Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

Teknik etmoidektomi / operasi sinus pada penatalaksanaan penyakit sinus dapat


dilakukan secara konvensional (tradisional) dan endoskopik. Pada teknik etmoidektomi
konvensional resiko komplikasi akibat tindakan pembedahan lebih besar oleh karena
visualisasi dengan menggunakan lampu kepala tidak dapat menjangkau seluruh lapangan
operasi yang sempit sehingga struktur anatomi yang tersembunyi dan rumit tidak dapat
diamati . Selain itu teknik konvensional secara endonasal sulit dilakukan, tidak efisien
(jaringan normal ikut terangkat) dan seringkali tidak adekuat untuk menyingkirkan seluruh
jaringan patologis. Sedangkan pada pendekatan eksternal, sifatnya invasif dan seringkali
kurang memuaskan penderita oleh karena meninggalkan bekas luka operasi di wajah.
Perkembangan teknik etmoidektomi / operasi sinus sangat maju sejak digunakannya
endoskop sebagai alat bantu visual . Pada tahun 1960-an teknik bedah sinus endoskopik
fungsional diperkenalkan oleh Prof. Messerklinger dan Wigand. Teknik ini kemudian
dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan selanjutnya oleh Kennedy di Amerika Utara
pada tahun 1985. Dengan cara ini pendekatan ke daerah patologis di daerah sinus lebih
mudah dijangkau, lebih efisien, lebih adekuat dan tidak invasif. Hal ini bisa dilakukan karena
dengan bantuan endoskop visualisasi lapangan operasi lebih baik. Dengan tersedianya forsep
khusus dan “powered instrument” yang mampu mencapai daerah-daerah tersembunyi di
dalam sinus, akurasi pembersihan jaringan patologis dapat lebih ditingkatkan. Disamping
keuntungan-keuntungan tersebut terdapat pula kekurangan-kekurangan cara endoskopik
endonasal yaitu : instrumen yang relatif mahal, belum tersedia di semua tempat pelayanan
medis, perlu keterampilan khusus, pengalaman, kesabaran dan ketelitian. Penggunaan alat ini
bersama dengan CT scan dapat meningkatkan kemampuan diagnostik suatu kelainan sinus.
Dengan bantuan kedua alat tersebut, terjadi perubahan mendasar dalam diagnosis dan
penanganan kelainan-kelainan yang terjadi pada sinus. Perhatian terutama ditujukan ke sinus
etmoidalis anterior dan kompleks osteomeatal sebagai dasar terjadinya kelainan sinus.
5,10,12,14,15
II. KOMPLEKS OSTIOMEATAL
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah suatu area di dalam meatus media yang
mempunyai batas-batas sebagai berikut :

- Lateral : Permukaan infero-medial orbita


- Medial : Konka media
- Anterior : Infundibulum
- Posterior : Bulla etmoidalis
Gambar 1. Kompleks ostiomeatal

Isi dari KOM adalah :


Prosesus unsinatus (u) , tulang tipis berbentuk bulan sabit, melekat di antero-superior
pada pinggir tulang lakrimal dan di postero-inferior pada ujung superior konka inferior.
Sisi belakang prosesus unsinatus merupakan sisi yang bebas. Perlekatan kearah superior
sangat bervariasi..Letak perlekatan prosesus unsinatus ke arah superior menentukan
drenase sinus frontalis.

Gambar 2 dan 3. Struktur dinding lateral

a. Perlekatan prosesus unsinatus pada


lamina papirasea
b. Perlekatan p.u pada dasar otak
c. Perlekatan p.u pada konka media

Gambar 4. variasi perlekatan prosesus unsinatus


Sel agger nasi (*) membentuk batas anterior resesus frontalis. Berada tepat pada
potongan koronal yang sama dengan duktus nasolakrimalis. Sel agger nasi yang
membesar dapat meluas ke sinus frontal menyebabkan penyempitan resesus frontalis.
Sel agger nasi dapat pula terdorong ke atas ke dalam sinus frontal menyebabkan
sumbatan drenase sinus frontal.
Bulla etmoidalis (b) , merupakan sel etmoidalis anterior yang paling utama, dapat
diidentifikasi di belakang prosesus unsinatus. Ukurannya bervariasi dan dapat
berpneumatisasi . Permukaan anterior dibentuk oleh tepi posterior hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoidalis. Bagian posterior bulla dapat bergabung dengan lamela basalis
konka media . Kadang-kadang terdapat celah yang mempertemukan antara dinding
posterior bulla dengan lamela basalis konka media, yang disebut sinus lateralis atau
resesus supraetmoidalis. Bagian superior dapat mencapai atap etmoidalis. Di sebelah
medial dibatasi oleh konka media dan di sebelah lateral oleh lamina papirasea.

