PEMBAHASAN
3.1.2 Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktivasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terj adilah hemolisis intravaskuler yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-
antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah lgM, IgG1, IgG2,IgG3.
IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen
polisakarida Pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi
IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada
suhu tubuh.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang
dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi
dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-
convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah
menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah
dan merupakan produk flnal aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5 converlase).C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu saluran transmembran
sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam
sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivasi jalur altematif akan mengaktifkan C3, dan
C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian
melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah
molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
2. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi
dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen
komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah
tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
3.1.3 Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.
3.1.4 Klasifikasi
Anemia Hemolitik Imun dapat diklasilikasikan sebagai berikut:
I. Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. idiopatik
2. sekunder (karena CLL, limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1. idiopatik
2. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1. idiopatik
2. sekunder (viral, dan sifilis)
D. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
ll. AIHA diinduksi obat
lll. AIHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi Hemolitik Transfusi
B. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir
3.1.5 Diagnosis
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit:
a. Direct Antiglobulin Test (direct Coomb's test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-
protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal
terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila
pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi
aglutinasi.
Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Test
b. Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi yang
terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan
dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
3.1.6 Klasifikasi
3.1.6.1 Anemia Hemolitik Autoimun tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 370C. Kurang leblh 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik,
dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwama gelap karena te{adi hemoglobinuri. Ikterik terjadi
pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali
terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak
disertai pembesaran organ dan limfonodi.
2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk
biasanya positip. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan
semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen
pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit
dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun
terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan
kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-
10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang
mendasari.
4. Terapi:
a. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (Hematokrit meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positip
lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30
sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu
sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat diberikan
secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid
dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar
Hematokrit, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi
dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75% namun tidak bersifat permanen.
Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamrd 50- I 50 mg/hari.
d. Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila
terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi
200-400 mg.hari. Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. Efek danazol berkurang bila
diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome.
Terapi immunoglobulin intravena (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan
perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada
beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 4%, jadi terapi ini diberikan bersama
terapi lain dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg perhari sampai 1000 mg per hari dilaporkan
memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.
Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang
cukup menggembirakan sebagai salvage therapy. Dosis Rituximab 100 mg per minggu
selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih kontroversial.
e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi
yang mengancam jiwa (misal Hb g 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu
steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
3.2.3 Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan
aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskular jarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis
ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel
eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
3.3 Malaria
3.3.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali.
Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi
parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.
3.3.2 Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidae.
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan
mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100
plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada
binatang primata)
Gambar 1. Daur hidup plasmodiumdan mekanisme invasi eritrosit. (disalin dari: Miller LH .
The pathogenic basis of Malaria. Nature 2002,415: 673 - 679)
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh
nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak
menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhimya menjadi bentuk oocyst
yang akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar
ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia. Tingginya side positive rale (SPR)
menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda.
Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi:
1. Hipoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%
2. Mesoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
3. Hiperendemik : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%.
4. Holoendemik : bila parasit rate atau spleen rate > 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2 - 9
tahun. Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada
daerah hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-
kanak (2 - 10 tahun), sedangkan pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak
drjumpai malaria serebral, malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal
pada usia dewasa.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-
parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat melakukan
rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadheren.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari malaria toksin (LPS, GPI ). Sitokin ini antara lain TNF-alfa(tumor necrosis factor-alpha),
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferon
gamma (IFN-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-alfa
yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-u,IL-l,IL-6 lebih rendah dari
malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita
malaria yang mati dengan TNF normal rendah atau pada malaria serebral yang hidup
dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang
lain sebagai free-radical dalam kaskade ini seperti nitrit-okside sebagai faktor yang penting
dalam patogenesa malaria berat.
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam
menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan
ekspresi molekul adesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihan
dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO
yang tepat, memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah
mungkin menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total
pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar
arginin pada pasien tersebut rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada
patogenesis malaria berat masih kontroversial, banyak hipotesis yang belum dapat
dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan.
PATOLOGI
Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada malaria falsiparum karena
kematian biasanya disebabkan oleh P falciparum. Selain perubahan jaringan dalam patologi
malaria yang penting ialah keadaan mikro-vaskular dimana parasit malaria berada.
Beberapa organ yang terlibat antara lain otak, jantung-paru, hati, limpa, ginjal, usus, dan
sumsum tulang. Pada otopsi dijumpai otak yang membengkak dengan perdarahan petekie
yang multipel pada jaringan putlh (white matter), Perdarahan jarang pada substansi abu-
abu.
Tidak dijumpai hemiasi. Hampir seluruh pembuluh kapiler dan vena penuh dengan
parasit. Pada jantung dan paru selain sekuestrasi, jantung relatif normal, bila anemia tampak
pucat dan dilatasi. Pada paru di jumpai gambaran edema paru, pembentukan membran
hialin, adanya agregasi leukosit. Pada Ginjal tampak bengkak, tubulus mengalami iskemia,
sekuestrasi pada kapiler glomerulus, proliferasi sel mesangial dan endotel. Pada
pemeriksaan imunofluorensen dijumpai deposisi imuno globulin pada membran basal kapiler
glomerulus. Pada saluran cema bagian atas dapat terjadi perdarahan karena erosi, selain
sekuestrasi juga dijumpai iskemia yang menyebabkan nyeri perut. Pada sumsum tulang
dijumpai dyserythropolses, makrofag mengandung banyak pigmen, dan
erythrophagocytosis.
IMUNOLOGI
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen
sistim imun baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas hunoral maupun seluler, yang timbul
secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik
timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan barangkali tidak
ada imunitas yang permanen dan sempurna.
