Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia hemolitik autoimun atau autoimmune hemolytic anemia (AIHA)

merupakan suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya autoantibodi

terhadap eritrosit sendiri.1 Dari semua jenis anemia, AIHA adalah bentuk anemia

yang tidak umum. Bahkan diantara kelompok-kelompok anemia hemolitik, AIHA

bukanlah varian yang paling umum. Berdasarkan data register pusat hemotologi di

dunia barat tidak lebih dari 5 hingga 10 pasien dengan AIHA didiagnosis per tahun. 2

AIHA dianggap sebagai komplikasi dari terapi anti-neoplastik pada pasien kanker,

khususnya mereka dengan chronic lymphocytic leukemia (CLL). Selain itu, AIHA

cukup sering dijumpai pada pasien dengan penyakit menular, gangguan kolagen

(gangguan autoimun sistemik), dan kadang-kadang juga setelah transplantasi organ. 2

Penyebab kematian pada AIHA tidak selalu ditentukan namun studi otopsi telah

mengungkapkan bahwa emboli paru merupakan temuan umum baik pada manusia

dan hewan.3

Diperkirakan angka kejadian AIHA pada orang dewasa sekitar 0,8-3 per

100.000 / tahun, dengan prevalensinya 17:100.000 dan tingkat kematian mencapai

11%. AIHA sangat jarang pada masa bayi dan masa kanak-kanak, angka kejadiannya

sekitar 0,2 per 100.000 / tahun, dimana penyebab primer kurang lebih 37% terkait

dengan gangguan kekebalan pada 53% kasus. Tingkat kematian AIHA lebih rendah

1
pada anak-anak sekitar 4%, tetapi dapat meningkat menjadi 10% jika anemia

hemolitik dikaitkan dengan trombositopenia autoimun (Sindrom Evans). Penyebab

AIHA bisa idiopatik (50%) atau sekunder dari sindrom limfoproliferatif (20%),

penyakit autoimun (20%), infeksi dan tumor. Diagnosis biasanya sederhana,

berdasarkan adanya anemia hemolitik dan bukti serologis antibodi anti-eritrosit, yang

dapat dideteksi dengan pemeriksaan direct antiglobulin test (DAT).4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) atau autoimmune hemolytic anemia (AIHA)

adalah suatu keadaan hemolitik yang dasar patofisiologinya melalui proses autoimun.

2
Sel darah merah dibentuk secara normal tetapi mengalami proses destruksi dini

karena kerusakan yang diperoleh dalam sirkulasi. AIHA terjadi jika terdapat

autoantibodi yang dihasilkan oleh sistem imunologi penderita sendiri dan melekat

pada sel darah merah yang menyebabkan pecahnya sel darah merah yang berlebihan

sehingga menyebabkan penurunan sel darah merah sedangkan sumsum tulang tidak

dapat mengkompensasi destruksi sel darah merah yang dipecah secara berlebihan.5

2.2. Klasifikasi
Klasifikasi AIHA umumnya diklasifikasikan menurut karakteristik reaktivitas

suhu dari autoantibodi sel darah merah, dikenal dengan warm autoantibody bereaksi

lebih kuat pada suhu 37 ° C dan menunjukkan penurunan afinitas pada suhu yang

lebih rendah. Cold autoantibody mengikat sel darah merah pada suhu 0-4 ° C dan

umumnya menunjukkan sedikit afinitas pada suhu fisiologis. Kadang-kadang pasien

memiliki kombinasi warm autoantibody dan cold autoantibody.6

3
Gambar 1. Klasifikasi AIHA6

a. Warm AIHA
Pada tahun 1980 Petz dan Garratty dan tahun 1981 Sokol et al. menemukan

bahwa warm autoantibody bertanggung jawab atas 48-70% kasus AIHA. Gangguan

limfoproliferatif seperti leukemia limfositik kronis, penyakit Hodgkin, limfoma non-

Hodgkin, dan macroglobulinemia Waldenstorm adalah penyebab utama warm AIHA

pada kasus sekunder.6 Sekitar 80% dari semuaAIHA adalah Warm AIHA. Antibodi

yang sering terlibat adalah klas igG yang dapat menyebabkan hemolisis intravascular

dan atau ekstravaskular.5


b. Cold AIHA
Cold-reactive autoantibodies menyebabkan dua manifestasi klinis yang berbeda:

cold hemagglutinin disease (CAS) dan paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH).

