Anda di halaman 1dari 39

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA

PENYAKIT AUTOIMUN
dr. Aditarahma Imaningdyah, SpPK
dr. Farida Amin, SpPK
PENYAKIT AUTOIMUN
Normal : sistim imun dapat membedakan antigen
self dan non-self.
 Apabila gagal, timbul respon imun terhadap
jaringan tubuh sendiri.
 Ditandai adanya antibodi terhadap jaringan
tubuh sendiri (disebut: AUTOANTIBODI)
DIAGNOSIS LABORATORIUM
PENYAKIT AUTOIMUN
• Berdasarkan adanya reaksi inflamasi dan kelainan fungsi
organ terkait.
• Berdasarkan adanya autoantibodi, baik yang spesifik organ
maupun non spesifik organ.
• Dapat digunakan untuk mendiagnosis, memantau aktifitas
penyakit, dan memantau hasil terapi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA
PENYAKIT AUTOIMUN
1. Pemeriksaan Laboratorium Awal.
2. Pemeriksaan Penanda Inflamasi.
3. Pemeriksaan Autoantibodi dan
Imunologi
1. Pemeriksaan Laboratorium Awal.

a. Hematologi
* Anemia hemolitik, leukopenia , trombositopenia atau
trombositosis sering ditemukan pada penderita autoimun.
b. Hemostasis
- pemanjangan waktu pembekuan (PT dan APTT)
 pada penyakit Antiphospholipid syndrome
ada inhibitor terhadap faktor pembekuan.
c. Kimia
- Kelainan kadar enzim yang dihasilkan organ tertentu
atau kelainan proses metabolisme tertentu.
mis:
* Hepatitis autoimun  AST, ALT, bilirubin
* Sarcoidosis  hiperkalsemia
* Autoimmune inflammatory myopathies
 Creatinine kinase (CK), AST, ALT

d. Urinalisis
* proteinuria, hematuria, silinder granula
2. Pemeriksaan Penanda inflamasi
(= acute phase reactant)

 Merupakan protein serum yang dihasilkan


terutama oleh hati sebagai respon terhadap
inflamasi, infeksi, keganasan, dan penyakit
autoimun.
a. Laju endap darah (LED)
• Mengukur kecepatan pengendapan
eritrosit di dalam plasma
 waktu : 1 jam
• Dipengaruhi berbagai faktor (jumlah
dan bentuk eritrosit, protein plasma
terutama fibrinogen & globulin, dan
faktor teknis).
• Untuk memonitor aktivitas penyakit
dan respon terapi.
• Nilai normal: ♂ < 10 mm
♀ < 15 mm
b. C- Reactive Protein (CRP)
high sensitive CRP (hs-CRP)

 Protein yang mempunyai aktivitas terhadap C- Polysaccharide


dinding sel S. Pneumoniae
 Berperan dalam imunitas innate
 meningkatkan opsonisasi, fagositosis, aktivasi komplemen.
 Sintesis CRP diatur oleh sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-6,
TNF-α)
• Bila ada inflamasi, perubahan kadar CRP/hs-CRP
lebih cepat daripada LED dan waktu pemeriksaan
lebih cepat (< 1 jam)
 lebih baik sebagai penanda inflamasi akut daripada
LED.

* Nilai normal: < 0,2 mg/dL.


> 1,0 mg/dL  inflamasi/infeksi
c. Ferritin
- Protein cadangan besi tubuh.
- Sintesis diatur oleh besi intrasel, sitokin pro-inflamasi,
dan faktor pertumbuhan.
- Kadar meningkat pada sepsis akut/kronik, inflamasi,
keganasan.
- Nilai normal : ♀ 15 – 200 ng/mL
♂ 30 – 300 ng/mL

d. Penanda lain:
- Fibrinogen, albumin, haptoglobin.
3. Pemeriksaan Autoantibodi dan
Imunologi

a. Autoantibodi non spesifik organ.


b. Autoantibodi spesifik organ.
a. Autoantibodi non spesifik organ
a1. Anti-nuclear antibody (ANA)
 Antibodi terhadap komponen inti sel, mis. DNA, RNA,
histon dan centromer.
 ANA positif dengan cara ELISA dilanjutkan dengan
Immunofluorescent assay (IFA) untuk melihat pola pewarnaan
yaitu homogen, perifer, speckled, nukleolar dan centromere
 ANA sensitif utk deteksi SLE (>95%), tapi spesifisitas rendah
(50% ) ditemukan pada penyakit rematik umumnya.
 Titer rendah dapat ditemukan pada orang normal, tu wanita >
60 thn, peny. infeksi (hepatitis virus, lepra), keganasan
(leukemia, limfoma), sirosis bilier
ANA
- Titer tinggi (> 1:160) sering dihubungkan dengan SLE
- Titer <1:40 dianggap negatif, 1:40 sampai 1:80 positif rendah,
titer = > 160 disebut positif
- Titer ANA berkorelasi buruk dengan remisi/relaps - tidak
digunakan untuk memantau perjalanan penyakit maupun
menilai respons terapi

- Pola2 spesifik ANA , seperti perifer untuk SLE, nukleolar


untuk Scleroderma, centromer untuk CREST (
Calcinosis,Raynaud,s phenomen, Esophageal involvement,
Sclerodactili, Teleangiectasis}, dsb
 ANA (+) pada beberapa penyakit autoimun

PENYAKIT PERSENTASE ANA (+)


SLE 90 – 100 %
Sindroma Sjogren 50 – 85 %
Scleroderma 88 %
Rheumatoid Artrhitis 25 – 55 %
Mixed Connective Tissue Disease > 95 %
a2. Anti Neutrofil Cytoplasmic (ANCA)

 Antibodi terhadap antigen sitoplasma neutrofil.


 Ada 2 tipe: cytoplasmic (c-ANCA) dan perinuclear (p-
ANCA).
 Dapat dijumpai pada Wegener's granulomatosis,
polyartritis nodosa, crescentic glomerulonephritis,
Crohn's disease, ulcerative colitis, primary sclerosing
cholangitis
a3. Antifosfolipid

 Ada 2 jenis: anti-cardiolipin (ACA) dan lupus antikoagulan


(LA).
 ACA:
 Paling sensitif untuk sindroma antifosfolipid, tapi tidak
spesifik
 Faktor risiko terjadinya trombosis.
 LA:
 Erat hubungannya dengan trombosis.
b. Autoantibodi spesifik organ
b1. Autoantibodi tiroid
 Anti tiroperoksidase (anti-TPO)
 paling sensitif untuk deteksi penyakit tiroid autoimun

 Anti reseptor TSH (TRAb)


 TSH reseptor stimulating antibody (TSAb)
 menyebabkan efek stimulasi shg tjd hipertiroid
 TSH reseptor blocking antibody (TBAb)
 menyebabkan efek hambatan shg tjd hipotiroid

 Anti tiroglobulin (anti-Tg)


 berguna untuk deteksi penyakit tiroid autoimun pd
penderita dgn goiter noduler.
 untuk memantau terapi yodium pd goiter endemik.
b2. Autoantibodi hati

Anti smooth muscle (SMA)


 Sensitif untuk deteksi hepatitis autoimun, tapi tidak
spesifik krn dapat dijumpai pada beberapa penyakit hepar dan
non-hepar.

Anti actin.
 Lebih spesifik untuk hepatitis autoimun
 Dapat digunakan untuk menentukan prognosis.

 Anti mitochondrial antibodies (AMA)


