Anda di halaman 1dari 31

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Anemia hemolitik autoimun


3.1.1 Definisi
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA) merupakan suatu
kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.

3.1.2 Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktivasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terj adilah hemolisis intravaskuler yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-
antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah lgM, IgG1, IgG2,IgG3.
IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen
polisakarida Pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi
IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada
suhu tubuh.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang
dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi
dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-
convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah
menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah
dan merupakan produk flnal aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5 converlase).C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu saluran transmembran
sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam
sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivasi jalur altematif akan mengaktifkan C3, dan
C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian
melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah
molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
2. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi
dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen
komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah
tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AIHA

3.1.3 Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.

3.1.4 Klasifikasi
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasilikasikan sebagai berikut:
I. Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. idiopatik
2. sekunder (karena CLL, limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1. idiopatik
2. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1. idiopatik
2. sekunder (viral, dan sifilis)
D. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
ll. AIHA diinduksi obat
lll. AIHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi Hemolitik Transfusi
B. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir

3.1.5 Diagnosis
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit:
a. Direct Antiglobulin Test (direct Coomb's test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-
protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal
terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila
pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi
aglutinasi.
Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Test

Gambar 3. lndirect Antiglobulin Test

b. Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi yang
terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan
dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.

3.1.6 Klasifikasi
3.1.6.1 Anemia Hemolitik Autoimun tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 370C. Kurang leblh 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik,
dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwama gelap karena te{adi hemoglobinuri. Ikterik terjadi
pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali
terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak
disertai pembesaran organ dan limfonodi.
2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk
biasanya positip. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan
semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen
pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit
dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun
terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan
kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-
10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang
mendasari.
4. Terapi:
a. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (Hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positip
lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30
sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu
sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan
secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid
dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar
Hematokrit, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi
dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75% namun tidak bersifat permanen.
Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamrd 50- I 50 mg/hari.
d. Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila
terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi
200-400 mg.hari. Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila
diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome.
Terapi immunoglobulin intravena (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan
perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada
beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 4%, jadi terapi ini diberikan bersama
terapi lain dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan
memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang
cukup menggembirakan sebagai salvage therapy. Dosis Rituximab 100 mg per minggu
selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih kontroversial.
e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi
yang mengancam jiwa (misal Hb g 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu
steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

3.1.6.2 Anemia Hemolitik Autoimun tipe Dingin


Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitunaglutinin dingin dan antibodi
Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM
monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i. Sebagian besar IgM
yang punya spesiflsitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin
ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase
penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan
meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada
limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan
berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.
a. gambaran klinik; sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik.
Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis, dan
splenomegali
b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I,
anti - Pr, anti- M, atau anti-P.
c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindromkronik akan memiliki survival yang baik
dan cukup stabil
d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis. Prednison dan
splenektomi tidak banyak membantu. Chlorambucil 2- 4 mg/hari. Plasmafaresis untuk
mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik hal
ini sukar dilakukan.

3.1.6.3 Paroksismal Cold Hemoglobinuria


Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara
masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan,
karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoandibodi Donath-
Landsteiner dan protein komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu
kembali 37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain.
a. gambaran klinis: AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia,
sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria
b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositosis. Coombs positif, antibodi
Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.
c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki
prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival
yang panjang.
d. Terapi : menghindari faktor pencetus. glukokortikoid dan splenektomi tidak ada
manfaatnya.

3.1.6.4 Anemia Hemolitik Autoimun diinduksi Obat


Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:
hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks
ternary(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang
bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin.
Penyerapan/adsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb
positip tanpa kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme hapten/adsorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat.
Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit.
Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila
dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis
obat yang sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat,
tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen. Antibodi
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target
tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun
membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesivisitas terhadap antigen
golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb biasanya
positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan
hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide,
sulfonylurea, dan thiazide.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog,
seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi
autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang
melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat.
Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin
mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat
oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis
karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan
Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang
mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis,
immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran
eritrosit.
a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang trmbulhemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisi
ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi
secara berat, mendadak dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat
tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal.
b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positip. Lekopenia,
trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang
diperantarai kompleks ternary).
c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.

3.1.6.5 Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi


Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan
karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada
penderita golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti -A pada serum) yang akan
memicu aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC
dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang,
menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap
antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut
meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

3.2 Anemia hemolitik non imun


3.2.1 Definisi
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat
kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk
menggantikannya.

3.2.2 Etiologi dan Klasifikasi


Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:
1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati:
2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran;
3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.

Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :


Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah:
- Defek enzim/enzimopati
- Defek jalur Embden Meyerhof
- Defisiensi piruvat kinase
- Defisiensi glukosa fosfat isomerase
- Defisiensi fosfogliserat kinase
- Defek jalur heksosa monofosfat
- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Defisiensi glutation reduktase
- Hemoglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain
- Defek membran (membranopati): sferositosis herediter

Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:


- Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun,
infeksi, transfusi
- Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik
Hemolitik (SLIH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID), Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik
- Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium

Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis


dapat dikelompokkan menjadi:
1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di
sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah pasien;
2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi
darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan
hidup di sirkulasi darah pasien.

Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis,


anemia hemolisis dikelompokkan menjadi:
a. Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang
biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut
autoantibodi).
b. Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi
karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan
yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa
mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.

3.2.3 Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan
aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskular jarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis
ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel
eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

3.2.4 Manifestasi Klinis


Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat
pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi
penting yang harus ditanyakan saat anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati
pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran
murmur pada katup jantung.
Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu
dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia
hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell.

3.2.5 Pemeriksaan Laboratorium


Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis
mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang
tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan
hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielositis dan
perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan
ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis
dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun;
sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; schistosit pada mikroangiopati,
prostesis intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,
peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti
adatya percepatan destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular, meningkatkan katabolisme
heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis
terikat dengan haptoglobin. Hemoglobin - haptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati
hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis
intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga
hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan
mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi
heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin
dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular
yang masif, ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati,
sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam bentuk hemoglobinuria.

3.3 Malaria
3.3.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali.
Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi
parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.

3.3.2 Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidae.
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan
mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100
plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada
binatang primata)

3.3.3 Distribusi dan Insiden


Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika
(bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari I juta
pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di
Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan
Australia. Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik;
walaupun demikian di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang di import
karena pendatang dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah
malaria.
P.falciparum dan P. malariae umumnya di jumpai pada semua negara dengan
malaria; di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya P. falciparum; P. vivax banyak di
Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tanggara, negara Oceania dan India umumnya P
falciparum dan P. vivax. P. Ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah samapai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari
Lombor sampai Nusa tenggara Timur serta Timor Timur merupakan'daerah endemis malaria
dengan P. falciparum dan P. vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung,
Riau, Jambi dan Batam kasus malaria cenderung meningkat.

3.3.4 Transmisi dan Epidemiologi


Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana
sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan
mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic
schizogony atau pre-erythrocytes schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5
hari untuk plasmodium falciparum dan 15 hari untuk plasmodium malariae. Setelah sel
parenkim hati terinfeksi, terbentuk sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkan
banyak merozoit ke sirkulasi darah. Pada P. vivax dar, ovale, sebagian parasit di dalam sel
hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang
akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy
negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P falciparum diduga suatu
glycophorins, sedangkan pada P malariae dan P. ovalebelum diketahui. Dalam waktu
kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falciparum menjadi bentuk
stereo - headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma.
Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk
pigment yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang
berparasit menjadi lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding
eritrosit membentuk tonjolan yang disebut knob yang nantinya penting dalam proses
cytoadherence danrosetting. Setelah 36 jam invasi kedalam eritrosit, parasit berubah
menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengeluarkan 6 - 36 merozoit dan siap
menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual inipada P falciparum, P. vivax dan P. ovale
ialah 48 jam dan pada P Malariae adalah 72 jam.

Gambar 1. Daur hidup plasmodiumdan mekanisme invasi eritrosit. (disalin dari: Miller LH .
The pathogenic basis of Malaria. Nature 2002,415: 673 - 679)
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh
nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak
menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhimya menjadi bentuk oocyst
yang akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar
ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia. Tingginya side positive rale (SPR)
menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda.
Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi:
1. Hipoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%
2. Mesoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
3. Hiperendemik : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%.
4. Holoendemik : bila parasit rate atau spleen rate > 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2 - 9
tahun. Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada
daerah hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-
kanak (2 - 10 tahun), sedangkan pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak
drjumpai malaria serebral, malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal
pada usia dewasa.