CAS mewakili sekitar 16-32% kasus AIHA. CAS primer umumnya mengenai orang

4
dewasa yang lebih tua, dengan insiden pada sekitar 70 tahun dengan sedikit dominan

perempuan. Infeksi dan gangguan limfoproliferatif adalah penyebab utama kasus

sekunder. Kasus khas etiologi infeksi melibatkan pneumonia mikoplasma atau

mononukleosis menular pada remaja atau dewasa muda. PCH adalah bentuk AIHA

yang relatif tidak umum, angka kejadiannya 2-10% pada kasus anemia hemolitik.6
c. AIHA tipe campuran
Beberapa pasien dengan Warm AIHA juga memiliki cold aglutinin. Sedangkan

mayoritas cold agglutinin ini tidak signifikan secara klinis, kadang-kadang

cold agglutinin memiliki amplitudo suhu yang cukup (> 30 ° C) atau titer tinggi

(> 1: 1000 pada 0-4 ° C) untuk menunjukkan CAS. Tipe campuran AIHA dapat

berupa idiopatik atau sekunder karena gangguan limfoproliferatif atau SLE.6


d. Drug induced AIHA
Obat-obatan dapat menyebabkan hemolisis baik oleh mekanisme imun dan

non-imun. Secara historis, alpha methyldopa dan penicillin dosis tinggi bertanggung

jawab untuk sebagian besar kasus AIHA yang diinduksi obat. Sokol dkk pada tahun

1981 mempublikasikan bahwa dua obat ini bertanggung jawab untuk 12-18% dari

kasus AIHA yang diinduksi oleh obat. Meskipun insidensi obat yang diinduksi AIHA

cenderung menurun sejak saat itu, namun sefalosporin generasi kedua dan ketiga

terutama cefotetan dan ceftriaxone telah dikaitkan kejadian AIHA yang diinduksi oleh

obat yang kadang-kadang dapat berakibat fatal.6

2.3. Etiologi
Anemia hemolitik autoimun disebabkan oleh kelainan ekstrinsik pada red blood

cell (RBC).
1. Warm antibody hemolytic anemia ( WARM AIHA)

5
Warm AIHA bentuk paling umum AIHA, lebih sering terjadi pada wanita.

Autoantibodi dalam Warm RM AIHA umumnya bereaksi pada suhu ≥ 37 ° C.

Penyebab Warm AIHA sebagai berikut :

 Primer (idiopatik)
 Sekunder (terkait dengan gangguan yang mendasarinya seperti SLE, limfoma,

leukemia limfositik kronis atau setelah penggunaan obat-obatan tertentu).

Beberapa obat (misalnya, alfa-methildopa, levodopa dll) dapat menyebabkan

Warm AIHA dengan merangsang produksi autoantibodi terhadap antigen Rh (alfa-

methyldopa-type AIHA). Obat lain merangsang produksi autoantibodi terhadap

kompleks membran antibiotik-RBC- sebagai bagian dari mekanisme hapten transien;

hapten mungkin stabil (misalnya penicillin dosis tinggi, sefalosporin) atau tidak stabil

(misalnya quinidine, sulfonamide).7

6
7
Pada WARM AIHA, hemolisis terjadi terutama di limpa dan bukan karena lisis

langsung sel darah merah. Sering parah dan bisa berakibat fatal. Sebagian besar

autoantibodi pada WARM adalah IgG.7

2. Cold Aglutinin disease


Cold Aglutinin disease (cold antibody disease) disebabkan oleh autoantibodi

yang bereaksi pada suhu <37 ° C. Penyebab termasuk 7 :


 Infeksi (terutama pneumonia mikoplasma atau mononukleosis infeksi)
 Gangguan limfoproliferatif
 Idiopatik

Infeksi cenderung menyebabkan penyakit akut, sedangkan penyakit idiopatik

(bentuk umum pada orang dewasa yang lebih tua) cenderung menjadi kronis.

Hemolisis terjadi sebagian besar dalam sistem fagosit mononuklear ekstravaskular

pada hati dan limpa. Anemia biasanya ringan (Hb>7,5 g / dL). Autoantibodi pada

Cold Aglutinin disease biasanya IgM. Semakin tinggi suhu (yaitu, semakin dekat

dengan suhu tubuh normal) di mana antibodi ini bereaksi dengan RBC, semakin besar

hemolisis.7

3. Paroxysmal cold hemoglobinuria

Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH; Donath-Landsteiner syndrome) adalah

tipe penyakit cold agglutinin yang jarang. PCH lebih sering terjadi pada anak-anak.

