PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Populasi yang paling dirugikan akibat malaria adalah: ibu hamil, anak-
anak terutama kelompok umur balita, pendatang yang berasal dari daerah non-
endemiske daerah endemis, serta para penderita penyakit dengan penurunan
sistimimunitas tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFINISI
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu
atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermitten,
anemia, dan hepato-splenomegali. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis) untuk konfirmasi adanya parasit
Plasmodium.
B. ETIOLOGI
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium.
Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4
spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan
dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di
Indonesia yaitu P. vivax menimbulkan malaria vivax disebut juga sebagai malaria
tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P.
ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan
malaria falsiparum atau malaria tropika.
Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang
paling sering dijumpai yaitu campuran antara Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang dijumpai tiga jenis
plasmodium sekaligus tapi hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya
terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir- akhir ini di beberapa daerah
dilaporkan kasus malaria yang telah resisten klorokuin, bahkan juga resisten terhadap
pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-
anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat,
bahkan tertian dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak
dengan gangguan gizi
Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural infection melalui
gigitan nyamuk anopheles, (2) penularan bukan alamiah yaitu malaria bawaan
(congenital) dan penularan secara mekanik melalui transfuse darah atau jarum suntik.
Sumber infeksi adalah orang yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa
gejala klinis.
Nyamuk Anopheles menyukai air yang bersih dan tidak terpolusi, ritme gigitan –
menggigit pada malam hari dan beristirahat di dalam dan luar ruangan (tergantung
pada spesies). Selain itu, lebih menyukai warna yang lebih gelap. Nyamuk betina
dengan satu makanan darah dapat membuahkan 50 – 150 butir telur. Anopheles spp.
memiliki morfologi sebagai berikut:
1. Dewasa – Bercak pucat dan gelap pada sayapnya dan beristirahat di kemiringan
45 derajat suatu permukaan.
2. Larva beristirahat secara paralel dengan permukaan air.
3. Panjang telur kurang-lebih 1 mm dan memiliki pelampung di kedua sisinya.
D. PATOGENESIS MALARIA
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Plasmodium berikatan dengan glikoporin, suati protein membrane
eritrosit. Eritrosit terinfeksi plasmodium bergantung pada kemampuan plasmodium
dan pengaruh protein knobs. Adanya ikatan antigen dengan glikoporin merangsanga
antibody, antibody ini bekerja dalam sel.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau
dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative
glomerulonefritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis massif
dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis,
akibat kurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah.
P.falciparum menyebabkan nefritis sedangkan P.malariae menyebabkan
glomerulonefritis kronik dan syndrome nefrotik.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,
sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.
falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit
juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung
merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit,
sehingga berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B
yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan
dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap
eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan
hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin
berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis
tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah
manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat
menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang
dewasa.
E. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh
suatu periode bebas demam (periode laten. Sebelum demam pasien biasanya merasa
lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan
infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis
Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam
terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya
minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium
dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating
stage) Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa tapi jarang dijumpai
pada usia muda. Pada anak dibawah 5 tahub, stadium dingin seringkali bermanifestasi
sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi
(intrinsic). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung padaspesies parasit,
paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium
malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang
pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat
transfuse darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari, Plasmodium
vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse. Masa
inkubasi pada penularan secara alamiah pada masing-masing spesies parasit, untuk
Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari,
dan Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar
dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu:
1. Periode dingin
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin.
Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam
pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat
atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada pasien
mungkin muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung
antara 15 menit sampai 1 jam.
2. Periode demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali
terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi kuat
lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai
410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan
oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali,
sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam
sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari
keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium falciparum, setiap
24-48 jam.
3. Periode berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah,
kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah
normal.
Gejala tersebut diatas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada spesies
parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada
malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk
tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tetentu
seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah
organ-organ tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan
fungsi ginjal. Kematian paling sering disebabkan oleh malaria jenis ini. Black
watwr fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin
pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain
dari Black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black
water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium
falciparum berulang. Dengan infeksi yang cukup berat.
Didaerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang
dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung
parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena
infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau
setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan pengobatan
yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali.
