Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN AIHA (AUTOIMUN HEMOLITIK ANEMIA ) DI RUANG


ASOKA RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Oleh :
INTAN NILASARI
1911040021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
A. DEFINISI
Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau autoimmune hemolytic
anemia ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya
aotuantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi
(hemolisis) eritrosit (Bakta, 2006). Dan sebagian referensi ada yang
menyebutkan anemia hemolitik autoimun ini merupkan suatu kelainan
dimana terdapat antibody terhadp sel -sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek (Sudoyo.et all.,2006).
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum
120 hari (umur eritrosit normal). Hemolisis mungkin asymptomatic, tapi
bila ‘eritropoesis’ tidak dapat mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah
merah dapat terjadi anemia. (Gurpreet, 2004)
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada
antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel
darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas
pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang
berbeda-beda. (Lanfredini, 2007)
B. ETIOLOGI
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu
faktor intrinsik & faktor ekstrinsik.
a. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu sendiri
sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam
yaitu:
Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
a) Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh
kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini
berlangsung ringan sehingga sukar dikenal.
b) Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval
(lonjong). Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan
kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan
menurut hukum mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat
sferositosis. Kadang-kadang ditemukan kelainan radiologis
tulang. Splenektomi biasanya dapat mengurangi proses
hemolisis dari penyakit ini.
c) A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga
kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan
komposisi lemak pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah,
misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
a) Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
b) Defisiensi Glutation reduktas
c) Defisiensi Glutation
d) Defisiensi Piruvatkinase
e) Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
f) Defisiensi difosfogliserat mutase
g) Defisiensi Heksokinase
h) Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3) Hemoglobinopatia
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
hemoglobin ini, yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
b. Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal
talasemia
b. Faktor Ekstrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
1) Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
2) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi
yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
3) Infeksi, plasmodium, boriella

C. MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI


1. Manifestasi Klinis
Kadang – kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di
tandai dengan:
1) Demam
2) Mengigil
3) Nyeri punggung dan lambung
4) Perasaan melayang
5) Penurunan tekanan darah yang berarti
Berdasarkan Tipenya :
a. Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat:
Biasanya gejala anemia ini terjadi perlahan-lahan, ikterik,
demam, dan ada yang disertai nyeri abdomen, limpa biasanya
membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri
atau tidak nyaman dan juga bisa dijumpai splenomegali pada anemia
hemolitik autoimun tipe hangat. Urin berwarna gelap karena terjadi
hemoglobinuri. Pada AHA paling tebanyak terjadi yakni idiopatik
splenomegali tarjadi pada50-60%, iketrik terjadi pada 40%,
hepatomegali 30% pasien san limfadenopati pada 25% pasien. Hanya
25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
b. Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin:
Pada tipe dingin ini sering terjadi aglutinasi pada suhu
dingin.Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan dengan
Hb: 9-12 g/dl. Sering juga terjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada
cuaca dingin akan menimbulkan meningkatnya penghancuran sel
darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan
kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Anemia Hemolitik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1):

Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun


Anemia Hemolitik Auto Omun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus,
keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin

A. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat


Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana
autoantibodi bereaksi secara optimal pada susu 300C. Kurang lebih
50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
B. Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin
Terjadinya hemolisis diperantai antibody dingin yaitu
agkutinin dingin dan antibody Donath-landstainer.
C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai,
hemolisis terjadi secara massif dan berulang setelah terpapar suhu
dingin.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi anemia hemolitik autoimun ini terjadi melalui aktifasi
sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktifasi sistem komplemen
Sistem komplemen diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik
dan jalur alternatif . secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis
intraveskuler. Hal ini ditandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria.Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan
mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1,IgG2, IgG3. IgM disebut
sebagai aglutinin tipe dingin oleh karena berikatan dengan antigen
polisakarida pada permukaan sel eritrosit pada suhu dibawah suhu
tubuh, sedangkan IgG disebut aglutinin hangat oleh karena bereaksi
dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
2. Aktifasi komponen jalur klasik
3. Aktifasi komplemen jalur alternatif
4. Aktifasi mekanisme seluler
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan
dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen
namun tidak tejadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah
tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses
immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang
diperantarai oleh sel. Immunoadherence¸terutama yang diperantarai
oleh IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