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas :
1 ). Imunitas alamiah non-imunologis berupa kelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan
dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle cell trait), hemoglobin C,
hemoglobin E, talasemia a/b, defisiensi glukosa-6 phospat dehidrogenase (G6PD),
ovalositosis herediter, golongan darah Duffi negatif kebal terhadap infeksi P. vivax, individu
dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53 lebih rentan terhadap
malaria dan melindungi terhadap malaria berat;
2). Imunitas didapat non-spesifik (nonadaptive/ innate). Sporozoit yang masuk darah segera
dihadapi oleh respon imun non-spesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag dan
monosil, yang menghasilkan sitokin-sitokin sepefti TNR IL-l ,IL - 2 ,IL- 4 ,IL - 6 , IL-5, lL-10,
secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh parasit
(sitotoksik);
3).Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sistim imun terhadap infeksi malaria mempunyai
sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. Imunitas terhadap stadium siklus
hidup parasit (stage spesific), dibagi menjadi:
a. Imunitas pada stadium eksoeritrositer :
i) Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit), respons imun pada stadium ini :
a). antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit.
b). antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi Contoh : Sirkumsporozoid protein
(Circumsporozoid protein (CSP), Sporozoid fhreonin and asparagin rich protein (STARP),
Sporozoid and liver stage antigen ( SALSA), PIasmodium falcifarum sporozoite surface
protein-2 ( SSP-2 ), Trombospondin- related anonymous protein: TRAP).
ii) Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada stadium ini: Limfosit T sitotoksik CD8+,
antigen antibodi pada stadium hepatosit: Liver stage antigen - 1 (LSA-1),LSA-2, LSA-3
b. Imunitas pada stadium aseksual eritrositer berupa: antibodi yang mengaglutinasi
merozoit, antibodi yang menghambat cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan
atau menetralkan toksin-toksin parasit.
c. Imunitas pada stadium seksual berupa : antibodi yang membunuh gametosit, antibodi
yang menghambat fertilisasi, antibodi yang menghambat transformasi zigot menjadi
ookinete, antigen/antibodi pada stadium seksual prefertilisasi dan antigen/antibodi pada
stadium seksual post fertilisasi.
Perhatian pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium sporozoit, terutama
dengan menggunakan epitop tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik ini diatur
dan/atau dilaksanakan langsung oleh limfosit T untuk imunitas seluler dan limfosit B untuk
imunitas humoral.
Gambar 2. Gambaran klinis ditentukan oleh faktor parasit, pejamu dan sosial-geografi.
(Sumber : Miller LH, Baruch D I, Marsk K, Doumbo Ok. The pathogenesis basis of malaria,
Nature 2002;415:673)
Dikenal 4 jenis plasmodium (P) yaitu P vivax, merupakan infeksi yang paling sering
dan menyebabkan malaria tertiana vivax, P. falciparum, memberikan banyak komplikasi dan
mempunyai perlangsungan yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan
memyebabkan malaria tropika/falsiparum, P malariae, cukup jarang namun dapat
menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria quartartal malariae dan P. Ovale
dijumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan
sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.
Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan
paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksismal
ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan immunitas
penderita.
Periode latent : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
Recrudescense: berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah
berakhirnya serangan primer. Recrudescense dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik
sesudah periode laten dari serangan primer.
Recurrence : yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya
serangan primer.
Relapse: ialah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu di
antara serangan periodik dari infeksi prime yaitu setelah periode yang lama dari masa latent
(sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar
eritrosit (hati) pada malaria vivaks atau ovale.
Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari,
limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas
mulai turun secara krisis. Pada malaria vivaks manifestasi klinik dapat berlangsung secara
berat tapi kurang membahayakan, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran
Hackett). Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungkai disebabkan karena
hipoalbuminemia.
Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi morbiditas tinggi karena seringnya terjadi
relapse. Pada penderita yang semiimmune perlangsungan malaria vivax tidak spesifik dan
ringan saja; parasitemia hanya rendah; serangan demam hanya pendek dan penyembuhan
lebih cepat. Resistensi terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya
dan di daerah lainnya. Relaps sering terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang
tertinggal di hati pada saat status imun tubuh menurun.
3.3.7 Diagnosis
Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang
asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria,
riwayat pengobatan kuratip maupun preventip.
a. Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik unfuk menemukan parasit
malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis.
Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam
membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit
dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran
kuat). Preparat dinyatakan negatip bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan
dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat
dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila
leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50
merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
b. Tetesan darah Tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung
parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung
parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah
menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa
penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit
yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman's, atau
Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang
cukup baik.
3.3.9 Manajemen
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya
plasmodium aseksual didalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukan parasit dalam
darahnya perlu diobati.
Prinsip pengobatan malaria :
1). Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat/
dengan komplikasi. Penderita dengan komplikasi/malaria berat memakai obat parenteral,
malaria biasa diobati dengan per oral
2). Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan
pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin
base Combination Therapy)
3). Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang
positif dan dilakukan monitoring efek/respon pengobatan
4). Pengobatan malaria klinis/ tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT
3.3.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun,
khususnyapada turis nasional maupun intemasional. Kemo-profilaktis yang dianjurkan
ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh.
Oleh karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan
pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:
1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnatted (dicelup peptisida
pemethrin atau deltamethrin).
2). Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents): gosok, spray, asap,
elektrik;
3). Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai
proteksi (baju lengan panjang, kaus/stocking). Nyamuk akan menggigit di antara jam 18.00
sampai jam 06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m;
4). Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti-nyamuk.