setelah dilakukan koreksi.Delapan puluh enaam persen penderita atresia trikuspidalis
dapat mencapai usia 4 tahun dengan terapi operatif menurut Karamlaou pada tahun 2005
dan menurut Rajasinghe dkk pada tahun 1997, 83 % penderita trunkus arteriosus dapat
mencapai usia 5 tahun setelah menjalani koreksi.1,5

Dokter anak memiliki peran penting dalam melakukan deteksi dini dalam 48 jam
pertama kehidupan agar diagnosis dini dan tatalaksana paliatif untuk mencegah SPC dapat
dilakukan segera. Gambar di bawah menjelaskan algoritma deteksi dini dengan oksimetri
yang direkomendasikan oleh AAP. Deteksi dini dikatakan positif jika salah satu dari
pemeriksaan saturasi oksigen 90 % atau saturasi oksigen pada kedua ekstremitas pada 3 kali
pengukuran, dengan jarak waktu pengukuran 1 jam 95 % atau jika perbedaan saturasi oksigen
absolut antara tangan kanan dan kaki 1 %. Saturasi 95 % dengan perbedaan 3 % pada
pemeriksaan dikatakan negatif.5

5
Gambar 1. Algoritma Skrining Penyakit Jantung Bawaan Kritis Dengan
Oksimetri Pada bayi baru lahir

Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan Kritis


Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan Kritis menurut Saktheeswaran, dibagi sebagai berikut :9
1. PJB kritis dengan sirkulasi sistemik tergantung duktus
Kelainan ini merupakan PJB kritis dimana sirkulasi sistemik bergantung pada duktus
arteriosus untuk bertahan. Pasien akan segera mengalami perburukan bila duktus arteriosus
tertutup atau mengalami konstriksi, menghasilkan hipoperfusi sistemik, hipotensi, asidosis
dan end-organ impairment.9 Kelainan yang termasuk golongan ini adalah:
a. Stenosis aorta kritis / critical aortic stenosis (AS)

Gambar 2. Stenosis Aorta

6
Stenosis pada katup aorta disebabkan oleh berkurangnya ukuran orifisium akibat penebalan
dan rigiditas katup. Bentuk yang paling sering ditemui adalah katup aorta bikuspid. Katup
aorta bikuspid adalah katup aorta hanya terdiri dari 2 leaflet. Implikasi fisiologis AS adalah
terjadi obstruksi outflow ventrikel kiri menyebabkan peningkatan afterload. Pasien dengan
stenosis aorta kritis mengalami obstruksi berat sejak dalam uterus disertai hipertrofi ventrikel
kiri dan fibroelastosis endokardium. Setelah lahir, penutupan duktus arteriosus menyebabkan
ventrikel kiri harus menjaga aliran darah sistemik, kenaikan akut afterload ini menyebabkan
fungsi ventrikel kiri tidak dapat mengkompensasi, diikuti disfungsi miokard berat, gagal
jantung kongestif hingga dapat terjadi syok.10
b. Coarctatio Aorta (CoA)

Gambar 3. Coarctatio Aorta


Penyempitan berat isthmus aorta pada bayi baru lahir menyebabkan kurangnya aliran darah
yang menuju ekstremitas bawah, sehingga tekanan darah akan lebih tinggi dan saturasi
oksigen juga dapat berkurang. Aliran darah pada ekstremitas bawah tergantung pada patensi
duktus arteriosus, sedangkan ekstremitas atas tidak tergantung duktus. Dipercaya bahwa
jaringan duktus disekitar regio koarktasio aorta juga mengalami penyempitan bersamaan
dengan menutupnya duktus. Hal ini menyebabkan bertambah beratnya koarktasio.10
c. Interrupted Aortic Arch (IAA)

Gambar 4. Interrupted Aortic Arch

7
Patologi utama IAA adalah kegagalan pembentukan arkus aorta sehingga tidak ada hubungan
langsung antara aorta ascenden dan aorta descenden. Sirkulasi bagian bawah tubuh
sepenuhnya tergantung pada duktus arteriosus. Interupsi dapat berada di distal arteri
subklavia kiri (tipe A) atau diantara arteri karotis komunis kiri dan arteri subklavia kiri (tipe
B) atau antara arteri innominata dan arteri karotis kiri (Tipe C). IAA selalu dikaitkan dengan
anomali lainnya seperti VSD, truncus arteriosus, aortopulmonary window, anomali kompleks
lainnya. Tipe B umumnya terkait delesi dengan 22q11 (DiGeorge syndrome). Bayi dengan
IAA mengalami perburukan progresif saat duktus arteriosus menutup, dengan gejala awal
sesak napas, gagal jantung kongestif, asidosis, kolaps kardiovaskular dan kematian dalam
beberapa hari.7
c. Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS)

Gambar 5. Hypoplastic Left Heart Syndrome

HLHS jarang ditemui, sekitar 2-3% dari seluruh penyakit jantung bawaan. HLHS meliputi
atresia katup aorta dan beberap bentuk atresia katup mitral. Tidak adanya aliran ke sirkulasi
sistemik merupakan karakteristik kelainan ini. Ventrikel kiri tidak berkembang dan seringkali
rudimenter. Arkus aorta hipoplastik dan aorta ascenden sangat kecil, yang hanya cukup untuk
sirkulasi koroner. Aliran balik pulmonal hanya dapat mencapai sirkulasi sistemik melalui
patent foramen ovale untuk mencapai atrium kanan. Sehingga terdapat percampuran yang
menimbulkan sianosis ringan. Seluruh sirkulasi sistemik tentunya tergantung pada patensi
duktus arteriosus (PDA). Setelah lahir, resistensi vaskular sistemik lebih tinggi dibanding
resistensi pulmonal. Setelah menutupnya duktus arteriosus, ventrikel kiri yang tak
berkembang tidak dapat memenuhi aliran darah sistemik. Menyebabkan gangguan sirkulasi,
asidosis metabolik dan syok. Meningkatnya sirkulasi pulmonal juga dapat meningkatkan
tekanan atrium kiri dan selanjutnya dapat menyebabkan edema paru.7

8
2. PJB kritis dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus
a. Stenosis pulmonal berat / critical pulmonary stenosis (PS)

Gambar 6. Stenosis Pulmonal


Stenosis pulmonal sebagai satu-satunya defek PJB terdapat pada 10% dari seluruh PJB.
Komisura katup pulmonal sebagian mengalami fusi, leafletnya tipis dan kaku, sehingga
menimbulkan struktur dome shaped dengan penyempitan orifisum sentral. Defek
hemodinamik ini ditoleransi dengan baik saat bayi dalam kandungan. Setelah lahir, resistensi
vaskular paru akan menurun, aliran darah menuju paru dipertahankan oleh PDA. Bila terjadi
penyempitan atau penutupan duktus, bayi akan makin sianosis, menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik dan jika tidak teratasi akan berujung pada kematian.11
b. Atresia pulmonal dengan septum ventrikel intak/pulmonary atresia with intact ventricular
septum (PA-IVS)