Gambar 5 dan 6 : Infundibulum dan batas resesus frontalis

Resesus frontalis adalah daerah anatomi dengan batas anterior yaitu dinding depan agger
nasi dan meluas ke belakang berbatasan dengan etmoidalis anterior atau perlekatan bula
etmoidalis pada dasar otak. Di bagian lateral ia dibatasi oleh lamina papirasea dan di
bagian medial oleh konka media.

Infundibulum etmoid, merupakan saluran tiga dimensi yang dibatasi oleh prosesus
unsinatus dan hiatus semilunaris di bagian medial. Bagian lateral dibatasi oleh lamina
papirasea. Sebelah anterior oleh sudut tumpul yang dibentuk oleh pertemuan antara
prosesus unsinatus dengan lamina papirasea. Sebelah posterior oleh tepi anterior bulla
etmoidalis dan batas sebelah superior biasanya bervariasi, tergantung oleh perlekatan
prosesus unsinatus. Saluran ini dapat dilihat lebih jelas bila prosesus unsinatus terangkat.

III. ANATOMI SINUS ETMOIDALIS 6,11,13


Labirin atau sel-sel udara etmoidalis adalah sekumpulan sel-sel dan sekat-sekat
yang terletak di antara dinding lateral hidung bagian atas dan dinding medial orbita,
jumlahnya bervariasi antara 3 sampai 18 sel. Secara keseluruhan labirin etmoidalis
berbentuk piramid dengan basis terletak pada bagian posterior , panjang 4 - 5 cm (antero-
posterior), tinggi 2,5 – 3 cm (supero-inferior) dan lebar 0,5 cm pada bagian anterior dan
posterior. Letak ostium sinus etmoidalis memperlihatkan variasi yang berbeda, ada yang
terletak di atas, di dalam atau di bawah bulla, ada yang terletak pada resesus frontal,
meatus superior atau terletak di atas atau di belakang konka nasi superior. Berdasarkan
letek muara ostiumnya, sel-sel etmoidalis dapat dibagi atas :
- Sel-sel etmoidalis anterior, yang bermuara ke dalam meatus medius, umumnya selnya
lebih kecil , jumlahnya antara 1 – 8 sel.
- Sel-sel etmoidalis posterior yang bermuara ke dalam meatus superior atau suprema,
selnya lebih besar dibandingkan sel-sel etmoidalis anterior dan jumlahnya lebih
sedikit ( 1 – 5 sel ).

Sel Etmoidalis Anterior


Sel-sel etmoidalis anterior dapat dikelompokkan dalam beberapa sub kelompok
tergantung lokasi atau muara ostiumnya, yaitu :
1. Sel-sel etmoidalis resesus frontalis
Ostium sel-sel ini bermuara ke dalam resesus frontalis meatus medius. Secara
genetik berhubungan dengan sinus frontalis, jumlahnya antara 3 – 4 buah, biasanya
satu diantaranya dapat meluas sampai ke dalam sinus frontal.

2. Sel-sel etmoidalis infundibular

Ostium sel – sel ini bermuara ke dalam infundibulum etmoidalis. Jumlahnya


bervariasi antara 1-7 buah. Kebanyakan terletak di dalam agger nasi.

3. Sel-sel etmoidalis bullar

Ostium sel-sel ini bermuara langsung ke dalam meatus medius di dalam atau di atas
bulla etmoidalis. Jumlahnya bervariasi antara 1 – 6 buah, rata-rata 3 buah.

Sel-sel etmoidalis baik yang berasal dari kelompok anterior maupun posterior dapat
meluas sampai ke sinus maksilarisris. Sel-sel ini juga dapat meluas sampai ke meatus
medius atau konka superior atau ke dalam prosesus unsinatus
Sel Etmoidalis Posterior
Jumlahnya bervariasi antara 1 – 5 buah . Sel-sel etmoidalis bullar dan sel-sel etmoidalis
posterior dapat bergabung bersama-sama. Sel etmoidalis posterior dapat pula mencapai
sinus sfenoidalisalis. Oleh karena letak sinus etmoidalis yang hanya dipisahkan oleh
lapisan tipis lamina papirasea maka infeksi berat yang berasal dari sinus ini dapat meluas
sampai ke orbita. Sel etmoidalis posterior bermuara ke dalam meatus superior (kadang-
kadang meatus suprema). Sel-selnya besar berbentuk piramid dengan puncak menghadap
ke apeks orbita. Dibatasi pada bagian posterio-medial oleh os sfenoidalis.

Gambar 7 : Sel-sel etmoid anterior dan posterior

IV. ETMOIDEKTOMI ENDOSKOPIK

A. Definisi :
Merupakan satu tahapan dari bedah sinus endoskopik fungsional yang bertujuan
untuk mengangkat jaringan patologis dalam sinus etmoidalis dan mengembalikan
fungsi ventilasi dan drenase sinus

B. Indikasi dan Kontraindikasi


Etmoidektomi endoskopik diindikasikan pada penyakit-penyakit sinus sebagai
berikut :
1. Sinusitis akut rekuren yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan
medikamentosa
2. Sinusitis jamur
3. Sinusitis kronik
4. Mukokel

Kontraindikasi :
1. Penyakit-penyakit kelainan darah
2. Tumor ganas hidung dan sinus paranasalis
Manfaat lain :
1. Dekompresi orbita, apeks orbita dan n.optikus
2. Akses untuk melakukan sfenoidektomi
3. Ekstraksi benda asing dari dalam sinus etmoidalis dan apeks orbita
4. Drenase pus pada selulitis orbitalis
5. Penutupan kebocoran CSF

C. Landmark Etmoidektomi Endoskopik


1. Lamina papirasea disebelah lateral
2. Atap etmoidalis berbatasan di sebelah superior dengan fossa krani anterior
3. A. Etmoidalis anterior dan posterior
4. Sel Onodi disebelah postero-supero-lateral
5. Lamina kribrosa disebelah medial

D. Teknik Operasi :
- Penderita berbaring dalam posisi supine, kepala sedikit dielevasikan  150
- Posisi kepala lurus berhadapan dengan muka operator
- Prosedur operasi biasanya dilakukan dengan anestesi umum tetapi dapat pula
dengan anestesi lokal dimana mukosa cavum nasi dan area meatus medius
diolesi/diinfiltrasi dengan kokain.
- Setelah lima menit dengan menggunakan endoskop, dinding medial
infundibulum, konka media bagian anterior, bulla etmoidalis disuntik dengan
xylocain 1% dengan 1: 100.000 epinefrin
- Bila celah meatus medius sempit dapat dilakukan luksasi konka media ke
medial atau konkotomi parsial untuk mendapatkan akses yang cukup buat
masuknya alat endoskop
- Beberapa tahapan yang dilakukan :

1. INFUNDIBULOTOMI

PU
SEPTUM

KM

Insisi prosesus unsinatus dilakukan dengan pisau sabit, dimulai dari atas perlekatan
konka media dengan dinding lateral hidung, insisi diarahkan ke inferior menyusuri
batas depan unsinatus, selanjutnya ke posterior sejajar dengan batas bawah konka
media. Insisi dilakukan secara menggergaji. Insisi dapat dimulai pada 1/3 atas, ke
bawah kemudian kembali ke atas.

II. INFUNDIBULEKTOMI

BE

Setelah dilakukan infundibulotomi, prosesus unsinatus dilukasisi ke medial


dengan menggunakan respatorium sehingga rongga infundibulum terbuka
Prosesus unsinatus dan mukosa yang melekat diangkat dengan cara
melepaskan perlekatan atas dan bawah. Setelah infundibulektomi, kita harus
dapat melihat ostium sinus maksilaris di bagian antero-inferior infundibulum
(panah putih) dan bula etmoidalis
III. PENGANGKATAN BULA ETMOIDALIS

LB
LP
KM

Dinding depan bula etmoidalis di tembus di bagian inferior dengan ujung


cunam Blakesley lurus atau ujung suction. Biasanya mudah karena tulangnya
tipis Dinding anterior bula diangkat dengan cunam Blakesley upturned/upbiting.
Perhatikan batas-batasnya, batas lateral adalah lamina papirasea, bersihkan
dengan hati-hati. Batas medialnya adalah konka media. Dinding belakang bula
adalah lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoidalis anterior dengan
posterior. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop sebagai tulang
transparan keabu-abuan.

