Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di


banyak negara di dunia terutama Afrika, Amerika Latin dan Asia. Setiap tahun kira-
kira300 juta sampai 500 juta orang di dunia terinfeksi malaria dan antara
750.000sampai 2 juta jiwa meninggal dunia setiap tahun akibat malaria (WHO, 2004).

Populasi yang paling dirugikan akibat malaria adalah: ibu hamil, anak-
anak terutama kelompok umur balita, pendatang yang berasal dari daerah non-
endemiske daerah endemis, serta para penderita penyakit dengan penurunan
sistimimunitas tubuh.

Permasalahan pengendalian malaria di negara-negara endemis, mobilitas


manusiayang tinggi, perubahan iklim, kondisi sosial-ekonomi yang lemah,
perilakumanusia, sulitnya membuat vaksin malaria, serta ditambah adanya
resistenterhadap obat anti malaria, merupakan faktor-faktor yang memperberat
danmenyebabkan malaria belum dapat dieradikasi hingga saat ini.
Di Indonesia berdasarka survei kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, terdapat 15
juta klasus malaria dengan 38.000 kematian tiap tahunnya. Diperkirakan 35%
penduduk Indonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria karena termasuk
daerah endemis. Daerah yang kasus malaria tertinggi adalah di daerah Papua, Nusa
tenggara Timur, Maluku, dan Sulawesi Tenggara (Gebrek Malaria,2009)
B. EPIDEMIOLOGI

Malaria terjadi di sebagian besar daerah tropis di dumia. Plasmodium Falciparumlebih


banyak terdapat di Afrika, New Guinea, dan Haiti; Plasmodium vivax lebih umum
ditemukan di Amerika Tengah. Prevalensi kedua spesies ini rata-rata sama antara di
Amerika selatan, Negara bagian Amerika, Asia timur, dan kepulauan Oceania. 
Epidemiologi malaria bersifat kompleks dan bisa sangat besar didalam area geografi
yang sempit. Secara klasik endemis didefinisikan dalam istilah of parasitemia rates
atau secara palpasi dinyatakan sebagai spleen rates pada anak-anak usia 2–9 tahun
sebagai hipoendemik (<10%), mesoendemic (11–50%), hiperendemik (51–75%), and
holoendemik (>75%). Di daerah holoendemik dan hiperendemik dimana transmisi  P.
falciparum sangat hebat sekali, orang kemungkinan bisa tergigit nyamuk lebih banyak
dalam sehari dan terinfeksi secara berulang kali dalam hidupnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih beresiko malaria karena sampai 2007
masih terdapat 396 kabupaten (80 persen) endemis malaria. Pada 2008 terdapat 1,62
juta kasus malaria klinis dan 2009 menjadi 1,14 juta kasus, selain itu jumlah penderita
positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop terdapat kuman malaria) pada 2008, 266
ribu kasus dan masih 199 ribu kasus pada 2009.
  Pada tahun 2010, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengingatkan bahwa 
424 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada merupakan endemis malaria.
Sekitar 45 persen penduduk Indonesia berisiko tertular penyakit malaria. Jumlah
tersebut diperkirakan karena masih banyaknya daerah endemis untuk malaria di
Indonesia.
Menurut Menkes Siti Fadilah, daerah endemis tinggi dengan “Annual Parasite
Incidence” [API] lebih dari lima per seribu tersebar di provinsi Maluku, Maluku
Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur. Sedang
wilayah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat termasuk daerah endemis sedang dengan API satu
hingga lima per seribu. Hanya sebagian daerah di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi
yang termasuk daerah endemis rendah dengan API kurang dari satu per 1000
sementara daerah nonendemis hanya ada di DKI Jakarta, Bali dan Kepulauan Riau.

BAB II

PEMBAHASAN
A.DEFINISI

Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu
atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermitten,
anemia, dan hepato-splenomegali. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis) untuk konfirmasi adanya parasit
Plasmodium.

B. ETIOLOGI

Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium.
Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4
spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan
dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di
Indonesia yaitu P. vivax  menimbulkan malaria vivax disebut juga sebagai malaria
tertiana. P. malariae  merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P.
ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan
malaria falsiparum atau  malaria tropika.
Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang
paling sering dijumpai yaitu campuran antara Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang dijumpai tiga jenis
plasmodium sekaligus tapi hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya
terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir- akhir ini di beberapa daerah
dilaporkan kasus malaria yang telah resisten klorokuin, bahkan juga resisten terhadap
pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-
anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat,
bahkan tertian dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak
dengan gangguan gizi
Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural infection melalui
gigitan nyamuk anopheles, (2) penularan bukan alamiah yaitu malaria bawaan
(congenital) dan penularan secara mekanik melalui transfuse darah atau jarum suntik.
Sumber infeksi adalah orang yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa
gejala klinis.
Nyamuk Anopheles  menyukai air yang bersih dan tidak terpolusi, ritme gigitan –
menggigit pada malam hari dan beristirahat di dalam dan luar ruangan (tergantung
pada spesies). Selain itu, lebih menyukai warna yang lebih gelap. Nyamuk betina
dengan satu makanan darah dapat membuahkan 50 – 150 butir telur. Anopheles spp.
memiliki  morfologi sebagai berikut:
1. Dewasa – Bercak pucat dan gelap pada sayapnya dan beristirahat di kemiringan
45 derajat suatu permukaan.
2. Larva beristirahat secara paralel dengan permukaan air.

    
3. Panjang telur kurang-lebih 1 mm dan memiliki pelampung di kedua sisinya.

Tahapan telur menjadi dewasa membutuhkan 6 – 10 hari. Metamorfosis sempurna


meliputi tahap telur, larva, kepompong, dan dewasa.
Perbedaan Nyamuk anopheles dengan nyamuk lainnya

C. SIRKULASI HIDUP PLASMODIUM


Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan
nyamuk anopheles betina.
1. Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit yang
berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama
kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan
menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari
10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang
berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivax  dan P. ovale, sebagian
tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang memjadi
bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam
sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila
imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps
(kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran
darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut
berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses
perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi
skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.
Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni
darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk
stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina.

2. Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina


Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit,
di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan pembuahan
menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus
dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung nyamuk ookinet akan menjadi
ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat infektif dan
siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan  mulai dari sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam
bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan masa prepaten atau
rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam
darah dengan pemeriksaan mikroskopik.

D. PATOGENESIS MALARIA
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Plasmodium berikatan dengan glikoporin, suati protein membrane
eritrosit. Eritrosit terinfeksi plasmodium bergantung pada kemampuan plasmodium
dan pengaruh protein knobs. Adanya ikatan antigen dengan glikoporin merangsanga
antibody, antibody ini bekerja dalam sel.

Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh


darah daripada koagulasi intravaskuler.  Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima
pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit.
Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk
asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam system retikuloendotelial dan
dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian
besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat
skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade
pembekuan darah.
Parasit malaria melepaskan semacam endotoksin yang mengakibatkan aktivasi jaras
sitokin. Sel-sel dari makrofag dan monosit juga mungkin endothelium terstimulasi
untuk melepaskan sitokin. Pada awalnya dihasilkan “ tumor necrosis factor” (TNF) dan
interleukin-1 (IL-1) yang kemudian menginduksi pe;epasan sitokin-sitokin
proinflamatoris ;ain termasuk interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-8(IL-8). Pirogen
endogen (IL-1) dapat diidentifikasi dalam darah pada saat terjadi krisis malaria.
Pecahnya eritrosit juga diikuti pelepasan kalium, fosforilasi glukosa, proses oksidasi
hemoglobin, rusaknya globin. Juga terjadi perlekatan mekanis eritrosit yang
mengandung skizon pada endothelium.
Demam mulai muncul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan
bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit
atau limfosit yang mengeluarkan bermacam-macam sitokin diantaranya TNF. TNF akan
dibawa ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam.
Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda,
P.falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P.vivax/ovale 48 jam, dan P.malariae 72
jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/ovale selang waktu
sehari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi. P.falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia
dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis. P.vivax dan P.ovale hanya menginfeksi sel
darah merah muda yang jumlahnya 2 % dari seluruh jumlah sel darah merah.
Sedangkan P.malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya 1% dari
seluruh sel darah merah, sehingga anemia yang disebabkan oleh P.vivax. P.ovale dan
P.malariae terjadi pada keadaan kronis. Beratnya anemi tidak sebanding dengan
parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit.
Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi
eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain
yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap
eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah Black Water
Fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum,
ditandai oleh hemolisis intravascular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut
akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi.

Splenomegali: Limpa dapat membesar pada serangan akut. Limpa mengalami


pembesaran dan pembendungan. Pada titik ini, kapsul tipis dan mudah robek, dan pulpa
mengalir sebagian. Sesudah beberapa tahun, kapsul menebal dan pulpa fibrotik;
splenomegali menjadi ireversibel. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam
makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi. Pembesaran limpa begitu khas untuk tujuan epidemiologis untuk menentukan
indeks prevalensi, penyebaran, dan intensitas malaria. Pada malaria kronis terjadi
hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran
limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya
dijumpai bersama dengan peningkatankadar IgM. Peningkatan antibody terhadap
malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria
kronis.
Hepatomegali: Hepatomegali juga lazim ditemukan pada malaria. Sel kupffer terisi
dengan hemozoin coklat sampai hitam, dan sel parenkim dengan hemosiderin kuning.
Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada
malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang
meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan
infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari syndrome pembesaran hati di daerah
tropis. 
Mungkin ada nekrosis sentrilobular yang dapat dihubungkan dengan hipoksemia.
Fungsi hati biasanya tidak secara serius terganggu, walaupun bilirubin terkonjugasi,
SGOT/SGPT, dan fosfatase alkali dapat meningkat. Albumin serum dapat menurun,
dan hamper selalu ada peningkatan absolute globulin serum. Uji serologis positif palsu
untuk sifilis lazim ada.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria
serebral otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering diserang edema
hyperemia. Pendarahan berbentuk petekia tersebar pada substansi putih otak dan dapat
menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik,
sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang telah
mengandung parasit dan dapat dijumpai pembekuan fibrin, dan dapat terdapat reaksi
selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria
tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna
atau ditempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik.

Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau
dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative
glomerulonefritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis massif
dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis,
akibat kurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah.
P.falciparum menyebabkan nefritis sedangkan P.malariae menyebabkan
glomerulonefritis kronik dan syndrome nefrotik.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,
sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.
falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit
juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung
merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit,
sehingga berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B
yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan
dengan hal-hal sebagai berikut:
1.  Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap
eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan
hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.

2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin
berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis
tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah
manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat
menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang
dewasa.

3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka


Eritrosit yang terinfeksi dengan P.falciparum menjadi terasing dalam kapiler visceral
tempat skizogoni terjadi. Pengasingan (sequestrasi) eritrosit terinfeksi P.falciparum
matang dalam mikrosirkulasi tampaknya patogenetik yang penting. Diyakini bahwa
eritrosit yang terinfeksi P.falciparum menjadi kurang bisa berubah bentuk dibanding
sel normal; maka tidak mudah melintasi pembuluh kapiler.
Bukti penelitian menunjukkan bahwa struktur seperti benjolan, elekron-dense pada
membrane eritrosit yang terinfeksi penting untuk mengarahkan ligan adhesi ke
reseptor sitoadheren sel endotel seperti CD-36 dan mungkin ICAM-1, tetapi sekarang
tampaknya benjolan ini tidak perlu untuk sitoadheren. Lebih jauh, protein membrane
eritrosit yang terinfeksi dengan berat 270 kD yang baru ditemukan, sekuestrin,
tampaknya mengikat khusus pada CD-36. Pengamatan ini menunjukkan lebih jauh
bahwa CD-36 adalah reseptor utama untuk ligan parasit pada endotel vascular.
Akhirnya, eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk
gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema
jaringan.
Pertama parasit dalam sel darah merah (PRBCs) menempel pada reseptor yang
diekspresikan oleh sel endotel mikrovaskular di otak, diantaranya molekul adhesi
intracellular 1 (ICAM1), melalui ekspresi membrane protein 1 (EMP1) pada
permukaan eritrosit yang mengandung  Plasmodium falciparum. Ketika merozoit
dikeluarkan dari PRBCs  4 jam kemudian,  glycosylphosphatidylinositol (GPI) parasit,
yang mana dikeluarkan kedalam aliran darah atau nampak di membran parasit,
berfungsi sebagai pathogen yang berhubungan dengan bentuk molekuler dan toksin,
dengan cara demikian menginduksi respons inflamasi. Respons fase akut local
kemudian terjadi, yang mana mengaktifkan produksi sitokin dan chemokin endotel
dan local, dan ini hasil dari peningkatan ekspresi molekul adhesi  sel endotel. Dalam
waktu 24 jam kemudian, siklus ini dipertahankan dan dieksaserbasi, memperlihatkan
peningkatan jumlah parasit dan ikatan PRBCs pada sel endotel yang membangkitkan
ekspresi molekul adhesi.
GPI dapat juga berfungsi sebagai ligand CD1 yang  dibatasi sel natural killer T
(NKT), yang menyebabkan aktivasinya. Pengaktifan sel NKT dapat mengatur
differensiasi sel T CD 4 menjadi sel T helper 1 (Th1) atau Th2, tergantung pada lokus
kompleks natural killer yang diekspresikan sehingga teraktivasi. Ditambah lagi,
chemokin membangkitkan monosit dan netrofi ( walaupun netrofiltidak diketahui
menginfiltrasi mikrovaskuler otak pada sesorang dengan serebral malaria).
Pengaktifan monosit dapat juga berdiferensiasi menjadi  makrofag dan beristirahat di
mikrovaskuler otak. 
Aktivasi makrofag local menghasilkan lebih banyak chemokin, yang mana
dikeluarkan secara sistemik, dengan demikian mengakibatkan penambahan infiltrasi
sel, sekuestrasi PRBCs dan mengeluarkan mikropartikel.  Lebih banyak mikropartikel
platelet, sel endotel, dan monosit dikeluarkan, yang mana menyebabkan penyebaran
pro-inflamasi dan pro-koagulan. Akhirnya, menyebabkan kerusakan endotel,
kemungkinan pendarahan perivascular, jejas axonal, dan neurotransmitter dan terjadi
gangguan metabolik.

E. MANIFESTASI KLINIS

Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh
suatu periode bebas demam (periode laten. Sebelum demam pasien biasanya merasa
lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan
infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis
Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam
terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya
minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium
dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating
stage) Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa tapi jarang dijumpai
pada usia muda. Pada anak dibawah 5 tahub, stadium dingin seringkali bermanifestasi
sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi
(intrinsic). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung padaspesies parasit,
paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium
malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang
pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat
transfuse darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari, Plasmodium
vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse. Masa
inkubasi pada penularan secara alamiah pada masing-masing spesies parasit, untuk
Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari,
dan Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar
dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu:
1. Periode dingin
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin.
Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam
pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat
atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada pasien
mungkin muntah dan pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung
antara 15 menit sampai 1 jam.

2. Periode demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali
terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi kuat
lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai
410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan
oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali,
sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam
sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari
keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium falciparum, setiap
24-48 jam.

grafik demam malaria

3. Periode berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah,
kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah
normal.
    Gejala tersebut diatas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada spesies
parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada
malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk
tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tetentu
seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah
organ-organ tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan
fungsi ginjal. Kematian paling sering disebabkan oleh malaria jenis ini. Black
watwr fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin
pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain
dari Black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black
water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium
falciparum berulang. Dengan infeksi yang cukup berat.
    Didaerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang
dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung
parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena
infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau
setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan pengobatan
yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali.
F.  MALARIA TANPA KOMPLIKASI

Pada daerah hiper atau holoendemik, control malaria efektif sehingga serangan
malaria akut sering terjadi  pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap
menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas,
maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada anak
besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum obat
saat masuk ke daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria,semua usia
dapat terserang malaria.
    Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia, pada anak
besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi
bervariasi. Muntah, nyeri perut dan diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati
sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut, pembesaran hati biasanya terjadi
pada awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih sering terjadi
daripada pembesaran limpa.
    Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresivitas penyakit,
namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus
dapat dijumpai pada beberap anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar
transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.
    Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran
limpa progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami
serangan berulang, limpa dapat sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia
merupakan akibat penting malaria tropika pada anak. Pada infeksi akut,beratnya
anemia berhubungan lansung dengan derajat parasitemia.
    Malaria ovale mempunya gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertian. Pada
hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar
mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodic tiap 48 jam tetapi stadium
dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam,
anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi
pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari
2%. Malaria tertian dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya
membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat
tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk
waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada mingu
kedua. Kejang dapat terjadi saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai penyakit
lain yang berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertian dan ovale bentuk
dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps.
Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan hanya obat skizontosida
saja.
Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertian, hanya periode demam
terjadi tiap 72 jam. Sindrom nefrotik dapat terjadi pada usia 2 samapi 12 tahun
dengan puncak pada usia 5-7 tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang
menetap, hipoproteinuria berat dan asites. Serum albumin kurang dari 2 gr/dL
bahkan pada 95% kurang dari 1gr/dL. Tekanan darah biasanya normal dan tidak
jelas adanya azotemia dan hematuria.
Anak-anak dibawah usia 5 tahun sebagian besar mengalami efek berat dari malaria
karena mereka belum memiliki imunitas terhadap parasit. Infeksi berat dapat
menyebabkan kematian pada anak dalam waktu beberapa jam. Malaria dalam
kehamilan dapat berupa infeksi asimptomatik sampai infeksi berat yan
membutuhkan terapi. Di area yang transmisi malarianya stabil sebagian besar wanita
telah memiliki imunitas alami yang biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala
selama kehamilan. Di beberapa area utama malaria, infeksi malaria berhubungan
dengan anemia pada ibu dan adanya parasit dalam plasenta yang mengakibatkan
berat badan lahir rendah (BBLR), yang mempengaruhi pertumbuhan dan kematian
bayi. Di area malaria yang transmisinya tidak stabil, wanita memiliki sedikit
imunitas dan berisiko mengalami malaria berat dan kematian.

G.  MALARIA BERAT

Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum yang
menyerang berbagai organ dengan gejala dan tanda yang bervariasi. Penyakit ini
menyebabkan 90% dari mortalitas yang berkaitan dengan infeksi P. falciparum di
seluruh dunia, sehingga WHO menetapkan kriteria standar untuk diagnosis dini dan
penanganan penyakit malaria berat untuk mengurangi angka kematian.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium
aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera dibawah ini
merupakan malaria berat, antara lain:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran menurun (delirium, stupor, koma)
2. Anemia berat, kadar hemoglobin kurang dari sama dengan 5 g/dL
3. Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan gangguan elektrolit
4. Hipoglikemia berat
5. Gagal ginjal
6. Edema paru berat
7. Kegagalan sirkulasi (Algid malaria)
8. Kecenderungan terjadinya pendarahan
9. Hiperpireksia/hyperthermia
10. Hemoglobinuria/ Black water fever
11. Ikterus
12. Hiperparasitemia
Angka kematian malaria berat dalam penelitian Halim ID,dkk  adalah 4% yang
terjadi pada penderita malaria serebral dan malaria algid. Angka tersebut lebih
rendah bila dibandingkan dengan penelitian di Gambella Ethiopia Barat yang
dilakukan pada tahun 1998-1999 dengan angka kematian sebesar 22% dan
kebanyakan kematian terjadi dalam 24 jam pertama. Demikian pula angka kematian
malaria berat di Kenya sekitar 10% dengan kematian terjadi sebanyak 27% dalam 48
jam pertama.  Pada penelitian di Myanmar tahun 1995 ditemukan angka kematian
terbanyak terjadi dalam 24 jam pertama sebesar 57%.
Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. RD Kandou Manado 1991-2000
ditemukan 67 kasus dengan angka kematian sebesar 17,2%.11 Pada penelitian
Schellenberg et al di Kenya mendapatkan bahwa penderita malaria berat yang
dirawat di rumah sakit sebagian besar bertempat tinggal dekat rumah sakit dengan
jarak kurang dari 5 km (31,6%), jarak 5-10 km sebanyak 22,6%, jarak 10-15 km
sebanyak 21%, jarak 15-20 km sebanyak 14,8%,dan jarak lebih dari 25 km sebanyak
5%. Dikatakan juga, meskipun dengan penggunaan antimalaria secara parenteral
danpenanganan komplikasi malaria yang intensif, angka kematian dari malaria
serebral masih sekitar 25-50% dan akan terjadi cacat neurologik sebesar 10%. Jika
tidak ditangani dengan baik malaria serebral akan meninggal dalam 24-72 jam.
Tanda dan gejala klinis malaria berat dapat berbeda menurut umur dan letak
geografis serta berbeda dalam hal frekuensi penularan penyakit malaria. Malaria
serebral merupakan bentuk malaria berat yang sering ditemukan di Gambia,
sedangkan malaria falciparum dengan anemia berat sering ditemukan pada anak-
anak di Papua New Guinea. Demikian juga pada penelitian di Gambella didapatkan
bahwa malaria falciparum dengan anemia yang berat paling sering ditemukan
dengan jumlah sekitar 33%.  Pendapat ini didukung oleh penelitian Ejov et al di
Myanmar pada tahun 1995 yang mendapatkan penderita malaria berat yang disertai
dengan anemia sebesar 75% dari seluruh penderita. Pada penelitian ini kami
menemukan bahwa malaria falciparum dengan hiperparasitemia yang terbanyak
sekitar 49% dan diikuti oleh malaria falciparum dengan anemia berat. Hal itu
mungkin disebabkan adanya faktor dari imunitas atau kekebalan yang terdapat pada
anak-anak yang berada di daerah endemis.

a. Malaria Serebral
Malaria serebral merupakan komplikasi berat dari malaria falciparum dan
menyebabkan kematian bila tidak cepat diobati. Keadaan ini merupakan kegawatan
akut
yang memerlukan penanganan segera. Penanganannya adalah memberantas
parasitemia, mengurangi edema serebri, mengatasi kejang, memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan perawatan yang baik.
Pada penelitian Halim ID,dkk ditemukan angka kematian malaria serebral sebesar
24% (sebanyak 5 penderita dari 21 penderita malaria serebral yang dirawat). Hal
itu kemungkinan disebabkan terlambatnya penderita dibawa berobat, dengan lama
perawatan rata-rata 2,2 hari dan beratnya komplikasi yang sudah terjadi. Hal itu
sesuai dengan angka kematian penderita malaria serebral pada penelitian anak-anak
di Afrika tahun 1998 sebesar 18,6%.
Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis sampai koma. Tanda neurologic
yang penting pada malaria serebral adalah gangguan upper motor neuron yang
simetris dan batang otak. Pendarahan dan eksudat pada retina dijumpai pada
beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Delirium,
halusinasi atau mengamuk sangat jarang pada anak. Pemeriksaan cairan
serebrospinal biasanya dalam batas normal. Pada sebagian besar malaria serebral
disertai anemia berat dan parasitemia berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia
didalam darah tepi rendah yang mungkin disebabkan oleh pengobatan antimalaria
yang tidak adekuat atau berada didalam kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering
dapat diraba. Edema paru dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan
azotemia jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa.
Pemeriksaan EEG terdapat kelainan yang tidak spesifik.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma, tanpa
penyebab lain lain dari koma. Gejala paling dini dari malaria serebral anak-anak
umumnya adalah demam (37,50 -410 C), selanjutnya tidak bisa makan atau minum,
sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang
mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria
serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang.
Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala koma Glasgow (GCS) atau
modifikasi khusus pada anak yaitu skala koma Blantyre, melalui pengamatan
terhadap respons rangsangan bunyi atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle)
iga pada dada anak dan jika tidak ada respons lakukan tekanan kuat pada kuku ibu
jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan
hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali untuk menilai ada
kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum atau sesudah
timul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas dan gejala
sisa. Sekelompok anak yang dapat ertahan hidup setelah menderita malaria serebral
kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologic yang menetap. Selama periode
penyemuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis, ataksia serebelar, kebutaan
kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang menyeluruh atau afasia.

Skala Koma Blantyre


Penilaian    Spontan    Nilai
Pergerakan mata    Terarah (misalnya mengikuti wajah ibunya)    1
     Tidak terarah    0
Respons verbal    Menangis yang wajar    2
    Menangis yang tidak wajar atau merintih    1
    Tidak ada    0
Respons motorik    Rangsangan nyeri setempat (ketuk iga atau sternum)    2
    Menarik tungkai dari sumber nyeri (tekan kuat pada kuku dengan pensil)    1
    Respons yang tidak spesifik    0
Jumlah        0-5
Pada skala koma Blantyre disebut unrousable coma bila jumlah nilai ˂3

b. Anemia
Anemia merupakan penyebab penting dari angka kematian dan kesakitan pada
penderita yang mengalami infeksi malaria berat dan merupakan salah satu
komplikasinya di wilayah endemis. Dalam penelitian Halim dkk, anemia pada
tingkatan manapun tidak menimbulkan kematian, namun bila anemia disertai dengan
adanya komplikasi dari malaria berat lainnya akan dapat mengakibatkan kematian.
Hal itu sama dengan penelitian yang dilakukan di Gambia dan juga yang dilakukan di
Gambella. Umur dari 148 penderita antara 1 tahun 2 bulan dan 12 tahun 8 bulan
dengan rata–rata 6 tahun 4 bulan. Grebe menemukan penderita sebagian besar
berumur 1-5 tahun sebanyak 110 penderita (87%) dan berumur di atas 5 tahun
sebanyak 17 penderita (13%) dengan umur rata-rata 36,7 bulan. Pada penelitian Ejov
et al tahun 1995 di Myanmar mendapatkan bahwa angka kesakitan malaria berat
ditemukan terbanyak pada anak yang berumur 5-9 tahun.
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa
pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan anemia normokrom sebagai akibat perubahan eritropoetik di dalam
sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, didalam darah perifer sudah
tampak sel leukosit monosit berpigmen. Seorang anak yang mendadak menderita
anemia berat seringkali berhubungan dengan hiperparasitemia. Anemia dapat pula
terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung parasit. Anak dengan anemia
berat dapat menderita takikardia dan dispneu. Anemia turut berperan dalam (1) gejala
serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan pendarahan retina, (2) gejala
kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru. Pada
penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan anemia (Hb<10gr
%) sebanyak 38,35%.