Gambar 7. Atresia Pulmonal dengan septum interventrikel intak


Patologi utama atresia pulmonal adalah tidak adanya hubungan langsung antara ventrikel
kanan dengan paru. Dua tipe utama atresia pulmonal adalah atresia pulmonal dengan septum

9
ventrikel intak (pulmonary atresia with intact ventricular septum/PAIVS) dan atresia
pulmonal dengan defek septum ventrikel (pulmonary atresia with ventricular septal defect
/PA-VSD). Pada PA-IVS, katup trikuspid dan ventrikel kanan biasanya tidak berkembang,
namun arteri pulmonalis relatif berkembang baik karena mendapat pasokan aliran dari PDA.
Bayi dengan PA-IVS memiliki sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, sehingga jika
terjadi penutupan duktus, bayi akan semakin biru. Tanpa pemberian infus prostaglandin, bayi
akan mengalami perburukan dan dapat meninggal dalam beberapa hari pertama kehidupan.
PA-IVS memiliki kategori fungsional fisiologi single ventrikel dengan tujuan pembedahan
akhirnya adalah operasi Fontan. Operasi paliatif seperti Blalock-Taussig (BT) shunt
dilakukan untuk mengganti fungsi duktus.7
c. Atresia pulmonal/stenosis pulmonal berat dengan defek septum ventrikel/pulmonary
atresia with ventricular septal defect (PA-VSD)

Gambar 8. Atresia pulmonal dengan defek septum interventrikel


Pada PA-VSD, juga dikenal sebagai Tetralogy of Fallot tipe atresia pulmonal, biasanya
terdapat dua ventrikel dengan VSD subaortik besar dan sumber pasokan arteri pulmonalis
yang bermacam-macam. Beberapa pasien hanya memiliki struktur duktal, namun lebih sering
ditemukan memiliki MAPCAs (major aorto pulmonary collateral arteries) yang berasal dari
aorta descenden. Atresia Pulmonal dapat juga merupakan spektrum malformasi jantung
kompleks lainnya, seperti congenitally corrected TGA atau heterotaxy syndrome atau single
ventrikel. Oleh karena tidak terlalu bergantung pada duktus arteriosus, perjalanan penyakit
PA-VSD bergantung pada sirkulasi darah pulmonal dan variabel lainnya. Bayi dengan PA-
VSD akan tampak sianosis di awal kehidupan, beberapa diantaranya bahkan dapat bertahan
sampai usia dewasa meskipun tanpa intervensi, dengan syarat sirkulasi ke pulmonal cukup.7

10
d. Ebstein Anomaly berat (atresia pulmonal fungsional)

Gambar 9.Ebstein Anomaly


Kelainan ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1866 oleh ilmuwan Jerman Wilhelm
Ebstein. Prevalensinya 0,5 % dari seluruh PJB. Kelainan ini ditandai dengan abnormalitas
katup trikuspid, dimana posterior dan septal leafletnya mengalami displacement ke ventrikel
kanan. Katup anterior pada umumnya normal namun ada pula yang mengalami displacement
ringan. Bagian ventrikel kanan antara annulus dan katup yang mengalami displacement
membentuk atrialisasi pada ventrikel kanan. Kondisi menimbulkan insufisiensi berat katup
trikuspid.12
Derajat kelainan anatomi Ebstein Anomaly sangat bervariasi, sehingga fisiologinya
berbeda-beda. Pada pasien dengan displacement ringan katup trikuspid, insufisiensi dapat
tidak ada atau timbul minimal. Beberapa pasien dapat bertahan hingga usia dewasa tanpa
memerlukan intervensi. Pada kasus yang lebih berat, sianosis merupakan temuan utama pada
pemeriksaan fisik. Sianosis dihasilkan secara primer oleh shunting right to left pada level
atrium. Shunting ini merupakan konsekuensi peningkatan tekanan atrium kanan yang
melebihi atrium kiri, ditambah dengan insufisiensi katup trikuspid. Selama atrial sistolik,
darah mengalir dari ventrikel kanan utama menuju atrialisasi ventrikel kanan. Selama sistolik
ventrikel, sebagian besar darah akan kembali ke atrium dibandingkan yang menuju ventrikel
kanan dan selanjutnya menuju arteri pulmonalis.12
Pada periode neonatus, kondisi ini makin diperberat dengan meningkatnya resistensi
vaskular paru. Pada kasus Ebstein anomali berat, kemampuan ventrikel kanan tidak dapat
memompa darah ke depan dengan baik. Sehingga ventrikel kanan tidak dapat memberikan
tekanan yang cukup untuk membuka katup pulmonal, akibatnya akan terjadi atresia pulmonal
secara fungsional. Pada kondisi ini, neonatus dapat mengalami sianosis berat dan bergantung
pada patensi duktus arteriosus untuk memenuhi pulmonary blood flow. Seiring dengan

11
menurunnya resistensi vaskular paru, ventrikel kanan akan dapat memompa darah ke arteri
pulmonalis. Derajat insufisiensi katup trikuspid dan tingkat shunting right to left akan ikut
menurun, sehingga sianosis akan makin berkurang.12

3. PJB kritis dengan sirkulasi paralel (kurangnya mixing intersirkulasi)


Transposisi Arteri Besar (TGA)

Gambar 10. Transposisi Arteri Besar


TGA terjadi pada 5-8 % PJB dan merupakan salah satu PJB sianotik yang paling banyak
ditemui pada bayi baru lahir. Penyakit ini memiliki banyak variasi, namun karakteristik
kelainan jantung utama adalah atrioventrikular concordance dan ventriculoarterial
discordance (aorta berasal dari ventrikel kanan, arteri pulmonalis berasal dari ventrikel kiri).
Pada 50 % kasus, TGA ditemukan tanpa kelainan lain. Kondisi ini disebut TGA simple atau
complete (TGA IVS). Sebaliknya, transposisi kompleks mencakup semua kasus dengan
malformasi yang ada bersamaan, seperti VSD, PS, obstruksi LVOT, anomali arkus aorta dan
anomali aliran balik vena sistemik. Kandungan oksigen arteri pulmonalis jauh lebih tinggi
daripada aorta, sehingga aliran darah hiperoksemik dalam sirkulasi pulmonal tidak efisien. Di
sisi lain, darah hipoksia berada di sirkulasi sistemik. Jika septum ventrikel utuh atau restricted
ASD, terbatasnya percampuran intersirkulasi menyebabkan sianosis yang progresif dalam
beberapa jam pertama kehidupan. Tingkat severitas dan onsetnya tergantung pada tingkat
percampuran antara dua sirkulasi. Terpisahnya secara total dua sirkulasi ini akan
menyebabkan kematian. Setelah lahir beberapa aliran silang antara dua sirkulasi terpisah
tersebut, yaitu duktus arteriosus atau foramen ovale diperlukan untuk bertahan hidup. Tanpa
tatalaksana di awal kehidupan, kebanyakan bayi akan segera meninggal dalam beberapa hari.7

