04011281924108
Gamma 2019
Manifestasi Klinis
Anemia Hemolitik Autoimun
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilhat adalah konjungtiva pucat, sklera
berwarna kekuningan, splenomegali urin berwarna merah gelap. Tanda laboratorium yang
dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan lactate dehydrogenase,
peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.
(Setiati et al., 2014)
Pada AIHA tipe hangat, onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan,
ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus djumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai
nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien, Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%
pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi. (Setiati et al., 2014)
Gambaran yang diakibatkan oleh anemia hemolitik tanpa komplikasi ditandai dengan:
(1) berkurangnya umur sel darah merah, (2) peningkatan eritropoiesis sebagai kompensasi,
(3) tertahannya komponen yang berasal dari kerusakan sel darah merah (termasuk zat besi).
Karena zat besi yang terjadi bisa didaur-ulang maka regenerasi sel darah merah seimbang
dengan hemolisis, akibatnya anemia hemolitik dikaitkan dengan terjadinya hiperplasi eritroid
dalam sumsum tulang dan penambahan jumlah retikulosit dalam darah tepi. Pada anemia
hemolitik yang berat dapat terjadi hemopoiesis ekstramedula pada hati, limpa dan kelenjar
getah bening. (Kumar, 2015)
Penghancuran sel darah merah, dapat terjadi di dalam pembuluh darah (hemolisis
intravaskular) atau di dalam makrofag (hemolisis ekstravaskular). Hemolisis intravaskular
dapat terjadi secara mekanik (misalnya aliran yang turbulen akibat tidak efektifnya katup
jantung) atau dapat juga secara kimiawi atau fisika yang merusak membran sel darah merah
(contoh, karena tertahannya komplemen yang terpajan terhadap toksin klostridium atau
panas). Apa pun penyebabnya, hemolisis intravaskular akan menyebabkan hemoglobinemia,
hemoglobinuria dan hemosiderinuria. Perubahan heme menjadi bilirubin dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia dan ikterus. Haptoglobin, suatu protein dalam sirkulasi darah yang
mengikat dan membersihkan hemoglobin bebas, seluruhnya hilang dari plasma yang juga
sering mengandungi banyak laktat dehidrogenase (LDH) yang dilepaskan dari sel darah
merah yang mengalami hemolisis. (Kumar, 2015)
Hemolisis ekstravaskular yang sering merupakan cara kerusakan sel darah merah
mula-mula terjadi pada limpa dan hati. Organ-organ ini mengandungi banyak makrofag
sebagai sel yang bertanggungjawab untuk menghilangkan sel darah merah yang rusak atau
yang merupakan sasaran reaksi imun di dalam sirkulasi darah. Karena perubahan bentuk sel
darah merah sangat diperlukan untuk keluar masuknya ke sinusoid limpa, maka setiap
penurunan kemampuan sel darah merah untuk berubah, akan menyebabkan kesulitan dan
mendukung terjadinya penghancuran dan fagositosis pada limpa. Pada berbagai anemia
hemolitik, penurunan kemampuan sel darah merah untuk berubah merupakan penyebab
utama rusaknya sel darah merah. Hemolisis ekstravaskular tidak berkaitan dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria, tetapi seringkali menyebabkan ikterus dan apabila
berlangsung lama dapat diikuti pembentukan batu empedu yang kaya bilirubin (batu pigmen).
Haptoglobin berkurang apabila sebagian hemoglobin terlepas dari makrofag dan masuk ke
dalam plasma dan LDH juga meningkat. Pada sebagian besar hemolisis ekstravaskular kronik
terjadi hiperplasia reaktif dari sel-sel fagosit mononukleus yang menyebabkan splenomegali.
(Kumar, 2015)
Algoritme Diagnosis
Anemia Hemolitik Autoimun
Pada beberapa individu terdapat antibodi yang dapat berikatan dengan komponen
pada simpai eritrosit yang menyebabkan anemia hemolitik. Antibodi ini dapat terjadi spontan
atau dipicu oleh bahan eksogen seperti obat atau zat kimia. Anemia imunohemolitik jarang
terjadi dan dikelompokkan menurut: (1) asal antibodi dan (2) keadaan yang mendasari.
