PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) adalah suatu penyakit anemia
yang disebabkan oleh hemolisis eritrosit-eritrosit berdasarkan reaksi antigenantibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah sel darah merah,
sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum penderita adalah suatu
jawaban tubuh terhadap perubahan-perubahan pada antigen tersebut(1).
Kriteria diagnostik utama penyakit ini adalah uji antiglobulin Coombs yang
mendeteksi antibodi dipermukaan sel darah merah. Klasifikasinya didasarkan
kepada sifat alami antibodi dan ada atau tidak adanya kelainan yang
mendasarinya(2).
Ada dua bentuk Anemia Hemolitik akibat antibodi yaitu Anemia
Hemolitik antibodi hangat dan Anemia Hemolitik antibodi dingin (3). Bentuk
hemolisis akibat proses imunologis yang terlazim adalah Anemia Hemolitik
Autoimun antibodi hangat dengan insiden sekitar 1/80.000 penduduk(4). Pada
30% penderita Anemia Hemolitik Autoimun antibodi panas tidak ditemukan
penyebabnya sehingga dimasukkan kedalam kelainan idiopatik, 70% lainnya
sidapatkan sekunder. Antibodi tipe panas ini umumnya adalah suatu IgG
(80%) dan pada 50% dapat ditemukan komplemen(1).
Anemia Hemolitik autoimun antibodi dingin dibanding dengan
antibodi panas jauh lebih jarang ditemukan. Umumnya ditemukan pada
orangtua diatas 50 tahun dan terjadinya sekunder(1). Anemia Hemolitik
Autoimun
antibodi
dingin
disebabkan
oleh
antibodi
IgM
yang
mengaglutinasi sel darah merah pada suhu rendah. Aglutinin dingin timbul
pada dua keadaan klinis(1) Antibodi monoklonal sebagai produk neoplasia
limfositik (2) Antibodi poliklonal sebagai respon terhadap infeksi(3).
Pengobatan pada AHAI sebaiknya mempertimbangkan penyakit
dasar yang menyertai dan etiologi hemolisis karena obat, dimana
pengobatannya ada beberapa cara yaitu : transfusi, glukokortikoid,
splenektomi, dan terapi imunosupresif(4). Salah satu pengobatan pada pasien
AHAI antibodi dingin adalah mempertahankan pasien dalam lingkungan
yang hangat. Glukokortikoid dan splenektomi pada tipe ini tidak banyak
memberi manfaat, begitu juga dengan transfusi karena dapat menimbulkan
akselerasi proses hemolitik. Klorambusil dan Siklofosfamid merupakan obat
yang paling sering digunakan pada pasien yang memerlukan pengobatan(5).
1.2. BATASAN MASALAH
Dalam penulisan referat ini dibahas secara ringkas tentang
penatalaksanaan AHAI.
1.3. TUJUAN PENULISAN
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai penatalaksanaan Anemia Hemolitik Autoimun.
1.4. METODE PENULISAN
Metode dalam penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan dari
berbagai referensi yang berkaitan dengan AHAI.
BAB II
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
2.1. DEFINISI
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan pemendekan
masa hidup sel darah merah. AHAI adalah suatu penyakit anemia yang
disebabkan oleh hemolisis eritrosit berdasarkan reaksi antigen dan atibodi.
Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah permukaan sel eritrosit
sedangkan antibodi terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban
tubuh terhadap perubahan antigen tersebut.(1)
2.2. KLASIFIKASI
AHAI ini ditandai oleh tes antiglobulin (Coombs test) langsung
positif. Anemia hemolitik autoimun dibagi menjadi AHAI tipe panas (Warm
Antibody Auto Immune Hemolytic Anemia), AHAI tipe dingin (Cold
Antibody Auto Immune Hemolytic Anemia), dan campuran keduanya.
menurut reaksi antibodi dengan sel eritrosit pada suhu 37C atau 4C.