4. PJB kritis dengan mixing intrakardiak komplit tanpa stenosis pulmonal

12
Kelompok kondisi ini meliputi truncus arteriosus, TAPVD dan lesi dengan fisiologi single
ventrikel. Pada trunkus arteriosus dan TAPVD setelah stabilisasi umum, terapi surgikal
darurat seharusnya menjadi pilihan utama pengobatan. Lesi fisiologi single ventrikel sering
berhubungan dengan sindrom heterotaksy dan lesi ektrakardiak kompleks dan karenanya
perlu juga dievaluasi bersama. Skrining pengukuran oksimetri sangat bermanfaat dalam
kelompok gangguan ini. Usia optimal terapi paliatif tahap pertama untuk lesi single ventrikel
tunggal tanpa stenosis pulmonal (PA banding) adalah 6-8 minggu.9

TATALAKSANA PJB KRITIS


Bayi dengan penyakit jantung bawaan (PJB) mungkin tidak membutuhkan resusitasi
tambahan pada saat lahir dan akan tampak asimptomatik dalam beberapa jam atau hari
setelah kelahiran.1,13 Waktu timbulnya gejala dan beratnya gejala pada neonatus dengan PJB
kritis tergantung dari:
1. Perjalanan penyakit dan beratnya defek.
2. Perubahan dari fisiologi kardiovaskular sekunder terhadap efek dari sirkulasi transisional,
antara lain:
a. Penutupan duktus arteriosus/ restriksi dari patent foramen ovale (PFO).
b. Penurunan resistensi vaskular paru.10
Pada neonatus normal, duktus biasanya menutup pada hari-hari awal kehidupan (48 jam
pertama) tanpa menyebabkan gangguan hemodinamik.14 Pada neonatus dengan PJB kritis
tergantung duktus, duktus arteriosus merupakan hal yang paling penting untuk
mempertahankan aliran darah sistemik dan juga aliran paru.7,10 Bayi dengan PJB kritis
tergantung duktus paling berisiko untuk mengalami perburukan dan kematian dalam hari
hingga minggu awal kehidupan.15 Pemberian terapi inisial dengan prostaglandin diperlukan
untuk mempertahankan patensi duktus arteriosus.16
PJB kritis tergantung duktus yang membutuhkan patensi duktus antara lain:
A. Untuk mempertahankan aliran darah sistemik pada lesi obstuktif sisi kiri
- Stenosis aorta kritis/critical aortic stenosis (AS)
- Coarctatio aorta berat
- Interrupted aortic arch (IAA)
- Hypoplastic left heart syndrome (HLHS)
B. Untuk mempertahankan aliran darah pulmonal pada lesi obstruktif sisi kanan
- Stenosis pulmonal kritis/critical pulmonary stenosis (PS)
- Atresia pulmonal dengan septum ventrikel intak

13
- Atresia pulmonal dengan defek septum ventrikel
- Atresia trikuspid
- Anomali Ebstein berat (atresia pulmonal fungsional)
C. Untuk memastikan pencampuran (mixing) yang adekuat pada sirkulasi paralel
- Transposisi pembuluh darah besar dengan septum ventrikel intak10,14
Selain PJB kritis tergantung duktus, terdapat pula jenis PJB kritis lain yang tidak
tergantung duktus dan membutuhkan tatalaksana segera, misalnya total anomalous
pulmonary venous drainage (TAPVD), trunkus arteriosus dan atresia trikuspid dengan
peningkatan aliran darah pulmonal. Kondisi tersebut diatas membutuhkan intervensi bedah
definitif segera.16,17
Neonatus dengan PJB kritis dapat menunjukkan manifestasi yang mengancam nyawa
seperti syok, sianosis, takipnea, edema paru dan bradikardi. 16,17 Kondisi tersebut
membutuhkan resusitasi yang efektif, namun penyebab sianosis serta bradikardi harus
diasumsikan akibat respiratorik bukan kardiak. Harus diingat bahwa kondisi respiratorik dan
metabolik lain, misalnya sepsis dapat menunjukkan gejala yang sama dan lebih sering terjadi
daripada PJB kritis.18 Jika sudah ditegakkan diagnosis akibat kardiak, maka tatalaksana awal
yang tepat harus segera diberikan untuk mencegah perburukan.

Tatalaksana umum untuk stabilisasi


Semua pasien membutuhkan terapi suportif umum yang baik untuk meningkatkan keluaran,
antara lain yaitu akses vaskular, manajemen jalan napas, inotropik, kontrol sepsis,
keseimbangan cairan, asam basa, elektrolit, kontrol temperatur, dukungan nutrisi dan lainnya.
Akses vaskular dapat terjamin dalam dua minggu awal kehidupan melalui vena umbilikal
untuk resusitasi volume, obat-obatan dan monitoring cairan. Target tatalaksana pada PJB
kritis yaitu saturasi oksigen antara 75 – 85 %, optimalisasi volume intravaskular sebelum
inisiasi inotropik dan PGE1. Jika terdapat anemia, gangguan elektrolit dan asidosis harus
segera diatasi.7,15,17
Neonatus dengan syok dan tidak mengalami kenaikan saturasi dengan tes hiperoksia
harus dianggap memiliki sirkulasi tergantung duktus sampai terbukti tidak. Pemberian PGE1
harus dimulai bahkan sebelum diagnosis anatomis ditegakkan. Suplementasi oksigen dapat
mengeksarsebasi penutupan duktus arteriosus dan memperburuk kondisi bayi dengan syok
kardiogenik. Oleh sebab itu, jangan naikkan pemberian oksigen sampai PGE1 diberikan.
Perburukan klinis selama pemberian PGE1 mungkin menandakan TAPVD, HLHS atau
atresia mitral dengan PFO restiktif atau TGA IVS dengan PFO restriktif dan butuh dilakukan

14
ekokardiografi segera. Selama ekokardiografi ketidakstabilan temperatur dan hemodinamik
sering terjadi pada neonatus dengan PJB kritis dan perlu monitoring ketat oleh petugas
medis.15,17
Jika patensi duktus sudah terjaga, perhatikan keseimbangan antara sirkulasi pulmonal
dan sistemik. Sirkulasi pulmonal yang berlebihan akan mengurangi sirkulasi sistemik dan
miokardial, sehingga harus dihindari. Pengukuran untuk mengurangi overflow paru
diantaranya mempertahankan saturasi sistemik antara 75 – 8 % dan PaCO2 5-6 untuk
menghindari respirasi alkalosis, dengan ventilasi mekanik untuk mencapai hal tersebut.
Ventilasi juga mungkin dibutuhkan jika kondisi pasien tetap kritis (hipoksemia berat,
asidosis, dan/atau gagal napas), mengalami apnea dalam pemberian prostaglandin (> 25
ng/kg/menit).15
Ventilasi dengan tekanan positif dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah paru dan
menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik dan preload yang dapat mempengaruhi aliran
pirau, terutama pada bayi sianotik. Jika memulai ventilasi tekanan positif, mulailah dengan
positive end-expiratory pressure (PEEP) yang sangat rendah pada pasien PJB kritis.18

Medikamentosa
1. Prostaglandin E1 (PGE1)
Infus Prostaglandin E1 (PGE1) intravena dimulai dengan dosis 0,05 - 0,1 μg/kg/menit(50 -
100 ng/kg/menit).15 Pasien yang terdiagnosis terlambat mungkin membutuhkan dosis yang
lebih tinggi 0,15 - 0,20 μg/kg/menit. Referensi lain menyatakan dosis PGE1 mulai 0,001
μg/kg/menit (1 ng/kg/menit) dan dapat mencapai 0,4 μg/kg/menit (400 ng/kg/menit). 14
Menurut pedoman praktik klinis Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS
PJNHK) rekomendasi infus PGE1 dimulai dengan dosis 5 ng/kg/menit yang dapat dinaikkan
bertahap agar PDA tetap terbuka sementara dipersiapkan untuk intervensi lebih lanjut. 19
Dosis PGE1 dapat dinaikkan dua kali lipat setiap 10 menit jika tidak ada perbaikan. 15 Jika
kondisi neonatus sudah stabil, dosis dapat dikurangi minimal untuk mempertahankan patensi
duktus. Dosis 0,01 μg/kg/menit dipertahankan ketika duktus terbuka. Efek prostaglandin
biasanya tampak dalam 30 menit dan terus dilanjutkan sampai tindakan bedah definitive atau
diagnosis definitif terbukti bukan lesi duct-dependent.7
Jika bayi tidak memberikan respon terhadap infus prostaglandin, mungkin terdapat
beberapa penjelasan sebagai berikut:
- Akses vena tidak adekuat.

15
- Aliran dalam duktus tidak adekuat, kecepatan infus perlu ditingkatkan. Pasien mungkin
dalam kondisi syok dan asidotik dalam waktu lama.
- Pasien mungkin mengalami disfungsi ventrikel sekunder karena lesi sistemik obstruktif.15
- Pasien mungkin mengalami TAPVD obstruktif dan TGA dengan PFO restriktif.
Walaupun tidak ada PJB yang menjadi kontraindikasi PGE1, kedua kondisi diatas dapat
memberat dengan pemberian PGE1. Intervensi kateter atau bedah mungkin dibutuhkan
segera.15
PGE1 sebagai vasodilator dapat menyebabkan vasodilatasi perifer yang nyata dan
hipotensi. Jika terjadi hipotensi, berikan cairan 5 - 10 cc/kg normal saline (NS) bolus untuk
memperbaiki preload dan mempertahankan pembukaan patent ductus arteriosus (PDA) dan
pembuluh darah paru melalui duktus.18
Karena PGE1 merupakan molekul proinflamatorik, efek samping berupa demam (14 %),
leukositosis, flushing (10 %) dan edema jaringan (1 %).7 Efek samping neurologis yang
tampak antara lain iritabilitas, aktivitas menyerupai kejang (4%), bradikardia (7 %) dan
apnea.7 Depresi napas dilaporkan pada 12 % neonatus, dengan insidens apnea lebih tinggi
pada neonatus dengan berat badan rendah (<2,0 kg).20 Apnea karena prostaglandin tidak
jarang merupakan indikasi intubasi, namun jangan kurangi dosis atau hentikan pemberian
PGE1.7
Masalah lain akibat terapi PGE1 adalah risiko necrotizing enterocolitis (NEC) terkait
enteral feeding. Hal tersebut dikarenakan peningkatan risiko dari hipoperfusi intestinal akibat
fenomena ductal-steal, sehingga disarankan untuk menghindari pemberian makan melalui
enteral.10 Namun data dari studi terkini menyatakan bahwa enteral feeding ditoleransi secara
baik pada PJB duct-dependent.20 Efek jangka panjang termasuk gangguan elektrolit, alkalosis
metabolik, hyperostosis kortikal yang tidak terkait dengan dosis.7
2. Diuretik
Diuretik dapat digunakan, preparat pilihan antara lain Spironolakton 1 - 2 mg/kg/hari, dapat
meningkatkan retensi elektrolit dalam 1 - 3 dosis terbagi. Pada gagal jantung kongestif berat,
Furosemide 1 mg/kg/dosis dapat diberikan sampai diuresis lebih dari 3 ml/kg/jam tercapai.
Dosis dapat diulang dalam 6 - 12 jam; jika tidak ada efek setelah pemberian, dosis dapat
diulang setelah 2 jam.21
3. Natrium bikarbonat
Pengunaan natrium bikarbonat kontroversial, dapat diberikan secara empiris berdasarkan
hasil analisis gas darah, karena asidosis dapat mencetuskan hipoksia akibat vasokonstriksi

16
pulmonal. Pemberian natrium bikarbonat 4,2 % (dengan dosis 2 mEq/kg/dosis) diberikan
intravena lambat dengan ventilasi adekuat.18,21
4. Inotropik
Inotropik atau vasopressor mungkin dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi sistemik dan
pulmonal. Dobutamin 5 mcg/kg/menit dapat diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas
kardiak, kadang dikombinasikan dengan Dopamin 3-5 mcg/kg/menit dosis renal untuk
meningkatkan perfusi renal.18,21

Tatalaksana lesi spesifik


1. PJB kritis dengan sirkulasi sistemik tergantung duktus
Lesi obstruksi pada sisi kiri seperti stenosis aorta kritis, coarctatio aorta (COA),interrupted
aortic arch (IAA) dan hypoplastic left heart syndrome (HLHS) membutuhkan duktus untuk
mempertahankan perfusi sistemik. Tanda seperti perfusi yang buruk, asidosis dan hipotensi
sering ditemukan dengan presentasi klinis menyerupai sepsis.7
Dua prinsip utama dalam manajemen kasus tersebut yaitu: pertama, pertahankan patensi
duktus (perfusi sistemik); kedua, saat patensi duktus terjadi, perhatikan keseimbangan antara
sirkulasi pulmonal dan sistemik. Peningkatan aliran darah paru menyebabkan penurunan
aliran darah sistemik dan miokardium sehingga terjadi tanda perfusi yang buruk seperti
oliguria, asidosis metabolik dan disfungsi miokardium.7,15
Manajemen perioperatif menjadi hal yang paling menantang dengan tujuan
menyeimbangkan sirkulasi sistemik dan pulmonal. Strategi ventilasi harus ditujukan untuk
meningkatkan resistensi vaskular paru untuk mengihindari sirkulasi pulmonal yang
berlebihan. Mempertahankan keseimbangan antara dua sirkulasi yang kompetitif agar terjadi
perfusi adekuat di sistemik dan miokardium. Rasio aliran pulmonal dan sistemik yang ideal
yaitu 1:1. Target tersebut dapat dicapai dengan mengatur tekanan positif akhir ekspirasi/
positive end expiratory pressure (PEEP) sekitar 4 - 6 cm H2O, mengatur laju inspirasi,
tekanan atau volume tidal untuk mempertahankan tekanan CO2 antara 5 - 6 kPa, menghindari
terlalu banyak suplai oksigen, mempertahankan saturasi arterial sistemik sekitar 80% dan
hindari alkalosis respiratorik.7,17 Risiko dari FiO2 yang tinggi atau tekanan parsial CO2 yang
rendah (paCO2) yaitu dapat menurunkan resistensi pulmonal, sehingga terjadi peralihan
volume ke sirkulasi pulmonal dan menyebabkan gagal jantung. Sedasi dengan morfin
biasanya diperlukan, pelemas otot harus dipertimbangkan pada bayi dengan syok dengan
takipnea terus menerus. Fokus terapi ditujukan untuk menurunkan resistensi vaskular
sistemik untuk mempertahankan perfusi sistemik yang lebih baik, menggunakan vasodilator

17
seperti fenoksibenzamin dan inhibitor fosfodiesterase, milrinone.7 Saturasi vena sistemik
merupakan indikator terbaik dari perfusi jaringan dengan target 40 - 50%.17 Beberapa peneliti
telah mengajukan penggunaan in-line monitoring kontinu dari saturasi vena campuran.7
Selain berbagai usaha diatas, jika curah jantung masih rendah harus dilakukan penilaian
ulang terhadap adekuasi dari infus prostaglandin, volume intravaskular dan adanya anemia
harus dinilai ulang. Jika tekanan darah mencukupi, infus nitroprusside dosis rendah dapat
memperbaiki asidosis metabolik. Infus inotropik dosis rendah juga mungkin bermanfaat
untuk memutus lingkaran asidosis metabolik dan perburukan fungsi ventrikel. Pada
umumnya, infus inotropik dosis tinggi harus dihindari karena dapat meningkatkan resistensi
vaskular sistemik, dan mendorong aliran darah kembali ke paru sehingga mengganggu
distribusi aliran darah dari pulmonal ke sistemik.17
a. Stenosis aorta kritis /critical aortic stenosis (AS)
Setelah stabilisasi awal, ekokardiografi harus dilakukan untuk menilai ukuran ventrikel kiri
dan menentukan adekuasinya untuk mempertahankan sirkulasi sistemik. Jika ya, dilatasi
balon pada katup aorta segera merupakan terapi pilihan.22
Bedah valvotomi aorta dapat dilakukan jika neonatus memiliki annulus aorta yang sangat
kecil atau terdapat lesi terkait lainnya. Prosedur Ross (autograft pulmonal) atau
autoransplantasi katup pulmonal ke aorta merupakan pilihan ahli bedah karena katup autograf
berpotensi untuk ikut bertumbuh selama masa kanak-kanak dan tidak membutuhkan
antikoagulan.23

Gambar 11. Valvuloplasti balon (kiri) dan prosedur Ross/autograf pulmonal (kanan)
pada stenosis aorta kritis

18
Gambar 12. Terapi pembedahan dan angioplasti balon pada Coarctatio Aorta
b.Coarctatio Aorta (COA)
Tindakan bedah definitif (gambar 4.2) merupakan terapi pilihan, namun jika bayi mempunyai
masalah lain seperti sepsis, disfungsi multiorgan, maka dilatasi balon merupakan alternatif.
Dilatasi dengan balon memberikan hasil yang baik segera, namun tingkat restenosis sangat
tinggi (>80 %). Komplikasi tersebut dikurangi dengan menggunakan stent. 10,13 Mortalitas
untuk pembedahan COA kurang dari 5 %.22
c.Interrupted aortic arch (IAA)
Pada IAA, pembedahan segera merupakan satu-satunya pilihan.10

Gambar 13. Tatalaksana bedah pada Interrupted Aortic Arch

d.Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS)


Terapi pilihan pada HLHS antara lain operasi Norwood bertahap, operasi Hybrid dan
transplantasi jantung.10 Secara fungsional, terapi paliatif univentrikel terdiri dari tiga tahapan:
1) Pada masa neonatus: Tahap pertama prosedur Norwood bertujuan untuk membuat
hubungan dari ventrikel kiri ke aorta dengan menghubungan langsung trunkus pulmonal

19
proksimal dan aorta ascenden. Aliran darah pulmonal dibuat melalui shunt sistemik ke
pulmonal, atau yang terbaru melalui kanal yang menghubungkan RV-arteri pulmonal. PDA
diligasi, dan hubungan interatrium besar dibuat. Angka kesintasan mencapai 85% walaupun
hasil tahap pertama biasanya tidak baik.
2) Pada usia 6 - 8 bulan: Tahap kedua yaitu membuat hubungan antara vena cava superior
dengan arteri pulmonal (prosedur Glenn bidireksional/bidirectional cavopulmonary shunt
(BPCS)) atau prosedur hemi-Fontan (inkorporasi atap atrium ke anastomosis arteri pulmonal)
untuk mengurangi volume overload sistemik di RV
3) Pada usia 18 bulan - 5 tahun: Tahap ketiga operasi fontan dimana arteri pulmonal diikat
terpisah, untuk mempertahakan patensi duktus dipasang stent. Selanjutnya anastomosis
aortopulmonal digabungkan dengan prosedur Glenn bidireksional.

Gambar 14. Prosedur Norwood pada HLHS


Pendekatan hybrid diikuti oleh operasi sejenis Fontan dilaporkan pada tahun 2008
(Galantowicz dkk). Banyak fasilitas yang menggunakan prosedur ini sebagai alternatif dari
prosedur Norwood tahap 1 untuk HLHS risiko tinggi/ bridging hingga transplantasi jantung.
Keuntungan prosedur ini adalah 1) menciptakan sirkulasi yang stabil dan seimbang tanpa
bedah jantung terbuka, 2) menunda prosedur bedah jantung terbuka hingga BDG atau operasi
hemi-Fontan dapat dilakukan dengan aman (3 - 6 bulan).22
- Prosedur hybrid dilakukan dalam minggu pertama kehidupan. Terdiri dari (1) PA
banding bilateral melalui sternotomi median kecil, menggunakan cincin 12 mm dari
sebuah Gore-Tex tube graft untuk memberikan aliran darah pulmonal yang cukup
tanpa menyebabkan hipertensi pulmonal atau gagal jantung. (2) Memasukkan sebuah
PDA stent melalui sebuah sheath pada main PA untuk memastikan perfusi sistemik
dan koroner yang adekuat. Mortalitas hanya 2,5 %, jauh lebih rendah dari prosedur

20
Norwood (7-19 %). Sebuah prosedur terpisah, atrial septostomi dengan atau tanpa
dilatasi balon dilakukan untuk mempertahankan atrial shunt.

Gambar 15. Prosedur hybrid tahap I untuk HLHS


- Operasi tahap 2 komprehensif dilakukan pada usia 3 - 6 bulan dengan mortalitas
pembedahan 8 %. Operasi ini menggabungkan operasi Norwood dan BDG, dengan
tahapan (1) membuang PDA stent dan PA bands, (2) perbaikan arkus aorta dan arteri
pulmonal, (3) reimplantasi dari aorta ascenden ke pulmonary root, (4) atrial
septostomi, (5) operasi bidirectional Glenn (BDG).
- Operasi sejenis Fontan dilakukan pada usia 2 tahun, seperti Norwood tahap 1,22
HLHS masih merupakan salah satu lesi dengan angka mortalitas tertinggi. Walaupun
hasil pembedahan terus membaik, survival pada saat ini sekitar 65 % pada usia 5 tahun dan
55 % pada usia 10 tahun.7

2. PJB kritis dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus


Stenosis pulmonal kritis, atresia pulmonal dengan septum ventrikel intak (PA-IVS), atresia
tricuspid, fisiologi ventrikel tunggal (univentrikel), Tetralogy of Fallot (TOF) dengan
obstruksi right ventricular outflow tract (RVOT) berat, anomali Ebstein berat (stenosis
pulmonal fungsional) merupakan PJB kritis dalam kelompok ini. Neonatus biasanya sianosis,
hipoksia dan asidosis metabolik berat. Prinsip tatalaksana dalam kondisi tersebut yaitu
mempertahankan sumber aliran darah pulmonal yang stabil. PGE1 diberikan jika saturasi
dibawah 70 %. Jika terjadi depresi miokardium akibat efek asidosis metabolik berat,
inotropik dapat diberikan.10 PGE1 dapat berperan untuk menstabilkan kondisi sementara,
namun intervensi (balloon pulmonary valvotomy, ductus arteriosus stenting, pulmonary valve

21
perforation) atau tatalaksana bedah (systemic to pulmonary artery shunt) tetap diperlukan
setelah koreksi asidosis metabolik.17

Ductus Arteriosus Stenting


Stenting duktus arteriosus merupakan intervensi alternatif yang kurang invasif dibandingkan
BT shunt sebagai terapi paliatif awal pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus.
Sebelum melakukan PDA stenting, prostaglandin harus dihentikan sebelum tindakan
(sebaiknya 6 - 12 jam sebelum tindakan).24 Tujuannya adalah agar duktus tidak terlalu besar
saat dipasang stent, karena jika terlalu besar (≥ 2,5 mm) berisiko mengalami migrasi stent. 25
Prosedur biasanya dilakukan segera setelah lahir dan berhasil pada 80 – 100 % kasus.
Efektivitas menunjukkan peningkatan saturasi yang signifikan setelah stent dipasang.
Komplikasi tindakan antara lain thrombosis akut (2 - 3 %), spasme duktus pre-stent (<1 %),
migrasi stent, perforasi pembuluh darah/bilik jantung dan kerusakan pembuluh darah femoral
permanen. Komplikasi jangka panjang seperti shunt pembedahan, stent restenosis, overflow
paru dengan hipertensi pulmonal. Pada kasus restenosis, angioplasti dengan balon ato
restenting dilakukan, dan bila tidak ada perbaikan segera dirujuk untuk pembedahan.24

Gambar 16. PDA yang sudah dipasang stent


1. Stenosis pulmonal kritis/critical pulmonary stenosis (PS)
Ballon pulmonary valvuloplasty (BPV) merupakan terapi pilihan.10 Beberapa neonatus
mungkin tidak mampu mempertahankan aliran darah maju melalui katup pulmonal karena
RV hipoplastik yang belum mampu. Beberapa mungkin masih membutuhkan infus PGE1
berkepanjangan (hingga 3 minggu), ductal stenting, atau pembedahan sistemik ke pulmonal
(BT-shunt). Valvulotomi bedah jarang, namun diindikasikan pada pasien dengan PS valvular
yang tidak berhasil dilakukan BPV.22

22
Gambar 17. Ballon valvuloplasty untuk stenosis pulmonal
2. Atresia pulmonal dengan septum ventrikel intak
Terapi definitif tergantung ukuran dari ventrikel kanan dan sirkulasi koroner (RV dependent
atau tidak). Jika ventrikel kanan memiliki ukuran yang cukup terhadap bukaan RVOT,
pembedahan atau intervensi kateter (valvuloplasti dengan balon) merupakan pilihan. 13 Pada
beberapa neonatus saat ventrikel kanan belum berfungsi dengan baik, dibutuhkan aliran darah
pulmonal tambahan dalam bentuk Blalock-Taussig (BT) shunt atau ductal stenting setelah
dilatasi balon dari katup pulmonal. Pada pasien dengan ventrikel kanan hipoplastik/sirkulasi
koroner tergantung RV, bayi menjadi kandidat untuk fisiologi ventrikel tunggal.10
3. Atresia pulmonal dengan defek septum ventrikel
Pembuatan shunt dari aorta ke arteri pulmonal, ductal stenting diperlukan untuk
mempertahankan aliran darah ke pulmonal, diikuti koreksi total pada usia lebih besar
merupakan rencana terap.Terapi pembedahan dengan penutupan VSD dan menghilangkan
obstruksi RVOT.10,13

Gambar 18. Pembuatan shunt antara cabang aorta dan arteri pulmonal, PDA
dipertahankan pada PA-IVS dan PA-VSD

23
4. Atresia trikuspid
Prosedur Rashkind (BAS) dapat dilakukan untuk meningkatkan aliran RA-LA. RV biasanya
hipoplastik, aliran darah ke pulmonal tergantung dari adanya VSD yang biasanya kecil,
sehingga biasanya dibuat shunt antara cabang aorta ke cabang pulmonal (Gambar 2.10). 26
Tahap pertama operasi dilakukan BT shunt, terkadang PA banding diperlukan pada bayi
dengan aliran darah pulmonal yang terlalu banyak. Tahap kedua berupa BDG atau hemi-
Fontan pada usia 3 - 6 bulan. Tahap ketiga operasi Fontan pada 1 - 2 tahun setelah operasi
tahap.16

Gambar 19. Tatalaksana atresia trikuspid dengan menbuat hubungan cabang aorta
dan cabang arteri pulmonal.

5. Anomali Ebstein berat (atresia pulmonal fungsional)


Tindakan bedah menjadi indikasi pada anomaly Ebstein berat dengan gejala pada minggu
pertama kelahiran setelah medikamentosa optimal, timbulnya sianosis progresif, polisitemia,
gagal jantung dan aritmia yang terkait dengan sindroma Wolf-Parkinson-White (WPW).22
1. Prosedur paliatif. Pada neonatus dengan kondisi kritis, jika medikamentosa tidak
memberikan perbaikan, intervensi bedah diperlukan.
a. BT-shunt (dengan pembesaran ASD). Prosedur ini dapat menyelamatkan jika terdapat
lesi obstruktif antara RV dan PA, atau stenosis katup trikuspid. Fungsi ventrikel kiri
yang baik (dengan ukuran yang baik) diperlukan untuk keberhasilan prosedur. Operasi
Fontan dilakukan kemudian.
b. Jika ventrikel kiri tertekan oleh ventrikel atau atrium kanan, sebuah tindakan untuk
mengurangi ukuran ventrikel atau atrium kanan harus dilakukan, misalnya prosedur

24
Starnes (penutupan perikardial dari katup trikuspid) atau lipatan dari atrium kanan,
pembesaran dari ASD dan BT shunt menggunakan tube 4 mm. Operasi Fontan
dilakukan kemudian
c. Anastomosis Glenn klasik (BDG/BCPS) dari vena kava superior ke arteri pulmonal
kiri atau modifikasinya.
2. Prosedur definitif. Anak dengan ukuran dan fungsi RV baik merupakan kandidat untuk
repair biventrikel (dengan perbaikan atau penggantian katup trikuspid). Ukuran atau fungsi
RV yang kurang membutuhkan operasi Fontan.22
Pada anomali Ebstein, adanya takikardia terkait jalur asesorius mungkin menyulitkan
tatalaksana. Ablasi radiofrekuensi aritmia direkomendasikan. Pengukuran untukmengurangi
resistensi vaskular paru dan memperbaiki aliran pulmonal antegrade (FiO2 tinggi, nitrit
oksida dan hiperventilasi untuk menginduksi alkalosis respiratorik ringan) mungkin
bermanfaat pada beberapa neonatus. Hipoplasia pulmonal pada anomali Ebstein berat (karena
dilatasi jantung kanan in utero) mungkin tidak respon terhadap cara diatas dan mempunyai
mortalitas yang tinggi.17

3. PJB kritis dengan sirkulasi paralel (kurangnya mixing intersirkulasi)


Neonatus dengan transposisi arteri besar dengan septum ventrikel intakbutuh pencampuran
(mixing) antara sirkulasi paralel pulmonal dan sistemik untuk bertahan hidup. Tatalaksana
awal dalam kasus tersebut bertujuan untuk memastikan mixing adekuat dan optimalisasi
saturasi vena sistemik campuran (sebagai indeks dari perfusi sistemik).17
Prostaglandin-E1 (PGE1) intravena, secara rutin digunakan untuk membuka dan
mempertahankan patensi dari duktus arteriosus pada pasien TGA.13,20 Neonatus yang tidak
respon terhadap infus prostaglandin intravena biasanya memiliki PFO restriktif dan/atau
hipertensi pulmonal berat, pada kondisi ini diperlukan tindakan BAS. 17
Proporsi bayi yang kembali mendapatkan PGE1 setelah prosedur BAS sekitar 50 %.
Tidak terdapat hubungan antara ukuran ASD dan bisa tidaknya terapi PGE1 dihentikan
Perubahan resistensi pulmonal yang disebabkan PGE1 dapat menyebabkan rebound hipoksia
setelah penghentian infus PGE1 setelah BAS.20 Penyebab pemberian PGE1 lanjutan pada
BAS yang berhasil belum jelas diketahui. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah PGE1
meningkatkan aliran darah paru melalui patensi duktus dan efek vasodilatasi pulmonal
langsung.27
Balloon Atrial Septostomy (BAS) Balloon atrial septostomy (BAS atau prosedur Rashkin
menggunakan kateter dengan balon di pangkalnya. Balon dikembangkan di septum atrium,

25
lalu kateter ditarik kembali ke atrium kanan untuk merobek septum atrium. Jika diameter
akhir ASD lebih dari 5 mm dan terjadi peningkatan saturasi oksigen, prosedur dikatakan
berhasil.7,20
BAS dilakukan pada pasien TGA dengan hipoksia berat walaupun sudah diberikan infus
prostaglandin.28 Setelah prosedur BAS, penilaian ekokardiografi dan hemodinamik dilakukan
untuk memastikan pencampuran darah intrakardiak berlangsung baik. Apabila prosedur
berhasil, saturasi bayi akan segera mengalami perbaikan, pada kondisi ini infus prostaglandin
dapat dihentikan selama tidak ada obstruksi arkus aorta.29
Komplikasi akibat BAS antara lain trauma vaskular, aritmia, perforasi atrium,
tamponade. Mortalitas selama prosedur dapat mencapai 3%, sehingga BAS tidak secara rutin
diindikasikan, tetapi harus dipertimbangkan kapanpun jika terdapat bukti risiko kerusakan
otak/organ lain yang potensial.20,28
Setelah pasien stabil, tindakan bedah koreksi yang dikenal dengan arterial switch
operation (ASO) dapat dilakukan pada minggu-minggu awal kelahiran (disarankan sebelum 2
minggu, maksimal 4 minggu).10,29 Bila pada kondisi preoperatif terapi ditujukan untuk
menjaga oksigenasi sistemik, setelah operasi terapi ditujukan untuk menjaga curah jantung
agar adekuat. Pascaoperasi, ventrikel kiri seringkali membutuhkan support inotropik.30
Manajemen terapi dan penentuan waktu yang terbaik untuk menjalani operasi berbeda
antara satu institusi dengan institusi yang lain. Klinisi harus bisa menganalisa resiko,
keuntungan dan waktu yang tepat dalam pemberian terapi 1) PGE1; 2) BAS dan 3) waktu
dilakukannya ASO. Dengan manajemen terapi yang baik, klinis 90 % pasien TGA bisa relatif
stabil dan menjalani prosedur ASO elektif.31

4. PJB kritis dengan mixing intrakardiak komplit tanpa stenosis pulmonal


Termasuk dalam kelompok ini trunkus arteriosus, total anomalous pulmonary venous
drainage (TAPVD) dan lesi dengan fisiologi ventrikel tunggal. Pada kedua kondisi pertama
setelah stabilisasi, operasi segera menjadi pilihan terapi.10
Pada TAPVD operasi korektif yang menghubungan arteri pulmonal dengan atrium kiri
harus dilakukan segera. BAS dapat dilakukan sebagai prosedur paliatif untuk meningkatkan
aliran darah sistemik sebelum pembedahan, namun jangan sampai menunda bedah definitif.13

26
Kesimpulan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang sering ditemukan
mencapai 7% kelahiran. PJB kritis jika tidak terdiagnosis dan ditatalaksana dengan tepat
memiliki angka mortalitas mencapai 30 %. Deteksi dini dan intervensi merupakan satu-
satunya cara untuk menyelamatkan pasien.
Dilatasi transkateter dengan balon (valvuloplasti) untuk stenosis pulmonal atau atresia
pulmonal kritis secara teknis sulit, namun dilakukan dengan prosedur gawat darurat. Pada
COA berat, dilatasi balon seringkali menyelamatkan nyawa, namun angka restenosis sangat
tinggi sehingga terapi lini awal yaitu koreksi bedah. Intervensi PDA stenting pada lesi
obstruksi pulmonal tergantung duktus dapat dilakukan sebagai alternatif BT shunt atau
penggunaan PGE1 berkepanjangan. Kateterisasi jantung paliatif seperti BAS pada TGA IVS
dapat memperbaiki saturasi oksigen.
Jika kondisi postnatal yang serius ingin diantisipasi, persalinan sebaiknya direncanakan
pada fasilitas kesehatan tersier yang mampu menangani dengan baik

27
Daftar Pustaka

1. Zeng Z, Zhang H, Liu F, Zhang N. Current diagnosis and treatments for critical
congenital heart defects . Exp Ther Med. 2016;11(5):1550–4
2. Wren C, Reinhardt Z, Khawaja K. Twenty-year trends in diagnosis of life-threatening
neonatal cardiovascular malformations. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed.
2008;93:F33-5.
3. Oster M, Lee K, Honein M, Colarusso T, Shin M, Correa A. Temporal trends in
survival for infants with critical congenital heart defects. Pediatrics. 2013;131:e1502-
8.
4. Clarke E, Kumar MR. Evaluation of suspected congenital heart disease in the
neonatal period. Current Paediatrics. 2005;15:523–31.
5. Endah S. Mengenal penyakit jantung bawaan kritis. Repository UNPAD.2014:1-19
6. Ain N, Hariyanto D, Rusdan S. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung Bawaan
Pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 - Mei 2012. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2015;4(3):928-35.
7. Yun SW. Congenital heart disease in the newborn requiring early intervention.
Korean J Pediatr. 2011;54(5):183–91.
8. Park MK. The Pediatric Cardiology Handbook. 4 ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.
141-55 p.
9. Saktheeswaran MK. Critical Congenital Heart Disease in Neonates: Evaluation and
Mangement. Kerala Heart Journal. 2014;4(2):29-34.
10. Tomar M. Neonatal Cardiac Emergencies: Evaluation and Management. J Intensive
& Crit Care. 2016;2(2):12.
11. Ren X, Cannistra LB. Pulmonic Stenosis: Medscape; 2017.
12. Webb GD, Smallhorn JF, Therrien J, Redington AN. Congenital Heart Disease. Pada:
Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, editor. Braunwald's Heart Disease. 10th
ed. Philadelphia: Elsevier 2015. p. 1424-28.
13. Kabbani N, Kabbani MS, Taweel HA. Cardiac Emergencies in Neonates and Young
Infant. Avicenna J Med 2017;7:1-6.
14. Agarwal N, Agarwal M, Joshi R. Neonatal and Pediatric Cardiac Emergencies -
When to Start Prostaglandin in Neonate. 2015.
15. McGovern E, Sands AJ. Perinatal Management of Major Congenital Heart Disesase.
Ulster Med J 2014;83:135-9.
16. Toganel R. Critical Congenital Heart Diseases as Life-threatening Conditions in the
Emergency Room. Journal of Cardiovascular Emergencies 2016;2:7-10.
17. Saktheeswaran MK. Critical Congenital Heart Disease in Neonates: Evaluation and
Management. Kerala Heart Journal 2014;4:29-34.
18. Strobel AM, Le LN. The Critically Ill Infant with Congenital Heart Disease. Emerg
Med Clin North Am 2015;33:501-18.
19. Harimurti GM, Rahayoe AU, Roebiono PS, Atmosudigdo IS, Lilyasari O, Prakoso R.
Pedoman Praktik Klinis RS PJNHK Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan
Penyakit Jantung Bawaan. Jakarta. 2014.
20. Séguéla P-E, Roubertie F, Kreitmann B,dkk. Transposition of the great arteries:
Rationale for tailored preoperative management. Arch Cardiovasc Dis 2016;11.
21. Luca A-C, Holoc A-S, Subotnicu M, Iordache C. Clinic and Therapeutic Aspects in
Ductus-Dependent Congenitall Heart Defects. Romanian Journal of Pediatrics
2015;64:122-5.
22. Park MK. Specific Congenital Heart Defects. Park's The Pediatric Cardiology
Handbook. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.

28
23. Pediatric Valvar Aortic Stenosis Treatment & Management. Medscape, 2016.
24. Buys DG, Brown SC, Greig C. Stenting the Arterial Duct: Practical aspects and
reviews of outcomes. SAHeart 2013;10:514-20.
25. Alwi M. Stenting the ductus arteriosus: Case selection, technique and possible
complications. Ann Pediatr Card 2008;1:38-46.
26. The Royal Children's Hospital Melbourne. Heart Defects. 2016. (Diunduh dari:
http://www.rch.org.au/cardiology/heart_defects/.)
27. Hiremath G, Natarajan G, Math D, Aggarwal S. Impact of balloon atrial septostomy
in neonates with transposition of great arteries. J Perinatol 2011;31:494-9.
28. Laan ME, Verhagen EA, Bos AF, Berger RMF, Kooi EMW. Effect of balloon atrial
septostomy on cerebral oxygenation in neonates with transposition of the great
arteries. Pediatrics 2013;73:62-8.
29. Management and outcome of D-transposition of the great arteries. UpToDate, Inc.
Wolters Kluwer, 2016. (Diakses pada 3 Agustus, 2017, diunduh dari:
https://www.uptodate.com/contents/management-and-outcome-of-dtransposition-of-
the-great-arteries.)
30. Butts RJ, Ellis AR, Bradley SM, Hulsey TC, Atz AM. Effect of Prostaglandin
Duration on Outcomes in Transposition of the Great Arteries with Intact Ventricular
Septum. Congenit Heart Dis 2012;7:387-91.
31. Villafane J, Lantin-Hermoso MR, Bhatt AB, et al. D-Transposition of the Great
Arteries: The Current Era of the Arterial Switch Operation. J Am Coll Cardiol
2014;64:498-511.

29

Anda mungkin juga menyukai