E. PEMERIKSAAN DIADNOSTIK
a. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
1) Bilirubin serum meningkat
2) Urin meningkat, urin kuning pekat
3) Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
b. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
1) Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
2) hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
c. Gambaran rusaknya eritrosit:
1) Morfologi
2) Fragilitas osmosis, otohemolisis
3) Umur eritrosit memendek
d. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa
sferositosis, polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti,
retikulositopeni pada awal anemia.
e. Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambaran
sel muda (metamielosit, mielosit dan promielosit), kadang disertai
trombositopeni.
f. Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik
normoblastik.
g. Kadar bilirubin indirek meningkat.
h. Pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT) atau lebih dikenal dengan
Direct Coomb’s test menunjukkan adanya antibodi permukaan / komplemen
permukaan sel eritrosit.
Direct Coombs' Test.

Pemeriksaan Penunjang
a. Penurunan kadar HB<1g/dl dalam satu minggu tanpa diimbangi dengan
proses eritropoesis yang normal
b. Penurunan masa hidup eritrosit <120 hari. Pemeriksaan terbaik dengan
labeling crom. Persentasi aktivitas crom dapat dilihat dan sebanding
dengan umur eritrosit. Semakin cepat penurunan aktivitas crom maka
semakin pendek umur eritrosit
c. Hemoglobinuria (urin berwarna merah kecoklatan atau merah
kehitaman)
d. Hemosiderinuria diketahui dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia
pada air seni
e. Hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
f. Peningkatan katabolisme heme, biasanya terlihat dari peningkatan
bilirubin serum
g. Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital (menghitung sel
darah merah muda)
h. Sterkobilinogen feses meningkat, pigmen feses berwarna kehitaman
i. Terjadi hiperplasia eritropoesis sumsum tulang
.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi transfusi
b. Menghentikan obat
c. Splenektomi dapat menjadi pilihan pertama pengobatan dalam beberapa
jenis anemia hemolitik, seperti spherocytosis turun-temurun.
d. Gammaglobulin intravena
e. Terapi suportif-simptomatik:
Bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama dilimfa dengan
jalan splenektomi (operasi pengangkatan limfa)..
f. Terapi kausal

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan
menurun, mual
3) Konstipasi b.d penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan;
efek samping terapi obat.
4) Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan, kelemahan fisik.
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Perubahan perfusi Setelah di lakukan asuhan a. Awasi tanda vital kaji a. Memberikan informasi tentang
jaringan b/d penurunan keperawatan selama 3 X pengisian kapiler, warna derajat/keadekuatan perfusi
komponen seluler yang 24 dapat memenuhi kulit/membrane mukosa, jaringan dan membantu
diperlukan untuk kebutuhan oksigen dengan dasar kuku. menetukan kebutuhan intervensi.
pengiriman oksigen. Kriteria hasil: b. Tinggikan kepala tempat b. Meningkatkan ekspansi paru dan
DS : pusing, lemas, tidur sesuai toleransi. memaksimalkan oksigenasi untuk
menggigil, nyeri punggung c. Kolaborasi pengawasan kebutuhan seluler. Catatan :
dan lambung, serta sesak hasil pemeriksaan kontraindikasi bila ada hipotensi.
nafas dan mudah lelah saat laboraturium. c. Mengidentifikasi defisiensi dan
beraktivitas. d. Berikan oksigen kebutuhan pengobatan /respons
DO : - tambahan sesuai terhadap terapi.
Keadaan umum indikasi. d. Memaksimalkan transport
TD : 120/80 mmHg e. Berikan transufi darah oksigen ke jaringan.
Suhu 36,50 C – 370 C sesuai indikasi e. Meningkatkan jumlah sel darah
Jumlah Eritrosit 5000 - merah
9000 sel/mm3
2. Gangguan nutrisi kurang Setelah di lakukan asuhan a. Kaji riwayat nutrisi, a. Mengidentifikasi defisiensi,
dari kebutuhan tubuh b/d keperawatan selama 3 X 24 termasuk makan yang memudahkan intervensi
nafsu makan menurun, jam dapat memenuhi disukai b. Mengawasi masukkan kalori atau
mual. kebutuhan nutrisi sesuai b. Observasi dan catat kualitas kekurangan konsumsi
dengan kebutuhan tubuh masukkan makanan pasien makanan
dengan Kriteria hasil: c. Timbang berat badan c. Mengawasi penurunan berat
setiap hari badan atau efektivitas intervensi
DS : mengatakan tidak ada nutrisi
nafsu makan, mual, dan d. Berikan makan sedikit d. Menurunkan kelemahan,
muntah dengan frekuensi sering meningkatkan pemasukkan dan
DO : - dan atau makan diantara mencegah distensi gaster
Keadaan umum membaik waktu makan e. Gejala GI dapat menunjukkan
dapat menghabiskan porsi e. Observasi dan catat efek anemia (hipoksia) pada
makan yang diberikan kejadian mual/muntah, organ.
Mengalami peningkatan flatus dan dan gejala lain f. Membantu dalam rencana diet
BB yang berhubungan untuk memenuhi kebutuhan
f. Kolaborasi pada ahli gizi individual
untuk rencana diet.
3. Konstipasi b.d Setelah di lakukan tindakan a. Observasi warna feses, a. Membantu mengidentifikasi
penurunan masukan diet; asuhan kep selama 3 X 24 konsistensi, frekuensi dan penyebab /factor pemberat dan
perubahan proses jam, membuat/kembali pola jumlah intervensi yang tepat.
pencernaan; efek normal dari fungsi usus b. Awasi intake dan output b. Dapat mengidentifikasi dehidrasi,
samping terapi obat. dengan Kriteria hasil : (makanan dan cairan). kehilangan berlebihan atau alat
c. Dorong masukkan cairan dalam mengidentifikasi defisiensi
DS : lambung nya nyeri 2500-3000 ml/hari dalam diet
DO : Urine pekat dan feses toleransi jantung c. Membantu dalam memperbaiki
hitam,Auskultasi terdengar d. Kolaborasi ahli gizi untuk konsistensi feses bila konstipasi.
bunyi usus menurun. diet seimbang dengan Akan membantu memperthankan
mengatakan lambungnya tinggi serat dan bulk. status hidrasi pada diare
tidak nyeri lagi e. Berikan pelembek feses, d. Serat menahan enzim pencernaan
Warna urine normal, dan laksatif sesuai indikasi. dan mengabsorpsi air dalam
warna feses normal serta Pantau keefektifan. alirannya sepanjang traktus
konsistensi yang normal (kolaborasi). intestinal dan dengan demikian
Bunyi usus normal. menghasilkan bulk, yang bekerja
sebagai perangsang untuk
defekasi.
e. Mempermudah defekasi bila
konstipasi terjadi.

4. Intoleransi aktifitas b.d Setelah di lakukan tindakan a. Kaji kemampuan ADL a. Mempengaruhi pilihan
ketidakseimbangan asuhan kep selama 3 X 24 pasien. intervensi/bantuan
antara suplai oksigen jam, diharapkan pasien tidak b. Observasi tanda-tanda b. Manifestasi kardiopulmonal dari
(pengiriman) dan lagi mengalami kelemahan vital sebelum dan sesudah upaya jantung dan paru untuk
kebutuhan, kelemahan dengan Kriteria hasil : aktivitas. membawa jumlah oksigen
fisik. DS : mengeluhkan pusing, c. Rencanakan kemajuan adekuat ke jaringan
lemas, serta sesak nafas dan aktivitas dengan pasien, c. Meningkatkan aktivitas secara
mudah lelah saat termasuk aktivitas yang bertahap sampai normal dan
beraktivitas. pasien pandang perlu. memperbaiki tonus otot/stamina
DO : -: Tingkatkan tingkat tanpa kelemahan. Meingkatkan
dapat beraktivitas dengan aktivitas sesuai toleransi. harga diri dan rasa terkontrol.
normal. d. Gunakan teknik d. Mendorong pasien melakukan
TD : 120/80 mmHg menghemat energi, banyak aktivitas dengan
membatasi penyimpangan energi
dan mencegah kelemahan.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC


Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Ed 3. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p.
550-552
Moss PAH, Pettit JE, Hoffbrand AV. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta
:EGC; 2005.h.51-63
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta
: EGC
Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta : Biro Publikasi FK UKRIDA; 2009
Sudoyo W. Aru, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009. p.1152-1159, 1379-1389.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. EGC. Jakarta
Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan
praktis. Jakarta: EGC; 20

Anda mungkin juga menyukai