c. Dehidrasi, Gangguan Asam-Basa (asidosis metaolik) dan Gangguan Elektrolit


Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer, rasa
haus, penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor kulit,
peningkatan kadar ureum darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dL), asidosis metabolic pada
pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan tanda
terjadinya dehidrasi dan bukan gagal ginjal.

d. Hipoglikemia Berat
Hipoglikemia dapat terjadi pada malaria berat, terutama pada anak kecil di bawah 3
tahun dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala
yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta naoas tidak
teratur.
Hipoglikemi berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan
kina. Gejala hipoglikemia serupa dengan malaria serebral. Hipoglikemia pada anak
adalah keadaan di mana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dL atau lebih
rendah. Pada penderita yang sadar dapat timbul hipoglikemia dengan gejala klasik
rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil, sesak napas, pernapasan sulit dan berbunyi,
oliguria, rasa dingin, takikardia dan pening. Gambaran ini dapat berkembang menjadi
penurunan kesadaran, kejang umum, ekstensi, syok dan koma.
e. Gagal Ginjal
Jarang terdapat pada anak dengan malaria terutama pada anak kecil. Demikian juga
oliguria jarang dijumpai pada anak kecil bila dibandingka dengan anak besar. Kadar
ureum serum sedikit meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun. Seringkali
gagal ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat. Pada orang dewasa
dapat pula disertai nekrosis tubular akut; bagaimana mekanismenya belum diketahui.
Gagal injal pada umumnya bersifat reversible.

f. Edema Paru Akut


Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia berat.
Frekuensi napas meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar. Gejala
edema paru seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat antimalaria, pada
umumnya terjadi bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan
asidosis. Apabila kita menemukan peninkatan frekuensi napas, harus dibedakan antara
edema paru yang diakibatkan oleh pemberian cairan yang berlebihan atau
bronkopeneumonia. Sebagai akibat edema paru dapat terjadi hipoksia yang
mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian.

g. Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)


Hipotensi lebih banyak dilaporkan pada malaria berat dewasa dan jarang dijumpai
pada anak. Malaria Algid adalah malaria falsiparum yang disertai syok oleh karena
adanya septicemia kuman gram negative. Penderita malaria berat pada anak dapat
jatuh keadaan kolaps dengan  tekanan darah sistoli kurang dari 50 mmHg pada posisi
berbaring, kulit teraba dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena perifer, denyut jantung
lemah dan cepat. Di beberapa Negara berkembang gambaran klinis ini sering
berhubungan dengan septicemia gram negative yang berkomplikasi. Kolaps sirkulasi
juga terlihat pada penderita dengan edema paru atau asidosis metabolic dan diikuti
dengan pendarahan gastrointestinal yang hebat. Dehidrasi dengan hipovolemik juga
menyebabkan hipotensi. Tempat yang mungkin berkaitan dengan infeksi harus
diperiksa misalnya paru – paru, saluran kemih, meningitis, tempat suntikan intravena,
jalur intravena.

h. Kecenderungan Terjadi Perdarahan


Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epistaksis, ptechiae dan
pendarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi DIC akan timbul pendarahan yang lebih
hebat yaitu melena dan hematemesis. DIC pada umunya terjadi pada seseorang yang
tidak mempunyai imunitas pada malaria. Kecendeungan terjadi pendarahan ditandai
dengan perpanjangan waktu pendarahan, trombositopenia dan menurunnya factor
koagulasi. Pendarahan spontan dari saluran cerna terjadi pada kira – kira 10% malaria
serebral.

i. Hiperpireksia /Hipertermia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali
berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu
berkala sangat dianjurkan. Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh
meningkat menjadi 420C atau lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologic
yang menetap.

j. Hemoglobinuria/ Black Water Fever


Hemolisis intravascular massif dengan hemoglobinuria merupakan komplikasi
komplikasi malaria yang jarang terjadi pada anak. Hamper seluruh kasus
hemoglobinuria berkaitan dengan defisiensi G6PD pada pasien dengan infeksi malaria.
Pada kasus ini, hemolisis akan berhenti setelah pecahnya eritrosit tua.

k. Ikterus
Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan pada
anak prognosanya jelek.

l.Hiperparasitemia
Pada penderita yang nonimun, densitas parasit parasit > 5% dan adanya skizontaemia
yang berhubungan dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia berat akan
meningkatkan terjadinya resiko komplikasi berat.

H. DIAGNOSIS
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti  infeksi
malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes
diagnostic cepat.
1.    Anamnesis
    Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai
sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
    Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
    Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
    Riwayat sakit malaria.
    Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
    Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka anak malaria berat, dapat
ditemukan keadaan di bawah ini:
    Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
    Keadaan umum yang lemah.
    Kejang-kejang.
    Panas sangat tinggi.
    Mata dan tubuh kuning.
    Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
    Nafas cepat (sesak napas).
    Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
    Warna air seni seperti teh pekat dan dapat sampai kehitaman.
    Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
    Telapak tangan sangat pucat.
2.    Pemeriksaan Fisik
    Demam (≥37,5oC)
    Kunjunctiva atau telapak tangan pucat
    Pembesaran limpa
    Pembesaran hati
Pada anak tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai
berikut:
    Temperature rectal ≥40oC.
    Nadi capat dan lemah.
   Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg pada
anak- anak.
    Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali .
    Penurunan kesadaran.
    Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
    Tanda-tanda dehidrasi.
    Tanda-tanda anemia berat.
    Sklera mata kuning.
    Pembesaran limpa dan atau hepar.
    Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
    Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.

3.    Pemeriksaan Laboratorium


a.    Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada anak
adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah tepi.
Pemeriksaan darah tetes tebal (identifikasi plasmodium/tingkat parasitemia)
dan tipis dengan pewarnaan Giemsa untuk menentukan:
    Ada/tidaknya parasit malaria.
    Spesies dan stadium Plasmodium
    Kepadatan parasit
 Semi kuantitatif:
(-)    : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+)    : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++)    : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++)    : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
 Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah
tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).
    Contoh:
    Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit
8000/uL maka hitung parasit 8000/200 x 1500 parasit = 60.000 parasit/uL.
Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Bila jumlah eritrosit
450.000 maka hitung parasit = 450.000/1000x50 = 225.000 parasit/uL

Gambar Tetes darah tebal dan tipis

Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit


sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan
maupun tetes tebal terutama dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form).
Juga dijumpai gametosit dan pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi,
dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai
20% eritrosit. Bentukseksual/gametosit muncul dalam waktu satu minggu dan
dapat sampai beberapa bulan setelah sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang
khas pada sediaan tipis, gametositnya berbentuk pisan dan terdapat bintik Maurer
pada sel darah merah. Pada sediaan darah tebal dapat dijumpai gametosit
berbentuk pisang, banyak sekali bentuk cincin tanpa bentuk lain dewasa (star in
the sky), terdapat balon merah di sisi luar gametosit.
Plasmodium falciparum

Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah tepi


biak hapusan tipis maupun tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual
dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit.
Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel
darah merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah dan
sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang dan
bayangan merah di sisi luar gametosit

Plasmodium vivax

Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada


sediaan hapusan darah perifer tipis maupun tetes tebal dapat dijumpai semua
bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang kurang dari 1% dari jumlah
eritrosit. Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbenyuk khas seperti pita (band
form), skizon berbentuk bunga ros(rosette form), tropozoit kecil bulat dan
kompak beisi pigmenyang menumpuk, kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti
atau keduanya.

Plasmodium malariae

Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebaga berikut:
- Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa ulang setiap 6
jam sampai 3 hari berturut-turut.
- Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak
ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan

b.    Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)


Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk dipstik.
Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian
luar biasa dan didaerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laoratorium
serta untuk survey tertentu.
Tes yang tersedia di pasaran saat ini mengandung:
 HRP-2 (Histidin rich protein 2) yan diproduksi oleh tropozoit,
skizon dan gametosit muda Plasmodium falciparum.
 Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang
diproduksi oleh parasit bentuk aseksual atau seksual Plasmodium
falciparum, P.vivax, dan P.malariae.

Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:
 Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium falciparum
 Combo yang mampu mendiagnosis infeksi P.falciparum dan non falciparum
Oleh karena tekhnologi ini baru memasuki industry maka sngat perlu untuk
memperhatikan kemampuan sensitivitas dan spesifisitas dari alat ini. Dianjurkan
untuk menggunakan rapid test dengan kemampuan minimal sensitivity 95% dan
spesifisity 95%. Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini
sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam frezer pendingin.
c.    Tes serologi
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adlah IFA (indirect fluorescent
antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA ( Enzyme linked
immunosorbent assay). Kegunaan tes ini untuk diagnosis malaria akutsanat terbatas,
karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah.
Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk diagnosis epidemiologi.
Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk:
 Menentukan berapa lama endemisitas berlangsung
 Menentukan perubahan derajat transmisi malaria
 Menentukan daerah malaria dan focus transmisi
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk:
 Skrining donor darah.
 Menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada
pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit.
 Menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain
tidak berhasil.
Tekhnik diagnostic lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan
menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa dibawah
mikroskop fluoresens. Tekhnik mutahir lain dikembangkan saat ini menggunakan
pelacak DNA probe untuk deteksi antigen.

d. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:


 Hemoglobin dan hematokrit
 Hitung jumlah leukosit, trombosit
 Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah)
 EKG
 Foto thoraks
 Analisis cairan serebrospinalis
 Biakan darah dan uji serologi
 Urinalisis

8.    Pengobatan Malaria


Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-
pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate artemisin. Klorokuin merupakan obat
antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan
radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria,
sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria
falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat anti malaria pilihan untuk
pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga
digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis,
pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk
pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrugs.(14).
Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria. Khusus di Rumah Sakit,
obat tersebut dapat digunakan dengan kombinasi obat antimalaria lain, untuk
mengobati penderita resisten multidrugs. Obat antibiotika yang sudah diujicoba
sebagai profilaksis dan pengobatan malaria diantaranya adalah derivate tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksazol-trimetoprim dan siprofloksasin. Obat-
obat tersebut digunakan bersama obat anti malaria yang bekerja cepat dan
menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina.

PENANGANAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI

Obati anak secara rawat jalan dengan obat antimalaria lini1. Terapi yang
direkomendasikan WHO sekarang adalah kombinasi antara artemisinin sebgai obat lini 1.
Klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin tidak lagi menjadi obat anti malaria lini 1
maupun ke2 karena tingginya angka resistensi obat ini terhadap malaria falciparum.
Berikan pengobatan 3 hari dengan memberikan regimen yang dapat dipilih dibawah ini.
o Artesunat ditambah amodiakuin
Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153 mg Amodiakuin basa
Artesunat: 4 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Amodiakuin: 10 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
o Dehidroartemisinin ditambah piperakuinin
Dehidroartemisinin: 2-4 mg/kgBB
Piperakuin: 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal
Obat kombinasi ini diberikan selama 3 hari
o Artesunat ditambah sulfadoksin pirimetamin
Artesunat tablet terpisah 50 mg dan 500 mg sulfadokasin atau 25 mg
pirimetamin
Dosis artesunat 4 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari
SP 25 mg/kgBB dosis tunggal
o Artemeter atau lumefantrin
tablet kombinasi yang mengandung 20 ng artemeter dan 120 lumefantrin
Artemeter: 3,2 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Lumefantrin: 20 mg/kgBB
Tablet kombinasi ini dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 3 hari
o Amodiakuin ditambah Sulfadoksin pirimetamin
Tablet terpisah 153 mg Amodiakuin dan 500 mg Sulfadoksin atau 25 mg
pirimetamin
Amodiakuin: 10 mg/kgBB/ dosis tunggal
SP: 25 mg/kgBB/dosis tunggal
Untuk malaria falciparum, khusus untuk usia >1 tahun tambahkan primakuin 0,75
mg/kgBB/ dosis tunggal selama 1 hari. Untuk vivax, ovale dan malariae
tambahkana primakuin 0,25 mg/kgBB/dosis tunggal selama 14 hari.

TINDAK LANJUT
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat diminum berturut-
turut dalam 3 hari atau lebih awal jika kondisi anak memburuk. Ibu juga harus kembali
lagi jika demam timbul lagi.
    Jika hal ini terjadi, periksa apakah anak memang minum obatnya dan ulangi apusan
darah. Jika obat tidak diminum ulangi pengobatan. Jika obat telah diberikan, namun
hapusan darah masih positif berikan obat antimalaria lini ke 2. Lakukan penilaian ulang
pada anak untuk mengetahui dengan jelas kemungkinan lain penyebab demam. Jika
demam timbul pada pengobatan lini ke 2 minta ibu untuk kunjungan ulang untuk menilai
kembali penyebab lain demam.
    Menurut keputusan menteri kesehatsn Indonesia tahun 2007, ditetapkan pengobatan
malaria yaitu:
a. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin
dosis artesunat= 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB (dosis
tunggal), primakuin= 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak,
pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal
penderita dewasa yan dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing
4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.

Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok Umur.


Hari   
Jenis obat    Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
        0-1 bln    2-11 bln    1-4 th    5-9 th    10-14 th    ≥15 th

I    Artesunat    ¼    ½    1    2    3    4


    Amodiakuin    ¼    ½    1    2    3    4
    Primakuin    -    -    ¾    1 ½    2    2-3
II    Artesunat    ¼    ½    1    2    3    4
    Amodiakuin    ¼    ½    1    2    3    4

III    Artesunat    ¼    ½    1    2    3    4


    Amodiakuin    ¼    ½    1    2    3    4

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria


falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit
stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan  untuk membunuh gametosit yang
berada di dalam darah.
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan lini pertama tidak
efektif.
Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin
Dosis kina=10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin= 4 mg/kgBB/hr
(dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin=
4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak,
pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur.
Tabel 3. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum
Hari    Jenis obat    Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
        0-11 bln    1-4 th    5- 9 th    10-14 th    ≥ 15 th

I    Kina    *    3x½    3x1    3x½    3x2-3


    Doksisiklin    -    -    -    2x1**    2x1***
    Primakuin    -    ¾    1½    2    2-2

II-VII    Kina    *    3x½    3x1    3x½    3x2-3


    Doksisiklin    -    -    -    2x1**    2x1***
*    : dosis diberikan per kgBB
**    : 2x50 mg doksisiklin
***    : 2x100 mg doksisiklin

 b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale


Lini pertama: Klorokuin+Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk pengobatan malaria vivax dan
ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan
seksual. Pemberian primakuin selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati,
juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit(3).
Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari), primakuin= 0,25
mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan anak obat
dapat diberikan berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.
Tabel 4. Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
Hari    Jenis obat    Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
        0-1 bln    2-11 bln    1-4 th    5-9 th    10-14 th    ≥15 th

I    Klorokuin    ¼    ½    1    2    3    3-4


    Primakuin    -    -    ¼    ½    ¾    1
II    Klorokuin    ¼    ½    1    2    3    3-4
    Primakuin    -    -    ¼    ½    ¾    1

III    Klorokuin    1/8    ¼    ½    1    1½    2


    Primakuin    -    -    ¼    ½    ¾    1
IV-XIV    Primakuin    -    -    ¼    ½    ¾    1

Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah pemberian obat,


ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari keempat) dan tidak
ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ketujuh(3). Pengobatan tidak efektif
apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:
o Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
o Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau
timbul kembali setelah hari ke-14.
o Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari
ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).

Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin


Lini kedua: Kina+Primakuin
Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB
(selama 14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan
umur sebagai berikut:
Tabel 5. Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin

Hari   
Jenis obat    Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
        0-1 bln    2-11 bln    1-4 th    5-9 th    10-14 th    ≥ 15 th
1-7    Kina    *    *    3x½    3x1    3x2    3x3
1-14    Primakuin    -    -    ¼    ½    ¾    1
*: dosis diberikan per kgBB
Pengobatan malaria vivax yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang ditingkatkan. Dosis
klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan
primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga
dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur.

Tabel 6. Pengobatan Malaria vivax yang Relaps


Hari   
Jenis obat    Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
        0-1 bln    2-11 bln    1-4 th    5-9 th    10-14 th    ≥ 15 th

1    Klorokuin    ¼    ½    1    2    3    3-4


    Primakuin    -    -    ½    1    1½    2

2    Klorokuin    ¼    ½    -    2    3    3-4


    Primakuin    -    -    ½    1    1½    2

3    Klorokuin    1/8    ¼    ½    1    1½    2


    Primakuin    -    -    ½    1    1½    2
14-14    Primakuin    -    -    ½    1    1½    2

c. Pengobatan malaria malariae


Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB. Klorokuin
dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan seksual P. malariae. Pengobatan
dapat juga diberikan berdasarkan golongan umur anak.