 Spesifik untuk sirosis bilier primer
b3. Antibodi pada Rematoid Artritis (RA)
• Pemeriksaan lab umumnya berguna utk evaluasi penyakit
• Inflamasi dideteksi dengan CRP serial dan LED
• ANA : positif pd RA, tidak ada pola spesifik
• Rheumatoid factor (RF)  sensitif (60-80%), tapi tidak
spesifik (positif pd SLE, Sidr. Sjogren, inf virus)
• Anti CCP( cyclic citrullinated peptide)  sangat sensitif
(76%), dengan spesifisitas 96% untuk RA
• Antibodi lain : anti Sa,anti keratin (AKA) --spesifik
• Kriteria diagnosis : menurut the American Rheumatology
Association (ARA)
3. Pemeriksaan lain : kadar komplemen
C3 dan C4
• Adanya komleks imun akan meningkatkan
pemakaian komplemen (C)  penurunan
kadar C3 dan C4
• Penurunan kadar komplemen :
berhubungan dengan aktivitas penyakit
• Hematologi : anemia, trombositosis
SISTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS (SLE)
Material APC Sel T Sel B antibodi
apoptotik
Gambaran imunologik utama pada SLE:
 ANA (+) titer tinggi ≥ 1/160, pola homogen, perifer, atau
speckled
 Sel LE (+), Anti ds-DNA dan anti Sm (+)
 Kadar komplemen rendah
 Adanya endapan Ig dan komplemen pada membran basalis
glomerulus
SEL LE
 Sel neutrofil yang
memfagositosis material
inti sel lain.
 Bisa dilihat di sediaan
hapus sumsum tulang.
 Sekarang sudah
digantikan dengan
teknik ANA dan ds-
DNA.
Kelainan ginjal
 proteinuria > 0,5 g/hari atau >3+
 silinder granula, atau eritrosit dalam sedimen
urin.
Kelainan hematologi
 Anemia normositik normokrom akibat
penekanan sumtul. Kadang dijumpai anemia
hemolitik autoimun.
 Retikulositosis
 Leukopenia < 4000/ul
 Limfopenia < 1500/ul
 Trombositopenia <100.000/ul
 Laju Endap Darah (LED) cepat, karena kadar
immunoglobulin yang tinggi dalam plasma.
Profil ANA pada SLE
- ANA – sangat sensitif dan merupakan tes
tunggal terbaik untuk menyingkirkan SLE.
- ANA negatif pada pend. dgn gejala SLE dapat
menyingkirkan diagnosis SLE, kecuali penderita
dengan terapi kortikosteroid.
- Karakt SLE : punya > 3 antibodi.
- Kombinasi ANA anti ds-DNA positif,
hipokomplemenemia  spesifitas diagnostik
hampir 100%
Profil ANA pada SLE
- Karakt SLE : punya 3 atau lebih antibodi.
- Beberapa pend SLE dijumpai ANA negatif
perlu tes autoantibodi lain spt anti-dsDNA, anti-
Sm, anti Ro, anti LA dan AnuA.

- Kombinasi ANA anti ds-DNA positif dan


hipokomplemenemia  spesifitas diagnostik
hampir 100%
Anti ds-DNA
- Titer tinggi anti ds-DNA karakteristik utk SLE
- Sangat spesifik , 50-60% pasien positif, tapi bisa
positif pada pasien hepatitis kronik aktif
- Menentukan derajat nefritis lupus
- Dapat untuk monitor perjalanan penyakit
- Tidak ditemukan pada drug induced lupus
- Anti-dsDNA dan anti SM negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
Anti – Sm
- Titer tinggi sangat spesifik untuk SLE tapi tidak
sensitif
- Positif pada 30% pasien
- Negatif pada orang normal
- Bisa positif walaupun anti ds- DNA positif
- Titer konstan, tidak ada korelasi dengan aktivitas
penyakit
- Rekomendasi : Skrining SLE dgn ANA: bila
positif lanjutkan anti ds-DNA, konfirmasi dgn
anti- SM
Pemeriksaan lab lain
- Komplemen C3 dan C4 serum : kadar menurun.
- Indikator aktifitas penyakit SLE : anti-dsDNA dan
komplemen serum
- SLE dapat timbul sebagai “Idiopathic”
thrombocytopenic purpura
- Anemia : Anemia pada penyakit kronis atau anemia
defisiensi besi atau anemia hemolitik autoimun
- LED dan CRP meningkat
- Protein serum menurun
Kriteria untuk klasifikasi SLE
Pasien diklasifikasi SLE bila ada ≥ 4 kriteria
berikut:
 Malar rash
 Discoid lupus
 Oral/nasopharyngeal ulcers
 Photosensitivity
 Arthritis, non erosive, involving >2 periph joint
 Proteinuria( >0,5 g/day or 3 +qualitative) atau silinder
urin
 Seizure or psychosis not due to other causes
 Pleuritis or pericarditis
Kriteria Lanjutan - 1
Cytopenia (any of these 4 findings) :
- Autoimmune hemolytic anemia
- Neutropenia (< 4,000/cu mm on 2 >occasions)
- Lymphonenia (1,500 /cu mm on 2> occasions)
- Thrombocytopenia (100,000 /cu mm in absence
of causative drugs)
Kriteria Lanjutan - 2
Immunologic (any of these 4 findings) :
1. Anti-ds DNA antibodies
2. Anti-Sm antibodies
3. Positive test for antiphospholipid antibodies based
on:Abnormal serum IgM or IgG anticardiolipin antibodies
a. Lupus anticoagulant
b. False positive serological test for syphilis>6 months
duration confirmed by FTA-abs/TPI
4. Abnormal ANA titer in the absence of known
causative drug
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai