Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) adalah suatu penyakit anemia
yang disebabkan oleh hemolisis eritrosit-eritrosit berdasarkan reaksi antigenantibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah sel darah merah,
sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum penderita adalah suatu
jawaban tubuh terhadap perubahan-perubahan pada antigen tersebut(1).
Kriteria diagnostik utama penyakit ini adalah uji antiglobulin Coombs yang
mendeteksi antibodi dipermukaan sel darah merah. Klasifikasinya didasarkan
kepada sifat alami antibodi dan ada atau tidak adanya kelainan yang
mendasarinya(2).
Ada dua bentuk Anemia Hemolitik akibat antibodi yaitu Anemia
Hemolitik antibodi hangat dan Anemia Hemolitik antibodi dingin (3). Bentuk
hemolisis akibat proses imunologis yang terlazim adalah Anemia Hemolitik
Autoimun antibodi hangat dengan insiden sekitar 1/80.000 penduduk(4). Pada
30% penderita Anemia Hemolitik Autoimun antibodi panas tidak ditemukan
penyebabnya sehingga dimasukkan kedalam kelainan idiopatik, 70% lainnya
sidapatkan sekunder. Antibodi tipe panas ini umumnya adalah suatu IgG
(80%) dan pada 50% dapat ditemukan komplemen(1).
Anemia Hemolitik autoimun antibodi dingin dibanding dengan
antibodi panas jauh lebih jarang ditemukan. Umumnya ditemukan pada
orangtua diatas 50 tahun dan terjadinya sekunder(1). Anemia Hemolitik

Autoimun

antibodi

dingin

disebabkan

oleh

antibodi

IgM

yang

mengaglutinasi sel darah merah pada suhu rendah. Aglutinin dingin timbul
pada dua keadaan klinis(1) Antibodi monoklonal sebagai produk neoplasia
limfositik (2) Antibodi poliklonal sebagai respon terhadap infeksi(3).
Pengobatan pada AHAI sebaiknya mempertimbangkan penyakit
dasar yang menyertai dan etiologi hemolisis karena obat, dimana
pengobatannya ada beberapa cara yaitu : transfusi, glukokortikoid,
splenektomi, dan terapi imunosupresif(4). Salah satu pengobatan pada pasien
AHAI antibodi dingin adalah mempertahankan pasien dalam lingkungan
yang hangat. Glukokortikoid dan splenektomi pada tipe ini tidak banyak
memberi manfaat, begitu juga dengan transfusi karena dapat menimbulkan
akselerasi proses hemolitik. Klorambusil dan Siklofosfamid merupakan obat
yang paling sering digunakan pada pasien yang memerlukan pengobatan(5).
1.2. BATASAN MASALAH
Dalam penulisan referat ini dibahas secara ringkas tentang
penatalaksanaan AHAI.
1.3. TUJUAN PENULISAN
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai penatalaksanaan Anemia Hemolitik Autoimun.
1.4. METODE PENULISAN
Metode dalam penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan dari
berbagai referensi yang berkaitan dengan AHAI.

BAB II
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
2.1. DEFINISI
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan pemendekan
masa hidup sel darah merah. AHAI adalah suatu penyakit anemia yang
disebabkan oleh hemolisis eritrosit berdasarkan reaksi antigen dan atibodi.
Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah permukaan sel eritrosit
sedangkan antibodi terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban
tubuh terhadap perubahan antigen tersebut.(1)
2.2. KLASIFIKASI
AHAI ini ditandai oleh tes antiglobulin (Coombs test) langsung
positif. Anemia hemolitik autoimun dibagi menjadi AHAI tipe panas (Warm
Antibody Auto Immune Hemolytic Anemia), AHAI tipe dingin (Cold
Antibody Auto Immune Hemolytic Anemia), dan campuran keduanya.
menurut reaksi antibodi dengan sel eritrosit pada suhu 37C atau 4C.
2.2.1. AHAI dengan Antibodi panas (warm antibody)
Adalah suatu kelainan hemolitik autoimun yang paling sering
ditemukan.jenis antibodi yang ditemukan pada AHAI dengan tipe warm
antibodi umumnya ada sangkut pautnya dengan perubahan pada sistem
rhesus sel eritrosit(1). Klasifikasinya adalah :

2.2.1.1. Idiopatik
2.2.1.2. Sekunder :
2.2.1.2.1. Limfoma, termasuk leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin,
dan penyakit Hodgkin
2.2.1.2.2. SLE atau penyakit vaskuler lainnya
2.2.1.2.3. AHAI akibat obat.
Obat yang secara langsung diperkirakan menimbulkan anemia
imunohemolitik terdiri dari dua jenis, yang dibedakan berdsarkan
mekanisme kerjanya.
2.2.1.2.3.1.