Tabel 7. Pengobatan Malaria Malariae


Hari   
Jenis obat    Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
        0-1 bln    2-11 bln    1-4 th    5-9 th    10-14 th    ≥ 15 th
I    Klorokuin    ¼    ½    1    2    3    3-4
II    Klorokuin    ¼    ½    1    2    3    3-4
III    Klorokuin    1/8    ¼    ½    1    1½    2

Penatalaksanaan Malaria dengan  komplikasi (Malaria Berat)


Tindakan gawat darurat-harus dilakukan dalam waktu satu jam pertama
 Bila ada hipoglikemia atasi sesuai dengan tatalaksana hipoglikemia
 Atasi kejang sesuai dengan tatalaksana kejang
 Perbaiki gangguan sirkulasi darah
 Jika anak tidak sadar, pasang pipa nasogastrik dan isap isi lambung secara teratur
untuk mencegah risiko pneumonia aspirasi
 Atasi anemia berat
 Mulai pengobatan dengan obat anti malaria yang efektif.

PENGOBATAN ANTI MALARI


Obat antimalaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina pirimetamin dan
sulfadoksin.  Obat anti malaria dapat digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer
2. Obat anti malaria yang tergolong kelompok ini dapat membunuh parasit stedium
praeritrositer dalam beberapa hari sehingga parasit masuk ke dalam eritrosit, jadi
digunakan sebagai profilaksis kausal. Contoh: proguanil, pirimetamin
3. Skizontisida jaringan sekunder
4. Kelompok obat ini dapat membunuh parasit siklus praeritrositer Plasmodium
vivax dan Plasmodium ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai
anti relaps. Contoh: primakuin
5. Skizontisida darah
6. Kelompok obat antimalaria yang membunuh parasit stadium eritrositik pada
malaria akut (disertai gejala klinik) pada semua spesies plasmodium. Contoh:
kuinin, klorokuin, proguanil dan pirimetamin
7. Gametositosida
8. Obat kelompok gametosida berfungsi menghancurkan semua bentuk seksual
terasuk gametosida Plasmodium falciparum, contoh primakuin sebagai gameosida
keempat spesies, sedangkan kuinin dan klorokuin sebagai gametosida untuk P.
vivax, P. malariae dan P. ovale
9. Sporontosida
10. Sporontosida dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk
membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Contoh: primakuin,
proguanil.

Jika konfirmasi apusam darah untuk malaria membutuhkan waktu lebih dari satu jam,
mulai berikan pengobatan malaria sebelum diagnosis dipastikan atau sementara gunakan
RDT.
WHO merekomendasikan artesunat, dimana Jadwal pemberian Artesunat IV yaitu untuk
Jam ke-0, Jam ke-12, Jam ke-24 Artesunate 2.4 mg/kg. Kemudian tiap 24 jam:
Artesunate 2.4 mg/kg perhari sampai pasien dapat mentoleransi pengobatan oral.
Artesunat dapat diberikan secara IM dengan dosis yang sama dengan IV. Untuk
pengobatan Malaria berat, dapat diberikan Arthemeter IM jika injeksi Artesunat tidak
tersedia. Jam ke-0 Artemether 3.2 mg/kg  H24 Artemether 1.6 mg/kg setiap 24 jam
sampai pengobatan oral bisa ditoleransi. Gunakan semprit 1 ml untuk memberikan
volume suntikan yang kecil
     Untuk pengobatan malaria berat lainnya dapat diberikan Kina  (IV), dimana pada jam
ke-0 sampai  jam ke-4, 20 mg/kg dalam cairan NaCL diberikan lebih dari 4 jam (lebih
baik dipilih pemberian dalam burette) . Jam ke-8, 10 mg/kg diberikan lebih dari 2 jam
dan ini diulang tiap 8 jam (Jam ke 16, jam ke 24 dan seterusnya, total dosis harian 30
mg/kg) sampai anak bisa minum obat. Kemudian berikan dosis oral untuk menyelesaikan
7 hari pengobatan atau berikan 1 dosis SP bila tidak ada resistensi. Jika ada resistensi SP
berikan dosis penuh terapi kombinasi artemisin. Dosis awal kina diberikan hanya bila ada
pengawasan ketat dari perawat terhadap pemberian infuse dan pengaturan tetesan infuse.
Jika ini tidak memungkinkan lebih aman untuk memberikan obat kina intramuskuler.
Kina intramuskuler diberikan jika obat kina melalui infuse tidak dapat diberikan. Quinine
dihidroklorida dapat diberikan dalamm dosis yang sama melalui suntikan intramuskuler.
Berikan aram kina 10 mg/kgBB IM dan ulangi setiap 8 jam. Larutan parenteral harus
diencerkan sebelum digunakan karena akan lebih mudah untuk diserap dan tidak nyeri.

PERAWATAN PENUNJANG
1. Pada anak yang tidak sadar:
 Jaga jalan nafas
 Posisi miring untuk menghindari aspirasi
 Ubah posisi pasien tiap setiap 2 jam
o Pasien harus berbaring dialas yang kering
o Perhatikan titik-titik yang tertekan
2. Lakukan tindakan pencegahan berikut dalam pemberian cairan:
 Jika dehidrasi
 Selama rehidrasi, pantau tanda kelebihan cairan. Tanda yang paling mudah adlah
pembesaran hati. Tanda lainnya adalah irama derap, fine cracles (ronki) pada
dasar paru dan atau peningkatan JVP. Edema kelopak mata merupakan tanda
yang berguna.
 Jika, setelah rehidrasi dieresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam, berikan furosemid
intravena dengan dosis awal 1 mg/kgBB. Jika tidak ada reaksi, gandakan dosis
dengan interval tiap jam hingga maksimal 8 mg/kgBB (diberikan selama 15
menit).
 Pada anak tanpa dehidrasi, pastikan anak mendapatkan cairan sesuai kebutuhan.
 Hindari menggunakan obat-obatan tambahan yang tidak berguna dan
membahayakan seperti kortikosteroid (dan obat anti radan lainnya), heparin,
adrenalin, prostasiklin dan sikosporin.

