Anda di halaman 1dari 5

Anemia Hemolitik

A. Definisi
Anemia Hemolitik Autoimun (AHA) merupakan salah satu penyakit
imunologi didapat yang mana eritrosit pasien diserang oleh autoantibodi yang
diproduksi sistem imun tubuh pasien sendiri, sehingga mengalami hemolisis
(Rajabto dkk, 2016).
Berdasarkan sifar reaksi antibodi, AHA dibagi 2 golongan, yaitu:
1. AHA Tipe Panas (Warm AHA) adalah reaksi antigen-antibodi terjadi
maksimal pada suhu tubuh (37'C).
2. AHA Tipe Dingin (Cold AHA) adalah reaksi antigen-antibodi terjadi
maksimal pada suhu rendah (4'C).

B. Epidemiologi
Anemia Hemolitik Autoimun merupakan salah satu penyebab anemia
normositik normokrom yang potensial yang bisa diobati. Walaupun merupakan
salah satu anemia yang sudah dikenal sejak lama, anemia hemolitik autoimun
merupakan penyakit yang jarang ditemukan dengan perkiraan insiden kasus 1 per
100.000 penduduk pada populasi umum pertahun (Rajabto dkk, 2016).

C. Etiologi
Etiologi anemia hemolitik autoimun sesuai pada tipenya sebagai berikut: (Bakta,
2006).
 Tipe panas (warm autoantibody type)-autoantibodi aktif maksimal pada
suhu tubuh (37°C).
a. Idiopatik
b. Sekunder
i. Penyakit limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik kronik dan
limfoma maligna.
ii. Penyakit kolagen, seperti systemic lupus erythematosus dan
lain-lain.
iii. Obat, seperti penisilin dan metildopa
 Tipe dingin (cold autoantibody type)-autoantibodi aktif pada suhu <37°C
a. Idiopatik
b. Sekunder
i. penyakit limfoproliferatif
ii. infeksi: Seperti Mycoplasma pneumonia; infectious
mononucleosis; virus Ebstein Bar, dan lain-lain.

D. Patofisiologi
Pada patofisiologi belum diketahui secara pasti, kemungkinan akibat
gangguan pada regulasi imun yang terbentuk antibodi terhadap eritrosit sendiri
(autoantibodi). Eritrosit yang diselimuti antibodi ini (sering disertai komplemen,
terutama C3b) akan mudah difagositir oleh makrofag terutama pada lien dan juga
hati oleh adanya resepror Fc pada permukaan maftrofag yang kontak dengan porsi
Fc dari antibodi. Hemolisis terutama terjadi dalam bentuk hemolisis
ekstravaskuler yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada
anemia hemolitik autoimun tipe dingin juga terbentuk krioglobulin yaitu
penumpukan protein pada saat suhu dingin (Bakta, 2006).

E. Gejala Klinik
Pada anemia hemolitik autoimun gejala kliniknya juga sesuai dari tipenya,
tipe hangat atau tipe dingin. Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat biasanya
pasien mempunyai gejala khas anemia, seperti lemah, lelah, pusing, dan dispnea
saat beraktifitas atau gejala lainnya seperti demam, perdarahan, batuk, nyeri perut
dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan hemolisis hebat, dapat terjadi
pucat, edeme, urin berwarna gelap atau dikenal dengan hemoglobinuria (I
Kliegman dkk, 2007).
Pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai
gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan
yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu hemolisis akut dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim dingin. Darah
lebih mudah terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien lebih sering
mengalami akrosianosis yaitu warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada kedua
tangan dan kaki saat serangan terjadi (I Kliegman dkk, 2007).

F. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil biasanya sclera tampak ikterus
atau menguning, konjungtiva anemis, kulit tangan dan wajah terlihat pucat. Lalu
pada pemeriksaan abdomen didapatkan splenomegali atau pembembesaran lien
dan hepatomegali yaitu pembesaran hepar. Pada pemeriksaan kelenjar getah
bening didapatkan pembesaran kelenjar getah bening atau disebut limfadenopati.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik
autoimun meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi,
pemeriksaan bilirubin, laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen
urin dan pemeriksaan serologi (I Kliegman dkk, 2007).
a. Pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada anemia hemolitik autoimun yang
tipe hangat bervariasi dari normal sampai sangat rendah. Pada kadar
hemoglobin tipe dingin jarang ditemukan < 7 gr/dl. Pada jumlah retikulosit
dapat meningkat sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit
umumnya normal.
b. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisotisosi, polikromasi,
sferositosis, fragmentosis, dan eritrosit berinti. Polikromasi menunjukan
peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Sferositosisi dapat
terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik sedang sampai berat.
c. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan laktat dehydrogenase
(LDH)
Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada anemia hemolitik autoimun tipe
hangat yang didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen.
Lalu hemolysis intravaskuler terjadi pada tipe dingin yang menyebabkan
penurunan kadar haptoglobin. Komplek haptoglobin hemoglobin
dimetabolisme menjadi bilirubin
d. Pemeriksaan serologi
Pada pemeriksaan ini yang diperlukan ialah direct antiglobulin test (DAT)
yang menggunakan IgG dan C3d. Pada pasien anemia hemolitik autoimun
sel eritrosit akan dicampurkan dengan reagenanti globulin yang akan
menyebabkan terjadinya reaksi aglutinasi. Hal ini menandakan adanya IgG
dan C3d pada permukaan eritrosit pasien.

H. Tatalaksana
Terapi untuk AHA tipe panas meliputi hal-hal sebagai berikut (Bakta, 2006).
1. Obati atau hilangkan penyakit dasar, jika penyebab diketahui dan dapat
diobati maka penyakit tersebut seperti systemic lupus erythematosus
(SLE) dan penyakit limfoproliferatif diobati dengan sebaik-baiknya, jika
karna pemakain obat seperti methildopa harus dihentikan.
2. Kortikosteroid dosis tinggi merupakan salah satu obat pilihan untuk
anemia hemolitik autoimun yang tipe panas. Namun pada tipe dingin,
kortikosteroid seringkali tidak efektif. Untuk tipe panas prednison
diberikan secara oral dengan dosis 60-100 mg per hari.
3. Splenektomi dapat dilakukan jika tidak ada respons terhadap steroid dalam
waktu 2-3 minggu atau dosis pemeliharaan steroid (prednison) melebihi
15 mg/hari.
4. Obat imunosupresif seperti azathioprim atau siklofosfamid.
5. Transfusi darah jika terdapat anemia berat yang mengancam fungsi
jantung. Sebaiknya dipakai washed red cell.
6. Dalam keadaan gawat dapat dapat diberikan hyper immune globulin (high
dase immunoglobuline).
I. Prognosis
Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi
dini. Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi
dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia
hemolitik autoimun, hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan
sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yg kronik (Bakta, 2006).

Referensi

1. Rajabto, Wulyo, dkk. 2016. Profil Pasien Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) dan
Respon Pengobatan Pasca Terapi Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
dr. Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol. 3 No 4. Hal 207-210.

2. Bakta, IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

3. I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. edisi 18. Elsevier
Science:Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai