Anda di halaman 1dari 9

PERUBAHAN MATA PADA MAYAT

Perubahan yang terjadi pada mayat dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu
perubahan fase dini/awal dan perubahan lanjut. Perubahan yang terjadi pada mata yakni :
A. FASE DINI
Pada fase ini, terjadi beberapa perubahan pada mata yakni :
1. Pandangan kosong.
2. Letak pupil di tengah.
3. Refleks kornea dan cahaya negatif.
4. Perubahan pembuluh darah retina (aliran berhenti) terjadi segmentasi.
5. Kornea kering dan berkabut masih bisa hilang dengan meneteskan air.
6. Bulbus okuli melunak dan mengkerut akibat penurunan tekanan intraokuler.
Mekanisme tanda kematian pada mata :
1. Refleks cahaya dan diameter pupil
Mata dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut
preganglion parasimpatis muncul dari nucelus Edinger-Westpaldan kemudian
berjalan dalam saraf ketiga ke ganglion siliaris yang terletak di belakang mata.
Disini serabut preganglion bersinaps dengan neuron parasimpatis postganglionik
yang kembali mengirimkan serabut-serabut melalui nervus ciliaris ke dalam bola
mata. Nervus ini merangsang otot siliaris yang mengatur fokus lensa mata dan
stingfer iris yang mengkontraksikan pupil.
Jika mata disinari cahaya maka pupil akan mengecil (refleks cahaya pupil).
Bila cahaya mengenai retina terjadi impuls yang berjalan melalui nervus optikus
dan kemudian ke nukleus pretektalis, dari sini impuls berjalan ke nukleus
Edinger-Westpal

dan

kembali

melalui

serabut

saraf

simpatis

untuk

mengkonstriksikan stingfer iris. Pada orang mati, mekanisme refleks pupil


menghilang. Hal ini disebabkan karena pada fase kematian seluler terjadi
kerusakan atau kematian sel tubuh termasuk di dalamnya sel-sel retina yang
berfungsi sebagai fotoreseptor yang menghantarkan rangsang cahaya ke pusat
penglihatan sehingga cahaya yang masuk tidak bisa dihantarkan akibat proses
perangsangan stingfer iris tidak terjadi.
2. Neurofisiologi penglihatan sentral
Setelah meninggalkan retina, impuls saraf berjalan ke belakang melalui nervus
optikus. Di chiasma opticus, semua serabut dari bagian nasal retina menyeberangi
garis tengah, tempat bergabung dengan serabut-serabut yang berasal dari
temporal retina mata lain sehingga terbentuk tractus opticus. Serabut-serabut dari

tractus opticus bersinaps di nucleus geniculatum lateralis dorsalis dan dari sini
serabut-serabut geniculocalcarina berjalan melalui radiatio optica (tractus
geniculocalcarina) menuju korteks penglihatan primer yang terletak di area
calcarina lobus occipitalis.
Serabut penglihatan juga melalui tempat-tempat lain di otak, yakni :
a. Dari tractus opticus menuju nucleus, suprachiasmatik di hipotalamus mungkin
untuk pengaturan irama sirkadian.
b. Ke nuclei pretektalis untuk mendatangkan gerakan refleks mata agar mata
dapat difokuskan ke arah obyek yang penting dan untuk mengaktifkan refleks
pupil terhadap cahaya.
c. Ke kolikulus superior untuk pengaturan arah gerakan cepat kedua mata.
d. Menuju nucleus geniculatum lateralis ventralis pada thalamus dan kemudian
ke daerah basal otak sekitarnya diduga untuk membantu mengendalikan
beberapa fungsi sikap tubuh.
Korteks penglihatan terdiri dari korteks penglihatan primer dan korteks
penglihatan sekunder. Korteks penglihatan primer terletak pada area fissura
kalkarina yang meluas ke sudut oksipital pada bagian medial setiap korteks
oksipital. Area ini adalah ujung dari sinyal-sinyal penglihatan langsung yang
berasal dari mata. Sinyal-sinyal yang berasal dari daerah makula retina berakhir
di dekat ujung oksipital sedangkan sinyal-sinyal yang berasal dari daerah perifer
retina berakhir di luar lingkaran konsentrik di anterior sudut dan sepanjang fissura
kalkarina. Korteks penglihatan primer meluas bersama dengan area kortikal 17
broadman, daerah ini juga disebut area penglihatan I. Korteks penglihatan
sekunder (area asosiasi penglihatan) terletak di sebelah anterior, lateral, superior
dan inferior dari korteks penglihatan primer. Sebagian besar daerah ini melipat ke
arah luar melewati permukaan lateral korteks oksipitalis. Sinyal sekunder yang
dijalarkan ke daerah ini digunakan untuk menganalisis arti penglihatan.
Pengangkatan korteks pengelihatan primer pada manusia menyebabkan
hilangnya daya pengelihatan yang disadari hal ini misalnya terjadi pada kasus
kematian dimana fungsi sistem syaraf pusat terhenti. Terhentinya fungsi korteks
penglihatan primer menyebabkan orang mati tidak dapat menyadari objek yang
dilihatnya meskipun mata dalam keadaan terbuka.
Untuk dapat memanfaatkan kemampuan mata, selain pengaturan jaras
penglihatan ke mata diperlukan pula sistem pengaturan serebral untuk
mengarahkan mata menunu objek yang dipandang.

Pengaturan otot-otot untuk pergerakan mata diatur oleh tiga pasang otot
ekstraokuler yaitu:
a. Otot rectus medialis dan lateralis
Otot-otot ini berkontraksi secara timbal balik untuk menggerakkan mata dari
satu sisi ke sisi lainnya.
b. Otot rectus superior dan inferior
Otot-otot ini berkontraksi secara timbal balik untuk menggerakkan mata dari
atas ke bawah
c. Otot oblikuus superior dan inferior
Otot-otot ini berfungsi untuk memutar bola mata agar lapang pandang tetap
pada posisi tegak
Pengaturan otot-otot ekstraokuler ini dipersyarafi oleh nervus okulomotorius
(N.III), nervus troklearis (N.IV), dan nervus abdusen (N.VII). Pergerakan bola
mata akibat kerja pengaturan kortikal terhadap aparatus okulomotor. Sinyal
sinyal saraf dari area penglihatan oksipital melewati traktus oksipitotektal dan
traktus oksipitokolikular menuju area pretektal dan kolikulus superior pada
batang otak, dari kedua area pretektal dan kolikulus superior ini sinyal saraf
diteruskan ke inti saraf okulomotor yaitu N.III, N.IV, dan N.VI yang kemudian
menggerakkan bola mata.
Mungkin gerakan mata yang paling penting adalah gerakan yang
menyebabkan mata itu terfiksasi pada suatu objek yang dilihat. Kemampuan
gerakan fiksasi ini diatur oleh dua mekanisme saraf. Yang pertama adalah
pengaturan yang menyebabkan orang dapat menggerakkan mata secara volunter
untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang kemudian difiksasinya.
Gerakan fiksasi volunter ini diatur oleh bagian kortikal di regio premotor kortikal
dari lobus frontalis. Kerusakan pada area ini menyebabkan orang itu sukar
memindahkan matanya dari titik fiksasi dan selanjutnya untuk menggerakkan
mata ke titik fiksasi yang lainnya, hal inilah yang pada mayat terlihat sebagai
pandangan kosong dimana pandangan mata mayat terpaku pada satu titik tanpa
bisa memindahkan pandangan ke titik yang lain.
B. FASE LANJUT
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai sebagai penentuan saat
mati. Perubahan ini meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang
menyebabkan kornea menjadi tidak sensitive dan reaksi pupil yang negative.
Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena

kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada kornea
akan timbul beberapa jam setelah kematian tergantung dari posisi kelopak mata.
Akan tetapi Marshall mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa
dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Walaupun sering ditemui
kelopak mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otototot kelopak mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat
dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air untuk membasahinya.
Bila kelopak mata tetap dalam keadaan terbuka, kekeruhan pada kornea secara
keseluruhan akan tampak jelas dalam waktu 10-20 jam setelah kematian.
Setelah kematian <24 jam terjadi penurunan tekanan intraokuler, tekanan
intraokuler yang turun ini mudah menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga
pupil kehilangan bentuk sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak
sama, pupil dapat berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9
mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung
dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai 3 mm.
Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata
postmortem dimana tekanan normal pada bola mata waktu hidup adalah 14g-25g
akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola mata menjadi
sangat rendah (tidak sampai mencapai 12g) dan dalam waktu 30 menit akan
berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian.
Penurunan tekanan bola mata ini pernah dicoba untuk menentukan perkiraan saat
kematian.
Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi
pada retina 15 jam pertama setelah kematian dimana kornea dapat dipertahankan
dalam keadaan baik dengan menggunakan air atau larutam garam fisiologis yang
kemudian dilakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah
mudah, ternyata pemeriksaan retina pada mayat jauh lebih sulit bila dibandingkan
dengan orang hidup. Dan perubahan warna yang terjadi pada retina dihubungkan
dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh
darah retina akan mengalami perubahan yang disebut segmentasi atau trucking
dan ini terjadi dalam 15 menit pertama setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam
2 jam pertama setelah kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah
sekitar fundus tampak kuning, demikian pula daerah sekitar macula. Sekitar 6 jam
batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada
pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan.

Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam
diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisa-sisa
pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan pembuluh
darah retina menghilang yang ada hanya macula yang berwarna coklat gelap.
Beberapa pengamat menggambarkan perubahan dini postmortem yang terjadi
pada retina mempunyai arti yang kecil untuk dihubungkan dengan perkiraan saat
mati. Sedangkan Tomlin (1967) beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih
berindikasi pada kematian serebral daripada penghentian sirkulasi.
Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat
dimana tidak hanya perubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan
yang terjadi pada kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari
subjek dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau trucking pada satu atau
kedua mata setelah satu jam postmortem dan negative pada 89 lainnya. Bagian
yang paling sulit pada pemeriksaan ini adalah kekeruhan kornea yang terjadi
dalam 75% pasien dalam 2 jam setelah kematian. Akhirnya mereka
menyimpulkan bahwa segmentasi merupakan perubahan postmortem yang alami
daripada menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.
Schleyer pada tahun 1963 pernah mempublikasikan sebuah artikel yang
menarik mengenai penentuan saat mati yang dihubungkan dengan reaksi
supravital, dengan memberikan rangsangan otot-otot postmortem melalui arus
faradic dan reaksi pupil dengan pilokarpin dan homatropin.
Reaksi supravital adalah suatu keadaan pada mayat yang masih dapat
menggambarkan keadaan supravital. Umumnya reaksi supravital berlangsung
sangat singkat, antara 3-6 jam setelah kematian (rata-rata 2-3 jam). Walaupun
demikian reaksi yang jelas adalah pada 1-2 jam pertama setelah kematian.
Adanya reaksi ini menyebabkan hampir tidak mungkin menentukan intravitalitas
pada jejas yang terbentuk beberapa saat setelah kematian sebab gambaran yang
terjadi adalah reaksi jaringan intravital.
Menurut Sturner dan Lie terdapat korelasi erat antara kadar kalium vitreus
humor dengan waktu kematian dengan batas kepercayaan sekitar 5 jam. Mereka
juga mengungkapkan bahwa kesalahan yang timbul tidak meningkat dengan
semakin lamanya waktu kematian. Namun, Adelson, Hughes, Hanson, dan Coe
menunjukkan hal sebaliknya. Hal lain yang terlihatadalah bahwa kadar kalium
vitreus humor sangat dipengaruhi suhu lingkungan dan kadarnya hanya