2.2.1. AHAI dengan Antibodi panas (warm antibody)
Adalah suatu kelainan hemolitik autoimun yang paling sering
ditemukan.jenis antibodi yang ditemukan pada AHAI dengan tipe warm
antibodi umumnya ada sangkut pautnya dengan perubahan pada sistem
rhesus sel eritrosit(1). Klasifikasinya adalah :
2.2.1.1. Idiopatik
2.2.1.2. Sekunder :
2.2.1.2.1. Limfoma, termasuk leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin,
dan penyakit Hodgkin
2.2.1.2.2. SLE atau penyakit vaskuler lainnya
2.2.1.2.3. AHAI akibat obat.
Obat yang secara langsung diperkirakan menimbulkan anemia
imunohemolitik terdiri dari dua jenis, yang dibedakan berdsarkan
mekanisme kerjanya.
2.2.1.2.3.1.
2.2.1.2.3.2.
C)
akan
lebih
bersifat
hemolitik
karena
lebih
besar
dingin
dan
berkaitan
dengan
hemoglobinemia
dan
atau penyakit autoimun lain, juga ditemukan pada beberapa pasien sebagai
akibat terapi metil dopa.(6)
2.3.2. AHAI dingin
Pasien dapat menderita anemia hemolitik kronis yang diperberat
oleh dingin dan sering bersamaan dengan hemolisis intravaskular dan
sindroma Raynaud. Pasien dapat mengalami problema sirkulasi darah tepi,
misalnya ujung hidung, telinga, jari kaki yang disebabkan aglutinasi sel
darah merah dalam pembuluh darah kecil. Beberapa kasus sekunder adalah
sejenak (transient) khususnya setelah infeksi pneumoni mikoplasma atau
mononukleosis infeksiosa.(6)
2.4. LABORATORIUM
Diagnosa anemia hemolitik autoimun dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan laboratorium, antara lain :
2.4.1. AHAI panas
Hasil pemeriksaan hematologis dan biokimia adalah khas anemia
hemolitik dengan sferositosis menonjol pada darah tepi.(6) DAT (Direct
Antiglobulin Test atau Direct Coombs test) positif dengan IgG atau
kombinasi IgG dan C3 pada permukaan sel darah merah.(7) Baik pada
permukaan sel maupun bebas dalam serum, antibodi terbaik dideteksi pada
suhu 37o C.Selain itu juga dapat ditemukan:(8)
a. Anemia
b. Sel darah merah berinti, fragmen sel darah merah, monosit. Hal ini
terutama terjadi pada keadaan yang berat
c. Retikulositosis
d. Netropenia dan trombositopeni
e. Sindrom Evans : koeksistensi penghancuran sel darah merah dan
trombosit secara imunologis
f. BMP : Hiperplasia seri eritropoetik
g. Hiperbilirubinemia
h. Penurunan kadar Haptoglobin, Peningkatan LDH
i. Peningkatan Urobilinogen Urin, terkadang terdapat hemoglobinuria.
2.4.2. AHAI dingin
Ini serupa dengan AHAI panas kecuali sferositosis kurang
menonjol, aglutinat sel darah merah pada dingin, misalnya pada filem
darah yang dibuat pada suhu kamar, dan test Coombs langsung (DAT)
memperlihatkan hanya komplemen (C3) pada permukaan sel darah merah,
sedangkan IgG negatif.(7)
Selain itu juga dapat ditemukan :(8)
a. Anemia
b. Titer Ig M > 1/100.000 , ini ditemui pada keadaan kronik
c. Antibodi I, dijumpai pada limfoproliferasi jinak dan infeksi
mikoplasma.
