Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Pada manusia fungsi penghidu memiliki peranan penting. Gangguan penghidu


dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mendeteksi kebocoran gas, tidak dapat
membedakan makanan basi, mempengaruhi selera makan, mempengaruhi psikis, dan
kualitas hidup seseorang.1

Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius, sangat erat


hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena
seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Stimulusnya juga sama-sama
berupa rangsang kimiawi, bukan rangsang fisika seperti pada penglihatan dan
pendengaran. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian
sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina
kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius didasar fossa kranii anterior.2

Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat
atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada dipermukaan mukosa daerah
olfaktorius. Gangguan penghidu akan terjadi apabila ada yang menghalangi
sampainya partikel bau ke reseptor saraf atau ada kelainan pada N. Olfaktorius, mulai
dari reseptor sampai pusat olfaktorius.2

Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1,4% dari


penduduk. Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun
berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu. Penyebab tersering
gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal dan infeksi saluran
nafas atas.1

1
Ada beberapa modalitas pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu, tapi jarang
digunakan secara rutin di berbagai rumah sakit. Hal ini disebabkan harganya cukup
mahal dan odoran yang terdapat dalam pemeriksaan kemosensoris penghidu ini tidak
familiar antara suatu negara dengan negara lain. Alat pemeriksaan kemosensoris
fungsi penghidu yang berkembang dan banyak dipakai di negara Eropa seperti
Jerman, Austria dan Switzerland adalah tes “Sniffin Sticks”. Tes ini dapat menilai
ambang penghidu, diskriminasi penghidu dan identifikasi penghidu.1

2
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Cavum Nasi

Adalah rongga yang di mulai pada nostril (apertra nasalis anterior = nares
anterior) dan berakhir pada nares posterior (concha). Terbagi dua oleh septum nasi
yang terletak pada linea mediana. Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin,
kecuali naris anterior yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang
rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut
(gambar 1).3,4

Gambar 1. Cavum Nasi3

Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara
(humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring dilakukan oleh
vibrissa, lapisan lendir, dan enzim lisozim. Vibrisa adalah rambut pada vestibulum
nasi yang bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar).
Debu-debu kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan

3
melekat pada lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika
dalam udara masih terdapat bekteri (partikel sangat kecil), maka enzim lisozom yang
menghancurkannya.4

B. Neuroepitel olfaktorius

Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka superior,


septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar lempeng
kribriformis. Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang
berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada sitoplasma
kompleks golgi. Regio neuroepitel olfaktorius (Gambar 2).1,5

Gambar 2. Neuroepitel olfaktorius3

Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang merupakan
reseptor olfaktorius. Terdapat 10-20 juta sel reseptor olfaktorius. Pada ujung dari
masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia. Silia ini
menonjol pada permukaan mukus. Sel lain yang terdapat di neuroepitel olfaktorius ini
adalah sel penunjang atau sel sustentakuler. Sel ini berfungsi sebagai pembatas antara
sel reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius
dari kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar Bowman’s yang
terdapat pada bagian basal sel olfaktoris. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius
(gambar 3). 1,5

4
Gambar 3. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius1

Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, kemudian bersatu
dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan reseptor
protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius (G
protein coupled receptors) akan mengaktifkan enzim adenylyl cyclase yang merubah
adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP)
yang merupakan second messenger. Hal ini akan menyebabkan aktivasi sel dengan
terbukanya pintu ion yang menyebabkan masuknya natrium (Na+) dan kalsium
(Ca2+) ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi dan penjalaran impuls ke bulbus
olfaktorius. Aktivasi reseptor sel olfaktorius (gambar 4). 1,5

5
Gambar 4. Aktivasi reseptor sel olfaktorius1

C. Bulbus Olfaktorius

Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal. Bundel akson
saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis
diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai 200
akson reseptor penghidu pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan
bertambahnya usia. Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit
dari neuron kedua dalam gromerulus. Perjalanan impu di bulbus olfaktorius (Gambar
5). 1,5