3. Terapi untuk komplikasi khusus


a.Koma
 Untuk mengukur tingkat kesadaran dapat digunakan Glasgow Coma Scale pada
dewasa dan Blantyre Coma Scale pada anak ≤ 5 tahun.
o Cek gula darah , hipoglikemia = < 2.2 mmol/l; < 40 mg/100ml
o Lihat tanda-tanda meningitis, diantaranya kaku kuduk: jika ada,
pertimbangkan untuk lumbal pungsi (LP)  dan mulai pemberian antibiotic
IV. Jangan lakukan LP jika ada tanda peningkatan TIK diantaranya pupil
anisokor, pupil tidak reaktif, bradikardia atau nafas tidak teratur. Jika tidak
bisa melakukan LP tapi sudah yakin ada meningitis, maka mulailah
pemberian antibiotic.
o Observasi secara teratur, awal setiap jam sampai pasien stabil dan
kemudian tiap 4 jam, ini meliputi gula darah, nadi, tekanan darah,
kesadaran.
o Monitor dan catat input dan output cairan, sebaiknya dipasang kateter
urin. Saat urin kurang dari 0.5ml/kg/jam atau ada tanda-tanda dehidrasi,
pertimbangkan untuk pemberian cairan bolus.  Cairan Normal Salin
awalnya 20 ml/kg pada anak-anak.Ini dapat diulang maksimal 40ml/kg
pada anak-anak. Observasi tanda-tanda oedema paru dan auskultasi dada
untuk mendengarkan krepitasi (oedema paru). Jika ada pertimbangkan
pemberian furosemid 1mg/kgBB.
o Observasi kejang, jika ada kejang sebaiknya diterapi. 
o Monitor parasitaemia setiap 6-12 jam sampai negatif
o Cek haemoglobin atau  haematocrit setiap 24 jam
o Berikan asuhan keperawatan yang baik
o Masukkan NGT dan kosongkan isi lambung
o Pertimbangkan untuk mulai pemberian makanan pada hari ke-2 pada
anak-anak dan hari.
b. Anemia Berat
 Anemia berat ditandai dengan pucat yang sangat pada tangan, sering diikuti
dengan denyut nadi yang x=cepat. Kesulitan vernafas, kebingungan atau gelisah.
Tanda gagal jantung seperti irama Gallop, pembesaran hati dan edema paru bisa
ditemukan.
 Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada:
o Hb < 5 gr/dL atau Hct kuramg dari 15%
o Hct > 15%, atau Hb > 5 gr/dL dengan tanda2 sebagai berikut:
o Dehidrasi, shok, penurunan kesadaran, pernafasan kismaull, gagal
jantung, parasitemia yang sangat tinggi.
 Berikan PRC 10 ml/kgBB selama 3-4 jam. Jika tidak tersedia PRC berikan WB
20 ml/kgBB dalam wwaktu 3-4 jam.
 Periksa nafasdan nadi setiap 15 menit, jika salah satnya mengalaami kenaikan,
berikan transfuse dengan tetesan yang lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan
cairan karena transfusi darah, berikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB hingga
jumlah maksimal 20 mg/kgBB. Setelah transfuse jika Hb tetap rendah ulangi
transfuse. Pada anak dengan gizi buruk kelebihan cairan merupakan komplikasi
yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali.
c. Hipoglikemia
Gula darah < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl lebih sering terjadi pada pasien umur < 3
tahun, yang mengalami kejang atau hiperparasitemia dan pasien koma. Periksa
glukosa plasma setiap 4 jam pada pasien tidak sadar. Berikan pasien hipoglikemia
dengan Dextrose 50%, 1 ml per kgBB lebih dari 10 menit. Perhatikan bahwa
hipoglikemia dapat kambuh dengan cepat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa
hipoglikemia, syok atau penyakit yang berbeda seperti meningitis bukanlah penyebab
kesadaran berubah. Kemungkinan hipoglikemia lebih tinggi pada anak-anak dan
pengobatan dengan pengobatan kina. Juga, periksa glukosa darah jika ada penurunan
tingkat kesadaran.
d. Meningitis
Jika ada keraguan tentang diagnosis malaria serebral, pungsi lumbal harus dilakukan
untuk menyingkirkan meningitis bakteri, asalkan tidak ada kontraindikasi. Meningitis
harus diperhatikan jika slide negatif untuk bentuk aseksual P. falciparum, pasien shock
atau jika ada leukositosis dan / atau pergeseran ke kiri dalam jumlah sel putih (karena
ini bukan fitur-fitur umum malaria berat ), atau jika ada tanda-tanda keterlibatan
meningeal seperti leher kaku. Cairan cerebrospinal berawan (CSF), berarti meningitis
jadi pengobatan awal (idealnya) dengan sefalosporin generasi ke-3 (dewasa
ceftriaxone IV 2000 mg BD, anak-anak 80mg/kg BD). Jika mungkin, CSF harus
dikirim untuk jumlah sel, glukosa dan tingkat protein, Gram dan BTA dan budaya.
Gram stain dan kultur (CSF dan darah) adalah yang paling penting.
e. Jaundice
Pasien dengan malaria berat bisa sangat kuning, karena hemolisis intravaskular sel
darah merah dan disfungsi hati. Ini adalah tanda prognosis, tetapi tidak ada terapi
spesifik.
f. Blackwater Fever
Haemoglobinuria karena hemolisis intravaskular dikaitkan dengan terapi kina dan
defisiensi G6PD. Transfusi darah segar bertujuan untuk mempertahankan hematokrit
di atas 20%. Tidak ada terapi spesifik. terapi antimalaria tidak harus dihentikan.
f. Shock
Hipotensi berat (tekanan darah sistolik di bawah 80 mmHg) adalah temuan jarang
pada malaria berat dan jika syok septik hadir harus dicurigai. Sumber infeksi mungkin
harus dicari, jika sama sekali tidak diketahui maka darah harus diambil dan terapi
antibiotik empiris yang mencakup organisme gram negatif harus dijalankan (misalnya
untuk orang dewasa ceftriaxone 2 g BD, untuk anak-anak 80mg/kg BD atau 1 g
cefotaxime untuk orang dewasa dan TID 25mg/kg, dengan atau tanpa dosis tunggal
gentamisin 4 mg / kg). Pemberian cairan (pada orang dewasa 1 L NSS;. Pada anak
20ml/kg NSS (koloid jauh lebih mahal dan tidak memiliki keuntungan besar) harus
diberikan. Jika ini tidak meningkatkan tekanan darah, pasien mungkin akan
memerlukan terapi vasopresor (dopamin, noradrenalin) dan harus dirujuk ke rumah
sakit. Sementara itu harus dilanjutkan sampai tekanan darah rata-rata (diastolik BP + 1
/ 3 * (diastolik sistolik) di atas 60 hingga 70 mmHg. Pada syok septik tanpa bantuan
obat-obatan vasopresor dan kemungkinan untuk intubasi/ventilasi,  keseimbangan
antara resusitasi cairan dan dekompensasi kadang-kadang tidak dapat dicapai.
g. DIC
Disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat dicurigai bila terdapat perdarahan
spontan dan oozing dari tempat venepuncture. Hal ini sangat jarang pada malaria berat
(5%), tapi sangat sering pada septicaemia. Untuk  therapy, 10 mg vitamin K diberikan
intravenously (secara lambat) 24 jam untuk 3 hari. Diagnosisdapat ditegakkan dengan
pengukuran clotting times dalam blood, tapi hal ini tidak essentialpada setiap situasi.
Terapi tambahan tidak direkomendasikan.
h. Kejang
Terapi segera dengan diazepam dan cek gula darah. Dewasa 10 mg IV setelah 5 menit,
Anak 0.3 mg/kg IV, atau pemberian rectal 0.5 mg/kg
Kejang lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa dengan malaria
berat. Profilaksis untuk kejang tidak direkomendasikan (pedoman WHO 2006).
Fenobarbital 20 mg / kg pada anak-anak Kenya dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas, mungkin dari depresi pernapasan. kejang berulang pada orang dewasa
dapat diobati dengan fenobarbital IM 7 mg / kg, jika tersedia. Pada anak-anak fenitoin
IV 18 mg / kg selama 20 menit (dewasa 5mgkg) adalah pilihan.

PENCEGAHAN
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemic malaria,
maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah
endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam) maksimal 300 mg basa sekali
seminggu atau
b. Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau
Sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan
atau lebih)
c. Menghindari dari gigitan nyamuk
2. Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
Penggunaan kelambu dalam pengendalian malaria adalah dalam rangka melindungi
pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh yang hinggap di kelambu untuk
mencegah terjadinya penularan.
Sasaran penggunaan dan pembagian kelambu
a.    Lokasi
 Daerah atau desa endemis tinggi malaria
 Desa terpencil
 Desa/dusun terjadi KLB
 Di daerah yang penyemprotan rumah  tidak efektif
b.    Penduduk
 Ibu hamil
 Bayi dan anak balita
 Keluarga miskin
Jenis kelambu yang digunakan dalam pengendalian malaria adalah
a.    Kelambu celup
Kelambu celup adalah jenis kelambu nylon atau katun yang dicelup dengan
insektisida tertentu yang berguna mencegah gigitan nyamuk dan membunuh
nyamuk yang hinggap pada kelambu tersebut.
b.    Kelambu Berinsektisida (LLITN=Long Lasting Insecticide Treated Net)
Kelambu LLITN adalah kelambu yang serat benangnya bercampur insektisida
tertentu  kemudian dipintal menjadi benang dan dibuat rajutan kelambu sehingga
insektisida bertahan lama pada kelambu tersebut. Insektisida dapat bertahan
lama sampai 5 tahun yaitu masih efektif membunuh nyamuk, meskipun dicuci
20 kali.
Sejak November 2004, WHO merekomendasikan LLITN untuk program
pengendalian malaria. Kelambu ini lebih mahal tetapi dibandingkan kelambu
celup (Impregnated Bed Net/IBN), kelambu ini relative lebih mudah, karena
tidak perlu celup ulang setiap 6 bulan dan efektifitasnya bertahan sampai 5
tahun.

 Menggunakan obat pembunuh nyamuk dan menyemprot obat nyamuk


sebelum malam
 Pakailah pakaian pelindung
 Meminimalkan paparan nokturnal.
 DEET penolak serangga atau minyak kayu putih aroma lemon dapat
diterapkan pada kulit untuk cegah gigitan
 Memakai pakaian lengan panjang dan celana panjang jika berada di luar
pintu atau di luar rumah setelah matahari terbenam.

3. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah
penyakit ini, tetapi adanya bermacam-macam stadium pada perjalanan penyakit
malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria
ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu
a.Proteksi terhadap ketiga stadium parasit:
 Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia,
 Merozoit yang menyerang eritrosit, dan
 Gametosit yang menginfeksi nyamuk
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan
pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masin, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit
Plasmodium falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan
apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika
terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin
dengan rekayasa genetika.