F. MALARIA TANPA KOMPLIKASI
Pada daerah hiper atau holoendemik, control malaria efektif sehingga serangan
malaria akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap
menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas,
maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada anak
besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum obat
saat masuk ke daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria,semua usia
dapat terserang malaria.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia, pada anak
besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi
bervariasi. Muntah, nyeri perut dan diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati
sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut, pembesaran hati biasanya terjadi
pada awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih sering terjadi
daripada pembesaran limpa.
Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresivitas penyakit,
namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus
dapat dijumpai pada beberap anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar
transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.
Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran
limpa progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami
serangan berulang, limpa dapat sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia
merupakan akibat penting malaria tropika pada anak. Pada infeksi akut,beratnya
anemia berhubungan lansung dengan derajat parasitemia.
Malaria ovale mempunya gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertian. Pada
hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar
mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodic tiap 48 jam tetapi stadium
dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam,
anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi
pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari
2%. Malaria tertian dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya
membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat
tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk
waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada mingu
kedua. Kejang dapat terjadi saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai penyakit
lain yang berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertian dan ovale bentuk
dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps.
Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan hanya obat skizontosida
saja.
Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertian, hanya periode demam
terjadi tiap 72 jam. Sindrom nefrotik dapat terjadi pada usia 2 samapi 12 tahun
dengan puncak pada usia 5-7 tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang
menetap, hipoproteinuria berat dan asites. Serum albumin kurang dari 2 gr/dL
bahkan pada 95% kurang dari 1gr/dL. Tekanan darah biasanya normal dan tidak
jelas adanya azotemia dan hematuria.
Anak-anak dibawah usia 5 tahun sebagian besar mengalami efek berat dari malaria
karena mereka belum memiliki imunitas terhadap parasit. Infeksi berat dapat
menyebabkan kematian pada anak dalam waktu beberapa jam. Malaria dalam
kehamilan dapat berupa infeksi asimptomatik sampai infeksi berat yan
membutuhkan terapi. Di area yang transmisi malarianya stabil sebagian besar wanita
telah memiliki imunitas alami yang biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala
selama kehamilan. Di beberapa area utama malaria, infeksi malaria berhubungan
dengan anemia pada ibu dan adanya parasit dalam plasenta yang mengakibatkan
berat badan lahir rendah (BBLR), yang mempengaruhi pertumbuhan dan kematian
bayi. Di area malaria yang transmisinya tidak stabil, wanita memiliki sedikit
imunitas dan berisiko mengalami malaria berat dan kematian.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum yang
menyerang berbagai organ dengan gejala dan tanda yang bervariasi. Penyakit ini
menyebabkan 90% dari mortalitas yang berkaitan dengan infeksi P. falciparum di
seluruh dunia, sehingga WHO menetapkan kriteria standar untuk diagnosis dini dan
penanganan penyakit malaria berat untuk mengurangi angka kematian.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium
aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera dibawah ini
merupakan malaria berat, antara lain:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran menurun (delirium, stupor, koma)
2. Anemia berat, kadar hemoglobin kurang dari sama dengan 5 g/dL
3. Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan gangguan elektrolit
4. Hipoglikemia berat
5. Gagal ginjal
6. Edema paru berat
7. Kegagalan sirkulasi (Algid malaria)
8. Kecenderungan terjadinya pendarahan
9. Hiperpireksia/hyperthermia
10. Hemoglobinuria/ Black water fever
11. Ikterus
12. Hiperparasitemia
Angka kematian malaria berat dalam penelitian Halim ID,dkk adalah 4% yang
terjadi pada penderita malaria serebral dan malaria algid. Angka tersebut lebih
rendah bila dibandingkan dengan penelitian di Gambella Ethiopia Barat yang
dilakukan pada tahun 1998-1999 dengan angka kematian sebesar 22% dan
kebanyakan kematian terjadi dalam 24 jam pertama. Demikian pula angka kematian
malaria berat di Kenya sekitar 10% dengan kematian terjadi sebanyak 27% dalam 48
jam pertama. Pada penelitian di Myanmar tahun 1995 ditemukan angka kematian
terbanyak terjadi dalam 24 jam pertama sebesar 57%.
Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. RD Kandou Manado 1991-2000
ditemukan 67 kasus dengan angka kematian sebesar 17,2%.11 Pada penelitian
Schellenberg et al di Kenya mendapatkan bahwa penderita malaria berat yang
dirawat di rumah sakit sebagian besar bertempat tinggal dekat rumah sakit dengan
jarak kurang dari 5 km (31,6%), jarak 5-10 km sebanyak 22,6%, jarak 10-15 km
sebanyak 21%, jarak 15-20 km sebanyak 14,8%,dan jarak lebih dari 25 km sebanyak
5%. Dikatakan juga, meskipun dengan penggunaan antimalaria secara parenteral
danpenanganan komplikasi malaria yang intensif, angka kematian dari malaria
serebral masih sekitar 25-50% dan akan terjadi cacat neurologik sebesar 10%. Jika
tidak ditangani dengan baik malaria serebral akan meninggal dalam 24-72 jam.
Tanda dan gejala klinis malaria berat dapat berbeda menurut umur dan letak
geografis serta berbeda dalam hal frekuensi penularan penyakit malaria. Malaria
serebral merupakan bentuk malaria berat yang sering ditemukan di Gambia,
sedangkan malaria falciparum dengan anemia berat sering ditemukan pada anak-
anak di Papua New Guinea. Demikian juga pada penelitian di Gambella didapatkan
bahwa malaria falciparum dengan anemia yang berat paling sering ditemukan
dengan jumlah sekitar 33%. Pendapat ini didukung oleh penelitian Ejov et al di
Myanmar pada tahun 1995 yang mendapatkan penderita malaria berat yang disertai
dengan anemia sebesar 75% dari seluruh penderita. Pada penelitian ini kami
menemukan bahwa malaria falciparum dengan hiperparasitemia yang terbanyak
sekitar 49% dan diikuti oleh malaria falciparum dengan anemia berat. Hal itu
mungkin disebabkan adanya faktor dari imunitas atau kekebalan yang terdapat pada
anak-anak yang berada di daerah endemis.
a. Malaria Serebral
Malaria serebral merupakan komplikasi berat dari malaria falciparum dan
menyebabkan kematian bila tidak cepat diobati. Keadaan ini merupakan kegawatan
akut
yang memerlukan penanganan segera. Penanganannya adalah memberantas
parasitemia, mengurangi edema serebri, mengatasi kejang, memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan perawatan yang baik.
Pada penelitian Halim ID,dkk ditemukan angka kematian malaria serebral sebesar
24% (sebanyak 5 penderita dari 21 penderita malaria serebral yang dirawat). Hal
itu kemungkinan disebabkan terlambatnya penderita dibawa berobat, dengan lama
perawatan rata-rata 2,2 hari dan beratnya komplikasi yang sudah terjadi. Hal itu
sesuai dengan angka kematian penderita malaria serebral pada penelitian anak-anak
di Afrika tahun 1998 sebesar 18,6%.
Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis sampai koma. Tanda neurologic
yang penting pada malaria serebral adalah gangguan upper motor neuron yang
simetris dan batang otak. Pendarahan dan eksudat pada retina dijumpai pada
beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Delirium,
halusinasi atau mengamuk sangat jarang pada anak. Pemeriksaan cairan
serebrospinal biasanya dalam batas normal. Pada sebagian besar malaria serebral
disertai anemia berat dan parasitemia berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia
didalam darah tepi rendah yang mungkin disebabkan oleh pengobatan antimalaria
yang tidak adekuat atau berada didalam kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering
dapat diraba. Edema paru dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan
azotemia jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa.
Pemeriksaan EEG terdapat kelainan yang tidak spesifik.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma, tanpa
penyebab lain lain dari koma. Gejala paling dini dari malaria serebral anak-anak
umumnya adalah demam (37,50 -410 C), selanjutnya tidak bisa makan atau minum,
sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang
mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria
serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang.
Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala koma Glasgow (GCS) atau
modifikasi khusus pada anak yaitu skala koma Blantyre, melalui pengamatan
terhadap respons rangsangan bunyi atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle)
iga pada dada anak dan jika tidak ada respons lakukan tekanan kuat pada kuku ibu
jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan
hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali untuk menilai ada
kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum atau sesudah
timul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas dan gejala
sisa. Sekelompok anak yang dapat ertahan hidup setelah menderita malaria serebral
kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologic yang menetap. Selama periode
penyemuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis, ataksia serebelar, kebutaan
kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang menyeluruh atau afasia.
b. Anemia
Anemia merupakan penyebab penting dari angka kematian dan kesakitan pada
penderita yang mengalami infeksi malaria berat dan merupakan salah satu
komplikasinya di wilayah endemis. Dalam penelitian Halim dkk, anemia pada
tingkatan manapun tidak menimbulkan kematian, namun bila anemia disertai dengan
adanya komplikasi dari malaria berat lainnya akan dapat mengakibatkan kematian.
Hal itu sama dengan penelitian yang dilakukan di Gambia dan juga yang dilakukan di
Gambella. Umur dari 148 penderita antara 1 tahun 2 bulan dan 12 tahun 8 bulan
dengan rata–rata 6 tahun 4 bulan. Grebe menemukan penderita sebagian besar
berumur 1-5 tahun sebanyak 110 penderita (87%) dan berumur di atas 5 tahun
sebanyak 17 penderita (13%) dengan umur rata-rata 36,7 bulan. Pada penelitian Ejov
et al tahun 1995 di Myanmar mendapatkan bahwa angka kesakitan malaria berat
ditemukan terbanyak pada anak yang berumur 5-9 tahun.
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa
pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan anemia normokrom sebagai akibat perubahan eritropoetik di dalam
sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, didalam darah perifer sudah
tampak sel leukosit monosit berpigmen. Seorang anak yang mendadak menderita
anemia berat seringkali berhubungan dengan hiperparasitemia. Anemia dapat pula
terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung parasit. Anak dengan anemia
berat dapat menderita takikardia dan dispneu. Anemia turut berperan dalam (1) gejala
serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan pendarahan retina, (2) gejala
kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru. Pada
penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan anemia (Hb<10gr
%) sebanyak 38,35%.
d. Hipoglikemia Berat
Hipoglikemia dapat terjadi pada malaria berat, terutama pada anak kecil di bawah 3
tahun dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala
yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta naoas tidak
teratur.
Hipoglikemi berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan
kina. Gejala hipoglikemia serupa dengan malaria serebral. Hipoglikemia pada anak
adalah keadaan di mana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dL atau lebih
rendah. Pada penderita yang sadar dapat timbul hipoglikemia dengan gejala klasik
rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil, sesak napas, pernapasan sulit dan berbunyi,
oliguria, rasa dingin, takikardia dan pening. Gambaran ini dapat berkembang menjadi
penurunan kesadaran, kejang umum, ekstensi, syok dan koma.
e. Gagal Ginjal
Jarang terdapat pada anak dengan malaria terutama pada anak kecil. Demikian juga
oliguria jarang dijumpai pada anak kecil bila dibandingka dengan anak besar. Kadar
ureum serum sedikit meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun. Seringkali
gagal ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat. Pada orang dewasa
dapat pula disertai nekrosis tubular akut; bagaimana mekanismenya belum diketahui.
Gagal injal pada umumnya bersifat reversible.
i. Hiperpireksia /Hipertermia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali
berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu
berkala sangat dianjurkan. Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh
meningkat menjadi 420C atau lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologic
yang menetap.
k. Ikterus
Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan pada
anak prognosanya jelek.
l.Hiperparasitemia
Pada penderita yang nonimun, densitas parasit parasit > 5% dan adanya skizontaemia
yang berhubungan dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia berat akan
meningkatkan terjadinya resiko komplikasi berat.
H. DIAGNOSIS
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi
malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes
diagnostic cepat.
1. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria.
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka anak malaria berat, dapat
ditemukan keadaan di bawah ini:
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
Keadaan umum yang lemah.
Kejang-kejang.
Panas sangat tinggi.
Mata dan tubuh kuning.
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
Nafas cepat (sesak napas).
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
Warna air seni seperti teh pekat dan dapat sampai kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
Telapak tangan sangat pucat.
