Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia
2.1.1 Definisi
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin darah.
Walaupun nilai normal dapat bervariasi antar laboratorium, kadar hemoglobin
biasanya kurang dari 13,5 g/dl pada pria dewasa dan kurang dari 11,5 g/dl pada
wanita dewasa.
2.1.2 Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang
menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal.
Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantungpada
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut offpoint) di bawah kadar mana kita
anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk
laki- laki adalah 14 gldl dan 12 gldlpada perempuan dewasa pada ilermukaan laut.
Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit3S%)
untuk perempuan dewasa, I 1 g/dl (hematokrit 36%) untukperempuan hamil, dan
13 g/dl untuk laki dewasa.

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis.
Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang

mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah salcit akan memerlukan


pemeiksaanwork up anemialebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di
Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang
dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka l0-1 1
g/dl.

2.1.3Prevalensi Anemia
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De
Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985
seperti terlihat pada tabel berikut

Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia


pada tahun 1989 sebagai berikut:

Anak prasekolah
Anak usia sekolah
Perempuan dewasa tidak hamil
Perempuanhamil
Laki-laki dewasa
Pekerja berpenghasilan rendah

: 30 40%
: 25 35%
: 30 40%
: 50 70%
: 20 30&
: 30 40%

Berbagai survei yang telah pemah dilakukan di Bali memberikan angkaangka yang tidakjauh berbeda dengan angka di atas.

2.1.4 Klasifikasi Anemia


Tabel 1. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi

Mikrositik Hipokrom

Normositik Normokrom

Makrositik

MCV<80 fl

MCV 80-95 fl

MCV >95 fl

MCH <27 pg

MCH >26 pg

Defisiensi besi
Talasemia
Anemia penyakit kronik
(beberapa kasus)
Keracunan timbal
Anemia sideroblastik

Banyak anemia hemolitik


(Seperti G6PD)
Anemia penyakit kronik
(beberapa kasus)
Setelah perdarahan akut
Penyakit Ginjal
Defisiensi campuran
Kegagalan sumsum tulang,
misalnya kemoterapi,
infiltrasi oleh karsinoma,
dll

Megaloblastik; defisiensi vit


B12 atau asam folat
Non megaloblastik: alkohol,
penyakit hati,
mielodisplasia, anemia
aplastik, dll

2.1.5Etiologi Anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada: dasarhya anemiaisebabkan oleh karena: 1). Gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2).Kehilangan darah keluar tubuh
(perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum wakhrnya
(hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel
berikut:

2.1.6Patofisiologi dan Gejala anemia


Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah
gejala yang timbul pada setiap kasusanemia, apapun penyebabnya, apablla kadar
hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul
karena: 1). Anoksia organ; 2).Mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin telah turun di b aw ah I gl dl. B erut ringannya gejala umum anemia
tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b).Kecepatan penurunan
hemoglobin; c).Usia; d).Adanya kelainan jantung atau panr sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:


1. Gejala umum anemia. Gejalaumum anemia, disebutjuga sebagai sindrom
anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus
anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<l ddl). Sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mend.qnging (tinnitus),
mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia.Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa
mulut, telapak tangan danjaringan di bawah kuku.Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif
karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7gld1).
2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejalaini spesifik untuk masing-masing
jenis anemia. Sebagai contoh:

Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis


angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B 12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3. Gejala penyakit dasar. Gejalayang timbul akibat penyakit dasar yang


menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Misalnya gej ala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis
dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit
dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh
karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia.Tetapi pada umumnya
diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

2.2 Anemia Hemolitik


Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit.Destruksi eritrosit seharusnya terjadi
rata-rata setelah 120 hari.Pasien mungkin menunjukkan kepucatan membran
mukosa, ikterus ringan yang berfluktuasi, dan splenomegali.Tidak ada bilirubin

dalam urin, tetapi urin dapat menjadi gelap bila dibiarkan karena urobilinoen
berlebihan.
Tabel 2. Klasifikasi Anemia Hemolitik
Herediter

Didapat

Membran

Imun

Sferositosis herediter, eliptositosis


herediter

Autoimun

Metabolisme
Defisiensi G6PD, defisiensi piruvat
kinase

Aloimun
Reaksi transfusi hemolitik
Penyakit hemolitik pada neonatus
Terkait obat

Hemoglobin

Sindrom fragmentasi eritrosit

Abnormal (HbS, HbC)