Metildopa, suatu anti hipertensi yang menginduksi suatu kelainan yang


hampir identik dengan AHAI tipe panas yang dijelaskan diatas

2.2.1.2.3.2.

Obat yang berikatan dengan permukaan sel eritrosit dan menginduksi


pembentukan antibodi terhadap kompleks obat sel eritrosit. Ikatan
obat dengan glikoprotein mungkin relatif erat, seperti pada kasus
penisilin, atau longgar, seperti pada kasus kuinidin.(3)

2.2.2. AHAI dengan Antibodi dingin (cold antibody)


2.2.2.1. Penyakit aglutinin dingin
Aglutinin dingin timbul pada dua keadaan klinis :
a. antibodi monoklonal sebagai produk neoplasia limfositik
b. antibodi poliklonal sebagai respon terhadap infeksi.
Pada AHAI tipe dingin ini, autoantibodi melekat pada sel
eritrosit terutama dalam darah tepi dimana suhu darah didinginkan. Ab
biasanya IgM dan berikatan baik dengan eritrosit pada suhu 40C.(5)

Hemolisis biasanya tidak parah dan bermanifestasi sebagai


retikulositosis ringan, aglutinasi pada apusan darah, dan aglutinasi
sewaktu analisis darah dengan analisis partikel (menghasilkan nilai
volume korpuskuler rerata yang tinggi). Derajat hemolisis bergantung
pada beberapa variabel :
a. Titer antibodi
Secara umum, titer pada pasien simtomatik adalah diatas pelawt
serum 1: 20000 dan dapat berkisar hingga setinggi 1 : 50000.
Sewaktu mengumpulkan sampel untuk memeriksa titer, haruslah
dipastikan bahwa serum terpisah dari sel sementara mempertahankan
suhu sampel 37 C sehingga antibodi tidak terserap kesel darah
pasien sendiri.
b. Amplitudo suhu antibodi (suhu tertinggi yang menyebabkan antibodi
akan bereaksi dengan sel darah merah)
Untuk sebagian besar antibodi, amplitudo ini adalah 25-30 C.
Antibodi yang memiliki amplitudo termal yang lebih tinggi (sampai
37

C)

akan

lebih

bersifat

hemolitik

karena

lebih

besar

kemungkinannya bahwa suhu ini akan tercapai selama berada


didalam tubuh.
c. Suhu lingkungan
Karena reaksi hanya dapat terjadi pada suhu dibawah suhu tubuh,
frekuensi dan derajat pajanan terhadap suhu dingin merupakan
penentu utama kecepatan hemolisis.(3)

2.2.2.2. Paroxysmal Cold hemoglobinuria (PCH)


Dahulu PCH cukup sering ditemukan saat sifilis tersier masih
prevalen namun sekarang penyakit ini jarang ditemukan. Penyakit ini
timbul akibat terbentuknya antibodi Donath-Landsteiner, antibodi IgG
yang ditujukan pada kepada kompleks antigen P dan dapat menginduksi
lisis yang diperantarai oleh komplemen. Serangan dicetuskan oleh
pajanan

dingin

dan

berkaitan

dengan

hemoglobinemia

dan

hemoglobinuria; menggigil dan demam; nyeri punggung, tungkai, dan


abdomen, nyeri kepala, dan malaise. Pemulihan dari episode akut
berlangsung epat, dan antara episode pasien tidak menunjukkan gejala.
Bila menyertai infeksi virus akut, misalnya campak dan mumps,
sindroma ini bersifat self limited. Diagnosa ditegakkan dengan
membuktikan adanya antibodi Imunoglobulin E uang bereaksi dingin
dengan uji lipid (saat titer sangat tinggi) atau dengan uji antiglobulin
khusus. Walaupun sehat episode makin parah, penyakit ini memiliki
riwayat alami yang berlangsung selama bertahun-tahun.(3)
2.3. GEJALA KLINIS
2.3.1. AHAI panas
Pada AHAI panas, penyakit dapat terjadi di setiap umur dan kedua
jenis kelamin, tampil sebagai anemia hemolitik dengan berat bervariasi.
Limpa sering tidak membesar. Penyakit sering mereda dan kambuh. Ini bisa
terjadi sendiri atau bersamaan dengan penyakit lain seperti SLE, limfoma

atau penyakit autoimun lain, juga ditemukan pada beberapa pasien sebagai
akibat terapi metil dopa.(6)
2.3.2. AHAI dingin
Pasien dapat menderita anemia hemolitik kronis yang diperberat
oleh dingin dan sering bersamaan dengan hemolisis intravaskular dan
sindroma Raynaud. Pasien dapat mengalami problema sirkulasi darah tepi,
misalnya ujung hidung, telinga, jari kaki yang disebabkan aglutinasi sel
darah merah dalam pembuluh darah kecil. Beberapa kasus sekunder adalah
sejenak (transient) khususnya setelah infeksi pneumoni mikoplasma atau
mononukleosis infeksiosa.(6)
2.4. LABORATORIUM
Diagnosa anemia hemolitik autoimun dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan laboratorium, antara lain :
2.4.1. AHAI panas
Hasil pemeriksaan hematologis dan biokimia adalah khas anemia
hemolitik dengan sferositosis menonjol pada darah tepi.(6) DAT (Direct
Antiglobulin Test atau Direct Coombs test) positif dengan IgG atau
kombinasi IgG dan C3 pada permukaan sel darah merah.(7) Baik pada
permukaan sel maupun bebas dalam serum, antibodi terbaik dideteksi pada
suhu 37o C.Selain itu juga dapat ditemukan:(8)
a. Anemia
b. Sel darah merah berinti, fragmen sel darah merah, monosit. Hal ini
terutama terjadi pada keadaan yang berat

c. Retikulositosis
d. Netropenia dan trombositopeni
e. Sindrom Evans : koeksistensi penghancuran sel darah merah dan
trombosit secara imunologis
f. BMP : Hiperplasia seri eritropoetik
g. Hiperbilirubinemia
h. Penurunan kadar Haptoglobin, Peningkatan LDH
i. Peningkatan Urobilinogen Urin, terkadang terdapat hemoglobinuria.
2.4.2. AHAI dingin
Ini serupa dengan AHAI panas kecuali sferositosis kurang
menonjol, aglutinat sel darah merah pada dingin, misalnya pada filem
darah yang dibuat pada suhu kamar, dan test Coombs langsung (DAT)
memperlihatkan hanya komplemen (C3) pada permukaan sel darah merah,
sedangkan IgG negatif.(7)
Selain itu juga dapat ditemukan :(8)
a. Anemia
b. Titer Ig M > 1/100.000 , ini ditemui pada keadaan kronik
c. Antibodi I, dijumpai pada limfoproliferasi jinak dan infeksi
mikoplasma.
Pada Paroxismal Cold Hemoglobinuria, biasanya ditemukan:
1. Hemoglobunuria
2. Antibodi Donath Lendsteiner.

DAT
AHAI

Anti-IgG

70%
20%
10%
Antibodi reaksi dingin
Tabel 1. Gambaran uji DAT

Anti C3

+
+
-*
-

+
+ lemah
+

Aglutinin Dingin
Antibodi reaksi panas
< 1/256
1/512 1/10.000

* DAT rutin (Coombs Test) tidak dapat mendeteksi pasien AHAI dengan jumlah
molekul IgG yang sedikit per sel darah merah (7)
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.5.1. Tes Coombs direk dan indirek
2.5.1.1. Direk, untuk AHAI dengan antibodi panas
Antibodi panas menunjukan reaktivitas optimum pada suhu 37 C
yang terutama terdiri dari Ig G, kurang mengikat komplemen dan
ditemukan di permukaan sel darah merah dengan tes Coombs
(antiglobulin).
2.5.1.2. Indirek, untuk AHAI dengan antibodi dingin
Antibodi dingin menunjukan reaktivitas pada suhu dibawah 37
C,terutama berupa Ig M, mengikat komplemen dan mengaglutinasikan
sel darah merah tanpa memerlukan antiglobulin (Coombs).
2.5.2. Isotop Cr 51, untuk menentukan masa hidup eritrosit.

2.6.

TERAPI
Tidak semua pasien AHAI membutuhkan terapi, hal ini tergantung
dari derajat hemolisis dan tipe hemolitiknya. (10) Pada pasien-pasien dengan
hemolisis ringan tidak dibutuhkan terapi, namun perlu dilakukan pengawasan
terhadap perkembangan penyakitnya. Steroid dan splenektomi umumnya
tidak berguna pada pasien-pasien dengan AHAI tipe cold antigen, kecuali
jika ditemukan penyakit dasarnya seperti limfoma. (7) Kasus kronik tipe cold
antigen kadang memberikan respon yang baik terhadap administrasi
klorambusil atau siklofosfamid dosis rendah.(11) Terapi simtomatis dan
pengobatan terhadap faktor pencetus, khususnya transfusi dan obat-obatan
untuk sifilis, merupakan penanganan utama pada Paroxysmal Cold
Haemoglobinuria

(PCH).(11,12)

Pada

PCH

kronik,

pasien

kadang

memperlihatkan perbaikan terhadap pemberian prednison atau obat


sitotoksik seperti azathioprin dan siklofosfamid, tetapi tidak memberikan
respon terhadap splenektomi.(10) AHAI yang dicetuskan oleh obat seperti
metildopa atau penisilin dosis besar akan remisi dengan sendirinya setelah
pemakaian obat pencetusnya dihentikan. Penatalaksanaan AHAI yang paling
umum dilakukan (terutama untuk tipe warm antigen) adalah pemberian
kortikosteroid, imunosupresif, splenektomi, dan transfusi darah.(6) Algoritme
terapi AHAI diperlihatkan pada gambar 1.
2.6.1. Kortikosteroid
Kortikosteroid sampai sekarang masih dianggap sebagai anti
inflamasi yang paling baik dalam menekan semua bentuk inflamasi respon

10

imun.(13) Kortikosteroid, seperti prednison, dipercaya sangat bermanfaat


untuk penyakit gangguan imunologis seperti AHAI tipe panas.(14) Efek anti
inflamasi prednison secara langsung terutama melalui inhibisi aktivitas
makrofag dan sel-sel fagosit mononuklear lainnya. (13) Penghambatan sintesa
antibodi merupakan efek lambat dari pemakaian steroid yang berpengaruh
terhadap penekanan respon imun.(10)
Pada pasien dengan hemolisis yang nyata secara klinis, biasanya
diberikan prednison 1-2 mg/kg berat badan/hari, atau sekitar 40-120
mg/hari untuk mengontrol hemolisis. Dalam 4 hari hingga 1 minggu akan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin.(10) Kemajuan terapi dinilai dari
tampilan klinis, kadar hemoglobin, dan hitung retikulosit. (11) Setelah kadar
hemoglobin mencapai normal, dilakukan tapering off (penurunan dosis)
secara perlahan hingga penghentian terapi sepenuhnya dalam beberapa
bulan. Lebih kurang 75% pasien mengalami perbaikan yang nyata dengan
pemberian steroid. Pada terapi ini diperlukan pengawasan karena AHAI
cenderung kambuh pada masa tapering off atau setelah terapi dihentikan.(10)
Efek samping dari pemakaian steroid dalam waktu lama, seperti
melemahnya tulang dan jaringan ikat, penekanan aksis hipotalamuspituitari-adrenal, gangguan penyembuhan luka, serta meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi, menyebabkan steroid tidak dianjurkan untuk
pemakaian jangka panjang.(13) Jika steroid menjadi satu-satunya pilihan
terapi, karena obat-obat lainnya tidak efektif, disarankan untuk memberikan
steroid dengan jeda hari.(10)

11

2.6.2. Splenektomi
Splenektomi menjadi terapi lini kedua pada pasien-pasien yang
tidak responsif terhadap steroid, atau membutuhkan dosis maksimal steroid
untuk mengontrol hemolisis, atau pada pasien-pasien yang intoleran
terhadap steroid.(10) Splenektomi juga menjadi pilihan terapi jika hemolisis
tidak berkurang setelah administrasi steroid 2-3 bulan. Lebih kurang 60%
pasien memberikan respon yang baik terhadap prosedur ini, walaupun
hemolisis bisa kambuh setelah splenektomi, sehingga harus diberikan
steroid dengan atau tanpa obat imunosupresif.(13)
Konfirmasi peran limpa sebagai tempat destruksi dominan
dilakukan melalui pemeriksaan uptake Cr51, dengan demikian dapat
digunakan untuk meramal manfaat splenektomi.(6) Pada 75% pasien AHAI,
limpa merupakan tempat destruksi yang dominan, sementara 25% lainnya
didominasi oleh hepar.(11)
2.6.3. Imunosupresif
Azathioprin, siklofosfamid, dan siklosporin adalah obat-obat
imunosupresif dan sitotoksik yang lazim dipakai untuk penyakit autoimun.
(13)

Imunosupresif ini dipakai pada pasien-pasien yang tidak mengalami

perbaikan dengan steroid maupun splenektomi.(12) Terapi ini cukup efektif


pada 50% kasus AHAI resisten steroid.(10) Secara umum, obat sitostatik
bekerja dengan cara membunuh sel-sel yang terlibat dalam pembentukan
antigen-antibodi yang berperan dalam terjadinya penyakit autoimun.
Azathioprin dan siklofosfamid bekerja melalui penekanan sistem imun

12

humoral, tapi juga bisa mempengaruhi imunitas seluler. Siklosporin


merupakan obat sitostatik yang spesifik menekan aktivitas imunitas
humoral, melalui penghambatan sekresi limfokin pada sel T helper secara
selektif tanpa mempengaruhi aktivitas sel B, makrofag, dan mononuklear
lainnya.(13)
Regimen yang biasa diberikan yaitu azathioprin oral 1-1,5mg/kg
berat badan/hari selama 3 bulan, atau siklofosfamid dosis rendah 11,5mg/kg

berat

badan/hari.(11)

Biasanya

pemakaian

sitostatik

ini

dikombinasikan dengan steroid dalam penanganan AHAI. Keuntungan


pemakaian sitotoksik, terutama siklosporin, adalah adanya efek steroidsparring effect. Dengan adanya siklosporin, dibutuhkan dosis prednison
yang lebih rendah untuk mencapai efek imunosupresif yang diharapkan,
dengan demikian bisa mengurangi timbulnya efek samping.(14) Efek
samping dari obat sitotoksik adalah: (13)
a. menghambat semua bentuk respon imun, sehingga meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi
b. membunuh semua sel-sel yang berproliferasi cepat, termasuk sel-sel
komponen darah yang diproduksi di sumsum tulang
c. Administrasi

lama

dari

sitotoksik

sering

dikaitkan

dengan

meningkatnya insiden limfoma.


Efek samping utama dari siklosporin adalah nefrotoksik, mengarah
kepada terjadinya gagal ginjal dan hipertensi, sementara obat ini tidak
mempengaruhi aktivitas sumsum tulang.(11)

13

2.6.4. Transfusi darah


Merupakan terapi yang diperlukan pada anemia berat yang
mengancam jiwa.(10) Namun transfusi sebaiknya dihindari karena antibodi
panagglutinin pasien AHAI bereaksi terhadap semua sel donor normal,
akibatnya

sel-sel transfusi dihancurkan

dengan cepat.