3.3.5 Patogenesis dan Patologi


Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit.
Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk
aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa
terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah
patogenesa malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu
(host).Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas
daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam
eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I
dan stadium matur pada 24 jam ke IL Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan
antigen RESA (Ring-etythrocyte surface antigen) yang menghilang setelah parasit masuk
stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-l) sebagai komponen utamanya.
Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa
GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-cx dan interleukin-l (L-1)
dari makrofag.

Sitoadherensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan


endotel vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak dipermukaan
knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel
vaskular. Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1,
P.falciparum erythrocyte membrane protein-l . Molekul adhesif dipermukaan sel endotel
vaskular adalah CD36, trombospondin, intercellularadhesion molecule-l (ICAM-l), vascular
cell adhesion molecule-I (VCAM), endothel leucocyte adhesion molecule-l (ELAM-1) dan
glycosaminoglycan chondroitin sulfute l. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi
genetik oleh sekelompok gen yang berada di permukaan knob. Kelompok gen ini disebut
gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar.

Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.


Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur
yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena
pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi
terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi
terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini
diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.

Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-
parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat melakukan
rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadheren.

Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari malaria toksin (LPS, GPI ). Sitokin ini antara lain TNF-alfa(tumor necrosis factor-alpha),
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferon
gamma (IFN-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-alfa
yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-u,IL-l,IL-6 lebih rendah dari
malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita
malaria yang mati dengan TNF normal rendah atau pada malaria serebral yang hidup
dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang
lain sebagai free-radical dalam kaskade ini seperti nitrit-okside sebagai faktor yang penting
dalam patogenesa malaria berat.

Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam
menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan
ekspresi molekul adesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihan
dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO
yang tepat, memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah
mungkin menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total
pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar
arginin pada pasien tersebut rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada
patogenesis malaria berat masih kontroversial, banyak hipotesis yang belum dapat
dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan.

PATOLOGI
Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada malaria falsiparum karena
kematian biasanya disebabkan oleh P falciparum. Selain perubahan jaringan dalam patologi
malaria yang penting ialah keadaan mikro-vaskular dimana parasit malaria berada.
Beberapa organ yang terlibat antara lain otak, jantung-paru, hati, limpa, ginjal, usus, dan
sumsum tulang. Pada otopsi dijumpai otak yang membengkak dengan perdarahan petekie
yang multipel pada jaringan putlh (white matter), Perdarahan jarang pada substansi abu-
abu.
Tidak dijumpai hemiasi. Hampir seluruh pembuluh kapiler dan vena penuh dengan
parasit. Pada jantung dan paru selain sekuestrasi, jantung relatif normal, bila anemia tampak
pucat dan dilatasi. Pada paru di jumpai gambaran edema paru, pembentukan membran
hialin, adanya agregasi leukosit. Pada Ginjal tampak bengkak, tubulus mengalami iskemia,
sekuestrasi pada kapiler glomerulus, proliferasi sel mesangial dan endotel. Pada
pemeriksaan imunofluorensen dijumpai deposisi imuno globulin pada membran basal kapiler
glomerulus. Pada saluran cema bagian atas dapat terjadi perdarahan karena erosi, selain
sekuestrasi juga dijumpai iskemia yang menyebabkan nyeri perut. Pada sumsum tulang
dijumpai dyserythropolses, makrofag mengandung banyak pigmen, dan
erythrophagocytosis.

IMUNOLOGI
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen
sistim imun baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas hunoral maupun seluler, yang timbul
secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik
timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan barangkali tidak
ada imunitas yang permanen dan sempurna.
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas :
1 ). Imunitas alamiah non-imunologis berupa kelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan
dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle cell trait), hemoglobin C,
hemoglobin E, talasemia a/b, defisiensi glukosa-6 phospat dehidrogenase (G6PD),
ovalositosis herediter, golongan darah Duffi negatif kebal terhadap infeksi P. vivax, individu
dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53 lebih rentan terhadap
malaria dan melindungi terhadap malaria berat;
2). Imunitas didapat non-spesifik (nonadaptive/ innate). Sporozoit yang masuk darah segera
dihadapi oleh respon imun non-spesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag dan
monosil, yang menghasilkan sitokin-sitokin sepefti TNR IL-l ,IL - 2 ,IL- 4 ,IL - 6 , IL-5, lL-10,
secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh parasit
(sitotoksik);
3).Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sistim imun terhadap infeksi malaria mempunyai
sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. Imunitas terhadap stadium siklus
hidup parasit (stage spesific), dibagi menjadi:
a. Imunitas pada stadium eksoeritrositer :
i) Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit), respons imun pada stadium ini :
a). antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit.
b). antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi Contoh : Sirkumsporozoid protein
(Circumsporozoid protein (CSP), Sporozoid fhreonin and asparagin rich protein (STARP),
Sporozoid and liver stage antigen ( SALSA), PIasmodium falcifarum sporozoite surface
protein-2 ( SSP-2 ), Trombospondin- related anonymous protein: TRAP).
ii) Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada stadium ini: Limfosit T sitotoksik CD8+,
antigen antibodi pada stadium hepatosit: Liver stage antigen - 1 (LSA-1),LSA-2, LSA-3
b. Imunitas pada stadium aseksual eritrositer berupa: antibodi yang mengaglutinasi
merozoit, antibodi yang menghambat cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan
atau menetralkan toksin-toksin parasit.
c. Imunitas pada stadium seksual berupa : antibodi yang membunuh gametosit, antibodi
yang menghambat fertilisasi, antibodi yang menghambat transformasi zigot menjadi
ookinete, antigen/antibodi pada stadium seksual prefertilisasi dan antigen/antibodi pada
stadium seksual post fertilisasi.
Perhatian pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium sporozoit, terutama
dengan menggunakan epitop tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik ini diatur
dan/atau dilaksanakan langsung oleh limfosit T untuk imunitas seluler dan limfosit B untuk
imunitas humoral.

3.3.6 Gejala Klinis


Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi
infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium (P. Falciparum
sering memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan),
umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan
kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaktis dan pengobatan sebelumnya.

Gambar 2. Gambaran klinis ditentukan oleh faktor parasit, pejamu dan sosial-geografi.
(Sumber : Miller LH, Baruch D I, Marsk K, Doumbo Ok. The pathogenesis basis of malaria,
Nature 2002;415:673)

Dikenal 4 jenis plasmodium (P) yaitu P vivax, merupakan infeksi yang paling sering
dan menyebabkan malaria tertiana vivax, P. falciparum, memberikan banyak komplikasi dan
mempunyai perlangsungan yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan
memyebabkan malaria tropika/falsiparum, P malariae, cukup jarang namun dapat
menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria quartartal malariae dan P. Ovale
dijumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan
sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.

3.3.6.1 Manifestasi Umum Malaria


Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan
splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium.

Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan,


malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang,
demam ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin. Keluhan
prodromal sering terjadi pada P.vivax dan ovale, sedang pada P. falciparum dan malariae
keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya " Trias Malaria " secara berurutan'. periode dingin
(15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau
sarung danpada saatmenggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk,
diikuti dengan meningkatnya temperatur; diikuti dengan periode panas : penderita muka
merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan
berkeringat; kemudian periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan temperatur
turun, dan penderita merasa sehat.Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P vivax,
pada P falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak
panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum, 36 jam pada P. vivax dan ovale, 60 jam pada
P. malariae.
Anaemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa
mekanisme terjadinya anaemia ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan
eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses compIement mediated immune
complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin.
Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderitamalaria, limpa akan teraba
setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa
merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian
pada binatang percobaan limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan
metabolisme, antigenik dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.

Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah:

Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan
paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksismal
ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan immunitas
penderita.
Periode latent : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
Recrudescense: berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah
berakhirnya serangan primer. Recrudescense dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik
sesudah periode laten dari serangan primer.
Recurrence : yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya
serangan primer.
Relapse: ialah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu di
antara serangan periodik dari infeksi prime yaitu setelah periode yang lama dari masa latent
(sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar
eritrosit (hati) pada malaria vivaks atau ovale.

