SKENARIO 1
Nama :
Tutor :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2020
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN
NIM : 6130018030
Kelompok :4
No
Materi yang dinilai Prosentase Nilai
.
1. Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta konsep 25%
2. Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta konsep 25%
Kesesuaian jawaban learning objective dengan kasus
3. 25%
skenario
4. Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%
Dosen Pembimbing
Step 7 : Jawaban LO
a. Hidung, terdiri dari tulang rawan hialine dan tulang, kecuali naris anterior yang
dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan
luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut.
Gambar 1. Hidung
b. Sinus, rongga penuh udara yang terkandung dalam tulang tengkorak yang terkait
dengan rongga hidung.Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis dan
sphenoidalis.
c. Faring, lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu
dan menyilang. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga :
nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Gambar 2. Faring
Gambar 3. Trakea
f. Paru, Organ elastis berbentuk kerucut ditemukan di dada atau rongga toraks.
Kedua paru-paru dipisahkan oleh mediastinum pusat yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar.
Paru-paru diinervasi oleh plexus paru yang terletak di pangkal paru-paru. Plexus
ini terdiri dari serat simpatik (dari truncus simpatik) dan serat parasimpatis (dari
Vagus). Epheren Fibers dari Plexus saraf otot-otot bronkus dan serat aferen yang
diterima dari membran lendir Bronkioli dan Alveoli
g. Bronchus, cabang utama trakea disebut bronchy utama atau utama. Bronchies
primer bercabang dalam bronchies lobar, tank segmental dan penyamak
subsekmentasi. Struktur bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin dalam
bentuk pelat tulang rawan yang tidak teratur. Semakin distal itu berkurang, dan
substitusi bronkus menghilang sama sekali. Otot-otot sederhana terdiri dari
jaringan dan spiral
h. Bronkiolus, cabang ke 12-15 dari bronkus. tidak mengandung plat kartilago, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos dicampur dengan jaringan ikat
longgar.
i. Alveoli, Kantung berdinding sangat tipis di terminal bronkioli. Tempat untuk
pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara yang dihirup. 200
- 500 juta. Bentuk bulat poligonal, septa antara alveoli didukung oleh kolagen dan
serat tipis elastis.
j. Pleura, membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat
elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang
melekat pada dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung
banyak kapiler dan pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n.
interkostal. (Patwa, 2015)
Selama pernapasan tenang, ekspirasi adalah gerakan pasif karena elastisitas dada dan dinding
paru-paru. Ketika otot interkostalis eksternal relaksasi, dinding toraks turun dan
kelengkungan diafragma naik di rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume thorax ini meningkatkan tekanan intrapleura dan tekanan intrapulmonal.
Perbedaan tekanan antara saluran pernapasan dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara
mengalulasi paru-paru sampai tekanan udara dan atmosfer menjadi sama di akhir ekspirasi.
(Miller et al, 2011).
Proses setelah ventilasi adalah difusi, yaitu transfer oksigen alveol dalam pembuluh darah
dan menerapkan kebalikan untuk karbon dioksida. Difusi dapat terjadi area tekanan tinggi
pada tekanan rendah. Beberapa faktor mempengaruhi difusi gas pada paru-paru, yaitu faktor
membran, faktor darah dan faktor sirkulasi. Kemudian proses transportasi, yaitu pemindahan
gas paru-paru ke jaringan dan jaringan ke paru-paru menggunakan aliran darah (Guyton,
2007).
b. Pharynx, daerah simpangan saluran napas dan saluran makan. Dibedakan atas tiga daerah :
Daerah hidung (naso-pharynx), merupakan bagian pertama pharynx kebawah,
dilanjutkan dengan bagian oral organ ini yaitu oro-pharynx.
Daerah mulut (oro-pharynx)
Daerah jakun (laryngeo-pharynx)
Lamina propria tunica mucosa terdiri dari jaringan ikat rapat yang berisi jala serat elastis
yang halus. Di daerah mulut dan jakun tunica mukosa dilapisi oleh jaringan epitel berlapis
banyak dan mengelupas, sedang atapnya dibina atas jaringan epitel batang berlapis bersilia,
dengan banyak sel goblet. Pada lamina propria, dibawah lapisan serat elastis, banyak terdapat
kelenjar lendir. (Tim Histologi FK UNAIR, 2016)
c. Larynx, gerbang trakea ini ditunjang oleh beebrapa keping tulang rawan hialain dan elastis,
jaringan ikat, serat otot lurik, dan dilapisi sebelah kelumen oleh tunica mucosa. Tunica
mucosa itu memiliki kelenjar lendir.