Diperlukan

pemeriksaan serologis seksama terhadap reaksi aloantibodi pada darah


donor untuk meminimalkan reaksi transfusi.(11) Administrasi transfusi
diberikan secara lambat dengan pengawasan ketat terhadap tanda timbulnya
reaksi hemolisis transfusi tipe cepat.(10)
awasi

ringan

Penilaian berat
ringan hemolisis

Prednison
IVIg
Splenektomi

berat

sedang
Prednison
60mg/hari
observasi 2-3 minggu
Prednison
60mg/hari

Respon negatif

Respon positif
Turunkan dengan
cepat hingga
20mg/hari

splenektomi

Respon negatif

Turunkan perlahan
hingga 5-10mg/hari

Kemoterapi :
Siklofosfamid
100mg/hari
Azathiaprine
150mg/hari

Hentikan setelah
gejala klinis hilang

Gambar 1. Algoritme terapi anemia hemolitik autoimun (10)


14

2.7.

PROGNOSA(8,15)
2.7.1. AHAI dengan antibodi panas (AIHA Warm Antibody)
Perjalanan penyakit bervariasi mengalami remisi dan relaps.
Idiopatik AHAI Warm Antibody memiliki survival rate 10 thn sekitar
73%.Mortalitas mencapai 46%. Sekunder AHAI Warm Antibody
prognosanya tergantung kepada penyakit dasarnya.
2.7.2. AHAI dengan antibodi dingin(AIHA Cold Antibody)
Pada yang idiopatik prognosis relatif baik dapat bertahan
hidup sampai beberapa tahun. Pada post infeksi biasanya self limited
penyembuhan terjadi dalam beberapa minggu. Pada Paroxismal Cold
Hemoglobinuria post infeksi mengalami penyembuhan spontan dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu.

15

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a. Penyakit AHAI diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu AHAI tipe
panas dan AHAI tipe dingin
b. AHAI tipe panas memiliki insiden 1/10000 penduduk.
c. AHAI tipe panas sering muncul bersamaan dengan SLE, limfoma, atau
penyakit autoimun lainnya.
d. AHAI tipe dingin muncul bersamaan dengan hemolisis intravaskuler dan
sindroma Raynaud.
e. Diagnosis AHAI ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium yaitu
pemeriksaan hematologis dan biokimia.
f. Terapi AHAI tergantung dari derajat hemolisis dan tipe hemolitik
g. Penatalaksanaan yang paling umum dilakukan adalah pemberian
kortikosteroid, imunosupresif, splenektomi, dan tranfusi darah.
h. Prognosa AHAI tipe dingin lebih baik dibanding AHAI tipe panas.
3.2. SARAN
AHAI tipe panas memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi (43%), untuk
itu diperluka diagnosis dan penatalaksanaan yang lebih dini.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Robins et al, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. EGC. Jakarta,
1996.
2. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Buku FKUI. Jakarta,
1998.
3. Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih bahasa
Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.
4. Jay H. Steinn, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III. EGC. Jakarta,
2001
5. Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1996
6. Holfbrand, A.V. , Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan,
Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta, 1996
7. Hillman, Robert S. Dan Ault, Kenneth A. , Hematology in Clinical Practice
a Guide to Diagnosis and Management ed3, McGraw Hill Medical
Publishing Division, USA, 2000
8. Marshall A Lichtman et al, Manual of Hematology 6th ed. Mc Graw- Hill
Medical Publishing Division. USA, 2003
9. Iman Supandiman. Hematologi Klinik. Penerbit PT Alumni. Bandung,1997.
10. Bunn HF, Rosse W.Hemolytic Anemias and Acute Blood Loss. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine, 15th ed. McGraw-Hill Book
Company, NY, 2001.

17

11. Stites DP, Terr HI, Parslow TG. Basic and Clinical Immunology, 8th ed.
Appleton and Lange, Connecticut, 1991.
12. Bellanti JA. Immunology III. WB Saunders Company, Philadelphia, 1985.
Wahab AS, penerjemah. Imunologi III. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993.
13. Janeway CA, Travers P. Immunobiology: The Immune System in Health and
Disease. Current Biology Ltd/Garland Publishing Inc, New York, 1994.
14. Virella G, Goust JM, Fudenberg HH, Galbraith RM. Introduction to Medical
Immunology. Marcell Decker Inc, New York, 1986.
15. Iman Supandiman dkk, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi
Medik. Q Communication. Bandung, 2003

18

Anda mungkin juga menyukai