Hasil hemolisis bersumber dari paparan dingin, yang bahkan dapat dilokalisasi

(misalnya, dari minum air dingin, dari mencuci tangan dalam air dingin). Antibodi

IgG berikatan dengan antigen P pada sel darah merah pada suhu rendah dan

8
menyebabkan hemolisis intravaskuler setelah pemanasan. Ini terjadi paling sering

setelah penyakit virus nonspesifik atau pada pasien yang sehat, meskipun terjadi pada

beberapa pasien dengan sifilis kongenital atau didapat. Tingkat keparahan dan

kecepatan perkembangan anemia bervariasi dan mungkin fulminan. Pada anak-anak,

penyakit ini sering sembuh sendiri.7

2.4. Gejala klinis


Pada dasarnya manifestasi klinis dari AIHA tergantung kecepatan hemolisis dan

beratnya anemia. Individu dengan AIHA biasanya menunjukan gejala serupa dengan

tipe anemia yang lainnya seperti kelelahan, pucat, sakit kepala, takikardia, takipne,

bahkan dapat terjadi gagal jantung. Ikterus dapat terjadi akibat kelebihan pigmen

bilirubin karena kecepatan hemolisis lebih besar daripada kemampuan hepar untuk

memetabolisme bilirubin. Beberapa gejala yang unik dari AIHA adalah splenomegali

kadang hepatomegai karena destruksi sel darah merah yang berlebihan dan urin yang

berwarna gelap karena kelebihan katabolit hasil hemolisis sel darah merah.5,8
Gejala yang muncul dari warm AIHA umumnya terkait dengan anemia itu

sendiri. Biasanya, timbulnya gejala berat selama berbulan-bulan. Lebih jarang pasien

mengalami onset gejala anemia yang berat secara tiba-tiba dan ikterus selama

beberapa hari. Pada AIHA sekunder, gejala dan tanda penyakit yang mendasari

mungkin menggambarkan warm AIHA. Pada warm AIHA idiopatik dengan hanya

anemia ringan, pemeriksaan fisik biasanya tidak biasa. Bahkan pasien dengan

hemolisis berat mungkin hanya mengalami splenomegali ringan. Dalam kasus yang

9
sangat berat, termasuk dengan onset akut, pasien dapat mengalami demam, pucat,

ikterus, hepatosplenomegali, hiperpnea, takikardia, angina, atau gagal jantung.9

Gambar 2. Pemeriksaan fisik Warm AIHA : Kulit pucat, ikterus dan kuku pucat, hemoglobin
4,8 g / dl.9

Gambar 3. Pemeriksaan fisik cold AIHA : Livedo reticularis.9

10
Gambar 4. Acrocyanosis pada jari kaki pasien dengan titer IgM tinggi cold agglutinin.9

Pada cold agglutinin disease, ikterus dan Livedo reticularis dapat ditemukan,

acrocyanosis yang melibatkan jari, jari kaki, hidung, dan telinga disebabkan oleh

sludging sel darah merah pada mikrovaskulatur kulit, ulserasi kulit dan nekrosis

jarang terjadi. Temuan fisik lainnya bervariasi dan tergantung pada keberadaan dan

sifat penyakit yang mendasarinya. Splenomegali, suatu temuan karakteristik pada

penyakit limfoproliferatif atau mononukleosis menular, dapat diamati pada cold


9
agglutinin disease. Gejala PCH mungkin termasuk nyeri hebat di punggung dan

kaki, sakit kepala, muntah, diare, dan perjalanan urin coklat gelap;

hepatosplenomegali mungkin ada.7

2.5. Diagnosis

11
Diagnosis AIHA biasanya langsung dan dibuat atas dasar temuan laboratorium :

anemia normositik atau makrositik, retikulositosis, kadar haptoglobin serum rendah,

peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH), peningkatan kadar bilirubin tidak