Kelenjar lendir disini tergolong jenis tubulo-acinus. Sedikit kuncup rasa terdapat tersebar
pada bagian bawah epiglotis. Pita suara berisi ligamen tiro-aritenoid, yang mengandung serat
elastis dan dibagian sisisnya silengkapi serat otot lurik tiro-aritenoid. Ditengah ditutup
dengan tunica mucosa yang tipis dari epitel berlapis mengelupas.
d. Tenggorokan (Trakhea), saluran nafas ini menghubungkan larynx dengan paru. Histologi
dinding tenggorok dapat dibedakan atas tiga lapis, yaitu tunica mucosa, tunica muscularis,
tunica adventitia. Permukaan lumen diselaputi tunica mucosa, dengan epitel batang
berlapis semu dan bersilia, menumpu pada lamina basalis yang tebal. Pada selaput epitel
banyak terdapat sel goblet. Lamina propria berisi banyak serat elastis dan kelenjar lendir
yang kecil-kecil. Kelenjar terletak sebelah atas lapisan serat elastis. Dibagian posterior
tenggorok kelenjar itu menerobos masuk tunica muscularis. Pada lamina propria terdapat
pula pembuluh darah dan pembuluh limfa. Tunica muscularis sendiri sangat tipis dan tidak
terlihat dengan jelas. Tunica adventitia juga tidak terlihat secara jelas, dan berintegrasi
dengan jaringan penunjang yang terdiri dari tulang rawan dibawahnya. (Junqueira, 1982)
Tulang rawan di bawah tunica adventitia itu tersusun dalam bentuk cincin-cincin hialin
bentuk huruf C. Cincin inilah yang menunjang tenggorok pada sebelah samping dan
ventral. Sedangkan dibagian dorsal tenggorok, ditempat itu adalh bagian terbuka cincin,
terdapat serat otot polos yang susunannnya melintang terhadap poros tenggorok. Serat otot
itu melekat kepada kedua ujung cincin, dan berfungsi untuk mengecilkan diameter
tenggorok. Jika otot kendur, diameter tenggorok kembali sempurna. (Yatim, 1990)
Gambar 9. Trachea
e. Cabang Tenggorok, ini adalah percabangan tenggorok menuju paru kiri-kanan, disebut
bronkhus. Tiap bronkhus bercabang membentuk cabang kecil, dan tiap cabang bronkhus
ini membentuk banyak ranting. Histologi dinding bronkhus sama dengan trachea, yaitu
terdiri dari : tunica mucosa, tunica muscularis, tunica adventitia. Cabang yang sudah
berada dalam jaringan paru histologi dindingnya banyak berubah. Cincin tulang rawan
hilang, digantikan oleh keping tulang rawan, yang susunannya tidak teratur dan
menunjang seluruh keliling saluran. (Yatim, 1990)
f. Bronkhiolus adalah bronkhus bercabang berkali-kali sampai jadi ranting kecil. Ranting
bronkhus itu bercabang halus berbentuk bronkhiolus . Bronkhiolus bercabang lagi
membentuk ranting, disebut bronkhiolus ujung. Bronkhiolus ujung ini berakhir pada
bronkhiolus pernapasan. Tunica mucosa pada bagian ini memiliki epitel kubus yang tak
bersilia. Di bawah tunica adventitia tidak ada lagi keping tulang rawan. Lapisan ini
mengandung mesothelium sebagai penerusan selaput dalam pleura.
Bronkhiolus respiratory, ini adalah bagian ujung bronkhiolus, saluran pendek yang
dilapisi sel epitel bersilia. Sel itu di pangkal bentuk batang, makin ke ujung makin
rendah sehingga menjadi kubus dan siliapun hilang. Di bawah lapisan epitel ada serat
kolagen bercampur serat elastis dan otot polos. Di sini tak ada lagi keping tulang
rawan maupun kelenjar lendir. Lendir di sini dihasilkan oleh sel goblet yang hanya
terdapat dibagian pangkal bronkhiolus. Sebagai gantinya ada sel Clara berbentuk
benjolan yang menonjol ke lumen. Sel ini menggetahkan surfaktan untuk melumasi
permukaan dalam saluran.Bronkhiolus pernapasan bercabang-cabang secara radial
membentuk saluran alveoli.
Saluran alveoli, ini adalah saluran yang tipis dan dindingnya terputus-putus. Saluran
ini bercabang-cabang, tiap cabang berujung pada kantung alveoli. Dinding saluran
alveoli pada mulutnya kekantung alveoli dibina atas berkas serat elastis, kolagen dan
otot polos.
Kantung alveoli dan alveolus, kantung alveoli berpangkal pada saluran alveoli. Tiap
kantung memiliki dua atau lebih alveoli. Alvelus adalah unit terkecil paru-paru,
berupa gembungan bentuk polihedral, terbuka pada satu sisi, yaitu muara ke kantung
alveoli. Dindingnya terdiri dari selapis sel epitel gepeng yang tipis sekali. Dinding
alveolus dililit pembuluh kapiler yang bercabang-cabang dan yang beranastomosis. Di
luar kapiler ada anyaman serat retikulosa dan elastis. Antara alveoli bersebelahan ada
sekat. Sekat itu terdiri dari dua lapis sel apitel dari kedua sel epitel terdapat serat
elastis, kolagen, kapiler, dan fibroblast.
5. Epidmiologi Bronkopneumonia
Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia di balita diperkirakan
antara 10-20% per tahun. Insiden penyakit ini di negara-negara berkembang meliputi
Indonesia hampir 30% pada anak-anak di bawah 5 tahun dengan risiko kematian yang
tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan 13% dari semua penyakit pada
anak di bawah 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak-anak ≤5 tahun di negara-negara
maju adalah 2-4 kasus / 100 anak / tahun, sementara negara ini mengembangkan 10-20
kasus / 100 anak / tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun
pada anak balita dinegara berkembang.
Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia menyatakan bahwa penemuan balita
menderita pneumonia dari 568.146 balita. Provinsi ini menduduki 3 penemuan top kasus
balita pneumonia yaitu Jawa Barat (174.612 balita), Jawa Timur (93.279 balita), dan Jawa
Tengah (59.650). Angka kematian dari pneumonia pada balita 2016 adalah 0,11%
sedangkan pada tahun 2015 adalah 0,16%. Provinsi dengan mortalitas balita karena
pneumonia tertinggi adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Kabupaten /
Kota di Jawa Timur dengan penderita pneumonia tertinggi adalah Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Jember, dan Kabupaten Gresik. Kematian karena pneumonia pada anak-anak
sangat terkait dengan faktor kemiskinan, seperti kekurangan gizi, kurangnya air bersih
dan sanitasi, polusi udara dalam ruangan dan akses yang tidak memadai ke perawatan
kesehatan (Kemenkes RI, 2017).
6. Patogenesis Bronkopneumonia
Setelah Patogen masuk ke tubuh, Secara patologis akan terdapat 4 stadium yaitu :
Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hyperemia peradangan awal yang terjadi di daerah yang terinfeksi. Ditandai
dengan meningkatkan aliran darah dan permeabilitas kapiler di lokasi infeksi. Ini
terjadi karena pelepasan mediator peradangan dari sel-sel mast setelah mengaktifkan
sel-sel imun dan cedera jaringan.
Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, sebagai bagian dari reaksi inflamasi. Lobus yang terkena
berubah padat karena penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, menyebabkan warna
paru merah dan rabaan akan seperti hati, pada tahap ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minim sehingga anak akan sesak, berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam
Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, terjadi ketika sel darah putih berwarna di daerah paru-paru
yang terinfeksi. Pada tahap ini eritrosit di alveoli mulai terselesaikan, lobus masih
tetap solid karena mengandung fibrin dan leukosit, merah ternyata abu-abu pucat dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kemacetan / penimbunan..
Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Juga disebut resolution stadium, terjadi ketika respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diserap oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke struktur aslinya. (Bradley, 2011)
7. Patofisiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia terjadi karena kuman patogen memasuki lendir saluran napas.
Kuman berkembang biak dalam jalan napas atau tiba di paru-paru. Kuman
berkembang biak dengan cepat sehingga ada peradangan di cabang atas, sebagai
respons terhadap radang hyper eksresi lendir dan merangsang batuk. Pengisian fluida
alveoli akan melindungi mikroorganisme dari fagosit dan membantu penyebaran
organisme ke alveoli lain. Situasi ini menyebabkan infeksi tersebar luas, aliran darah
di paru-paru sebagian meningkat yang diikuti oleh peradangan vaskular dan
penurunan darah kapiler (Price& Wilson, 2005).
Edema terjadi karena peradangan yang dapat mengeraskan paru-paru dan akan
menurunkan kapasitas paru-paru, mengurangi produksi cairan surfaktan, mengurangi
compliance dan menyebabkan atelectasis dan kolaps dari alveoli. Efek sistemik
karena infeksi, fagosit melepaskan bahan kimia yang disebut endogenus pirogen. Jika
zat ini dibawa oleh aliran darah ke hipotalamus, suhu tubuh akan meningkat dan
meningkatkan kecepatan metabolisme.
Efek peningkatan metabolisme adalah penyebab takipnea dan takikardia, tekanan
darah berkurang sebagai hasil dari vasodilatasi perifer dan mengurangi sirkulasi
volume darah karena dehidrasi, panas dan takipnea meningkatkan kehilangan cairan
melalui kulit (keringat) dan saluran pernapasan sehingga menyebabkannya dehidrasi
(Price& Wilson, 2005).
1. Penatalaksanaan medis
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan tes resistensi. Namun, karena butuh waktu
dan pasien memerlukan perawatan segera, maka biasanya diberikan:
a.Penisilin dengan Cloramfenikol atau antibiotik yang memiliki spektrum luas seperti
ampisilin. Pengobatan dilanjutkan sampai demam hilang, biasanya 4-5 hari.
b.Pemberian oksigen cair dan intervensi.
c.Karena Kebanyakan pasien jatuh ke dalam asidosis metabolik dan hipoksia karena
kekurangan makanan, dapat memberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas
darah arteri.
d.Pasien pneumonia ringan tidak perlu dirawat di rumah sakit.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanan keperawatan dalam hal ini yang dilakukan adalah :
a. Menjaga kelancaran pernafasan
Klien pneumonia berada dalam keadaan dispnea dan sianosis karena adanya radang
paru dan banyaknya lendir di dalam bronkus atau paru. Agar klien dapat bernapas
secara lancar,lendir tersebut harus dikeluarkan dan untuk memenuhi kebutuhan O2
perlu dibantu dengan memberikan O2
b. Kebutuhan Istirahat
Klien Pneumonia adalah klien payah, suhu tubuhnya tinggi, sering hiperpireksia maka
klien perlu cukup istirahat, semua kebutuhan klien harus ditolong di tempat tidur.
Usahakan pemberian obat secara tepat, usahakan keadaan tenang dan nyaman agar
pasien dapat istirahat sebaik-baiknya.
c. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
Pasien bronkopneumonia hampir selalu mengalami masukan makanan yang kurang.
Suhu tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan masukan cairan yang kurang dapat
menyebabkan dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi dan kekukrangan kalori dipasang
infus dengan cairan glukosa 5% dan NaCl 0,9%.
d. Mengontrol Suhu Tubuh
Pasien bronkopneumonia sewaktu-waktu dapat mengalami hiperpireksia. Untuk ini
maka harus dikontrol suhu tiap jam.Dan dilakukan kompres serta obat-obatan satu jam
setelah dikompres dicek kembali apakah suhu telah turun.
Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C. 2011. The
management of community-acquired pneumonia in infants and children older than 3
months of age. Clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases society
and the infectious diseases society of America.
Doenges, Marilynn E.dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Alih Bahasa: I Made
Kriasa. Jakarta: EGC.
Evelyn, C.P. (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Fransisca T Y Sinaga. 2018. Faktor Risiko Bronkopneumonia Pada Usia Dibawah Lima
Tahun Yang Di Rawat Inap Di Rsud Dr.H.Abdoel Moeloek Provinsi Lampung Tahun
2015. Lampung: Universitas Malahayati.
Guyton, AC & J.E Hall. 2007. Buku Ajar Fisioterapi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.
Junqueira, C Louise; Carneiro, Jose; diterjemahkan oleh Dearma, Adji. 1982. Histologi
Dasar. Jakarta Utara: EGC Kelapa Muda.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016.
Pusat Data dan Informasi Kementerian RI.
Mansjoer, Arif dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Cetakan keenam. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Miller, HU & Frank, I. 2011. Effect of Respiratory Muscle Training on Exercise Perfomance
in Healthy Individuals: A Systemic Review and Metaanalysis. Sport Medicine Journal.
42(8): 707-724.
Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 59(9), p.533.
Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit,
Edisi 6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari, p.,
Mahanani, D. A., Jakarta:.Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tim Histologi FK UNAIR. 2016. Buku Histologi 2 : Organ. Surabaya: Departemen Anatomi
dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Umar, N. 2008. Sistem Pernapasan dan Suctioning pada Jalan Nafas. Sumatera Utara:
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yunus, F. 2007. Faal paru dan latihan. Jurnal Respirasi Indonesia. 17(1): 100-105.