2. Pemeriksaan Fisik
Demam (≥37,5oC)
Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa
Pembesaran hati
Pada anak tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai
berikut:
Temperature rectal ≥40oC.
Nadi capat dan lemah.
Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg pada
anak- anak.
Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali .
Penurunan kesadaran.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda-tanda dehidrasi.
Tanda-tanda anemia berat.
Sklera mata kuning.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.
Plasmodium vivax
Plasmodium malariae
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebaga berikut:
- Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa ulang setiap 6
jam sampai 3 hari berturut-turut.
- Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak
ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan
Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:
Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium falciparum
Combo yang mampu mendiagnosis infeksi P.falciparum dan non falciparum
Oleh karena tekhnologi ini baru memasuki industry maka sngat perlu untuk
memperhatikan kemampuan sensitivitas dan spesifisitas dari alat ini. Dianjurkan
untuk menggunakan rapid test dengan kemampuan minimal sensitivity 95% dan
spesifisity 95%. Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini
sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam frezer pendingin.
c. Tes serologi
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adlah IFA (indirect fluorescent
antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA ( Enzyme linked
immunosorbent assay). Kegunaan tes ini untuk diagnosis malaria akutsanat terbatas,
karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah.
Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk diagnosis epidemiologi.
Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk:
Menentukan berapa lama endemisitas berlangsung
Menentukan perubahan derajat transmisi malaria
Menentukan daerah malaria dan focus transmisi
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk:
Skrining donor darah.
Menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada
pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit.
Menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain
tidak berhasil.
Tekhnik diagnostic lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan
menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa dibawah
mikroskop fluoresens. Tekhnik mutahir lain dikembangkan saat ini menggunakan
pelacak DNA probe untuk deteksi antigen.
Obati anak secara rawat jalan dengan obat antimalaria lini1. Terapi yang
direkomendasikan WHO sekarang adalah kombinasi antara artemisinin sebgai obat lini 1.
Klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin tidak lagi menjadi obat anti malaria lini 1
maupun ke2 karena tingginya angka resistensi obat ini terhadap malaria falciparum.
Berikan pengobatan 3 hari dengan memberikan regimen yang dapat dipilih dibawah ini.
o Artesunat ditambah amodiakuin
Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153 mg Amodiakuin basa
Artesunat: 4 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Amodiakuin: 10 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
o Dehidroartemisinin ditambah piperakuinin
Dehidroartemisinin: 2-4 mg/kgBB
Piperakuin: 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal
Obat kombinasi ini diberikan selama 3 hari
o Artesunat ditambah sulfadoksin pirimetamin
Artesunat tablet terpisah 50 mg dan 500 mg sulfadokasin atau 25 mg
pirimetamin
Dosis artesunat 4 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari
SP 25 mg/kgBB dosis tunggal
o Artemeter atau lumefantrin
tablet kombinasi yang mengandung 20 ng artemeter dan 120 lumefantrin
Artemeter: 3,2 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Lumefantrin: 20 mg/kgBB
Tablet kombinasi ini dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 3 hari
o Amodiakuin ditambah Sulfadoksin pirimetamin
Tablet terpisah 153 mg Amodiakuin dan 500 mg Sulfadoksin atau 25 mg
pirimetamin
Amodiakuin: 10 mg/kgBB/ dosis tunggal
SP: 25 mg/kgBB/dosis tunggal
Untuk malaria falciparum, khusus untuk usia >1 tahun tambahkan primakuin 0,75
mg/kgBB/ dosis tunggal selama 1 hari. Untuk vivax, ovale dan malariae
tambahkana primakuin 0,25 mg/kgBB/dosis tunggal selama 14 hari.
TINDAK LANJUT
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat diminum berturut-
turut dalam 3 hari atau lebih awal jika kondisi anak memburuk. Ibu juga harus kembali
lagi jika demam timbul lagi.
Jika hal ini terjadi, periksa apakah anak memang minum obatnya dan ulangi apusan
darah. Jika obat tidak diminum ulangi pengobatan. Jika obat telah diberikan, namun
hapusan darah masih positif berikan obat antimalaria lini ke 2. Lakukan penilaian ulang
pada anak untuk mengetahui dengan jelas kemungkinan lain penyebab demam. Jika
demam timbul pada pengobatan lini ke 2 minta ibu untuk kunjungan ulang untuk menilai
kembali penyebab lain demam.
Menurut keputusan menteri kesehatsn Indonesia tahun 2007, ditetapkan pengobatan
malaria yaitu:
a. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin
dosis artesunat= 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB (dosis
tunggal), primakuin= 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak,
pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal
penderita dewasa yan dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing
4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.
Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
1-7 Kina * * 3x½ 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
*: dosis diberikan per kgBB
Pengobatan malaria vivax yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang ditingkatkan. Dosis
klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan
primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga
dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur.
Jika konfirmasi apusam darah untuk malaria membutuhkan waktu lebih dari satu jam,
mulai berikan pengobatan malaria sebelum diagnosis dipastikan atau sementara gunakan
RDT.
WHO merekomendasikan artesunat, dimana Jadwal pemberian Artesunat IV yaitu untuk
Jam ke-0, Jam ke-12, Jam ke-24 Artesunate 2.4 mg/kg. Kemudian tiap 24 jam:
Artesunate 2.4 mg/kg perhari sampai pasien dapat mentoleransi pengobatan oral.
Artesunat dapat diberikan secara IM dengan dosis yang sama dengan IV. Untuk
pengobatan Malaria berat, dapat diberikan Arthemeter IM jika injeksi Artesunat tidak
tersedia. Jam ke-0 Artemether 3.2 mg/kg H24 Artemether 1.6 mg/kg setiap 24 jam
sampai pengobatan oral bisa ditoleransi. Gunakan semprit 1 ml untuk memberikan
volume suntikan yang kecil
Untuk pengobatan malaria berat lainnya dapat diberikan Kina (IV), dimana pada jam
ke-0 sampai jam ke-4, 20 mg/kg dalam cairan NaCL diberikan lebih dari 4 jam (lebih
baik dipilih pemberian dalam burette) . Jam ke-8, 10 mg/kg diberikan lebih dari 2 jam
dan ini diulang tiap 8 jam (Jam ke 16, jam ke 24 dan seterusnya, total dosis harian 30
mg/kg) sampai anak bisa minum obat. Kemudian berikan dosis oral untuk menyelesaikan
7 hari pengobatan atau berikan 1 dosis SP bila tidak ada resistensi. Jika ada resistensi SP
berikan dosis penuh terapi kombinasi artemisin. Dosis awal kina diberikan hanya bila ada
pengawasan ketat dari perawat terhadap pemberian infuse dan pengaturan tetesan infuse.
Jika ini tidak memungkinkan lebih aman untuk memberikan obat kina intramuskuler.
Kina intramuskuler diberikan jika obat kina melalui infuse tidak dapat diberikan. Quinine
dihidroklorida dapat diberikan dalamm dosis yang sama melalui suntikan intramuskuler.
Berikan aram kina 10 mg/kgBB IM dan ulangi setiap 8 jam. Larutan parenteral harus
diencerkan sebelum digunakan karena akan lebih mudah untuk diserap dan tidak nyeri.
PERAWATAN PENUNJANG
1. Pada anak yang tidak sadar:
Jaga jalan nafas
Posisi miring untuk menghindari aspirasi
Ubah posisi pasien tiap setiap 2 jam
o Pasien harus berbaring dialas yang kering
o Perhatikan titik-titik yang tertekan
2. Lakukan tindakan pencegahan berikut dalam pemberian cairan:
Jika dehidrasi
Selama rehidrasi, pantau tanda kelebihan cairan. Tanda yang paling mudah adlah
pembesaran hati. Tanda lainnya adalah irama derap, fine cracles (ronki) pada
dasar paru dan atau peningkatan JVP. Edema kelopak mata merupakan tanda
yang berguna.
Jika, setelah rehidrasi dieresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam, berikan furosemid
intravena dengan dosis awal 1 mg/kgBB. Jika tidak ada reaksi, gandakan dosis
dengan interval tiap jam hingga maksimal 8 mg/kgBB (diberikan selama 15
menit).
Pada anak tanpa dehidrasi, pastikan anak mendapatkan cairan sesuai kebutuhan.
Hindari menggunakan obat-obatan tambahan yang tidak berguna dan
membahayakan seperti kortikosteroid (dan obat anti radan lainnya), heparin,
adrenalin, prostasiklin dan sikosporin.