Pada Paroxismal Cold Hemoglobinuria, biasanya ditemukan:
1. Hemoglobunuria
2. Antibodi Donath Lendsteiner.
DAT
AHAI
Anti-IgG
70%
20%
10%
Antibodi reaksi dingin
Tabel 1. Gambaran uji DAT
Anti C3
+
+
-*
-
+
+ lemah
+
Aglutinin Dingin
Antibodi reaksi panas
< 1/256
1/512 1/10.000
* DAT rutin (Coombs Test) tidak dapat mendeteksi pasien AHAI dengan jumlah
molekul IgG yang sedikit per sel darah merah (7)
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.5.1. Tes Coombs direk dan indirek
2.5.1.1. Direk, untuk AHAI dengan antibodi panas
Antibodi panas menunjukan reaktivitas optimum pada suhu 37 C
yang terutama terdiri dari Ig G, kurang mengikat komplemen dan
ditemukan di permukaan sel darah merah dengan tes Coombs
(antiglobulin).
2.5.1.2. Indirek, untuk AHAI dengan antibodi dingin
Antibodi dingin menunjukan reaktivitas pada suhu dibawah 37
C,terutama berupa Ig M, mengikat komplemen dan mengaglutinasikan
sel darah merah tanpa memerlukan antiglobulin (Coombs).
2.5.2. Isotop Cr 51, untuk menentukan masa hidup eritrosit.
2.6.
TERAPI
Tidak semua pasien AHAI membutuhkan terapi, hal ini tergantung
dari derajat hemolisis dan tipe hemolitiknya. (10) Pada pasien-pasien dengan
hemolisis ringan tidak dibutuhkan terapi, namun perlu dilakukan pengawasan
terhadap perkembangan penyakitnya. Steroid dan splenektomi umumnya
tidak berguna pada pasien-pasien dengan AHAI tipe cold antigen, kecuali
jika ditemukan penyakit dasarnya seperti limfoma. (7) Kasus kronik tipe cold
antigen kadang memberikan respon yang baik terhadap administrasi
klorambusil atau siklofosfamid dosis rendah.(11) Terapi simtomatis dan
pengobatan terhadap faktor pencetus, khususnya transfusi dan obat-obatan
untuk sifilis, merupakan penanganan utama pada Paroxysmal Cold
Haemoglobinuria
(PCH).(11,12)
Pada
PCH
kronik,
pasien
kadang
10
11
2.6.2. Splenektomi
Splenektomi menjadi terapi lini kedua pada pasien-pasien yang
tidak responsif terhadap steroid, atau membutuhkan dosis maksimal steroid
untuk mengontrol hemolisis, atau pada pasien-pasien yang intoleran
terhadap steroid.(10) Splenektomi juga menjadi pilihan terapi jika hemolisis
tidak berkurang setelah administrasi steroid 2-3 bulan. Lebih kurang 60%
pasien memberikan respon yang baik terhadap prosedur ini, walaupun
hemolisis bisa kambuh setelah splenektomi, sehingga harus diberikan
steroid dengan atau tanpa obat imunosupresif.(13)
Konfirmasi peran limpa sebagai tempat destruksi dominan
dilakukan melalui pemeriksaan uptake Cr51, dengan demikian dapat
digunakan untuk meramal manfaat splenektomi.(6) Pada 75% pasien AHAI,
limpa merupakan tempat destruksi yang dominan, sementara 25% lainnya
didominasi oleh hepar.(11)
2.6.3. Imunosupresif
Azathioprin, siklofosfamid, dan siklosporin adalah obat-obat
imunosupresif dan sitotoksik yang lazim dipakai untuk penyakit autoimun.
(13)
12
berat
badan/hari.(11)
Biasanya
pemakaian
sitostatik
ini
lama
dari
sitotoksik
sering
dikaitkan
dengan
13
dengan cepat.
Diperlukan
ringan
Penilaian berat
ringan hemolisis
Prednison
IVIg
Splenektomi
berat
sedang
Prednison
60mg/hari
observasi 2-3 minggu
Prednison
60mg/hari
Respon negatif
Respon positif
Turunkan dengan
cepat hingga
20mg/hari
splenektomi
Respon negatif
Turunkan perlahan
hingga 5-10mg/hari
Kemoterapi :
Siklofosfamid
100mg/hari
Azathiaprine
150mg/hari
Hentikan setelah
gejala klinis hilang
2.7.