langsung, dan uji antiglobulin langsung positif dengan antibodi spektrum luas

terhadap imunoglobulin dan komplemen. ). Namun, perlu diperhatikan terutama

dalam kasus sekunder, karena tidak selalu semua temuan laboratorium khas AIHA

dapat ditemukan. Jenis antibodi dapat diidentifikasi dengan penggunaan antibodi

monospesifik untuk imunoglobulin G (IgG) dan C3d.8

Untuk diagnosis AIHA sekunder, riwayat yang teliti, termasuk informasi

mengenai onset (akut atau insidious), riwayat infeksi, informasi tentang transfusi

terbaru, paparan obat-obatan atau vaksinasi, tanda-tanda penyakit kekebalan

(arthritis), dan kondisi klinis umum sangat membantu. Pengecualian anemia

hemolitik yang diinduksi obat sangat penting, karena menghentikan obat adalah

tindakan terapeutik yang paling efektif dalam situasi ini. Pemeriksaan klinis (untuk

menyingkirkan limfadenopati, splenomegali) adalah wajib. Kebutuhan untuk

diagnosis tambahan harus ditentukan oleh temuan klinis, dan jenis antibodi.

Pemeriksaan rutin yang relevan untuk pengobatan mungkin termasuk pemeriksaan

perut dengan computed tomographic scan (untuk mencari splenomegali, limfoma

perut, kista dermoid ovarium, karsinoma sel ginjal), penentuan kuantitatif

imunoglobulin, pencarian antikoagulan lupus dalam kasus WARM AIHA atau

12
pemeriksaan sumsum tulang dan pencarian imunoglobulin klonal (fiksasi kekebalan)

dalam kasus cold agglutinin disease.8

Gambar 5. Alogaritma diagnosis AIHA8

a. Apusan darah tepi


AIHA harus dicurigai pada pasien dengan anemia hemolitik (ditandai dengan

adanya anemia dan retikulositosis). Apusan darah tepi biasanya menunjukkan

mikrosferosit (dan jumlah retikulosit akan tinggi). Tes laboratorium biasanya

13
menyarankan hemolisis ekstravaskuler (misalnya, hemosiderinuria tidak ada; tingkat

haptoglobin mendekati normal, schistocytes tidak ada pada pewarnaan) kecuali

anemia mendadak dan berat atau PCH adalah penyebabnya. Spherocytosis dan

konsentrasi hemoglobin corpuscular rata-rata yang tinggi (MCHC) adalah khas.7

Gambar 6.Apusan darah tepi pada AIHA 7

b. Direct Coombs test


AIHA didiagnosis dengan deteksi autoantibodi dengan tes antiglobulin langsung

(Direct Coombs test). Serum antiglobulin ditambahkan ke sel darah merah yang

diperoleh dari pasien; aglutinasi menunjukkan adanya imunoglobulin atau

komplemen (C) yang terikat dengan sel darah merah. Umumnya IgG ditemukan pada

WARM AIHA, dan C3 (C3b dan C3d) pada cold agglutinin disease. Tes ini ≤ 98%

sensitif untuk AIHA; hasil negatif palsu dapat terjadi jika densitas antibodi sangat

rendah atau jika autoantibodi adalah IgA atau IgM. Dalam kebanyakan kasus AIHA

hangat, antibodi adalah IgG yang diidentifikasi hanya sebagai panagglutinin, yang

berarti spesifisitas antigen antibodi tidak dapat ditentukan. Pada AIHA dingin,

14
antibodi biasanya IgM diarahkan terhadap karbohidrat I / i pada permukaan RBC.

Titer antibodi biasanya dapat ditentukan tetapi tidak selalu berkorelasi dengan

aktivitas penyakit.7
c. Indirect coombs test
Tes antiglobulin tidak langsung (Indirect coombs test ) adalah tes komplementer

yang terdiri dari campurn plasma dengan sel darah merah normal untuk menentukan

adanya antibodi bebas dalam plasma. Uji antiglobulin tidak langsung positif dan tes

langsung negatif umumnya menunjukkan alloantibodi yang disebabkan oleh

kehamilan, transfusi sebelumnya, atau lektin cross-reaktivitas daripada hemolisis

imun.7

15
2.6. Terapi
Terapi pada AIHA adalah kortikosteroid, splenektomi, sitostatik imunosuppresif,

transfusi darah, terapi hormonal, immunoglobulin intravena dan plasmaferesis.


a. Terapi lini pertama
Kortikosteroid merupakan lini pertama yang penting pada AIHA dengan dosis

prednisone 1 mg/kgBB/hari dibagi beberapa dosis, selama 14 hari apabila

memberikan respons yang baik, Hb normal, retikulosit normal diteruskan 14 hari lagi

kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan sampai dosis paling kecil tanpa adanya

tanda-tanda hemolisis. Apabila dengan kortikosteroid tidak memberikan respon

setelah pemberian selama 14 hari dosis kortikosteroid diturunkan kemudian di stop.