Diagnosis didasarkan atas penemuan antibodi dan/ atau komplemen pada eritrosit yang dapat
dilakukan dengan uji antiglobulin Coombs langsung (direct Coombs anti globulin test). Pada
pemeriksaan ini eritrosit penderita dikeram dengan antibodi terhadap imunoglobulin manusia
atau komplemen. Reaksi positif apabila eritrosit menggumpal (aglutinasi). Uji Coombs tidak
langsung, yang menguji kemampuan serum penderita untuk menggumpalkan eritrosit yang
mempunyai komponen tertentu pada permukaannya, dapat dipakai menentukan sasaran dari
antibodi. (Kumar, 2015)
Diagnosis Banding
Anemia Hemolitik Autoimun
Tatalaksana untuk AIHA menurut Setiati et al, (2014) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam adalah sebagai berikut.
1. Medikamentosa:
a. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan respons klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes
coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan
stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons
terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20
mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/ hari dapat diberikan secara selang
sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid
dosis rendah, namun bila dosis per hari melebihi 15 mg/hari untuk
mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi
dengan modalitas lain.
b. Imunosupresan: azatriopin 50-200 mg/hari, atau siklofosfamid 50-150
mg/hari;
c. Danazol 600-800 mg/hari. Umumnya dipakai bersama dengan steroid. Bila
terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/ hari.
d. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak.
Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb ≤ 3 g/dl) transfusi dapat
diberikan, sambil menunggu efek steroid dan imunoglobulin.
e. Terapi lainnya:
i. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan
respons yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapy. Dosis
Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa
memperhitungkan luas permukaan tubuh. Beberapa literatur
menganjurkan rituximab 375/m2 pada hari 1,8,15,21.
ii. Siklofosfamid dosis tinggi dilaporkan berhasil pada serial kasus-kasus
dengan AlHA yang refrakter dengan 3 atau lebih terapi. Dosis yang
diberikan adalah 50mg/ kgBB/hari selama 4 hari. Masih diperlukan studi
dengan jumlah kasus yang lebih banyak.
iii. Terapi imunoglobulin intravena (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari)
menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi
ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respons
hanya 40%. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya
bersifat sementara.
iv. Mycophenolate mofetil 500 mg perhari sampai 1000 mg per hari
dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.
2. Pembedahan: splenektomi dipertimbangkan apabila terapi steroid tidak adekuat
atau tidak dapat dilakukan tapering off dalam waktu 3 bulan.
Komplikasi
Anemia Hemolitik Autoimun
Tabel 2. Risiko infeksi yang terkait dengan pengobatan anemia hemolitik autoimun (AIHA).
(Giannotta et al., 2021)
AIHA dapat berkembang secara sekunder karena beberapa kondisi; PID (Pelvic
Infalmmatory Disease), gangguan autoimun sistemik, penyakit limfoproliferatif, kanker
padat, dan transplantasi organ dan sel induk hematopoietik (HSCT). Semua kondisi ini
ditandai dengan peningkatan risiko infeksi, karena imunodefisiensi intrinsik dan/atau
imunosupresan dan kemoterapi yang diberikan. AIHA yang membutuhkan terapi
imunosupresif dalam konteks ini dapat lebih meningkatkan risiko infeksi. (Giannotta et al.,
2021)
Tabel 3. Risiko infeksi dalam kondisi yang terkait dengan AIHA
(Giannotta et al., 2021)
Anemia hemolitik dapat mempengaruhi beberapa sistem organ di seluruh tubuh. Saat
sel darah merah dihancurkan, produknya menyebabkan rantai reaksi yang mengarah pada
komplikasi lebih lanjut. Berikut adalah beberapa komplikasi yang disebabkan oleh anemia
hemolitik menurut Baldwin dan Olarewaju (2020).
1. Pada sickle cell disease (SCD), hemolisis kronis yang terjadi menurunkan jumlah
oksigen yang dapat dikirim, selanjutnya menyebabkan hipoksia jaringan. Karena
jaringan kekurangan darah dan, oleh karena itu, oksigen, pasien dapat mengalami
kelelahan dan nyeri otot. Semakin buruk derajat anemia telah menunjukkan hasil
klinis yang lebih buruk pada pasien dengan SCD.
2. Risiko komplikasi iskemia dan trombotik dapat dilihat pada setiap kasus
hemolisis karena ada lebih banyak komplikasi yang dipelajari dari efek toksik
hemoglobin bebas dan besi yang bersirkulasi.
3. Tromboemboli adalah penyebab kematian paling umum pada hemoglobinuria
nokturnal paroksismal (PNH). 15% sampai 44% dari pasien ini akan memiliki
setidaknya satu kejadian tromboemboli selama perjalanan penyakit mereka.
Thalassemia dan SCD keduanya ditemukan memiliki keadaan hiperkoagulasi
yang disebabkan oleh asimetri membran fosfolipid yang abnormal, yang telah
dikaitkan dengan peningkatan hemolisis dan trombosis.
4. Kelebihan hemoglobin dan zat besi dari hemolisis juga terlihat menyebabkan
komplikasi pada ginjal. Deposisi besi dan hemosiderin di ginjal dengan hemolisis
intravaskular, seperti pada PNH, telah menunjukkan penurunan fungsi ginjal.
5. Baik penyakit hati dan defisit neurologis dapat dilihat pada penyakit Wilson jika
tidak didiagnosis dan diobati secara dini. Hemolisis adalah salah satu gejala yang
paling penting pada anak atau dewasa muda dengan penyakit Wilson.
6. Banyak orang dengan hereditary spherocytosis (HS) tidak terdiagnosis sampai
dewasa ketika mereka mulai mengalami komplikasi. Mereka sering terlihat
memiliki cholelithiasis berulang, dan dalam kasus yang paling parah, yang sering
ditemukan resesif, akan membutuhkan transfusi darah secara teratur.
Prognosis Anemia Hemolitik Autoimun
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Kesintasan 10
tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan kejadian kardiovaskular lain
bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%.
Prognosis AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari. (Setiati et al., 2014)
1. Bagaimana manifestasi umum yang dapat ditemukan pada penyakit di kasus ini?
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilhat adalah konjungtiva pucat,
sklera berwarna kekuningan, splenomegali urin berwarna merah gelap. Tanda
laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan
lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct Antiglobulin
Test menunjukkan hasil positif. (Setiati et al., 2014)
7. Bagaimana mekanisme terjadinya mata kuning, urinnya berwarna teh tua dan rasa
tidak nyaman pada perut kanan atas?
Hemolisis dari sel darah merah menghasilkan banyak sekali bilirubin indirek melebihi
batas kemampuan sistem konjugasi bilirubin pada hati. Sisa bilirubin indirek yang
tidak terkonjugasi menetap pada darah sehingga menimbulkan warna kuning baik di
sclera mata dan kulit, serta memberikan warna the pada urin. Hepar yang bekerja
keras dalam mengkonjugasi bilirubin indirek mengalami pembesaran (hepatomegali).
Hepatomegali menyebabkan peregangan pada kapsul pembungkus hati sehingga
ujung saraf visceral pada kapsul memberikan rangsangan rasa sakit pada perut kanan
atas.
8. Apa diagnosis banding yang dapat disingkirkan dari riwayat pengobatan dan riwayat
keluarga pada pasien?
(Kan ini diagnosis utamanya SLE, nah keknya lebi bagus klo pake dd nya dari SLE,
bukan anemia hemolitik)
Daftar Pustaka
Baldwin, C. and Olarewaju, O. (2020). Hemolytic Anemia. [online] PubMed. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558904/.
Biggers, A. (2018). Autoimmune Hemolytic Anemia: Causes, types, and Symptoms. [online]
www.medicalnewstoday.com. Available at:
https://www.medicalnewstoday.com/articles/312508.
Giannotta, J.A., Fattizzo, B., Cavallaro, F. and Barcellini, W. (2021). Infectious
Complications in Autoimmune Hemolytic Anemia. Journal of Clinical Medicine,
10(1), p.164.
Konsil Kedokteran Indonesia (2019). Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia.
Kumar, V. (2015). Basic pathology. Brantford, Ontario: W. Ross Macdonald School
Resource Services Library.
Nagalla, S. (2021). Hemolytic Anemia Differential Diagnoses. [online]
emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/201066-differential [Accessed 18 Jan. 2022].
Phillips, J. and Henderson, A.C. (2018). Hemolytic Anemia: Evaluation and Differential
Diagnosis. American Family Physician, 98(6), pp.354–361.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata K., M., Setiyohadi, B. and Syam, A.F. eds.,
(2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Interna Publishing.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S. and Pradipta, E.A. eds., (2014). Kapita Selekta
Kedokteran. 4th ed. Jakarta Pusat: Media Aesculapius.
Yu, Y., Lin, K. and Poon, M.-C. (2015). Hemolytic Anemia: Pathophysiology | Calgary
Guide. [online] The Calgary Guide to Understanding Disease. Available at:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/hemolytic-anemia-pathophysiology/ [Accessed 18 Jan.
2022].
Yu, Y. (2015). Iron Deficiency Anemia | Calgary Guide. [online] The Calgary Guide to
Understanding Disease. Available at: https://calgaryguide.ucalgary.ca/iron-deficiency-
anemia-2/.