PENCEGAHAN
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemic malaria,
maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah
endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam) maksimal 300 mg basa sekali
seminggu atau
b. Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau
Sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan
atau lebih)
c. Menghindari dari gigitan nyamuk
2. Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
Penggunaan kelambu dalam pengendalian malaria adalah dalam rangka melindungi
pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh yang hinggap di kelambu untuk
mencegah terjadinya penularan.
Sasaran penggunaan dan pembagian kelambu
a. Lokasi
Daerah atau desa endemis tinggi malaria
Desa terpencil
Desa/dusun terjadi KLB
Di daerah yang penyemprotan rumah tidak efektif
b. Penduduk
Ibu hamil
Bayi dan anak balita
Keluarga miskin
Jenis kelambu yang digunakan dalam pengendalian malaria adalah
a. Kelambu celup
Kelambu celup adalah jenis kelambu nylon atau katun yang dicelup dengan
insektisida tertentu yang berguna mencegah gigitan nyamuk dan membunuh
nyamuk yang hinggap pada kelambu tersebut.
b. Kelambu Berinsektisida (LLITN=Long Lasting Insecticide Treated Net)
Kelambu LLITN adalah kelambu yang serat benangnya bercampur insektisida
tertentu kemudian dipintal menjadi benang dan dibuat rajutan kelambu sehingga
insektisida bertahan lama pada kelambu tersebut. Insektisida dapat bertahan
lama sampai 5 tahun yaitu masih efektif membunuh nyamuk, meskipun dicuci
20 kali.
Sejak November 2004, WHO merekomendasikan LLITN untuk program
pengendalian malaria. Kelambu ini lebih mahal tetapi dibandingkan kelambu
celup (Impregnated Bed Net/IBN), kelambu ini relative lebih mudah, karena
tidak perlu celup ulang setiap 6 bulan dan efektifitasnya bertahan sampai 5
tahun.
3. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah
penyakit ini, tetapi adanya bermacam-macam stadium pada perjalanan penyakit
malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria
ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu
a.Proteksi terhadap ketiga stadium parasit:
Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia,
Merozoit yang menyerang eritrosit, dan
Gametosit yang menginfeksi nyamuk
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan
pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masin, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit
Plasmodium falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan
apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika
terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin
dengan rekayasa genetika.
Konsep memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau imunoglobulin
tampaknya berperan pada proses terbentuknya kekebalan terhadap malaria. Individu
yang sudah terpapar Plasmodium dalam waktu yang lama mungkin sudah lebih dulu
“membangun” imunitas sehingga gejala infeksi tidak begitu nyata, walaupun dari
analisis darah tebal sudah ditemukan Plasmodium. Selain itu apabila serum darah
seorang dewasa yang sudah sering terpapar Plasmodium diberikan kepada orang lain
yang belum pernah terpapar, maka resipien serum itu akan memperoleh sejumlah
imunitas.
Karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat seseorang yang tidak pernah terpapar
Plasmodium menjadi imun dengan cara memaparkannya pada Plasmodium yang
dilemahkan. Dalam hal ini sporozoit adalah bentuk yang terpenting karena sesuai
dengan bentuk Plasmodium yang dimasukkan nyamuk ke dalam tubuh manusia.
Konsep ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit lewat
radiasi, namun kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat bervariasi membuat
konsep ini tidak terlalu berkembang pada saat itu. Sedangkan pada masa sekarang,
permasalahan utama adalah resistensi parasit yang berkembang dengan cepat.
Selain pada fase sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain
dalam siklus hidup Plasmodium. Secara teoritis setiap tahap perkembangan
Plasmodiumdalam tubuh manusia dapat dibuatkan vaksin. Vaksin preeritrositer
(hepatik) dibuat berdasarkan konsep penghambatan pelepasan trofozoit dari skizon
hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak sel-sel hati yang
terinfeksi. Vaksin eritrositer diharapkan dapat menghambat multiplikasi trofozoit yang
dilepaskan skizon hati atau mencegah invasi trofozoit menuju eritrosit. Ada pula
konsep pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan eritrosit ke dinding
pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan dasar pengembangan vaksin. Fase
ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam mencegah
penularan lebih lanjut lewat nyamanan.
Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua kelompok besar.
Yang pertama kepada populasi di daerah endemik malaria, dan yang kedua ditujukan
untuk turis dari negara nonendemik yang berkunjung ke negara endemik. Sebenarnya
saat ini malaria pada turis dapat dicegah dengan pengobatan kemoprofilaksis; namun
pertimbangan efek samping, kepatuhan, kontraindikasi, dan kenyamanan; cukup
membuat para turis dan calon turis mengharapkan alternatif pencegahan malaria yang
lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa kandidat vaksin malaria yang pernah diuji.
Pada tahun 1987 dikembangkan kandidat vaksin
SPf66, dengan menggunakan antigen permukaan
sporozoit dan merozoit Plasmodium falciparum. Uji
klinik terhadap vaksin ini gagal di fase III, di mana
efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.
CSP adalah vaksin terhadap Plasmodium falciparum yang menggunakan
rekombinan terhadap komposisi protein permukaan sporozoit
(circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin Pseudomonas
aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase I, karena efek
protektifnya tidak begitu kuat.
Vaksin multifase NYVAC-Pf7 yang mengkombinasikan 7
antigenP.falciparum. Vaksin ini mengandung CSP dan PfSSP2 (antigen
permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit; 4
antigen LSA1 (beberapa di antaranya AMA-1, antigen serin, MSP-1) yang
protektif di fase eritrositer; dan 1 antigen fase seksual (Pfs25). Uji klinik
terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya antibodi protektif pada
manusia
RTS,S merupakan kandidat vaksin rekombinan yang mengandung protein
permukaan sporozoit P.falciparum dari fase preeritrositer yang
digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B; sehingga
diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang teruji
klinis cukup baik imunogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21
(SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini cukup baik, terutama
bagi anak-anak. Efektivitas vaksin pada anak-anak ditemukan sebesar
53% untuk adjuvan AS01E (Bejon et.al; 2008) dan 65.2% untuk adjuvan
AS02D (Abdulla et.al; 2008).
PvRII (Plasmodium vivax region II) merupakan kandidat vaksin yang
ditujukan untuk mengikat protein reseptor untuk P.vivax; yaitu antigen
Duffy.
Sanaria PfSPZ adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan sel utuh
Plasmodium falciparum yang dilemahkan sebagai pemicu respons
imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode yang iradiasi nyamuk
yang mengandung Plasmodium falciparum untuk melemahkan parasit,
yang pernah dikembangkan pada tahun 1970-an.
PROGNOSIS
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak
menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat
berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps,
sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps,
pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum tanpa penyulit
berlangsung sampai satu tahun. Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit
prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat
meninggal terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan indicator prognosis buruk
apabila:
• Indikator klinis
Umur 3 tahun atau kurang
Koma yang berat
Kejang berulang
Refleks kornea negative
Deserebrasi
Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
Terdapat pendarahan retina
• Indikator Laboratorium
Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
Schizontemia dalam darah perifer
Leukositosis
PCV (packed cell volume) <15%
Hemoglobin <5g/dL
Glukosa darah <40 mg/dL
Ureum >60 mg/dL
Glukosa liquour serebrospinalis rendah
Kreatinin>3,o mg/dL
Lactat dalam liquor serebrospinalis meningkat
SGOT meningkat >3 kali normal
Antitrombin rendah
Peningkatan kadar plasma 5’-nukleotidase
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh
satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermitten,
anemia, dan hepato-splenomegali. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis) untuk konfirmasi adanya parasit
Plasmodium.
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus
Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler.
Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium
falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat
spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu P. vivax menimbulkan malaria
vivax disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria
malariae atau malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale,
sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika.
Penegakkan Diagnosis yang cepat dan cara penanganannya yang tepat untuk
mengurangi mortalitas akibat penyakit malaria.
B. SARAN
Pemberian obat/penanganan untuk malaria harus dengan tepat sesuai indikasi dan
komplikasinya.
Setiap menangani klien dengan diagnosa malaria harus diberikan Penkes agar tidak
terjadi reopname.
DAFTAR PUSTAKA