Purpura trombositopenik trombotik


Sindrom hemolitik uremik
Sepsis meningokokal
Koagulasi intravaskular diseminata
Infeksi
Malaria, clostridium
Zat Kimia
Khususnya obat, zat industri rumah
tangga
Sekunder
Penyakit hati dan ginjal
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal

Hemolisis intravaskular dan Ekstravaskular

Terdapat dua mekanisme utama penghancuran eritrosit pada anemia


hemolitik. Mungkin terdapat penghancuran eritrosit berlebihan oleh sistem
retikuloendotelial (hemolisis ekstravaskular) atau eritrosit dapat dihancurkan
langsung dalam sirkulasi pada suatu proses yang disebut hemolisis intravaskular.
Gambaran laboratorium hemolisis intravaskular adalah sebagai berikut.
1. Hemoglobinemia dan hemoglobinuria
2. Hemosiderinuria (protein cadangan besi dalam sedimen urin)
3. Methemalbuminemia (terdeteksi secara spektrofotometri dengan uji
Schuman)1

Gambar 1. Algoritma Anemia Hemolitik

Gambar 2. Hemolisis Ekstravaskular (a), Hemolisis Intravaskular (b)


Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis memerlukan
perawatan khusus.Oleh karena itu, hanya aspek perawatan medis yang relevan
dengan sebagian besar kasus anemia hemolitik yang dibahas di sini.
1. Terapi transfusi
Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi mereka
mungkin penting bagi pasien dengan angina atau cardiopulmonary
terancam status.
Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk menghindari
stres jantung.
Pada anemia hemolitik autoimun (AIHA), jenis pencocokan dan
pencocokan silang mungkin sulit. Gunakan paling tidak kompatibel
transfusi darah jika ditandai.. Risiko hemolisis akut dari transfusi darah
tinggi, tetapi derajat hemolisis tergantung pada laju infus.. Perlahan-lahan
memindahkan darah oleh pemberian unit setengah dikemas sel darah
merah untuk mencegah kehancuran cepat transfusi darah.
Iron overload dari transfusi berulang-ulang untuk anemia kronis
(misalnya, talasemia atau kelainan sel sabit) dapat diobati dengan terapi

khelasi. Tinjauan sistematis baru-baru ini dibandingkan besi lisan chelator


deferasirox dengan lisan dan chelator deferiprone parenteral tradisional
agen, deferoxamine.
2. Menghentikan obat
Discontinue penisilin dan agen-agen lain yang dapat menyebabkan
hemolisis kekebalan tubuh dan obat oksidan seperti obat sulfa (lihat Diet).
Obat yang dapat menyebabkan hemolisis kekebalan adalah sebagai berikut
Penisilin
Sefalotin
Ampicillin
Methicillin
Kina
Quinidine
Kortikosteroid dapat dilihat pada anemia hemolitik autoimun.
3. Splenektomi dapat menjadi pilihan pertama pengobatan dalam beberapa jenis
anemia hemolitik, seperti spherocytosis turun-temurun.
Dalam kasus lain, seperti di AIHA, splenektomi dianjurkan bila langkahlangkah lain telah gagal.
Splenektomi biasanya tidak dianjurkan dalam gangguan hemolitik seperti
anemia hemolitik agglutinin dingin.
Diimunisasi terhadap infeksi dengan organisme dikemas, seperti
Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae, sejauh
sebelum prosedur mungkin.

2.3 Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kekurangan zat
besi (Fe) yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.Defisiensi besi
merupakan penyebab terbanyak dari anemia di seluruh dunia.Diperkirakan 30 %
dari populasi dunia mengalami anemia akibat defisiensi besi. Zat besi selain
dibutuhkan untuk pembentukan Hb yang berperan dalam penyimpanan dan
pengangkutan oksigen, juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam
metabolisme oksidatif, sintesa DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme
yang bekerjanya membutuhkan ion besi. Anemia ini merupakan kelainan
hematologi yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak.Banyaknya Fe yang
diabsorpsi dari makanan kira-kira 10 % setiap hari sehingga untuk nutrisi optimal
diperlukan diet yang mengandung Fe sebanyak 8-10 mg Fe perhari. Fe yang
berasal dari ASI diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal dari susu
sapi. Sedikitnya macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun
pertama kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi jumlah yang diharapkan,

maka dari itu diet bayi harus mengandung makanan yang diperkaya Fe sejak usia
6 bulan.
Anemia defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe
yang berlangsung lama. Bila keseimbangan besi ini menetap akan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang. Terdapat 3 tahap defisiensi besi, yaitu :