3.3.6.2 Manifestasi Klinis Malaria Tertianal M.Vivax/M.Benigna.


Inkubasi 12-17 hari, ladang-kadang lebih panjang 12 – 20 hari. Pada hari-hari
pertama panas iregular, kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut
perasaan dingin atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi
intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan
paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari. Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam
waktu 7-14 hari.

Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari,
limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas
mulai turun secara krisis. Pada malaria vivaks manifestasi klinik dapat berlangsung secara
berat tapi kurang membahayakan, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran
Hackett). Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungkai disebabkan karena
hipoalbuminemia.

Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi morbiditas tinggi karena seringnya terjadi
relapse. Pada penderita yang semiimmune perlangsungan malaria vivax tidak spesifik dan
ringan saja; parasitemia hanya rendah; serangan demam hanya pendek dan penyembuhan
lebih cepat. Resistensi terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya
dan di daerah lainnya. Relaps sering terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang
tertinggal di hati pada saat status imun tubuh menurun.

3.3.6.3 Manifestasi Klinis Malaria Malariae/M. Quartana


M. malariae banyak dijumpai di daerah Afrika, Amerika latin, sebagian Asia.
Penyebarannya tidak seluas P.vivax dan P. falciparum. Masa inkubasi 18 - 40 hari.
Manifestasi klinik seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan, anaemia
jarang terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesaran ringan. Serangan
paroksismal terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah <
1%.
Komplikasi jarang terjadi, sindroma nefrotik dilaporkan pada infeksi plasmodium
malariae pada anak-anak Afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karena deposit
kompleks immun pada glomerulus ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan Ig M
bersama peningkatan titer antibodinya. Pada pemeriksaan dapat dijumpai edema, asites,
proteinuria yang banyak, hipoproteinaemia, tanpa uremia dan hipertensi. Keadaan ini
prognosisnya jelek, respons terhadap pengobatan anti malaria tidak menolong, diet dengan
kurang garam dan tinggi protein, dan diuretik boleh dicoba, steroid tidak berguna.
Pengobatan dengan azatioprin dengan dosis 2-2,5 mglkg B.B selama 12 bulan
tampaknya memberikan hasil yang baik; siklofosfamid lebih sering memberikan efek toksik.
Recrudescense sering terjadi pada plasmodium malariae, parasit dapat bertahan lama
dalam darah perifer, sedangkan bentuk diluar eritrosit (di hati) tidak terjadi pada P malariae.

3.3.6.4 Manifestasi Klinis Malaria Ovale


Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis malaria. Masa inkubasi 11-16
hari, serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun
tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plasmodium lain, maka P. ovale tidak
akan tampak di darah tepi, tetapi plasmodium yang lain yang akan ditemukan. Gejala klinis
hampir sama dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan
perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan
menggigil jarang terjadi dan splenomegali jarang sampai dapat diraba.

3.3.6.5 Manifestasi Klinis Malaria Tropika/M. falsiparum


Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang
ireguler, anaemia, splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi.
Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika mempunyai perlangsungan yang cepat, dan
parasitemia yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang
sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri belakang/ tungkai, lesu, perasaan dingin, mual,
muntah, dan diare. Parasit sulit ditemui pada penderita dengan pengobatan supresif. Panas
biasanya ireguler dan tidak periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atas
40oC. Gejala lain berupa konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun
temperatur normal. Apabila infeksi memberat nadi cepat, nausea, muntah, diarea menjadi
berat dan diikuti kelainan paru (batuk). Splenomegali dijumpai lebih sering dari hepatomegali
dan nyeri pada perabaan; hati membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin
dapat berupa albuminuria, hialin dan kristal yang granuler. Anemia lebih menonjol dengan
leukopenia dan monositosis.

3.3.7 Diagnosis
Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang
asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria,
riwayat pengobatan kuratip maupun preventip.

3.3.7.1 Pemeriksaan Tetes Darah Untuk Malaria


Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat
penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip tidak
mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatip
maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh
tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan
pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya
parasit. Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering
membahayakan terutama penderita dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui
aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak sebagai cara diagnosa
yang praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :

a. Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik unfuk menemukan parasit
malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis.
Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam
membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit
dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran
kuat). Preparat dinyatakan negatip bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan
dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat
dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila
leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50
merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.

b. Tetesan darah Tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung
parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung
parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah
menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa
penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit
yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman's, atau
Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang
cukup baik.