meningkat dalam waktu relatif singkat pada suhu lingkungan yang tinggi.Namun
pada suhu lingkungan yang rendah pemeriksaan ini relative dapat dipakai.
Memperkirakan saat mati secara kimia dalam humor vitreus sudah pernah
dicoba selama 30 tahun belakangan ini, walaupun tidak pernah diterima sebagai
pemeriksaan rutin. Dasar pemikiran dari digunakannya humor vitreus dalam
penentuan saat mati ialah karena cairan ini bebas terkontaminasi dari darah,
bakteri dan produk-produk autolisa postmortem bila dibandingkan dengan LCS.
Sebenarnya, banyak yang dapat dinilai untuk penentuan saat mati melalui humor
vitreus, seperti mengukur kadar asam askorbat, konsentrasi asam piruvat,
hipoxantin, glukosa dan potassium, tetapi paling banyak digunakan untuk
penentuan saat mati adalah kadar potassium dalam humor vitreus. Pengikutpengikut jaffe adalah yang pertama kali memperkenalkan peningkatan kadar
potassium dan menghubungkannya dengan saat kematian, dan John Coe adalah
forensik pathologis yang berpengalaman dalam hal ini. Sesudah kematian,
potassium interseluler menembus masuk ke dalam retina melalui membran sel
yang menjadi permeabel setelah kematian, kemudian masuk ke dalam corpus
vitreus. Disini terdapat peningkatan yang nyata dan progresif dari konsentrasi
potassium sesudah mati, tetapi masih menjadi perdebatan apakah peningkatan ini
secara linier atau bifasik. Cara pengambilan humor vitreus ini tidaklah sulit,
hanya dibutuhkan 2 ml dari setiap mata diambil dengan jarum syringe no 20.
Sering didapTi perbedaan kadar potassium mata kiri dan mata kanan dalam satu
individu. Selain itu bila aspirasinya dilakukan secara paksa atau terlalu dekat
dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil pemeriksaan oleh karena potassium
menembus vitreus melalui retina. Pengaruh suhu juga masih menjadi perdebatan
yang penting.
Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus adalah sodium dan
khlorida dimana konsentrasi elektrolit-elektrolit ini mengalami penurunan
sesudah kematian dan ini dapat digunakan untuk memeriksa reabilitasnya satu
sama lain, misalnya kadar potassium adalah <15

mmol/L maka kadar sodium

dapat diperkirakan dimana penurunan khlorida < 1 mmol/L/jam dan sodium


adalah 0,9 mmol/L/jam, sehingga penurunan sodium disini tidak signifikan pada
beberapa jam pertama, berbeda dengan potassium yang peningkatannya terjadi
secara bermakna.
Hasilnya akan lebih memuaskan bila tubuh diletakkan pada temperatur
ambient dan tidak lebih dari 10C (50F). Sturner dan Gantner mengemukakan

sejauh masih menyangkut kematian yang sifatnya mendadak atau tidak


diharapkan, dikhawatiekan akan terdapat hubingan yang linier arimetrik antara
potassium dalam vitreus juga interval post mortem yang melebihi 100 jam akan
terdapat standar eror 4-7 jam. Jadi penggunaan metoda ini sangat berguna pada
kasus dimana interval post mortem tidak lebih dari 24-36 jam pertama sesudah
kematian. Pada infant kadar potassium ini akan meningkat lebih cepat daripada
dewasa walaupun keduanya dipegaruhi temperatur post mortem.
Teknik analisa yang digunakan untuk untuk menentukan potassium sering
memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada tahun 1985
mengatakan bahwa penggunaan metode flame fotometrik memberikan nilai 5
mmol/L kurang untuk sodium, 7 mmol/L kurang untuk potassum dan 10 mmol/L
kurang untuk khlorida bila dibandingkan dengan meggunakan metode specific
electrode yang modern. Pada orang yang mengalami saat mati yang lama seperti
pada penyakit-penyakit kronis dengan retensi nitrogen memberi hasil yang
berbeda bila dibandingkan dengan sudden death, agaknya gangguan elektrolit
premortal pada pasien juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil dari
pemeriksaan dengan menggunakan flame photometry dalam mmol/L bila sodium
>155, khlorida >135, dan urea >40 ini dipercaya sebagai indikasi dari dehidrasi
antemortem. Bila sodium dan khlorida adalah normal tetapi kelebihan urea adalah
150, diagnosis uremia dapat diterima. Angka ini berbeda dengan dekomposisi
postmortem dimana konsentrasi sodium adalah <130, khlorida <105 dan
potassium >20 mellitus. Problem umum yang sering ditentukan dalam autopsy
adalah mendiagnosa diabetes yang tidak terkontrol dan hypoglikemia, glukosa
pada cairan vitreus biasanya turun setelah kematian dan akan mencapai angka nol
dalam beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan 6000 analisa, dan dia
mendapatkan glukosa vitreus yang lebih dari 11,1 mmol/L adalah indicator yang
tidak variable dari diabetes yang rendah antemortem. Sturner pada tahun 1972
menghubungkan adanya kadar glukosa vitreus yang kurang dari 1,4 mmol/L
merupakan petunjuk adanya gula darah yang rendah antemortem, tetapi
berapapun konsentrasinya interpretasi ini tidak reliable untuk dapat digunakan
sebagai pegangan. Pada hipotermi terdapat juga peningkatan glukosa vitreus
tetapi tidak lebih besar dari 11,1 mmol/L.

Adelson et al. 1963, dan Huges 1965 mengatakan bagaimanapun juga studi
lain sudah memperihatkan bahwa kenaikan potassium vitreus tidak cukup baik
untuk dijadikan metode yang akurat dalam memperkirakan saat mati seseorang.
Akan tetapi walaupun sudah diakui bahwa tes ini masih terbatas
penggunaannya ternyata sudah menjadi prosedur pemeriksaan rutin di Hennepin
Country Minnesota, dimana iklim yang dingin di Minnesota mempunyai
hubungan korelasi yang mengagumkan antara kadar potassium vitreus dengan
penentuan saat mati pada dewasa.
C. ANALISIS KASUS
Pada kasus ditemukan mekanisme refleks pupil menghilang. Hal ini
disebabkan karena pada fase kematian seluler terjadi kerusakan atau kematian sel
tubuh termasuk di dalamnya sel-sel retina yang berfungsi sebagai fotoreseptor
yang menghantarkan rangsang cahaya ke pusat penglihatan sehingga cahaya yang
masuk tidak bisa dihantarkan akibat proses perangsangan stingfer iris tidak
terjadi.
Kerusakan pada area kortikal di regio premotor kortikal dari lobus frontalis
menyebabkan orang itu sukar memindahkan matanya dari titik fiksasi dan
selanjutnya untuk menggerakkan mata ke titik fiksasi yang lainnya, hal inilah
yang pada mayat terlihat sebagai pandangan kosong dimana pandangan mata
mayat terpaku pada satu titik tanpa bisa memindahkan pandangan ke titik yang
lain.
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai sebagai penentuan saat
mati. Perubahan ini meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang
menyebabkan kornea menjadi tidak sensitive dan reaksi pupil yang negative.
Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena
kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada kornea
akan timbul beberapa jam setelah kematian tergantung dari posisi kelopak mata.
Akan tetapi Marshall mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa
dipengaruhi apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Walaupun sering ditemui
kelopak mata tertutup secara tidak komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otototot kelopak mata. Kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat
dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air untuk membasahinya.
Bila kelopak mata tetap dalam keadaan terbuka, kekeruhan pada kornea secara
keseluruhan akan tampak jelas dalam waktu 10-20 jam setelah kematian.

Anda mungkin juga menyukai