Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anemia hemolitik adalah anemia yang tidak terlalu sering dijumpai,
tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat. Pada kasus-
kasus penyakit dalam yang dirawat di RSUP sanglah tahun 1997. Anemia
hemolitik merupakan 6% dari kasus anemia, menempati urutan ketiga setelah
anemia aplastik dan anemia sekunder keganasan hematologis.
Anemia hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan destruksi eritrosit
sebelum waktunya. Dalam keadaan in sumsum tulang memproduksi darah
lebih cepat sebagai kompensasi hilang nya sel darah merah. Pada kasus
Anemia biasanya ditemukan splenomegali diakibatkan karena absorbsi sel
darah ysng telah mati secara berlebihan oleh limpa. Karena pada anemia
hemolitik banyaknya sel darah merah yang mati pada waktu yang relative
singkat
Pada kasus anemia hemolitik yang akut terjadi distensi abdomen di
karenakna hepatomegali dan splenomegali. Dalam makalah ini penulis
membahas tentang konsep dasar anemia hemolitik serta asuhan
keperawatannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dat membuat rumusan
masalah yaitu sebagai berikut :
1. Apa Pengertian dari Anemia Hemolitik ?
2. Apa Etiologi dari anemia Hemolitik ?
3. Bagaimanakah patofisiologis pada anemia Hemolitik?
4. Apa saja manifestasi dari anemia Hemolitik?
5. Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan ?
6. Bagaimankah penatalaksanaan nya ?

1
7. Bagaimnakah Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Anemia
Hemolitik ?
C. Tujuan
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas
Sistem Hematologi & Imunologi yang berjudul ” Askep Anemia Hemolitik ”.
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah menjawab pertanyaan yang telah
dijabarkan pada rumusan masalah agar penulis ataupun pembaca tentang
konsep skoliosis serta proses keperawatan dan pengkajiannya

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Anemia
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah
hemoglobin dalam 1 mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang
didapat dalam 100 ml darah (Ngastia, 1997 ; 398)
Anemia adalah berkurangnya volume eritrosit di kadar HB di
bawah batas nilai-nilai yang dijumpai pada orang sehat (Nelson; 838)
2. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari).
Anemia hemolitik adalah anemia karena hemolisis, kerusakan
abnormal sel-sel darah merah (sel darah merah), baik di dalam pembuluh
darah (hemolisis intravaskular) atau di tempat lain dalam tubuh
(extravascular).
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena
terjadinya penghancuran darah sehingga umur dari eritrosit pendek ( umur
eritrosit normalnya 100 sampai 120 hari).
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah
merah (HB) berada di bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi)
pada eritrosit yang lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang
mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah merah)
ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia
tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika
terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu menganti
keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik.
Anemia hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada
kondisi normal eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 120

3
hari, sedang pada penderita anemia hemolitik umur eritrosit hanya
beberapa hari saja.

B. Etiologi
1. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit
Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Gangguan struktur dinding eritrosit
  Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh
kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini berlangsung
ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala anemianya lebih
menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa
sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan
krisis aplastik.
Kelainan radiologis tulang dapat ditemukan pada anak yang
telah lama menderita kelainan ini. Pada 40-80% penderita sferositosis
ditemukan kolelitiasis.
  Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval
(lonjong). Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-
kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut
hukum mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-
kadang ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya
dapat mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
  A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang
menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga kelainan
bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak
pada dinding sel.

4
b. Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah,
misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
  Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
  Defisiensi Glutation reduktase
  Defisiensi Glutation
  Defisiensi Piruvatkinase
  Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
  Defisiensi difosfogliserat mutase
  Defisiensi Heksokinase
  Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase

c. Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya
konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun telah
mencapai keadaan yang normal
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
hemoglobin ini, yaitu:
  Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
  Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal
talasemia

2. Faktor Ekstrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
a. Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat
b. Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi
yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
c. Infeksi, plasmodium, boriella

5
C. Patofisiologi
Hemolisis adalah acara terakhir dipicu oleh sejumlah besar diperoleh
turun-temurun dan gangguan. etiologi dari penghancuran eritrosit prematur
adalah beragam dan dapat disebabkan oleh kondisi seperti membran intrinsik
cacat, abnormal hemoglobin, eritrosit enzimatik cacat, kekebalan penghancuran
eritrosit, mekanis cedera, dan hypersplenism. Hemolisis dikaitkan dengan
pelepasan hemoglobin dan asam laktat dehidrogenase (LDH). Peningkatan
bilirubin tidak langsung dan urobilinogen berasal dari hemoglobin dilepaskan.
Seorang pasien dengan hemolisis ringan mungkin memiliki tingkat
hemoglobin normal jika peningkatan produksi sesuai dengan laju kerusakan
eritrosit. Atau, pasien dengan hemolisis ringan mungkin mengalami anemia
ditandai jika sumsum tulang mereka produksi eritrosit transiently dimatikan
oleh virus (Parvovirus B19) atau infeksi lain, mengakibatkan kehancuran yang
tidak dikompensasi eritrosit (aplastic krisis hemolitik, di mana penurunan
eritrosit terjadi di pasien dengan hemolisis berkelanjutan). Kelainan bentuk
tulang tengkorak dan dapat terjadi dengan ditandai kenaikan hematopoiesis,
perluasan tulang pada masa bayi, dan gangguan anak usia dini seperti anemia
sel sabit atau talasemia.
1. Mekanisme pemecahan eritrosit ektravaskular
terjadi dalam sel makrofag dan sistem retikuloendotelial terutama
di organ hati, limpa/pankreas dan sumsum tulang. Pemecahan eritrosit
terjadi di dalam sel organ-organ tersebut karena organ-organ tersebut
mengandung enzim heme oxygenase yang berfungsi sebagai enzim
pemecah.
Eritrosit yang lisis akibat kerusakan membran, gangguan
pembentukan hemoglobin dan gangguan metabolisme ini, akan dipecah
menjadi globin dan heme. Globin akan disimpan sebagai cadangan, sedang
heme akan dipecah lagi menjadi besi dan protoforfirin. Besi disimpan
sebagai cadangan. Protoforpirin akan terurai menjadi gas CO dan bilirubin.
Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin akan membentuk
bilirubin indirect (bilirubin I). Bilirubin indirect yang terkonjugasi di organ

6
hati menjadi bilirubin direct (bilirubin II). Bilirubin direct diekresikan
(disalurkan) ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen
(mempengaruhi warna feses) dan urobilinogen (mempengaruhi warna
urin/air seni).
2. Mekanisme pemecahan eritrosit intravaskular
terjadi dalam sirkulasi darah. Eritrosit yang lisis melepaskan HB
bebas ke dalam plasma. Haptoglobin dan hemopektin mengikat HB bebas
tersebut ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Dalam kondisi
hemolisis berat, jumlah haptoglobin dan hemopektin mengalami
penurunan, akibatnya Hemoglobin bebas beredar dalam darah
(hemoglobinemia). Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan membuat
hemoglobin dilepaskan ke dalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak
terakomodasi seluruhnya oleh sistem keseimbangan darah itulah yang
menyebabkan hemoglobinemia.
Hemoglobin juga dapat melewati glomelurus ginjal sehingga
terjadi hemoglobinuria. Hemoglobin yang terdapat di tubulus ginjal akan
diserap oleh sel-sel epitel, sedang kandungan besi yang terdapat di
dalamnya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika epitel ini
mengalami deskuamasi akan terjadi hemosiderinuria (hemosiderin hanyut
bersama air seni). Hemosiderinuria merupakan tanda hemolisis
intravaskular kronis.
Berkurangnya jumlah eritrosit diperifer juga memicu ginjal
mengeluarkan eritropoetin untuk merangsang eritropoesis di sumsum
tulang. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan retikulosit (sel
eritrosit muda di paksa matang) sehingga mengakibatkan polikromasia.

D. Manifestasi Klinik
1. Kadang – kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat,
menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di
tandai dengan:
a. Demam

7
b. Mengigil
c. Nyeri punggung dan lambung
d. Perasaan melayang
e. Penurunan tekana darah yang berarti
2. Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
a. Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil
pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada
hasil ekskresi yaitu urin dan feses.
b. Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya
tidak ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit
yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam
plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya
oleh sistem keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia.
c. Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.
d. Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi
banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit
banyak ditemukan.
3. Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl, sedang gejala
hemolisisnya berupa ikterus (kuning) akibat peningkatan kadar bilirubin
indirect dalam darah, pembengkakan limfa (splenomegali), pembengkakan
organ hati (hepatomegali) dan kandung batu empedu (kholelitiasis). Tanda
dan gejala lebih lanjut sangat tergantung pada penyakit yang menyertai.

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
a. Bilirubin serum meningkat
b. Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
c. Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
2. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
a. Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
b. hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang

8
3. Gambaran rusaknya eritrosit:
a. morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
b. fragilitas osmosis, otohemolisis
c. umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom.
persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur
eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin pendek
umur eritrosit

F. Pemeriksaan Laboratorium
1. Penurunan kadar HB<1g/dl dalam satu minggu tanpa diimbangi dengan
proses eritropoesis yang normal
2. Penurunan masa hidup eritrosit <120 hari. Pemeriksaan terbaik dengan
labeling crom. Persentasi aktivitas crom dapat dilihat dan sebanding
dengan umur eritrosit. Semakin cepat penurunan aktivitas crom maka
semakin pendek umur eritrosit
3. Hemoglobinuria (urin berwarna merah kecoklatan atau merah kehitaman)
4. Hemosiderinuria diketahui dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia
pada air seni
5. Hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
6. Peningkatan katabolisme heme, biasanya terlihat dari peningkatan
bilirubin serum
7. Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital (menghitung sel darah
merah muda)
8. Sterkobilinogen feses meningkat, pigmen feses berwarna kehitaman
9. Terjadi hiperplasia eritropoesis sumsum tulang

9
G. Penatalaksaan
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis memerlukan
perawatan khusus.
1. Terapi transfusi
a. Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi mereka
mungkin penting bagi pasien dengan angina atau cardiopulmonary
terancam status.
b. Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk menghindari
stres jantung.
c. Pada anemia hemolitik autoimun (AIHA), jenis pencocokan dan
pencocokan silang mungkin sulit. Gunakan paling tidak kompatibel
transfusi darah jika ditandai.. Risiko hemolisis akut dari transfusi darah
tinggi, tetapi derajat hemolisis tergantung pada laju infus.. Perlahan-
lahan memindahkan darah oleh pemberian unit setengah dikemas sel
darah merah untuk mencegah kehancuran cepat transfusi darah.
d. Iron overload dari transfusi berulang-ulang untuk anemia kronis
(misalnya, talasemia atau kelainan sel sabit) dapat diobati dengan terapi
khelasi. Tinjauan sistematis baru-baru ini dibandingkan besi lisan
chelator deferasirox dengan lisan dan chelator deferiprone parenteral
tradisional agen, deferoxamine.
2. Menghentikan obat
a. Discontinue penisilin dan agen-agen lain yang dapat menyebabkan
hemolisis kekebalan tubuh dan obat oksidan seperti obat sulfa (lihat
Diet).
b. Obat yang dapat menyebabkan hemolisis kekebalan adalah sebagai
berikut
1) Penisilin
2) Sefalotin
3) Ampicillin
4) Methicillin
5) Kina

10
6) Quinidine
7) Kortikosteroid dapat dilihat pada anemia hemolitik autoimun. 
3. Splenektomi dapat menjadi pilihan pertama pengobatan dalam beberapa
jenis anemia hemolitik, seperti spherocytosis turun-temurun.
a. Dalam kasus lain, seperti di AIHA, splenektomi dianjurkan bila
langkah-langkah lain telah gagal.
b. Splenektomi biasanya tidak dianjurkan dalam gangguan hemolitik
seperti anemia hemolitik agglutinin dingin.
c. Diimunisasi terhadap infeksi dengan organisme dikemas, seperti
Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae, sejauh
sebelum prosedur mungkin.
4. Penanganan gawat darurat:
Atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi penurunan hemoglobin berat perlu diberi
diberi transfusi namun dengan pengawasan ketat. Transfusi yang diberikan
berupa washed red cell untuk mengurangi beban antibodi. Selain itu juga
diberi steroid parenteral dosis tinggi atau hiperimun untuk menekan
aktivitas makrofag.
5. Terapi suportif-simptomatik:
Bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama dilimfa
dengan jalan splenektomi (operasi pengangkatan limfa). Selain itu perlu
juga diberi asam folat 0,15-0,3mg/hari untuk mencegah krisis
megaloblastik.
6. Terapi kausal:
Mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) dan herediter (bawaan) sehingga
sulit untuk ditangani. Pada thalasemia, transplantasi sumsum tulang bisa
dilakukan.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Data demografi
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
1) Kemungkinan klien pernah terpajan zat-zat kimia atau mendapatkan
pengobatan seperti anti kanker, analgetik dll
2) Kemungkinan klien pernah kontak atau terpajan radiasi dengan
kadar ionisasi yang besar
3) Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung as. Folat,Fe dan Vit12.
4) Kemungkinan klien pernah menderita penyakit-penyakit infeksi
5) Kemungkinan klien pernah mengalami perdarahan hebat
b. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit anemia dapat disebabkan olen kelainan/kegagalan genetik
yang berasal dari orang tua yang sama-sama trait sel sabit
c. Riwayat kesehatan sekarang
1) Klien terlihat keletihan dan lemah
2) Muka klien pucat dan klien mengalami palpitasi
3) Mengeluh nyeri mulut dan lidah
3. Kebutuhan dasar
a. Pola aktivitas sehari-hari
1) Keletihan, malaise, kelemahan
2) Kehilangan produktibitas : penurunan semangat untuk bekerja
b. Sirkulasi
1) Palpitasi, takikardia, mur mur sistolik, kulit dan membran mukosa
(konjungtiva, mulut, farink dan bibir) pucat
2) Sklera : biru atau putih seperti mutiara

12
3) Pengisian kapiler melambat atau penurunan aliran darah keperifer
dan vasokonstriksi (kompensasi)
4) Kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok
5) Rambut kering,mudah putus,menipis dan tumbuh uban secara
prematur
c. Eliminasi
Diare dan penurunan haluaran urin
d. Integritas ego
Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung
e. Makanan dan cairan
1) Penurunan nafsu makan
2) Mual dan muntah
3) Penurunan BB
4) Distensi abdomen dan penurunan bising usus
5) Nyeri mulut atau lidah dan kesulitan menelan
f. Higiene
Kurang bertenaga dan penampilan tidak rapi
g. Neurosensori
1) Sakit kepala, pusing, vertigo dan ketidak mampuan berkonsentrasi
2) Penurunan penglihatan
3) Gelisah dan kelemahan
h. Nyeri atau kenyamanan
Nyeri abdomen samar dan sakit kepala
i. Pernafasan
Nafas pendek pada istirahat dan aktivitas (takipnea, ortopnea dan
dispnea)
j. Keamanan
Gangguan penglihatan, jatuh, demam dan infeksi
k. Seksualitas
1) Perubahan aliaran menstruasi ( menoragia/amenore)
2) Hilang libido

13
3) Impoten

4. Analisa Data
N
SIGN & SYMTOMP ETIOLOGI PROBLEM
O
1 DS : mengeluhkan pusing, Penurunan komponen Perubahan
lemas, menggigil, nyeri seluler yang diperlukan perfusi jaringan
punggung dan lambung, serta untuk pengiriman
sesak nafas dan mudah lelah oksigen
saat beraktivitas.
DO :
 Badan pasien teraba dingin
 Pasien tampak pucat dan
konjungtiva pucat
 TTV
2 DS : mengatakan tidak ada Nafsu makan menurun, Gangguan nutrisi
nafsu makan, mual, dan mual kurang dari
muntah kebutuhan tubuh.
DO : -
3 DS : mengatakan lambung Penurunan masukan Konstipasi
nya nyeri diet; perubahan proses
DO : pencernaan; efek
 Urine pekat dan feses hitam samping terapi obat.
 Pada Auskultasi terdengar
bunyi usus menurun

B. Diagnosa yang mungkin muncul


1. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan menurun,
mual

14
3. Konstipasi b.d penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan;
efek samping terapi obat.

C. Intervensi
N Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
O Keperawatan
1. Perubahan perfusi Peningkatan perfusi  Awasi tanda vital kaji  Memberikan informasi
jaringan b.d jaringan pengisian kapiler, warna tentang
Penurunan kulit/membrane mukosa, derajat/keadekuatan
komponen seluler Kriteria hasil: dasar kuku. perfusi jaringan dan
yang diperlukan  Keadaan umum. membantu menetukan
untuk pengiriman  TD : 120/80 kebutuhan intervensi.
oksigen mmHg  Tinggikan kepala tempat  Meningkatkan ekspansi
 Suhu 36,50 C – 370 tidur sesuai toleransi. paru dan memaksimalkan
DS : pusing, lemas, C oksigenasi untuk
menggigil, nyeri  Jumlah Eritrosit kebutuhan seluler. Catatan
punggung dan 5000 - 9000 : kontraindikasi bila ada
lambung, serta sesak sel/mm3 hipotensi.
nafas dan mudah  Awasi upaya pernapasan ;  Gemericik
lelah saat auskultasi bunyi napas menununjukkan gangguan
beraktivitas. perhatikan bunyi adventisius. jajntung karena regangan
DO : - jantung lama/peningkatan
kompensasi curah jantung.
 Selidiki keluhan nyeri  Iskemia seluler
dada/palpitasi. mempengaruhi jaringan
miokardial/ potensial
risiko infark.
 Hindari penggunaan botol  Termoreseptor jaringan
penghangat atau botol air dermal dangkal karena
panas. Ukur suhu air mandi gangguan oksigen
dengan thermometer.

15
 Kolaborasi pengawasan hasil  Mengidentifikasi
pemeriksaan laboraturium. defisiensi dan kebutuhan
Berikan sel darah merah pengobatan /respons
lengkap/packed produk darah terhadap terapi.
sesuai indikasi.
 Berikan oksigen tambahan  Memaksimalkan transport
sesuai indikasi. oksigen ke jaringan.
 Berikan transufi darah sesuai  Meningkatkan jumlah sel
indikasi darah merah
2. Gangguan nutrisi Kebutuhan nutrisi  Kaji riwayat nutrisi, termasuk  Mengidentifikasi
kurang dari sesuai dengan makan yang disukai defisiensi, memudahkan
kebutuhan tubuh. kebutuhan tubuh intervensi
b.d nafsu makan  Observasi dan catat  Mengawasi masukkan
menurun, mual Kriteria hasil: masukkan makanan pasien kalori atau kualitas
 Keadaan umum kekurangan konsumsi
DS : mengatakan membaik makanan
tidak ada nafsu  dapat  Timbang berat badan setiap  Mengawasi penurunan
makan, mual, dan menghabiskan hari berat badan atau
muntah porsi makan yang efektivitas intervensi
DO : - diberikan nutrisi
 Mengalami  Berikan makan sedikit  Menurunkan kelemahan,
peningkatan BB dengan frekuensi sering dan meningkatkan
atau makan diantara waktu pemasukkan dan
makan mencegah distensi gaster
 Observasi dan catat kejadian  Gejala GI dapat
mual/muntah, flatus dan dan menunjukkan efek anemia
gejala lain yang berhubungan (hipoksia) pada organ.
 Berikan dan Bantu hygiene  Meningkatkan nafsu
mulut yang baik ; sebelum makan dan pemasukkan
dan sesudah makan, gunakan oral. Menurunkan
sikat gigi halus untuk pertumbuhan bakteri,