Konsep memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau imunoglobulin
tampaknya berperan pada proses terbentuknya kekebalan terhadap malaria. Individu
yang sudah terpapar Plasmodium dalam waktu yang lama mungkin sudah lebih dulu
“membangun” imunitas sehingga gejala infeksi tidak begitu nyata, walaupun dari
analisis darah tebal sudah ditemukan Plasmodium. Selain itu apabila serum darah
seorang dewasa yang sudah sering terpapar Plasmodium diberikan kepada orang lain
yang belum pernah terpapar, maka resipien serum itu akan memperoleh sejumlah
imunitas.
Karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat seseorang yang tidak pernah terpapar
Plasmodium menjadi imun dengan cara memaparkannya pada Plasmodium yang
dilemahkan. Dalam hal ini sporozoit adalah bentuk yang terpenting karena sesuai
dengan bentuk Plasmodium yang dimasukkan nyamuk ke dalam tubuh manusia.
Konsep ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit lewat
radiasi, namun kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat bervariasi membuat
konsep ini tidak terlalu berkembang pada saat itu. Sedangkan pada masa sekarang,
permasalahan utama adalah resistensi parasit yang berkembang dengan cepat.
Selain pada fase sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain
dalam siklus hidup Plasmodium. Secara teoritis setiap tahap perkembangan
Plasmodiumdalam tubuh manusia dapat dibuatkan vaksin. Vaksin preeritrositer
(hepatik) dibuat berdasarkan konsep penghambatan pelepasan trofozoit dari skizon
hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak sel-sel hati yang
terinfeksi. Vaksin eritrositer diharapkan dapat menghambat multiplikasi trofozoit yang
dilepaskan skizon hati atau mencegah invasi trofozoit menuju eritrosit. Ada pula
konsep pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan eritrosit ke dinding
pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan dasar pengembangan vaksin. Fase
ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam mencegah
penularan lebih lanjut lewat nyamanan.

Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua kelompok besar.
Yang pertama kepada populasi di daerah endemik malaria, dan yang kedua ditujukan
untuk turis dari negara nonendemik yang berkunjung ke negara endemik. Sebenarnya
saat ini malaria pada turis dapat dicegah dengan pengobatan kemoprofilaksis; namun
pertimbangan efek samping, kepatuhan, kontraindikasi, dan kenyamanan; cukup
membuat para turis dan calon turis mengharapkan alternatif pencegahan malaria yang
lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa kandidat vaksin malaria yang pernah diuji.
 Pada tahun 1987 dikembangkan kandidat vaksin
SPf66, dengan menggunakan antigen permukaan
sporozoit dan merozoit Plasmodium falciparum. Uji
klinik terhadap vaksin ini gagal di fase III, di mana
efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.
 CSP adalah vaksin terhadap Plasmodium falciparum yang menggunakan
rekombinan terhadap komposisi protein permukaan sporozoit
(circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin Pseudomonas
aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase I, karena efek
protektifnya tidak begitu kuat.
 Vaksin multifase NYVAC-Pf7 yang mengkombinasikan 7
antigenP.falciparum. Vaksin ini mengandung CSP dan PfSSP2 (antigen
permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit; 4
antigen LSA1 (beberapa di antaranya AMA-1, antigen serin, MSP-1) yang
protektif di fase eritrositer; dan 1 antigen fase seksual (Pfs25). Uji klinik
terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya antibodi protektif pada
manusia
 RTS,S merupakan kandidat vaksin rekombinan yang mengandung protein
permukaan sporozoit P.falciparum dari fase preeritrositer yang
digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B; sehingga
diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang teruji
klinis cukup baik imunogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21
(SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini cukup baik, terutama
bagi anak-anak. Efektivitas vaksin pada anak-anak ditemukan sebesar
53% untuk adjuvan AS01E (Bejon et.al; 2008) dan 65.2% untuk adjuvan
AS02D (Abdulla et.al; 2008).
 PvRII (Plasmodium vivax region II) merupakan kandidat vaksin yang
ditujukan untuk mengikat protein reseptor untuk P.vivax; yaitu antigen
Duffy.
 Sanaria PfSPZ adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan sel utuh
Plasmodium falciparum yang dilemahkan sebagai pemicu respons
imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode yang iradiasi nyamuk
yang mengandung Plasmodium falciparum untuk melemahkan parasit,
yang pernah dikembangkan pada tahun 1970-an.

PROGNOSIS
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak
menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat
berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps,
sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps,
pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum tanpa penyulit
berlangsung sampai satu tahun. Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit
prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat
meninggal terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan indicator prognosis buruk
apabila:
• Indikator klinis
 Umur 3 tahun atau kurang
 Koma yang berat
 Kejang berulang
 Refleks kornea negative
 Deserebrasi
 Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
 Terdapat pendarahan retina
• Indikator Laboratorium
 Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
 Schizontemia dalam darah perifer
 Leukositosis
 PCV (packed cell volume) <15%
 Hemoglobin <5g/dL
 Glukosa darah <40 mg/dL
 Ureum >60 mg/dL
 Glukosa liquour serebrospinalis rendah
 Kreatinin>3,o mg/dL
 Lactat dalam liquor serebrospinalis meningkat
 SGOT meningkat >3 kali normal
 Antitrombin rendah
 Peningkatan kadar plasma 5’-nukleotidase
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh
satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermitten,
anemia, dan hepato-splenomegali. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan darah tepi (apusan tebal atau tipis) untuk konfirmasi adanya parasit
Plasmodium.
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus
Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler.
Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium
falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat
spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu P. vivax  menimbulkan malaria
vivax disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae  merupakan penyebab malaria
malariae atau malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale,
sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau  malaria tropika.

Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan


berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.  Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap
eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan
hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin
berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor
nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran
darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat
menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang
dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit yang terinfeksi dengan P.falciparum menjadi terasing dalam kapiler
visceral tempat skizogoni terjadi. Pengasingan (sequestrasi) eritrosit terinfeksi
P.falciparum matang dalam mikrosirkulasi tampaknya patogenetik yang penting.
Diyakini bahwa eritrosit yang terinfeksi P.falciparum menjadi kurang bisa berubah
bentuk dibanding sel normal; maka tidak mudah melintasi pembuluh kapiler.

Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)


Hipotensi lebih banyak dilaporkan pada malaria berat dewasa dan jarang dijumpai
pada anak. Malaria Algid adalah malaria falsiparum yang disertai syok oleh karena
adanya septicemia kuman gram negative. Penderita malaria berat pada anak dapat
jatuh keadaan kolaps dengan  tekanan darah sistoli kurang dari 50 mmHg pada
posisi berbaring, kulit teraba dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena perifer,
denyut jantung lemah dan cepat. Di beberapa Negara berkembang gambaran klinis
ini sering berhubungan dengan septicemia gram negative yang berkomplikasi.
Kolaps sirkulasi juga terlihat pada penderita dengan edema paru atau asidosis
metabolic dan diikuti dengan pendarahan gastrointestinal yang hebat. Dehidrasi
dengan hipovolemik juga menyebabkan hipotensi. Tempat yang mungkin berkaitan
dengan infeksi harus diperiksa misalnya paru – paru, saluran kemih, meningitis,
tempat suntikan intravena, jalur intravena.

Kecenderungan Terjadi Perdarahan


Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epistaksis, ptechiae dan
pendarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi DIC akan timbul pendarahan yang
lebih hebat yaitu melena dan hematemesis. DIC pada umunya terjadi pada
seseorang yang tidak mempunyai imunitas pada malaria. Kecendeungan terjadi
pendarahan ditandai dengan perpanjangan waktu pendarahan, trombositopenia dan
menurunnya factor koagulasi. Pendarahan spontan dari saluran cerna terjadi pada
kira – kira 10% malaria serebral.

Penegakkan Diagnosis yang cepat dan cara penanganannya yang tepat untuk
mengurangi mortalitas akibat penyakit malaria.

Patogenenis malaria sangat kompleks yang melibatkan faktor parasit, faktor


penjamu (host), faktor sosial dan lingkungan.

Penanganan malaria dengan odema perivaskuler pada dasarnya sama dengan


penanganan malaria berat dengan komplikasi yang mengganggu sirkulasi dalam
peredaran darah dengan pemberian OAM per IV/IM atau per oral, suportif dan
simtomatik.

B. SARAN

Penegakan Diagnosa untuk malaria harus didukung dengan pemeriksaan


Laboratorium

Pemberian obat/penanganan untuk malaria harus dengan tepat sesuai indikasi dan
komplikasinya.

Setiap menangani klien dengan diagnosa malaria harus diberikan Penkes agar tidak
terjadi reopname.
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesealis Penyakit Dalam Indonesia. Malaria Berat


Konsesus Penanganan Malaria.2003

Separman.1993. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Wold Health Organization. Guidelines For The Treatment Of Malaria. 2006

www.Malaria and Complikasi . com

Soedarmo SP, Garna H & Hadinegoro SR. Bab XLMalaria dalamBuku


Ajar
Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi & Penyakit Tropis. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002:442 ± 71.

Anda mungkin juga menyukai