3.3.7.2 Tes Antigen : P-F tesf


Yaitu mendeteksi antigen dari P.Falciparum (Histidine Rich Protein 11). Deteksi
sangat cepat hanya 3 - 5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak
memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu
dengan metode ICT.
Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH)
dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.
Optimal dapat mendeteksi dari 0 - 200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah
infeksi P Falciparum atau P. vivax.
Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2.
Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test). Tes ini tersedia dalam berbagai
nama tergantung pabrik pembuatnya.
3.3.7.3 Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect
fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat
sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah.
Titer > I :200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > l: 20 dinyatakan positip. Metode-
metode tes serologi antara lain indirect haemagglutinolion test, immuno-precipitation
techniques, ELISA test, radio-immunoassay.

3.3.7.4 Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu
dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

3.3.8 Diagnosis Banding


Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai
pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistim respiratorius, influenza,
bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia,
infeksi saluran kencing, tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita
dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnosa banding tergantung
manifestasi malaria beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam
tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis.
Hepatitis pada saat timbul ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria
serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis,
tifoid ensefalopati, tripanososmiasis.
Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolik (diabetes,
uremi), gangguan serebrovaskular (stroke), eklampsia, epilepsi, dan tumor otak.

3.3.9 Manajemen
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya
plasmodium aseksual didalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukan parasit dalam
darahnya perlu diobati.
Prinsip pengobatan malaria :
1). Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat/
dengan komplikasi. Penderita dengan komplikasi/malaria berat memakai obat parenteral,
malaria biasa diobati dengan per oral
2). Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan
pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin
base Combination Therapy)
3). Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang
positif dan dilakukan monitoring efek/respon pengobatan
4). Pengobatan malaria klinis/ tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT

Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan


memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART)
telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten
dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam
semua stadium termasuk gametosit, Juga efektif terhadap semua spesies , P.falciparum,
P.vivax maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilaporkan saat ini.

3.3.9.1 Golongan Artemisinin


Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai
Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula
seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin.
Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja
sebagai obat sizontocidal darah. Karena beberapa penelitian bahwa pemakaian obat
tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan
kombinasi obat lain, dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat. Obat ini
cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/injeksi dan
suppositoria.

3.3.9.2 Pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy)


Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan
terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin
dengan mengkombinasikan dengan obat anti malaia yang lain. Hal ini disebut Artemisinin
base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap
fixed dose) atau kombinasi tidak tetap (non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap lebih
memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu kombinasi artemeter
(20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari.
Kombinasi tetap yang lain ialah dihidroartemisinin (40mg) + piperakuin (320mg) yaitu
"Artekin". Dosis artekin untuk dewasa : dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam
dan 32 jam, masing-masing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya :
1. Artesunat + meflokuin . Artesunat + amodiakin . Artesunat + klorokuin . Arlesunat +
sulfadoksin-pirimeramin . Artesunat + pironaridin
2. Artesunat + chloroguanil-dapson (CDA/Lapdap plus)
3. Dihidroartemisinin + Piperakuin + Trimethoprim (Arlecom)
4. Artecom+primakuin (CVS)
5. Dihidroafiemisinin+naptokuin
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate
+ amodiakuin dengan nama dagang "ARTESDIAQUINE" atau Artesumoon. Dosis untuk
orang dewasa yaitu artesunate (50mg/tablet) 200mg pada hari I-Il (4 tablet). Untuk
Amodiakuin (200mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 2 tablet hari III.
Artesumoon ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap
blister/ hari (artesunate + amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah 25 -
30 mg/kg BB selama 3 hari.
Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula
kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan
kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang
dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik.
Catatan : Untuk pemakaian obat golongan artemisinin HARUS disertai/dibuktikan dengan
pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif.
Bila malaria klinis/tidak ada hasil pemeriksaan parasitologik TETAP menggunakan obat non-
ACT.

3.3.9.3 Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT


Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan nonACT telah dilaporkan
dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap
klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Di beberapa
daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan.
Obat non - ACT ialah :
1. Klorokuin Difosfat/Sulfat, 250 mg garam ( 150 mg basa), dosis 25 mg basa,kg BB
untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kg BB hari I dan hari II, 5 mg /kg BB pada hari III. Pada
orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari III. Dipakai
untuk P Falciparum maupun P. Vivax.
2. Sulfadoksin-Pirimetamin(SP), (5 00 mg sulfadoks in + 25 mg pirimetamin), dosis
orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau dosis anak memakai takaran
pirimetamin 1 ,25 mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai :untuk plasmodium falciparum
dan tidak efektif untuk P.vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat
menggunakan SP
3. Kina Sulfat : (l tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/ kg BB selama 7
hari, dapat dipakai untuk P Falciparum maupun P. Vivax. Kina dipakai sebagai obat
cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini
untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai
selesai.
4. Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkap/pengobatan radical
terhadap P. Falciparum maupun P. Vivax. Pada P Falciparum dosis nya 45mg (3
tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P Vivax dosisnya
15mg/hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).

3.3.9.4 Penggunaan Obat Kombinasi Non-ACT


Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum
tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang
dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut :
a). Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin;
b). Kombinasi SP + Kina;
c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/ Tetrasiklin;
d). Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin;
e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin;
f). Kina+Klindamisin
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon
pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan
meluas.

3.3.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun,
khususnyapada turis nasional maupun intemasional. Kemo-profilaktis yang dianjurkan
ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh.
Oleh karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan
pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:
1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnatted (dicelup peptisida
pemethrin atau deltamethrin).
2). Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents): gosok, spray, asap,
elektrik;
3). Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai
proteksi (baju lengan panjang, kaus/stocking). Nyamuk akan menggigit di antara jam 18.00
sampai jam 06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m;
4). Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti-nyamuk.

Bila akan digunakan kemoprofilaksis perlu diketahui sensitivitas plasmodium di


tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaksis
dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum
berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaksis ini juga dipakai pada wanita hamil
di daerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi
malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100 mg dan atau
mefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/minggu ditambah proguanil 200 mg/hari.
Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg,&g BB/ hari;
Etaquin, Atovaquone/Proguanil (Malarone) dan Azitromycin.

Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang


menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-
masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah
P.falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap
P.falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit
(bentuk intra hepatik), vaksin terhadap benfuk aseksual dan vaksin transmission blocking
untuk meiawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang pernah dicoba ialah SPF-66
atau yang dikenal sebagai vaksin P atatoyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat
dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujuan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati
sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya
antigen circumsporozoit. Uji coba pada manusia tampahnya memberikan perlindungan yang
bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam persiapan. Hoffman
berpendapat bahwa vaksin yang ideal ialah vaksin yang muItistage (sporozoit, aseksual),
multivalen (terdiri beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini
dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respon terbaik dan harga yang kurang
mahal.
3.4 AIHA pada Pasien Malaria
AIHA bersamaan dengan infeksi malaria merupakan kondisi langka. AIHA dapat
diklasifikasikan berdasarkan temperatur yang tepat untuk mendeteksi autoantibodi yang
berikatan dengan membran eritrosit menjadi antibodi hangat, antibodi dingin, dan antibodi
bifasik. Kondisi ini dapat terkadi primer atau sekunder pada penyakit limfoproliferatif,
penyakit autoimun, atau keganasan hematologis. Penyakit infeksi tropis berkaitan dengan
AIHA merupakan kondisi langka dan menimbulkan masalah. Hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik menunjukkan pucar, sesak, ikterik, dan pemeriksaan laboratorium yang
penting untuk menunjukkan kondisi hemolisis (retikulosit meningkat, hiperbilirubinemia
indirek, LDH meningkat) (Chamnanchanunt et al, 2017).
Pasien menjalani pemeriksaan klinis dan laboratoris untuk kondisi hemolitiknya
selama terapi malaria. Kondisinya sesuai dengan infeksi falciparum berat karena didapatkan
gangguan ginjal, algid malaria, dan anemia berat. Terapi algid malaria adalah dengan
kombinasi artesunat intravena dan eradikasi parasit malaria dnegan antibiotk spektrum luas.
Hapusan darahnya menunjukkan mikrosferosit dan aglutinasi eritrosit, yang sesuai dengan
AIHA. Eritrosit pasien menunjukkan hasil Coombs test positif. Pada sebagian besar kasus
malaria, AIHA terjadi pada minggu kedua setelah mendapatkan terapi malaria
(Chamnanchanunt et al, 2017).
Insiden AIHA diperkirakan 1 : 1.000.000 pada dewasa. Antibodi hangat bertanggung
jawab pada 87% kasus dan antibodi dingin bertanggung jawab pada 13% kasus. Antibodi
dingin primer atau idiopatik banyak ditemukan pada pasien tua sekitar 70 tahun pada kedua
jenis kelamin, dengan sedikit predominan pada wanita. Antibodi dingin sekunder terjadi
dalam bentuk transien dan kronik. Bentuk transien terjadi pada infeksi Mycoplasma
pneumonia atau mononukleusis infeksiosa, terutama pada remaja dan dewasa muda.
Antibodi dingin kronis biasanya ditemukan pada pasien di atas 50 tahun (Yashovardhan et
al, 2015).
Mayoritas pasien tidak memiliki penyakit underlying, sisanya memiliki penyakit
limfoproliferatif termasuk CLL, hairy cell leukemia, limfoma. Antibodi dingin dapat fisiologis
atau patologis tergantung reaktivitas termal antibodi ini. Antibodi dingin fisiologis sering
ditemukan pada orang dewasa sehat, reaktif pada suhu di bawah 22 oC dan memiliki titer
kurang dari 64. Antibodi dingin patologis memiliki amplitudo termal tinggi dan bermanifestasi
sebagai penyakit antibodi dingin kronis atau anemia hemolitik akut transien berkaitan
dengan infeksi saluran napas. Antibodi dingin merupakan IgM, yang pada temperatur
rendah bereaksi dengan eritrosit dan berikatan dengan C1. Hanya 1 molekul IgM yang
diperlukan untuk mengikat C1 dan menginisiasi aktivasi komplemen jalur klasik. C1 secara
sekuensial mengaktivasi C4 dan C2, yang terikat ke eritrosit dan membentuk kompleks
enzim C3 convertase. Ketika darah kembali ke temperatur hangat dalam tubuh, aglutinin
dingin terpisah dari membran sel, namun aktivasi komplemen terus berlangsung. Protein
regulator mengubah C3 dan C4 terikat eritrosit menjadi C3d, C3dg, dan C4d. Komponen anti
C3d yang polispesifik AHG (anti C3d dan anti IgG) yang menunjukkan Coombs test direk
dan indirek negatif (Yashovardhan et al, 2015).
Sebagian besar pasien malaria dengan AIHA mendapatkan terapi imunosupresif
(steroid) dalam bentuk iv atau oral. Pasien mendapatkan metilprednisolon dan
hemoglobinnya membaik dalam 1 minggu. Penelitian lain menunjukkan penyembuhan
spontan tanpa terapi spesifik untuk AIHA. Dosis prednisolon untuk AIHA adalah 1 mg/kg/hari
dan ditappering off jika nilai hemoglobin sudah normal tanpa tanda hemolisis
(Chamnanchanunt et al, 2017).
Anemia berhubungan dengan malaria dan penyebab umumnya adalah destruksi
eritrosit oleh parasit, sekuestrasi lien, diseritropoiesis, peningkatan sitokin inflamasi, dan
defisiensi nutrisi. Pada kasus ini, pasien mengalami parasitemia berat bersamaan dengan
destruksi eritrosit autoimun oleh autoantibodi IgG yang menyebabkan penurunan Hb
mendadak dan peningkatan bilirubin indirek dan LDH serum. Mengurangi inkompatibilitas
dan pemberian antimalaria dan steroid menyebabkan perbaikan pasien dengan Hb dan
blood smear negatif untuk parasit malaria tanpa peningkatan temperatur setelah hari ke-4.
Lebih jauh, laporan kasus di India, Canada, Korea, Jerman dan 3 laporan kasus malaria
dengan AIHA. Mekanisme AIHA pada malaria belum dipahami dengan baik, namun AIHA
perlu dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab anemia pada malaria (Sonani et al,
2017).

Anda mungkin juga menyukai