16
Pasien AIHA pada terapi steroid berkepanjangan harus diberikan bifosfonat, vitamin

D, kalsium, dan suplementasi asam folat. Pasien dengan hemolisis yang sangat cepat

dan anemia yang sangat berat, atau kasus yang kompleks seperti Sindrom Evans,

mungkin memerlukan metilprednisolon intravena dosis 100-200 mg / hari selama 10-

14 hari atau 250-1000 mg / hari selama 1-3 hari.4,5


b. Lini kedua
Sebagai lini kedua terapi AIHA adalah splenektomi. Dengan splenektomi akan

mengurangi jumlah antibodi, kerusakan oleh makrofag dalam limpa juga akan

berkurang.5 Splenektomi secara umum dianggap sebagai pengobatan lini kedua

konvensional yang paling efektif pada WARM AIHA pada pasien yang tidak

responsif atau tidak toleran terhadap kortikosteroid, pasien yang membutuhkan dosis

harian prednison lebih dari 10 mg, dan pada pasien dengan beberapa relaps. Namun,

keampuhannya tidak pernah dibandingkan dengan pendekatan lini kedua lainnya, dan

tidak ada data yang meyakinkan tentang durasi remisi setelah operasi tersedia. Faktor

yang mendukung splenektomi sebagai terapi lini kedua terbaik termasuk efikasi

jangka pendek dan tingkat respons awal yang baik: remisi parsial atau lengkap

diperoleh pada sekitar 2 dari 3 pasien (38-82%) tergantung pada persentase sekunder

kasus yang tampaknya kurang responsif daripada bentuk idiopatik). Sangat penting

untuk menyebutkan bahwa pasien dengan hemolisis persisten atau berulang setelah

splenektomi sering memerlukan dosis kortikosteroid yang lebih rendah daripada

sebelum operasi. Kelemahan dari splenektomi adalah kurangnya prediktor yang dapat

diandalkan dari hasilnya, karena keefektifannya tidak terkait dengan durasi penyakit,

respon terhadap steroid atau tingkat penyerapan limpa. Selain itu, splenektomi

17
mungkin terkait dengan komplikasi bedah (emboli paru, perdarahan intra-abdomen,

abses abdominal, hematoma dinding perut), meskipun intervensi laparoskopi telah

menurunkan risiko bedah dibandingkan dengan operasi konvensional (0,5-1,6%:6%).

Komplikasi yang paling ditakuti setelah splenektomi adalah sepsis luar biasa karena

bakteri yang dienkapsulasi, dengan risiko 3,3-5% dan tingkat kematian hingga 50%,

bahkan setelah pengenalan vaksinasi pra-operasi terhadap pneumokokus,

meningokokus, dan hemofilus.4


c. Lini ketiga
Sebagai lini ketiga untuk penderita yang gagal dengan steroid dan splenektomi

atau pada orang tua yang mempunyai risiko tinggi bila dilakukan splenektomi atau

pada penderita yang menolak operasi atau yang mempunyai efek samping serius

dengan steroid dapat digunakan obat immunosupresif seperti siklofosfamid 2

mg/kgBBB/ dapat menghambat produksi autoantibodi, produksi sitokin dan sebagai

mekanisme efektor yang menghambat siklus sel yang abnormal sehingga

menghambat proliferasi sistim imun sel T dan sel B.5


d. Transfusi darah
Transfusi darah diberikan bila terdapat anemia yang sangat berat dan mengancam

jiwa penderita. Darah yang diberikan adalah darah yang paling sedikir memberikan

reaksi ( WE=wash erythrocyte), sebab pemberian transfusi akan memperberat

hemolisisnya.4 Keputusan untuk transfusi harus bergantung tidak hanya pada tingkat

hemoglobin, tetapi lebih pada status klinis dan komorbiditas pasien (terutama jantung

iskemik atau penyakit paru berat), ketajaman penyakit saat onset, kecepatan

perkembangan anemia, dan adanya hemoglobinuria atau hemoglobinemia dan

manifestasi lain dari hemolisis berat.5

18
e. Immunoglobulin intravena
Dosis tingi immunoglobulin intravena 400 mg/kgBB/ hari sampai 2 g/ kgBB /

hari selama 5 hari juga masih dalam penelitian diduga sebagai anti idiotipe.

immunoglobulin ini menetralisasi autoantibodi sehingga mencegah perleketan dengan

sel darah merah, menurunkan produksi autoantibodi dan meregulasi fungsi sel T .5
f. Plasmaferesis
Plasmaferesis pada penderita dengan cold aglutinin cukup efektif terjadi

hemolisis yang sangtt berat dan tidak terkontrol mengingat proses hemolisisinya

terjadi intravena.5

19
Gambar 3. Alogaritma penatalaksanaan WARM AIHA4

2.7. Prognosis
Pada Warm AIHA prognosisnya tidak dapat diduga, sebagian kecil akan

mengalami remisi komplit. Sebagian lagi menjadi kronis. Prognosis pada Warm

AIHA sekunder sangat tergantung pada perjalanan penyakit yang mendasarinya.

Mereka yang pulih dari episode hemolitik awal memiliki prognosis yang baik. Anak-

anak dengan AIHA kronis cenderung lebih tua, tingkat mortalitas berkisar antara 10

hingga 30% , dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada mereka yang

mengalami AIHA kronis dan pada kasus dengan thrombocytopenia imun simultan

(Evans syndrome). Kematian dapat terjadi akibat infeksi atau anemia berat atau

kadang-kadang dari limfoma yang mendasari Perkiraan angka kematian dalam 5-10

tahun adalah 15-25%. Prognosis idiopatik dari cold agglutinin disease umumnya

lebih baik, hanya beberapa penderita menjadi kronis. Pada sekunder cold agglutinin

diseas e karena infeksi M. Pneumoniae atau mononukleosis infeksiosa akan terjadi

penyembuhan dalam beberapa minggu setelah infeksinya teratasi.5,8,10

20
BAB III

PENUTUP

Anemia hemolitik autoimun atau autoimmune hemolytic anemia (AIHA)

merupakan suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya autoantibodi

terhadap eritrosit sendiri. WARM AIHA merupakan bentuk paling umum AIHA,

lebih sering terjadi pada wanita. Pada dasarnya manifestasi klinis dari AIHA

tergantung kecepatan hemolisis dan beratnya anemia. Individu dengan AIHA

biasanya menunjukan gejala serupa dengan tipe anemia. terapi pada AIHA adalah

kortikosteroid, splenektomi, sitostatik imunosuppresif, transfusi darah, terapi

hormonal, immunoglobulin intravena dan plasmaferesis.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC;2006.


2. Valent P, Lechner K. Diagnosis and treatment of autoimmune haemolytic

anaemias in adults: a clinical review. The Middle European Journal of

Medicine.2008;120:(5–6): p. 136–151.
3. Pullarkat V, Ngo M, Iqbal S, Espina B, Liebman HA: Detection of lupus

anticoagulant identifies patients with autoimmune haemolytic anaemia at increased

risk of venous thromboembolism. Br J Haematol 2002; 118: p. 1166–1169.


4. Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolytic anemias.

Haematologica. 2014; 99:(10): p. 1547-1554.


5. Jkoroprawiro A. Buku ajar penyakit dalam: Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Edisi 2. Surabaya:

Universitas Airlangga;2015.
6. Chaudhary KR, Das SS. Autoimmune hemolytic anemia: from lab to bedside.

Asian Journal of Transfusion Science. 2015;8:(1): p. 5-12.


7. Braunstein EM. Autoimmune hemolytic anemia [online]. 2018 [cited on 2018

August 26].

22
Available from:https://www.msdmanuals.com/professional/Hematology-and-

Oncology/Anemias-Caused-by-Hemolysis/Autoimmune-Hemolytic-Anemia
8. Lechner K, Jager U. How I treat autoimmune hemolytic anemia in adults. Blood.

2010;116: (11): p. 1831-1835.


9. Charles H. Packman. The Clinical Pictures of Autoimmune Hemolytic Anemia.

Transfus Med Hemother .2015;42:p. 317–324


10. Hendrick AM: Auto-immune haemolytic anaemia – a high-risk disorder for

thromboembolism? Hematology 2003;8: p. 53–56.

23

Anda mungkin juga menyukai