PROGNOSA(8,15)
2.7.1. AHAI dengan antibodi panas (AIHA Warm Antibody)
Perjalanan penyakit bervariasi mengalami remisi dan relaps.
Idiopatik AHAI Warm Antibody memiliki survival rate 10 thn sekitar
73%.Mortalitas mencapai 46%. Sekunder AHAI Warm Antibody
prognosanya tergantung kepada penyakit dasarnya.
2.7.2. AHAI dengan antibodi dingin(AIHA Cold Antibody)
Pada yang idiopatik prognosis relatif baik dapat bertahan
hidup sampai beberapa tahun. Pada post infeksi biasanya self limited
penyembuhan terjadi dalam beberapa minggu. Pada Paroxismal Cold
Hemoglobinuria post infeksi mengalami penyembuhan spontan dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a. Penyakit AHAI diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu AHAI tipe
panas dan AHAI tipe dingin
b. AHAI tipe panas memiliki insiden 1/10000 penduduk.
c. AHAI tipe panas sering muncul bersamaan dengan SLE, limfoma, atau
penyakit autoimun lainnya.
d. AHAI tipe dingin muncul bersamaan dengan hemolisis intravaskuler dan
sindroma Raynaud.
e. Diagnosis AHAI ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium yaitu
pemeriksaan hematologis dan biokimia.
f. Terapi AHAI tergantung dari derajat hemolisis dan tipe hemolitik
g. Penatalaksanaan yang paling umum dilakukan adalah pemberian
kortikosteroid, imunosupresif, splenektomi, dan tranfusi darah.
h. Prognosa AHAI tipe dingin lebih baik dibanding AHAI tipe panas.
3.2. SARAN
AHAI tipe panas memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi (43%), untuk
itu diperluka diagnosis dan penatalaksanaan yang lebih dini.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Robins et al, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi V. EGC. Jakarta,
1996.
2. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Buku FKUI. Jakarta,
1998.
3. Isselbacher et al., Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, alih bahasa
Ahmad H Asdi. EGC. Jakarta, 2000.
4. Jay H. Steinn, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III. EGC. Jakarta,
2001
5. Kapita Selekta Kedokteran ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1996
6. Holfbrand, A.V. , Essencial Haematology ed 2, alih bahasa Iyan Darmawan,
Penerbit buku Kedokteran EGC , Jakarta, 1996
7. Hillman, Robert S. Dan Ault, Kenneth A. , Hematology in Clinical Practice
a Guide to Diagnosis and Management ed3, McGraw Hill Medical
Publishing Division, USA, 2000
8. Marshall A Lichtman et al, Manual of Hematology 6th ed. Mc Graw- Hill
Medical Publishing Division. USA, 2003
9. Iman Supandiman. Hematologi Klinik. Penerbit PT Alumni. Bandung,1997.
10. Bunn HF, Rosse W.Hemolytic Anemias and Acute Blood Loss. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine, 15th ed. McGraw-Hill Book
Company, NY, 2001.
17
11. Stites DP, Terr HI, Parslow TG. Basic and Clinical Immunology, 8th ed.
Appleton and Lange, Connecticut, 1991.
12. Bellanti JA. Immunology III. WB Saunders Company, Philadelphia, 1985.
Wahab AS, penerjemah. Imunologi III. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993.
13. Janeway CA, Travers P. Immunobiology: The Immune System in Health and
Disease. Current Biology Ltd/Garland Publishing Inc, New York, 1994.
14. Virella G, Goust JM, Fudenberg HH, Galbraith RM. Introduction to Medical
Immunology. Marcell Decker Inc, New York, 1986.
15. Iman Supandiman dkk, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi
Medik. Q Communication. Bandung, 2003
18