16
penyikatan yang lembut. meminimalkan
Berikan pencuci mulut yang kemungkinan infeksi.
di encerkan bila mukosa oral Teknik perawatan mulut
luka. khusus mungkin
diperlukan bila jaringan
rapuh/luka/perdarahan
dan nyeri berat.
 Kolaborasi pada ahli gizi  Membantu dalam rencana
untuk rencana diet. diet untuk memenuhi
kebutuhan individual
 Kolaborasi ; pantau hasil  Meningkatakan efektivitas
pemeriksaan laboraturium program pengobatan,
termasuk sumber diet
nutrisi yang dibutuhkan.
 Kolaborasi; berikan obat  Kebutuhan penggantian
sesuai indikasi tergantung pada tipe
anemia dan atau adanyan
masukkan oral yang buruk
dan defisiensi yang
diidentifikasi.
3. Konstipasi b.d Membuat/kembali  Observasi warna feses,  Membantu
penurunan masukan pola normal dari konsistensi, frekuensi dan mengidentifikasi
diet; perubahan fungsi usus jumlah penyebab /factor pemberat
proses pencernaan; dan intervensi yang tepat.
efek samping terapi Kriteria hasil :  Auskultasi bunyi usus  bunyi usus secara umum
obat.  mengatakan meningkat pada diare dan
lambungnya tidak menurun pada konstipasi
DS : lambung nya nyeri lagi  Awasi intake dan output  dapat mengidentifikasi
nyeri  Warna urine (makanan dan cairan). dehidrasi, kehilangan
DO : Urine pekat normal, dan warna berlebihan atau alat dalam
dan feses hitam, feses normal serta mengidentifikasi

17
Auskultasi terdengar konsistensi yang defisiensi diet.
bunyi usus menurun. normal  Dorong masukkan cairan  membantu dalam
 Bunyi usus 2500-3000 ml/hari dalam memperbaiki konsistensi
normal. toleransi jantung feses bila konstipasi. Akan
membantu
memperthankan status
hidrasi pada diare
 Hindari makanan yang  menurunkan distress
membentuk gas gastric dan distensi
abdomen
 Kaji kondisi kulit perianal  mencegah ekskoriasi kulit
dengan sering, catat dan kerusakan
perubahan kondisi kulit atau
mulai kerusakan. Lakukan
perawatan perianal setiap
defekasi bila terjadi diare.
 Kolaborasi ahli gizi untuk  serat menahan enzim
diet seimbang dengan tinggi pencernaan dan
serat dan bulk. mengabsorpsi air dalam
alirannya sepanjang
traktus intestinal dan
dengan demikian
menghasilkan bulk, yang
bekerja sebagai
perangsang untuk
defekasi.
 Berikan pelembek feses,  mempermudah defekasi
stimulant ringan, laksatif bila konstipasi terjadi.
pembentuk bulk atau enema
sesuai indikasi. Pantau
keefektifan. (kolaborasi)

18
 Berikan obat antidiare,  menurunkan motilitas usus
misalnya Defenoxilat bila diare terjadi.
Hidroklorida dengan atropine
(Lomotil) dan obat
mengabsorpsi air, misalnya
Metamucil. (kolaborasi).

19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin
dalam 1 mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang didapat dalam 100 ml
darah.
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses
hemolisis, yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya (normal umur eritrosit 100-120 hari).
1. Penyebab anemia hemolitik :
a. Faktor intrinsik
1) gangguan stuktur dinding eritrosit
2) gangguan pembentukan nukleotida
3) hemoglobinopatia
b. Faktor intrinsik
1) akibat reaksi non imunitas
2) akibat reaksi imunitas
3) infeksi, plasmodium, boriella
B. Saran
Sebagai mahasiswa yang tak pernah lepas dari kata belajar. Begitu pula
dalam pembuatan asuhan keperawatan ini, yang jauh dari kesempurnaan.
Olehnya kami menerima saran dari pembaca demi terciptanya asuhan
keperawatan berikutnya yang lebih baik.

20

Anda mungkin juga menyukai