Iron depletion : Ditandai dengan cadangan besi menurun atau tidak ada
tetapi kadar Fe serum dan Hb masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme.
Iron deficient erythropoietin/iron limited erythropoiesis : Pada keadaan ini
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis.
Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar Fe serum dan saturasi
transferin menurun sedangkan TIBC dan FEP meningkat.
Iron deficiency anemia : Keadaan ini merupakan stadium lanjut dari
defisiensi Fe. Keadaan ini ditandai dengan cadangan besi yang menurun
atau tidak ada, kadar Fe serum rendah, saturasi transferin rendah, dan
kadar
Hb
atau
Ht
yang
rendah

Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor


penyebab dan mengatasinya serta memberi terapi penggantian dengan preparat
besi.Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
1.

2.

Terapi Oral Senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan


peroral adalah ferous glukonat, fumarat, dan suksinat dengan
dosis harian 4-6 mg/kg/hari besi elemental diberikan dalam 2-3
dosis. Penyerapan akan lebih baik jika lambung kosong, tetapi
ini akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Efek
samping yang dapat terjadi adalah iritasi gastrointestinal, yang
dapat menyebabkan rasa terbakar, nausea dan diare. Oleh karena
itu pemberian besi bisa saat makan atau segera setelah makan,
meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40-50%.
Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah
anemia pada penderita teratasi.
Terapi parental Pemberian besi secara IM menimbulkan rasa
sakit dan harganya mahal. Kemampuan untuk meningkatkan
kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Indikasi parenteral:
Tidak dapat mentoleransi Fe oral Kehilangan Fe (darah) yang
cepat sehingga tidak dapat dikompensasi dengan Fe oral.
Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan
pemberian Fe oral (colitis ulserativa). Tidak dapat mengabsorpsi

3.

Fe
melalui
traktus
gastrointestinal.
Tidak
dapat
mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa Preparat
yang sering diberikan adalah dekstran besi, larutan ini
mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan : Dosis
besi (mg)=BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5 3.
Terapi Transfusi Transfusi sel-sel darah merah atau darah
lengkap, jarang diperlukan dalam penanganan anemia defisiensi
Fe, kecuali bila terdapat pula perdarahan, anemia yang sangat
berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respon terapi. Secara umum untuk penderita anemia berat
dengan
kadar
Hb

2.4 Gastritis Erosif


1

Pengertian Gastritis

Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti
inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis adalah
proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang
bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain.
Secara hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan,
menurut Lindseth dalam Prince (2005: 422), gastritis adalah suatu keadaan
peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis,
difus, atau lokal.
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh
ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan
makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti
alkohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi (Brunner, 2000 : 187).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu
peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor
iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya telat makan,
makan terlalu banyak, cepat, makan makanan yang terlalu banyak bumbu dan
pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya gastritis.
Gastritis berarti peradangan mukosa lambung.Peradangan dari gastritis dapat
hanya superficial atau dapat menembus secara dalam ke dalam mukosa lambung,
dan pada kasus-kasus yang berlangsung lama menyebabkan atropi mukosa
lambung yang hampir lengkap.Pada beberapa kasus, gastritis dapat menjadi

sangat akut dan berat, dengan ekskoriasi ulserativa mukosa lambung oleh sekresi
peptik lambung sendiri (Guyton, 2001).
Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan
pada manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi, dan
kemungkinan patogenesis gastritis.Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis
dapat dibagi menjadi akut dan kronik.Harus diingat, bahwa walaupun dilakukan
pembagian menjadi akut dan kronik, tetapi keduanya tidak saling
berhubungan.Gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan gastritis akut (Suyono,
2001).
1.1 Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak
dan sembuh sempurna (Prince, 2005: 422).Gastritis akut terjadi akibat respons
mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal.Inflamasi akut mukosa lambung
pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan.
Bentuk terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali
kuat, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau
perforasi.Pembentukan jaringan parut dapat terjadi yang mengakibatkan obstruksi
pylorus (Brunner, 2000).
Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk
penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut
gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa
lambung dalam berbagai derajat dan terjadi drosi yang berarti hilangnya
kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi pada
mukosa lambung tersebut (Suyono, 2001: 127).
1.1.1 Gastritis Akut Erosif
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis akut erosif adalah suatu
peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan
erosi.Disebut erosi apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada
mukosa muskularis.Penyakit ini dijumpai di klinik, sebagai akibat efek samping
dari pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain atau karena sebab
yang tidak diketahui.
Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat
menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian
atas.Penderita gastritis akut erosif yang tidak mengalami pendarahan sering
diagnosisnya tidak tercapai (Suyono, 2001).

Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang sering


dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja.Diagnosis
gastritis akut erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan
dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung (Suyono, 2001).
2.1.1.2 Gastritis Akut Hemoragik
Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama diperkirakan karena
minum alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik
secara berlebihan (aspirin atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin
cukup berat, tapi pendarahan pada kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara
spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua adalah stress gastritis yang dialami
pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang mengalami trauma
berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya (Suyono,
2001).
Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung
proksimal yang timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang.
Berbeda dengan ulserasi menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis
atas, ia jarang menembus profunda ke dalam mukosa dan tak disertai dengan
infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif, erosi stress akan berlanjut
dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi yang
menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari keparahan yang mengancam
nyawa. Keadaan ini dikenal sebagai gastritis hemoragika akuta (Sabiston, 1995:
525).
1.2 Gastritis Kronik
Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina
propria dan daerah intra epitelial terutama terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu
limfosit dan sel plasma.Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai
peningkatan jumlah limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling
ringan gastritis kronis adalah gastritis superfisial kronis, yang mengenai bagian
sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah juga mengenai
kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya berhubungan
dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal
(Chandrasoma, 2005 : 522).
Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe
A yang merupakan gastritis autoimun yang terutama mengenai tubuh dan
berkaitan dengan anemia pernisiosa; dan tipe B yang terutama meliputi antrum
dan berkaitan dengan infeksi Helicobacter pylori. Terdapat beberapa kasus

gastritis kronis yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut dan penyebabnya
tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk tergantung pada kelainan
histologi, topografi, dan etiologi yang menjadi dasar pikiran pembagian tersebut
(Suyono, 2001).
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering
digunakan membagi gastritis kronik menjadi :
1.

Gastritis kronik superficial

Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria
mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa,
sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh.Sering dikatakan gastritis kronik
superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.
2.

Gastritis kronik atrofik

Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan
destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata.Gastritis atrofik dianggap sebagai
kelanjutan gastritis kronik superfisialis.
3.

Atrofi lambung

Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu
struktur kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan
jaringan ikat, sedangkan sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi
sangat tipis sehingga dapat menerangkan mengapa pembuluh darah menjadi
terlihat saat pemeriksaan endoskopi.
4.

Metaplasia intestinal

Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjarkelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet.Perubahan-perubahan
tersebut dapat terjadi secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen lambung,
tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis
kronik dapat dibagi menjadi tifa bagian, yaitu :
1.

Gastritis Kronis Tipe A

Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik,

dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan
sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat
berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik.Anemia pernisiosa seringkali dijumpai
pada pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik untuk mempermudah
absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince, 2005: 423).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12
karena kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas
secara langsung menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang
menyekresikan faktor intrinsik dan asam (Chandrasoma, 2005 : 522).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik pada mukosa
sekitar sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya.Netrofil jarang
dijumpai dan tidak didapati Helicobacter pylori.Mukosa fundus dan korpus
menipis dan kelenjar-kelenjar dikelilingi oleh sel mukus yang
mendominasi.Mukosa sering memperlihatkan metaplasia intestinal yang ditandai
dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir, mukosa menjadi
atrofi dan sel parietal menghilang (gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma, 2005 :
522).
2.

Gastritis Kronis Tipe B

Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya
mengenai daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan
gastritis kronis tipe A. Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita
yang berusia tua. Bentuk gastritis ini memiliki sekresi asam yang normal dan
tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa.Kadar gastrin yang rendah sering
terjadi.Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh
Helicobacter pylori.Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol
yang berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor
Helicobacter pylori (Prince, 2005: 423).
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang
merupakan
tempat
predileksi
Helicobacter
pylori.Kasus-kasus
dini
memperlihatkan
sebukan
limfoplasmasitik
pada
mukosa
lambung
superfisial.Infeksi aktif Helicobacter pylori hampir selalu berhubungan dengan
munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada kelenjar mukus
antrum.Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi mukosa
dalam dan korpus lambung. Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan
destruksi kelenjar mukus antrum dan metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis
tipe B) (Chandrasoma, 2005 : 523).

Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada pemeriksaan histologis


atau kultur biopsi. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini,
pemeriksaan serologisnya memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori,
yang menunjukkan sudah ada infeksi Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono,
2001).
Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio,
yang muncul pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel
dan lumen kelenjar.Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang
sel permukaan, menyebabkan deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan
respon sel radang kronis pada mukosa lambung.Helicobacter pylori ditemukan
lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan gastritis kronis.Organisme ini
dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan pewarnaan perak Steiner
atau Giemsa.Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan erat dengan peradangan
aktif dengan netrofil. Organisme dapat tidak ditemukan pada pasien gastritis akut
inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 524).
3.

Gastritis kronis tipe AB

Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya


menyebar keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung
meningkat dengan bertambahnya usia (Suyono, 2001: 130).
2

Anatomi dan Fisiologi

2.1 Anatomi Lambung


Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
daerah epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam keadaan
kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti
buah pir raksasa.Kapasitas normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005).
Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body
atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri atas beberapa
lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa. Lambung
berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan
duodenum melalui orifisium pilorik (Ganong, 2001).
Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar dalam.Di daerah pilorus dan
kardia, kelenjar menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus,
kelenjar mengandung sel parietal (oksintik), yang menyekresikan asam
hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief cell (sel zimogen, sel peptik), yang
mensekresikan pepsinogen. Sekresi-sekresi ini bercampur dengan mukus yang
disekresikan oleh sel-sel di leher kelenjar.Beberapa kelenjar bermuara keruang

bersamaan (gastric pit) yang kemudian terbuka kepermukaan mukosa.Mukus juga


disekresikan bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara
kelenjar-kelenjar (Ganong, 2001).
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom.Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen
melalui saraf vagus. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan
ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang
dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di
daerah epigastrium abdomen.Serabut-serabut eferen simpatis menghambat
motilitas dan sekresi lambung.Pleksus saraf mienterikus (auerbach) dan
submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005).
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan
cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri
yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis
dan arteria
pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior
duodenum (Prince, 2005).
2.2 Fisiologi Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti
kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam
klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase.Lambung
memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai
fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan HCl,
sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai
pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama
dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan
pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai
makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam
lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari
lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan
absorbsi dalam usus halus (Prince, 2005).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim
untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan
pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk
cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum.Sel-sel

lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang


mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen.HCl
membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein,
menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta
merangsang empedu dan cairan pankreas.Asam lambung cukup pekat untuk
menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung
tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong,
2001).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon.Sistem saraf yang
bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis.
Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan
histamin. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung.Pertama,
fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun makanan belum masuk
lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika
makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung
yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam
lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika
makanan mengenai mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung
meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi
sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali
waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).

2.3

Faktor-faktor Penyebab Gastritis

2.3.1 Pola Makan


Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh
pola makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan
jumlah makanan, sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung
meningkat.
1. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan
kuantitatif.Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat
pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus.Lama makanan dalam lambung
tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung kosong
antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya
lambung (Okviani, 2011).

Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis.
Pada saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya,
asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa
nyeri (Ester, 2001).
Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam
jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam
darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan
pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan
sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan
berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa
nyeri di seitar epigastrium (Baliwati, 2004).
Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi.
Jika hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi
tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual.Gejala tersebut
bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul,
2005).Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik,
yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan
merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan
makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2001).
2. Jenis Makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan
diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang.
Menyediakan variasi makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat
menyebabkan gangguan pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani,
2011).
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem
pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan
mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan
muntah. Gejala tersebut membuat penderita makin berkurang nafsu
makannya.Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali
dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat
menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis (Okviani, 2011).
Gastritis dapat disebabkan pula dari hasil makanan yang tidak cocok. Makanan
tertentu yang dapat menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih
mentah, daging mentah, kari, dan makanan yang banyak mengandung krim atau