Gambar 5. Perjalanan impuls di bulbus olfaktorius1

6
D. Korteks Olfaktorius

Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal merupakan


pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus dan amygdala merupakan
pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal merupakan pusat memori dari
odoran. Korteks olfaktorius (gambar 6). 1,5

Gambar 6. Korteks olfaktorius1

Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius (N I).
Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis odoran
mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita bisa
mencium odoran seperti strawberi, apel dan bermacam odoran lain. 1,5

Saraf lain yang terdapat di hidung adalah saraf somatosensori trigeminus (N V).
Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi
rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera
penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar,
rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau
beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus
berinteraksi secara fisiologis. 1,5

7
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N O) dan organ
vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf ganglion yang
banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf
terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut
juga organ Jacobson‟s. Pada manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak ada
hubungan antara organ ini dengan otak. Pada pengujian elektrofisiologik, tidak
ditemukan adanya gelombang pada organ ini. 1,5

E. Fisiologi

Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulus sel reseptor olfaktorius oleh zat-zat
kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul
yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara
yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang
menentukan efektivitas stimulus bau meliputi durasi, volume dan kecepatan
menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron
olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal
yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60
hari. Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa
olfaktorius sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang
dapat menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap
supaya mudah masuk kedalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air
supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam lemak karena sel-
sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat lemak.1,4

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang
berada pada permukaan membran. Molekul bau yang latut dalam mukus akan terikat
dengan protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi

8
enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP
kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++
masuk kedalam silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi depolarisasi
hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor
menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktori). Di dalam glomerulus, akson
mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudian
menghantar sinyal ke korteks piliformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial
amigdala dan korteks enthoris (berhubungan dengan memori)1,4

Gambar 7. Transduksi sinyal olfaktori4

9
Molekul bau dalam udara masuk ke dalam hidung dan larut dalam mukus hidung yang
terletak di bagian atap hidung

Neuron-neuron reseptor olfaktori akan mendeteksi molekul-molekul bau yang larut


dalam lapisan mukus hidung. Neuron-neuron ini mampu mendeteksi beribu-ribu jenis
bau yang berbeda-beda

Neuron-neuron reseptor olfaktorius kemudian memindahkan impuls ke bulbus olfaktori


yang terletak di basal lobus frontalis

Di dalam bulbus olfaktori, akson akan mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral.
Akson sel-sel mitral kemudian menghantarkan sinyal ke korteks piliformis sistem limbik
yaitu (area 34 dan 28) untuk mengidentifikasi bau

Sistem limbik menterjemahkan bau berdasarkan memori yang sudah ada

Bagan 1. Transduksi sinyal olfaktori 8

10
BAB III

GANGGUAN PENGHIDU

A. Definisi

Gangguan penghidu adalah gangguan saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk
menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan penghidu dapat
bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik ( hanya satu
atau sejumlah kecil bau).1,5

B. Epidemiologi

Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1,4% dari


jumlah penduduk. Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk
pertahun berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu. Penyebab
tersering gangguan penghidu adalah rinosinusitis kronik, rinitis alergi, infeksi saluran
anafas atas dan trauma kepala.5

Penelitian di negara Jerman dari 895 orang yang diteliti di temukan bahwa
sebanyak 431 orang (48,2%) memiliki gangguan anosmia fungsional, 444 oran
(49,7%) memiliki gangguan hiposmia, dan hanya terdapat 19 orang (2,1%) memiliki
kemampuan normosmia.6

C. Etiologi

Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan


transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan transpor
disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius, misalnya pada
inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada

11
neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi
udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus
olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif,
atau tumor intrakranial.1,5

Penyakit yang sering menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma kepala,


infeksi saluran nafas atas, dan penyakit sinonasal.1,5

1. Trauma kepala

Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi


penghidu. Hal ini disebabakan kerusakan pada epitel olfaktorius dan gangguan aliran
udara dihidung. Adanya trauma menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau
luka pada epitel olfaktorius. Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius,
bulbus olfaktorius dan kerusakan otak di regio frontal, orbitofrontal, dan temporal.
Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala terjadi ±15-30% dari
kasus gangguan penghidu.1,5

2. Infeksi saluran nafas atas

Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan penghidu yaitu
common cold. Kemungkinan mekanismenya adalah kerusakan langsung pada epitel
olfaktorius atau jalur sentral karena virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor
olfaktorius. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran
nafas atas ±11-40% dari kasus gangguan penghidu. Gangguan penghidu yang
disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas tidak seberat gangguan penghidu yang
disebabkan trauma kepala.1,5

12
3. Penyakit sinonasal

Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronik atau


rinitis alergi disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan
berkurangnya aliran udara dan odoran yang sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan
penghidu pada rinosinusitis kronik dan rinitis alergi dapat berupa gangguan konduktif
atau saraf. Perubahan pada aliran udara di celah olfaktorius yang disebabkan
rinosinusitis kronik yaitu edem atau adanya polip yang menyebabkan gangguan
konduksi.1,5

Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan mediator inflamasi yang akan


merangsang hipersekresi dari kelenjar bowman’s. Hal ini akan mengubah konsentrasi
ion pada mukus olfaktorius yang akan mengganggu pada tingkat konduksi atau
transduksi. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil
yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap reseptor neuron olfaktorius. Disini yang
terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik bisa menyebabkan kerusakan
permanen pada reseptor olfaktorius.1,5

Hasil penelitian Chang pada pasien rinosinusitis kronik didapatkan 21%-25%


anosmia. Guilermany10 mendapatkan pasien dengan rinitis alergi persisten sedang
berat yang mengalami hiposmia sebesar 84,8%, dan rinitis alergi persisten ringan
yang mengalami hiposmia sebesar 20%.1,5

4. Penyakit lain

Penyakit lain yang dapat menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit


endokrin (hipotiroid, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit liver), Kallmann
syndrome, penyakit degeneratif (alzheimer, parkinson, multipel sklerosis), pasca
laringektomi, paparan terhadap zat kimia toksik, peminum alkohol, skizofrenia,
tumor intranasal atau intrakranial.1

13
5. Faktor lain

Adapun faktor lain yang juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu adalah usia.
Kemampuan menghidu akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Ada
banyak teori yang menerangkan penyebab gangguan penghidu pada orang tua,
diantaranya terjadi perubahan anatomi pengurangan area olfaktorius, pengurangan
jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius, penurunan aktivasi dari korteks olfaktorius.
Gangguan penghidu pada usia lebih dari 80 tahun sebesar 65%.23 Penelitian lain
mendapatkan gangguan penghidu pada usia lebih dari 50 tahun sebesar 24%.22 Doty
menyatakan terdapatnya penurunan penghidu yang signifikan pada usia lebih dari
65 tahun.5

Ganguan penghidu lebih sering ditemukan pada jenis kelamin perempuan


dibandingkan laki-laki. Pada penelitian Rouby ditemukan gangguan penghidu
hiposmia ditemukan pada 61% wanita dan 39% laki-laki.7

Gangguan penghidu juga ditemukan pada perokok. Disini temukan kerusakan dari
neuroepitel olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia ditemukan adanya apoptosis
proteolisis pada neuroepitel olfaktorius. Obat-obatan dan polusi udara juga
berpengaruh terhadap fungsi penghidu seperti obat kanker, antihistamin, anti
mikroba, anti tiroid dan lain lain. Polusi udara yang berpengaruh yaitu aseton, gas
nitrogen, silikon dioksida, dan lain-lain.7

D. Klasifikasi

Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. 1 Gangguan


penghidu dapat berupa:1,2

14
1. Anosmia

Anosmia adalah keadaan tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat berupa
penyakit yang bersifat sementara, ataupun permanen. Anosmia dapat timbul akibat
trauma di daerah frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses
degenerasi pada orang tua. Penyebab anosmia tidak selalu bisa dengan mudah di
identifikasi. Epitel penciuman (olfactory epithelium) berfungsi menangkap berbagai
aroma yang kemudian mengirimkan sinyal ke otak. Terjadinya halangan atau
gangguan yang menyebabkan udara terhambat mencapai epitel penciuman akan
menyebabkan seseorang mengalami penurunan sensitifitas terhadap bau. Gangguan
juga timbul saat terjadi kerusakan pada epitel penciuman atau juga terjadi ada yang
tidak beres dalam transmisi sinyal ke otak. 1,2

2. Hiposmia

Hiposmia adalah kondisi dimana berkurangnya kemampuan untuk mencium bau.


Jika pada anosmia penderita tidak dapat mencium bau sama sekali, maka pada
hiposmia penderita hanya kehilangan sensitifitas bau tertentu. Keadaan ini merupakan
kasus yang paling sering terjadi. Dapat di sebabkan oleh rhinitis alergi, rhinitis
vasomotor, rhinitis atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip dan tumor. 1,2

3. Dispospia

Dispospia adalah persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia.
Parosmia adalah perubahan kualitas sensasi penciuman, phantosmia adalah sensasi
bau tanpa adanya stimulus/halusinasi odoran. Sebagai contoh subjek diberikan odoran
berupa mawar, pada phantosmia akan mengungkapkan jenis odoran yang berbeda dan
kadang tak terdefinisi baunya. Dengan jenis dan odor yang sama, penderita parosmia
tidak mengalami aroma harum mawar, namun hanya bau yang samar. Hal ini
biasanya disebabkan oleh trauma. 1,2

15
4. Presbiosmia

Presbiosmia adalah penurunan atau kehilangan persepsi penghidu yang terjadi


pada orang tua, terpaut oleh faktor usia. Dengan pengujian sniffin’ stick test
mendapatkan nilai ambang daya penciuman pada usian 55 tahun mulai mengalami
penurunan yang berarti. 1,2

5. Kakosmia

Kakosmia adalah keadaan yang timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis,
kelainan psikologik atau kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosi. 1,2

E. Patogenesis

Gangguan penghidu dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang


jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu
berupa defek konduktif, defek sensorineural dan defek psikis. Pada defek konduktif
(transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuropitel olfaktorius.
Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral.
Secara keseluruhan, penyebab defisit penghidu yang utama adalah penyakit pada
rongga hidung dan atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena
virus dan trauma kepala.4,6

1. Defek konduktif 4,5,6

a. Proses inflamasi atau peradangan dapat mengakibatkan gangguan penghidu.


Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk
rhunitis alergi, akut atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis
kronik seringkali di ikuti dengan penurunan fungsi penghidu meski telah dilakukan
intervensi medis, alergi dan pembedahan secara agresif.

16
b. Adanya masa atau tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga
menghalangi aliran odoran ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip
nasal (paling sering), inverting papilloma dan keganasan.
c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan onbstruksi.
d. Pasien pasca laringotomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena
berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak
dengan trakeotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan
dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan penghidu
meski telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi
sistem olfaktorius pada usia yang dini.

2. Defek sentral/sensorineural 4,5,6

a. Proses infeksi atau inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada
transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak
neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi struktur saraf), Wegener
granulomatosis dan sklerosis multiple.
b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman
syndrome di tandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur
olfaktorius hipogonadisme hipogonadotropik.
c. Gangguan endokrin (hipotitoidisma, DM) berpengaruh pada fungsi penghidu.
d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarachnoid dapat
menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang
halus dan mengakibatkan anosmia.
e. Disfungsi penghidu juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan
sistemik atau inhalasi (aminoglikosida formaldehid). Banyak oabat-obatan
dan senyawa dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin,
bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.

17
f. Defisiensi gizi ( vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi
penghidu.
g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena
berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi
proses kognitif di susunan saraf pusat.
h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzaimer
disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus
Alzaimer disease, hilangnya fungsi penghidu kadang merupakan gejala
pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan,
berkurangnya fungsi penghidu lebih berat dari pada fungsi pengecapan,
dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ke tujuh.

3. Defek psikis

Kelainan psikologis seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan
atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu
diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti
depresi, skizofrenia, atau dimensia senilis, dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus
demikian perlu di rujuk ke seorang psikiater. Kadang-kadang ada keluhan hilangnya
penghidu pada pasien histeria atau berpura-pura (malingering) pasca operasi hidung
atau trauma. Bila diperiksa biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi
amonia (deteksi amoniak oleh nervus trigeminus, bukan nervus olfaktorius). 4,5,6

18
F. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis gangguan


penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
infeksi saluran nafas atas, riwayat penyakit sistemik, riwayat penyakit
neurodegeneratif, kebiasaan merokok, dan semua faktor yang bisa menyebabkan
gangguan penghidu.1,2

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh yang meliputo
pemeriksaan telinga, hidung, kepala dan leher. Pemeriksaan tersebut berguna untuk
mengidentifikasi jenis dan asal kelainan.8

a. Konduktif

Pemeriksaan ini untuk menilai ada atau tidaknya massa atau polip perdarahan dan
bekuan darah, deviasi septum atau adanya fraktur pada tulang kribriformis yang biasa
di jumpai pada trauma kepala yang menghalangi aliran udara ke sel epitel olfaktori.
Adanya inflamasi atau iritasi mukosa hidung yang bisa disebabkan oleh allergen,
bakteri, virus ataupun barang iritan juga bisa mengakibatkan gangguan konduktif,
selain pemeriksaan hidung, pemeriksaan telinga juga bisa dilakukan untuk
memastikan otitis media serosa yang menandakan adanya massa atau inflamasi pada
nasofaring. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen
mencari massa atau pembesaran tiroid.8

19
Gambar 8. Polip pada hidung 5

b. Sensorineural

Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam


pemeriksaan sensorik adalah menetukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi
kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penghidu diantaranya:8

1) Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan bau-


bauan menggunakan bahan-bahan odoran yang berbeda. Contohnya kopi, vanilla,
jeruk, coklat, parfum, alkohol dan lain-lain. Pasien diminta untuk mengidentifikasi
bau dengan mata tertutup kemudian menghidu dan mengidentifikasi aroma dari
bahan-bahan odoran tersebut.8

2) Tes alkohol 12 inci. Satu lagi tes yang memeriksa presepsi kasar terhadap bau, tes
alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan
dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.8

Langkah ke dua menetukan ambang deteksi. Setelah menetukan derajat sejauh


mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah
menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini di tetapkan
menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang
hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbonol.

20
Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-
masing sisi hidung.8

Adapun interpretasi yang di dapatkan dari pemeriksaan sederhana pada gangguan


penghidu yaitu :1,9

a. Normosmia : Bila pasien dapat menghidu dari jarak > 10 cm


b. Hiposmia : Bila pasien dapat menghidu dari jarak 0-10 cm (jarak 1-4 cm
termasuk hiposmia berat)
c. Anosmia : Bila pasien tidak dapat menghidu sama sekali.

Gambar 9. Pemeriksaan sensorineural 4

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi


kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau kelainan
dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data tentang
kelainan ini. Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling
berguna untuk memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya
sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada jaringan lunak.
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya tumor.1

21
Gambar 10. CT Scan polip nasi

4. Pemeriksaan Kemosensoris Penghidu

Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan menggunakan


odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis pemeriksaan
ini, diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), Tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), Tes “Sniffin Sticks”,
Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).1

a. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).


Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masing-masing
berisi 10 odoran. Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji, dimana
didalamnya terkandung 10-50Å odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6
kategori yaitu normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat,
anosmia, dan malingering.1

22
Gambar 11. Alat tes UPSIT.1

b. Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC).

Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi odoran, dan evaluasi
nervus trigeminal. Untuk ambang penghidu digunakan larutan butanol 4% dan
diencerkan dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat 8
pengenceran pada 8 tempat yang berbeda. Tempat untuk butanol 4% diberi nomor 0,
dilanjutkan dengan pengenceran diberi sampai nomor 8. Dalam melakukan test
dimulai dari nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0. Untuk menghindari
bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi odoran tanpa perlu
mengidentifikasikannya. Ambang penghidu didapat bila jawaban betul 5 kali
berturut-turut tanpa kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri
dan kanan, dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung kanan atau
sebaliknya.1,9

Tes kedua yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat,
vanila, bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan identifikasi
dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC.1,9

23
Gambar 12. Alat tes CCCRC.9

c. Tes “Sniffin Sticks”.

Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu dengan
alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori working group olfaction and gustation di
Jerman dan pertama kali diperkenalkan oleh Hummel28 dan kawan-kawan. Tes ini
sudah digunakan pada lebih dari 100 penelitian yang telah dipublikasikan, juga
dipakai di banyak praktek pribadi dokter di Eropa.9

Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4 ml odoran


dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propylene glycol. Alat pemeriksaan terdiri
dari tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran.9

Gambar 13. Alat tes “Sniffin Sticks”.9

24
Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena
diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung yang diuji hidung sebelah kiri atau
sebelah kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk
menghindari identifikasi visual dari odoran.9

Gambar 14. Cara melakukan test “Sniffin sticks”.9

Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang penghidu (Treshold/T),
diskriminasi penghidu (Discrimination/D), dan identifikasi penghidu
(Identification/I).9

Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-butanol sebagai odoran. Tes ini
menggunakan triple forced choice paradigma yaitu metode bertingkat tunggal dengan
3 pilihan jawaban. Pengujian dilakukan dengan pengenceran n-butanol, dimulai
dengan 4% n-butanol, dan dilanjutkan menjadi 16 serial pengenceran dengan
perbandingan 1:2 dengan pelarut aqua deionisasi. Tes dilakukan dengan
menggunakan 3 buah pena dalam urutan acak, 2 pena berisilarutan dan 1 pena berisi
odoran. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 20 detik. Skor yang diberikan untuk
ambang penghidu adalah 0 sampai 16.9

Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan 3 pena secara


acak dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan pena ke-3 berisi odoran yang
berbeda. Pasien disuruh menentukan mana odoran yang berbeda dari 3 pena tersebut.

25
Pemeriksaan 3 serangkai pena ini dilakukan 20-30 detik. Skor untuk diskriminasi
penghidu adalah 0 sampai 16.9

Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16 odoran


yang berbeda, yaitu jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit sepatu), peppermint,
pisang, lemon, liquorice (akar manis), cloves (cengkeh), cinnamon (kayu manis),
turpentine (minyak tusam), bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan. Untuk
satu odoran yang betul diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes identifikasi penghidu
antara 0-16. Interval antara pengujian minimal 30 detik untuk proses desensitisasi
dari nervus olfaktorius.10

Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang digunakan skor TDI ( Treshold/


Discrimination/ Identification ). Hasil dari ketiga subtes “Sniffin Sticks” dinilai
dengan menjumlahkan nilai T-D-I. Dengan rentangan skor 1-48, bila skor ≤15
dikategorikan anosmia, 16-29 dikategorikan hiposmia, dan ≥30 dikategorikan
normosmia.9

Tes ini menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, tapi tidak menerangkan
letak anatomi dari kelainan yang terjadi.9

Odoran yang terdapat dalam tes “Sniffin Sticks” adalah odoran yang familiar untuk
negara eropa, tapi kurang familiar dengan negara lain. Hal ini dapat diatasi dengan
memberikan istilah lain yang familiar untuk odoran tersebut. Menurut Shutes “Sniffin
Sticks” dapat digunakan pada penduduk Asia.1,9,10

d. Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).

OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan populasi Jepang yaitu
condessed milk, gas memasak, kari, hinoki, tinta, jeruk Jepang, menthol, parfum,
putrid smell, roasted garlic, bunga ros, kedelai fermentasi dan kayu. Odoran

26
berbentuk krim dalam wadah lipstik. Pemeriksaan dilakukan dengan mengoleskan
odoran pada kertas parafin dengan diameter 2 cm, untuk tiap odoran diberi 4 pilihan
jawaban. Hasil akhir ditentukan dengan skor OSIT-J.11

5. Pemeriksaan Elektrofisiologis Fungsi Penghidu

Pemeriksaan ini terdiri dari Olfactory Event-Related Potentials (ERPs), dan


Elektro-Olfaktogram (EOG).1

a. Olfactory Event - Related Potentials (ERPs).

ERPs adalah salah satu pemeriksaan fungsi penghidu dengan memberikan


rangsangan odoran intranasal, dan dideteksi perubahan pada elektroencephalogram
(EEG). Rangsangan odoran untuk memperoleh kemosensori ERPs harus dengan
konsentrasi dan durasi rangsangan yang tepat. Waktu rangsangan yang diberikan
antara 1-20 mili detik. Jenis zat yang digunakan adalah vanilin, phenylethyl alkohol,
dan H2S.

b. Elektro-Olfaktogram (EOG).

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan elektroda pada permukaan epitel


penghidu dengan tuntunan endoskopi. Kadang pemeriksaan ini kurang nyaman bagi
pasien karena biasanya menyebabkan bersin pada waktu menempatkan elektroda di
regio olfaktorius dihidung.7

6. Biopsi Neuroepitel Olfaktorius

Biopsi neuroepitel olfaktorius berguna untuk menilai kerusakan sistem penghidu.


Jaringan diambil dari septum nasi superior dan dianalisis secara histologis.
Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena invasif.7

27
G. Penatalaksanaan

Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh
rhinitis vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis. Keluhan dapat hilang bila
penyebabnya di obati.8

1. Hiposmia Konduktif

Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penghidu hantaran akibat rhinitis alergi,
rhinitis vasomotor dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma dan kelainan-kelainan
sruktural pada rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan
kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam
memulihkan sensasi terhadap bau yaitu dengan pengelolaan alergi, terapi antibiotik,
terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi
septum nasal dan sinusitis hiperplastik kronik.12

2. Hiposmia Sensorineural

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah dibuktikan bagi kurang penghidu
sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian di anjurkan
terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mecolok tidak diragukan lagi dapat
menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan
masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangan kekurangan. Terapi
vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenarasi sel epitel akibat
defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A
bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada
rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan
metaplasia epitel penghidu. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor
pencetusnya dihilangkan. Karenanya, konseling pada pasien sangat membantu pada
kasus-kasus ini.12

28
3. Anosmia

Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sensasi


penghidu antara lain; antihistamin apabila di indikasikan pada penderita alergi.
Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penghidu. Koreksi operasi yang
memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan dekongestan nasal dapat
membantu, suplemen zink kadang-kadang direkomendasikan. Anosmia akibat proses
degenerasi tidak ada pengobatannya. Kerusakan N. Olfaktorius akibat infeksi virus
prognosisnya buruk, karena tidak dapat di obati.12

4. Kakosmia

Pemeriksaan perlindungan pasien terhadap hal-hal yang membahayakan diri dan


orang lain. Pada pasien yang setelah diperiksa ternyata tidak ada kelainan perlu di
yakinkan dan di hilangkan gangguan psikologiknya. Pada pasien yang terdiagnosis
mengalami gangguan psikologis, dapat dirujuk ke psikiatri.14

Pada polip nasal, tumor hidung, rhinitis kronik spesifik (rhinitis atrofi, sifilis,
lepra, skleroma, tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan
hilang bila penyakitnya diobati. Rhinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat
tetes hidung menyebabkan hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian
obat-obatan penyebabnya dihentikan. Tumor N. Olfaktorius bentuknya mirip polip
nasal. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan histologi dan di terapi dengan
pembedahan.8

Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,
terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat
di obati. Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia, trauma dapat
mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pasca trauma, dapat terjadi parosmia,
yaitu penghidu bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau

29
yang tidak enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan
penghidu ini mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dala beberapa minggu setelah
trauma. Bila setelah 3 bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk.8

Tumor intrakranial yang menekan N. Olfaktorius serta adanya trauma pada N.


Olfaktorius mula-mula akan manaikkan ambang penghidu dan mungkin akan
menimbulkan masa kelelahan penghidu yang semakin lama makin memanjang.
Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat
menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gengguan
penghidu sering juga di sertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit
kepala dan kadang-kadang kejang lokal. Epilepsi lobus temporal dapat di dahului
oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau yang timbul adalah bau busuk atau bau
sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala ini tidak menetap. Terapi pada
meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura. Pada tumor di fossa
anterior dilakukan anterior dan anterolateral craniofasial resction (CFR) untuk
mengeluarkan tumor dari fossa anterior dan medial. Anterior CFR mencakup struktur
anterior-mid line dan paramedian dari basis crania.8

H. Prognosis

Hasil akhir disfungsi penghidu sebagian besar bergantung pada etiologinya.


Disfungsi penghidu akibat subatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma,
pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi
di hilangkan, kemampuan penghidu semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang
kehilangan indra penghidunya selama menderita infeksi saluran napas bagian atas
sembuh sempurna kemampuan penghidunya. Namun, sebagian kecil pasien tak
pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alaan
yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade ke
empat, kelima dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya

30
buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring
bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan
kurang penghidu, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan
terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penghidu setelah cedera kepala
traumatikhanyalah 10% dan kualitas kemampuan penghidu setelah perbaikan
biasanya buruk.8

31
BAB IV

RINGKASAN

1. Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting.


2. Area penghidu terdapat di atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke
bulbus olfaktorius, dan traktus olfaktorius di otak.
3. Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan sensoris,
dan gangguan pada saraf olfaktorius.
4. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
infeksi saluran nafas atas.
5. Pemeriksaan kemosensoris untuk gangguan penghidu ada beberapa macam,
diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), tes
The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), tes
“Sniffin Sticks”, dan Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
6. Kelebihan tes ”Sniffin Stick” dibandingkan pemeriksaan kemosensoris
penghidu lainnya adalah tes ini sederhana, dapat menentukan 3 subtest yaitu
ambang penghidu (T), Diskriminasi penghidu (D), dan Identifikasi penghidu
(I). Test ini sudah dipakai pada lebih dari 100 penelitian yang sudah
dipublikasikan. Sudah dipakai di praktek pribadi dokter THT di negara Eropa,
dan dari beberapa penelitian test ini dapat digunakan di negara lain di luar
Eropa termasuk di Asia.
7. Untuk terapi yang diberikan tergantung sesuai dengan faktor penyabab dari
gangguan penghidu.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Huriyati, Effy dkk. Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya. Bagian


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang.
2. Mangunkusumo, Endang. 2007. Gangguan Penghidu. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi VI, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta. Hal. 160-161.
3. Bagian Anatomi FK UNHAS. 2013. Anatomi Biomedik I. Organa Sistem
Respirasi. Makassar: FK UNHAS. P: 163-183.
4. Patwa A, Shah A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. 2015. Indian Journal of Anasthesia.
5. Huriyati E, Nelvia T. 2014, Gangguan fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya.
Jurnal Kesehatan Andalas. FK UNAND.
6. Hummel T. Lotsch J. 2010. Prognostic Factors Of Olfactory Dysfunction.
Department of Otorhinolaryngology. University Frabkfurt. Germany.
7. Rouby C, Danguin TT, Vigouroux M, Ciuperca G, Jiang T, Alexanian J, et
all. The lyon clinical olfactory test: Validation and measurement of hyposmia
and anosmia in healthy and diseased population. International Journal of
otolaryngology 2011; 23: 1-9.
8. Alobid I. Haro JD, Mullol J. 2010. Smell Disorder. Dalam : Anniko M,
Sprekelsen MB, Bonkowsky V, Bradley P, Lurato S. Otorhinolaryngology,
Head & Neck Surgery. New York: Springer.
9. Yanez DJ, Toledano A, Serrano E, Rosales M, Rodriquez EB, Varona P.
Characterization of a clinical olfactory test. Available from
http://www.frontiersin.org/Neurengineering/10.3389/fneng.2012.00001/full
10. Ribeiro JC et all. 2016. Cultural adaptation of the portuguese version of the
“Sniffin’ Sticks” Smell test: Reliability, validity and normative data.
Departtement of otorhinolaryngology. Universitas Coimbra. Portugal.

33
11. Lotsch J et all. 2004. A Simple and reliable method for clinical assessment of
odor thresholds. Department of otorhinolaryngology. Universitas Dresden.
Germany.
12. Rakhma I, Akil A, Punagi Q. 2014. Faktor determinan fungsi penghidu
penderita rhinitis alergi menggunakan sniffin’ sticks test. Bagian ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorokan-kepala leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Makassar.

34

Anda mungkin juga menyukai