IV. ETMOIDEKTOMI POSTERIOR

Penetrasi lamina basalis. Untuk mencapai sinus etmoidalis posterior, lamina


basalis ditembus dengan Blakesley lurus di bagian infero-medial. Selanjutnya
sisa lamina basalis diangkat sehingga pandangan ke dalam sinus etmoidalis
posterior dapat dilakukan Evaluasi mukosa sinus etmoidalis posterior, jika
normal tidak usah dilakukan manipulasi

Diseksi sel-sel etmoidalis posterior. Partisi sel-sel etmoidalis posterior


dibersihkan secara berhati-hati dengan cunam Blakesley lurus/upturned, sambil
mengidentifikasi dasar otak (di atas) dan lamina papirasea (di lateral).
Perhatikan bahwa sel-sel etmoidalis posterior lebih besar dari sel-sel anterior.
Batas atas sinus etmoidalis posterior adalah fossa kranii anterior berupa dinding
horisontal yang keras dengan warna khas berbeda dengan disekitarnya. Karena
letaknya horisontal, kemungkinan penetrasi otak dapat dihindari. Batas lateral
adalah lamina papirasea, bersihkan partisi sel-sel etmoidalis posterior yang
melekat secara hati-hati.
Evaluasi sel etmoidalis paling
posterior. Sel etmoidalis paling
posterior khas berbentuk prisma
segitiga dengan dasar menghadap ke
endoskop dan puncak di daerah
supero-lateral. (panah hitam). Sel
etmoidalis posterior tampak lebih
besar dibandingkan sel etmoidalis
anterior. Panah putih menunjukkan
lamina basalis

V. ETMOIDEKTOMI ANTERIOR-DISEKSI RETROGRADE

A. Setelah menyelesaikan etmoidektomi posterior dan mengidentifikasi


dasar otak, diseksi dilanjutkan ke arah anterior dengan mengangkat
partisi interseluler etmoidalis anterior secara hati-hati sambil
mengidentifikasi dasar otak, dibersihkan dari posterior ke anterior
(retrograde). Gunakan cunam Blakesley upturned.
B. Cara diseksi yang aman adalah dengan melakukan palpasi bagian
belakang tiap septa dengan ujung cunam sebelum diangkat.
C. Setelah sel-sel dibersihkan bagian atap etmoidalis berbentuk cungkup
dapat diidentifikasi.
D. Identifikasi a.etmoidalis anterior yang terletak dalam kanal tulang
horisontal yang terletak antara atap etmoidalis dengan bagian atap
yang menuju ke sinus frontal (resesus frontal).
E. Identifikasi a.etmoidalis posterior yang terletak pada kanal tulang
horisontal melintas diantara atap sinus etmoidalis posterior dan atap
sinus sfenoidalis.
Teknik operasi etmoidektomi endoskopik dapat dipermudah dengan penggunaan
microshaver atau microdebrider pada tahapan-tahapan tertentu seperti penembusan bulla,
pengangkatan polip dan sel-sel etmoidalis

E. Kendala Etmoidektomi Endoskopik

1. Perdarahan selama operasi

2. Struktur anatomi yang abnormal :


- Deviasi septi yang berat
- Konka media paradoksikal
- Konka bullosa
- Hipertofi prosesus unsinatus
- Medialisasi dinding lateral etmoid
- Adanya pneumatisasi yang luas dari sel-sel ager nasi
- Sel Haller yang membesar

3. Kesulitan akibat operasi sebelumnya :


- Adhesi dan sinekia
- Pembentukan jaringan parut
- Sisa prosesus unsinatus
- Adanya sisa sel ager nasi dan sel etmoidalis
- Polip rekuren
- Devitalisasi tulang-osteitis-osteogenesis

4. Kondisi penyakit :
- Polip sino-nasal masif
- Perubahan patologis yang berat dalam sinus
- Nasal alergi berat
- Allergic fungal sinusitis
- Osteomyelitis
- Adanya komplikasi penyakit yang menyertai

F. Komplikasi Etmoidektomi endoskopik dapat dibagi atas :


Komplikasi mayor :
 Kematian
 Perdarahan intrakranial
 Trauma langsung otak
 Gangguan penglihatan (buta)
 Meningitis
 Perdarahan masif
 Hematoma orbita - retroorbital
 CSF leak

Komplikasi minor :
 Sinekia
 Ruptur lamina papirasea mengakibatkan terjadinya perdarahan
periorbital atau emfisema orbita
 Nyeri , parestesia atau hipestesia pada gigi
 Kerusakan pada aparatus lakrimalis dapat mengakibatkan epifora
 Hiposmia,anosmia, hilangnya fungsi pengecapan

G. Instrumentasi
Pengunaan alat yang tepat dan efektif sangat menunjang keberhasilan operasi sinus
endoskopik.
Alat-alat yang digunakan seperti :
– Endoskop dengan sudut 00, 300, 700, 900, 1200
– Powered instruments (microdebrider, microshaver)
– Curve forceps dan Cutting forceps
- Forsep yang dilengkapi dengan suction
– Probe dan kuret
– Irrigator
– Bone cutter / drill
– Stent material, Gel foam, silastic

IV. KESIMPULAN
1.Etmoidektomi endoskopik endonasal merupakan tindakan pembedahan non-invasif,
lebih efisien, lebih adekuat dan mempunyai morbiditas yang rendah

2.Selain digunakan untuk penanganan sinusitis, etmoidektomi endoskopik endonasal


mempunyai banyak manfaat lain.

3.Diperlukan penguasaan anatomi dinding lateral kavum nasi dan keterampilan


menggunakan alat dalam melakukan tindakan bedah sinus etmoidektomi agar
resiko komplikasi dapat diperkecil.

4.Disamping keuntungan-keuntungan tersebut terdapat pula kekurangan-kekurangan


cara endoskopik endonasal yaitu : instrumen yang relatif mahal, belum tersedia di
semua tempat pelayanan medis, perlu keterampilan khusus, pengalaman, kesabaran
dan ketelitian.

5.Perbedaan antara etmoidektomi endoskopik dengan etmoidektomi konvensional


terletak pada prinsipnya. Pada etmoidektomi endosopik prinsip dasar adalah
mengangkat jaringan yang patologis, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar
tetap berfungsi sedangkan pada etmoidektomi konvensional dilakukan eksentrasi
luas sel-sel etmoidalis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arfandy RB. Pitfalls in functional endoscopic sinus surgery. In: 7 th Asian Research
Symposium in Rhinology. Bali, Indonesia.2002.

2. Cadaveric dissection and combined microscopic & endoscopic technique of endonasal


sinus surgery (computer program). Windows version. Fulda Hospital Germany. 1998

3. Fageeh NA, Pelausa EO, Quarrington A. Functional endoscopic sinus surgery. In:
University of Ottawa experience and an overview. Annals of Saudi Medicine 1996;
16(6): 711-713

4. Fernandez AD. Complication of endoscopic sinus surgery:prevention and


management.In:Grand Rounds Archives. The Bobby R.Alford Department of
Otorhinolaryngology and Communicative Sciences.

5. Gustafson RO, Bansberg SF. Sinus Surgery. In: Byron J.Bailey- Head and Neck
Surgery.J.B Lippincot Company.Philadelphia.1993;1:381-387

6. Hollinstead WH. The head and neck. Anatomy for surgeons. Hober Harper
International edition 1966;1: 263-266

7. Kennedy DW. Functional endoscopic sinus surgery technique. Arch otolaryngology


1988;111: 643-647

8. Kennedy DW, Leory MC, Zinreich SJ. The functional endoscopic approach to sinusitis.
Otolaryngology 1998;2: 1-12.

9. Kennedy DW, Zinreich SJ. Functional endoscopic sinus surgery theory and diagnostic
evaluation. Arch of Otolaryngology 1985;111: 576-578

10. Kuppersmith RB. Advanced Surgical Anatomy of the Paranasal Sinuses.In:Internet


CME Demonstration.Baylor College of Medicine Department of Otorhinolaryngology
and Communicative Sciences

11. Lore JM. Ethmoid surgery for benign diseases. In: An atlas of head and neck
surgery. WB Saunder Company 1962: 62-63

12. Lund VJ. Anatomi of the nose and paranasal sinuses.In: Scott-Brown otolaryngology
basic scienses.6th ed.Butterworth Heinemann 1977:14-22

13. Nizar NW, Wardan RS. Anatomi dinding lateral hidung. Dalam: Panduan Diseksi
Kadaver BSEF. Jakarta. Sub bagian rinologi bagian THT FK-UI RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo 1999: 5-7.

14. Punagi AQ. Anatomi dan fisiologi rongga hidung dan sinus paranasalis. Dalam :
Kumpulan makalah simposium BSEF .Ujung Pandang. PT. Schering Plough 1999: 10-
15
15. Soetjipto D. Diseksi sfeno-etmoidektomi total. Dalam : Panduan Diseksi Kadaver
BSEF. Jakarta. Sub bagian rinologi bagian THT FK-UI RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo 1999 : 9-14

16. Stankiewicz JA. Complication in endoscopic intranasal ethmoidectomy : an update.


Laryngoscope 1989; 99: 686-689

17. Yeak S, Siaw JK, John AB. An audit of endoscopic sinus surgery. Singapore Med.J
1999; 40(01) : 1-9.

Anda mungkin juga menyukai