mentega. Bukan berarti makanan ini tidak dapat dicerna, melainkan karena
lambung membutuhkan waktu yang labih lama untuk mencerna makanan tadi dan
lambat meneruskannya kebagian usus selebih-nya.Akibatnya, isi lambung dan
asam lambung tinggal di dalam lambung untuk waktu yang lama sebelum
diteruskan ke dalam duodenum dan asam yang dikeluarkan menyebabkan rasa
panas di ulu hati dan dapat mengiritasi (Iskandar, 2009).
3. Porsi Makan
Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang
dikonsumsi pada tiap kali makan.Setiap orang harus makan makanan dalam
jumlah benar sebagai bahan bakar untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi
makanan berlebihan, kelebihannya akan disimpan di dalam tubuh dan
menyebabkan obesitas (kegemukan). Selain itu, Makanan dalam porsi besar dapat
menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat kekuatan dinding
lambung menurun.Kondisi seperti ini dapat menimbulkan peradangan atau luka
pada lambung (Baliwati, 2004).
3.2 Kopi
Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis
bahan dan senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati
yang disebut dengan fenol, vitamin dan mineral.
Kopi diketahui merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga
menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung.Ada dua
unsur yang bisa mempengaruhi kesehatan perut dan lapisan lambung, yaitu kafein
dan asam chlorogenic.
Studi yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai
faktor seperti keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa
memicu tingginya asam lambung.Sehingga tidak ada komponen tunggal yang
harus bertanggung jawab (Anonim, 2011).
Kafein dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak),
sistem pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak
heran setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa
segar, bergairah, daya pikir lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein
dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan
aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambung dan pepsin.Hormon
gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung
yang sangat asam dari bagian fundus lambung.Sekresi asam yang meningkat
dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani, 2011).

Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh orang yang sering minum
kopi adalah gastritis (peradangan pada lapisan lambung).Beberapa orang yang
memilliki gangguan pencernaan dan ketidaknyamanan di perut atau lambung
biasanya disaranakan untuk menghindari atau membatasi minum kopi agar
kondisinya tidak bertambah parah (Warianto, 2011).
3.3 Teh
Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD., dalam buku The Miracle of Enzyme
menemukan bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan
lebih dari dua gelas secara teratur, sering menderita penyakit yang disebut
gastritis. Sebagai contoh Teh Hijau, yang mengandung banyak antioksidan dapat
membunuh bakteri dan memiliki efek antioksidan berjenis polifenol yang
mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Namun, jika
beberapa antioksidan bersatu akan membentuk suatu zat yang disebut tannin.
Tannin inilah yang menyebabkan beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki
rasa sepat dan mudah teroksidasi (Shinya, 2008).
Tannin merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap
protein pada mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi
lambung). Akibatnya terjadi proses dimana membran mukosa akan mengikat lebih
kuat dan menjadi kurang permeabel. Proses tersebut menyebabkan peningkatan
proteksi mukosa terhadap mikroorganisme dan zat kimia iritan. Dosis tinggi
tannin menyebabkan efek tersebut berlebih sehingga dapat mengakibatkan iritasi
pada membran mukosa usus (Shinya, 2008).
Selain itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah
berubah menjadi asam tanat.Asam tanat ini juga berfungsi membekukan protein
mukosa lambung. Asam tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan
sehingga sel-sel mukosa lambung menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan
orang tersebut menderita berbagai masalah lambung, seperti gastritis atrofi, ulcus
peptic, hingga mengarah pada keganasan lambung (Shinya, 2008).
3.4 Rokok
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah.Dalam sebatang
rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun.
Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya
seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol,
perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene,
urethane, coumarine, ortocresol, nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-lain. Selain
nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun

lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan
(Budiyanto, 2010).
Efek rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup esofagus
dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan
lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat
sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin. Selain itu, rokok juga
mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung) dan
obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana
hal tersebut memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan pada
mukosa lambung. Rokok dapat mengganggu faktor defensif lambung
(menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk
peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H.
pylori.Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan
risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).
Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi
perokok
menderita
penyakit
lambung
(gastritis)
sampai
tukak
lambung.Penyembuhan berbagai penyakit di saluran cerna juga lebih sulit selama
orang tersebut tidak berhenti merokok (Departemen Kesehatan RI, 2001).
3.5 AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)
Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan
sebagian besar obat anti inflamasi non steroid (Suyono, 2001).
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin.Asam asetil
salisilat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam
karboksilat derivat asam salisilat yang dapat dipakai secara sistemik.

Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen
menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis
prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakhidonat.Siklooksigenase
merupakan enzim yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam
arakhidonat. Prostaglandin mukosa merupakan salah satu faktor defensive mukosa
lambung yang amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin mukosa,
aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak mukosa secara
topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut
bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin
dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan

mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. Jika


pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya
masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus
menerus atau berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus
peptikum.Pemakaian setiap hari selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan
gastritis (Rosniyanti, 2010).
3.6 Stress
Stress merupakan reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang
menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan
seseorang. Definisi lain menyebutkan bahwa stress merupakan ketidakmampuan
mengatasi ancaman yang dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia,
yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut
(Potter, 2005).
1. Stress Psikis
Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stress, misalnya pada
beban kerja berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat
dapat mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan
dapat menyebabkan terjadinya gastritis.Bagi sebagian orang, keadaan stres
umumnya tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, maka kuncinya adalah
mengendalikannya secara efektif dengan cara diet sesuai dengan kebutuhan
nutrisi, istirahat cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup (Friscaan,
2010).
2. Stress Fisik
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar, refluks empedu
atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga ulkus serta pendarahan
pada lambung. Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat
mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi gastritis dan ulkus peptik. Ketika tubuh terkena sejumlah
kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam dosis besar
akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis
dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung
(Anonim, 2010).
Refluks dari empedu juga dapat menyebabkan gastritis.Bile (empedu) adalah
cairan yang membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh.Cairan ini diproduksi
oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian saluran kecil dan
menuju ke usus kecil. Dalam kondisi normal, sebuah otot sphincter yang

berbentuk seperti cincin (pyloric valve) akan mencegah empedu mengalir balik ke
dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu
akan masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan gastritis.
3.7 Alkohol
Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan
kemampuannya sebagai pelarut lipida.Kemampuannya melarutkan lipida yang
terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel dan
menghancurkan struktur sel tersebut.Oleh karena itu alkohol dianggap toksik atau
racun.Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan minuman
keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier, 2002).
Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan
hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka
panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan
lambung.Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung
berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak,
alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum.Konsumsi alkohol
berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik,
dan mengganggu penyembuhan tukak peptik.Alkohol mengakibatkan
menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan karena
ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa
gastrointestinal (Beyer 2004).
3.8 Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan
batang.Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan
lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada manusia.Sebagian besar populasi di
dunia terinfeksi oleh bakteri Helicobacter pylori yang hidup di bagian dalam
lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.Walaupun tidak sepenuhnya
dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan
penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini.Infeksi Helicobacter pylori sering
terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak
dilakukan perawatan.Infeksi Helicobacter pylori ini sekarang diketahui sebagai
penyebab utama terjadinya ulkus peptikum dan penyebab tersering terjadinya
gastritis (Prince, 2005).
3.9 Usia

Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gastritis dibandingkan
dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia
mukosa gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih cenderung memiliki infeksi
Helicobacter Pylory atau gangguan autoimun daripada orang yang lebih muda.
Sebaliknya,jika mengenai usia muda biasanya lebih berhubungan dengan pola
hidup yang tidak sehat.
Kejadian gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai
dengan peningkatan usia. Di negara Barat, populasi yang usianya pada dekade ke6 hampir 80% menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada saat usia
mencapai dekade ke-7. Selain mikroba dan proses imunologis, faktor lain juga
berpengaruh terhadap patogenesis Gastritis adalah refluks kronik cairan
penereatotilien, empedu dan lisolesitin (Suyono, 2001).
4

Patofisiologi

Patofisiologi dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor agresif


(asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan
aspirin atau obat anti inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa
lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau
ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (Brunner, 2000).
Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh berbagai
faktor endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya, seperti asam
lambung, pepsinogen/pepsin dan garam empedu.Sedangkan faktor eksogennya
adalah obat-obatan, alkohol dan bakteri yang dapat merusak integritas epitel
mukosa lambung, misalnya Helicobacter pylori. Oleh karena itu, gaster memiliki
dua faktor yang sangat melindungi integritas mukosanya,yaitu faktor defensif dan
faktor agresif. Faktor defensif meliputi produksi mukus yang didalamnya terdapat
prostaglandin yang memiliki peran penting baik dalam mempertahankan maupun
menjaga integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel epitel yang bekerja
mentransport ion untuk memelihara pH intraseluler dan produksi asam bikarbonat
serta sistem mikrovaskuler yang ada dilapisan subepitelial sebagai komponen
utama yang menyediakan ion HCO3- sebagai penetral asam lambung dan
memberikan suplai mikronutrien dan oksigenasi yang adekuat saat menghilangkan
efek toksik metabolik yang merusak mukosa lambung. Gastritis terjadi sebagai
akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak, sehingga dinding lambung
tidak memiliki pelindung terhadap asam lambung (Prince, 2005)

Obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan lain-lain dapat
merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung, dan
memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini
menimbulkan peradangan. Respons mukosa lambung terhadap kebanyakan
penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguangangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya.Dengan iritasi yang
terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan.Masuknya
zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan
peradangan dan nekrosis pada dinding lambung.Nekrosis dapat mengakibatkan
perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan
keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau
kehijauan (gastritis atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan
mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia pernisiosa.
Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk karsinoma
lambung.Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus peptikum
(Suyono, 2001).
5

Manifestasi Klinis

Sindrom dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul.Ditemukan pula perdarahan
saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian disesuaikan dengan
tanda-tanda anemia pasca perdarahan.Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih
dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu (Suyono,
2001).
Ulserasi superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi,
ketidaknyamanan abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat
terjadi muntah, serta cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare
dapat terjadi jika makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi jika sudah
mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari meskipun
nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari (Ester, 2001).
6

Komplikasi Gastritis

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi yang timbul pada gastritis,
yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan
melena, berakhir dengan syok hemoragik, terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan
jarang terjadi perforasi.

Jika dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus peptikum
dan pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat
meningkatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus
menerus pada dinding lambung dan perubahan pada sel-sel di dinding lambung
(Prince, 2005).
Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel
kelenjar dalam mukosa.Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi
Helicobacter pylori. Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat
Helicobacter pylori adalah MALT (mucosa associated lyphoid tissue) lymphomas,
kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan sistem kekebalan pada
dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan pada tahap
awal (Anonim, 2010).
7

Penatalaksanaan Gastritis

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), penatalaksanaan medikal untuk


gastritis akut adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet lambung dengan
posisi kecil dan sering. Obat-obatan ditujukan untuk mengatur sekresi asam
lambung berupa antagonis reseptor H2 inhibition pompa proton, antikolinergik
dan antasid juga ditujukan sebagai sifoprotektor berupa sukralfat dan
prostaglandin.
Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan
resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan menghentikan
obat yang dapat menjadi kuasa dan pengobatan suportif.Pencegahan dapat
dilakukan dengan pemberian antasida dan antagonis H2 sehingga mencapai pH
lambung 4.Meskipun hasilnya masih jadi perdebatan, tetapi pada umumnya tetap
dianjurkan.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan keadaan
klinis yang berat.Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid
pencegahan yang terbaik adalah dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin
Mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek
teraupetiknya masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila
keadaan si pasien membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada
sebagian pasien biasa mengancam jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan
endoskopi
skleroterapi,
embolisasi
arteri
gastrika
kiri
atau
gastrektomi.Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar abolut (Suyono,
2001).

Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar
disertai sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa
mempunyai permukaan yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan menjadi dua
kategori tipe A (altrofik atau fundal) dan tipe B (antral).
Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang
dicurigai.Bila terdapat ulkus duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk
membatasi Helicobacter Pylory.Namun demikian, lesi tidak selalu muncul dengan
gastritis kronis alkohol dan obat yang diketahui mengiritasi lambung harus
dihindari. Bila terjadi anemia defisiensi besi (yang disebabkan oleh perdarahan
kronis), maka penyakit ini harus diobati, pada anemia pernisiosa harus diberi
pengobatan vitamin B12 dan terapi yang sesuai (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat,
mengurangi dan memulai farmakoterapi.Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan
antibiotik (seperti Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol).
Pasien dengan gastritis tipe A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12
(Chandrasoma, 2005 : 522).
8

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes,


diantaranya :
1. Tes Darah
Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori.
Hasil test yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak
dengan bakteri Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan
berarti seseorang telah terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat
digunakan untuk mengecek terjadinya anemia yang mungkin saja disebabkan oleh
perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).
2. Breath Test
Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui
apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.
3. Stool Test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel
tinja seseorang.Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi
Helicobacter pylori.Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang
menandakan adanya perdarahan dalam lambung karena gastritis.

4. Rontgen
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat
dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih
dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan
akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen.
5. Endoskopi
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin
tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan
sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam
esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu
dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan
pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna
yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari
jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk
diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit.Pasien
biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus
menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua
jam.Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah
rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Anonim,2010).

DAPUS

Bakta, I Made. 2009. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Ganong, William F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Guyton, Arthur C., John E. Hall. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC

Mitchell RN, Kumar, Abbas, Fausto. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit
Robbins & Cotran. Jakarta: ECG
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta
: EGC

Rinaldi,I. dan Sudoyo, A.W.2009.Anemia Hemolitik Non Imun,Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai