Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi HIV diderita berbagai kalangan dan usia, termasuk anak. Data dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia  menunjukkan bahwa sekitar 3 persen
dari penderita  HIV-AIDS di Indonesia adalah anak-anak berusia di bawah 14
tahun. Human immunodeficiency virus adalah virus yang menyerang sel yang
berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mengakibatkan
kekebalan tubuh menurun. Sementara itu, istilah acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) adalah stadium lanjut dari infeksi HIV yang ditandai oleh
kumpulan gejala klinis berat berupa berbagai infeksi oportunistis. Anak yang
terinfeksi HIV belum tentu menderita AIDS. Anak terinfeksi HIV yang
mendapatkan pengobatan teratur sejak dini dapat bertumbuh dan berkembang
dengan baik.1,2,3
Sebagian besar anak terinfeksi HIV melalui infeksi vertikal yaitu melalui ibu
pada saat kehamilan (5-10 persen). Proses kelahiran (10-20 persen), dan melalui
air susu ibu/ASI (5-20 persen). Sementara itu, sebagian kecil anak, kurang dari 10
persen, dapat tertular melalui jarum yang terkontaminasi, transfusi darah, atau
kekerasan seksual dari dewasa yang terinfeksi HIV. 1,2,3
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah Ribonucleic Acid (RNA)
retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di
mana terjadi infeksi dengan masa inkubasi yang lama dan menyebabkan
kegagalan sistem imun progresif sehingga timbul berbagai manifestasi klinis.
Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang
terkontaminasi darah, dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal,
atau pasca persalinan. Human immunodeficiency virus merupakan golongan
retrovirus subkelompok lentivirus. Saat ini dikenal 2 serotipe virus HIV, yaitu
HIV-1 dan HIV-2.1,2Serotipe virus HIV-1 dikenal sebagai penyebab utama AIDS
di seluruh dunia; sedangkan HIV-2 lebih behubungan dengan simian
immunodeficiency virus (SIV) pada simpanse.4,5

1
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan
tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV
akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.
Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis
dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan
kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV..6,7
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization
(WHO) pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 35,3 juta orang hidup dengan HIV
,diantaranya 32,1 juta pada orang dewasa. Sebesar 17,7 juta yang terinfeksi adalah
perempuan dan sebanyak 3,3 juta anak-anak dibawah usia 15 tahun. Jumlah orang
terinfeksi baru dengan HIV sebanyak 2,3 juta dengan pembagian 2 juta usia
dewasa dan 260 ribu anak-anak usia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS,
adalah sebanyak 1,6 juta orang dengan pembagian 1,4 juta orang dewasa dan 210
ribu anak – anak usiia <15 tahun. 8,10

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah Ribonucleic Acid (RNA)
retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di
mana terjadi infeksi dengan masa inkubasi yang lama dan menyebabkan
kegagalan sistem imun progresif sehingga timbul berbagai manifestasi klinis.
Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang
terkontaminasi darah, dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal,
atau pasca persalinan.4,5
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan
gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik)
karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit
kerena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman.
Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh barbagai virus, jamur, bakteri dan
parasit serta dapat menyerang berbagai organ.4,12
B. Epidemiologi
Pada tahun 2013, dari 35 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia
wilayah yang paling banyak ditemukan yaitu Sub-Sahara Afrika hampir 70%, dan
dilaporkan dari 1,5 juta kematian AIDS sebanyak 73%. Kelompok wanita yang
paling banyak terpapar, mewakili lebih dari setengah (sekitar 58%) dari orang
yang hidup dengan HIV di Sub-Sahara Afrika dan sekitar 700 bayi per hari
terinfeksi virus karena penularan dari ibu ke anak. Pada tahun 2014 di Asia
Tenggara terdapat sekitar 1,3 juta (37%) perempuan yang terinfeksi HIV, dan
lebih dari 90% tertular dari ibu yang positif HIV. 8,9
Pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV mencapai 2,1 juta dan jumlah
kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan

3
190.000 anak berusia <15 tahun (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan RI, 2014). Jumlah penderita HIV di Jawa Barat pada
tahun 2016 mencapai 23.145 orang dan menempati peringkat keempat setelah
DKI Jakarta, Jawa Timur dan Papua (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan RI, 2016). Kota Bandung menjadi kota dengan kasus
HIV tertinggi setelah kota-kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bogor, Kota
Bekasi, KotaIndramayu dan Kabupaten Bekasi.
Grafik 1: Estimasi Jumlah Kasus AIDS, dan jumlah kasus HIV pada anak usia 0 –
14 tahun di Indonesia tahun 2005 - 201711

4
C. Etiologi HIV-AIDS
Di Paris pertama ditemukan tahun 1983 di limfanodus pada pasien dengan
limfadenopati. HIV merupakan penyebab dari AIDS, virus HIV termasuk dalam
famili Retroviridae dan genus Lentivirus. Virus ini memiliki dua jenis serotipe,
yaitu Human Immunodeficiency Virus type 1 (HIV-1) dan Human
Immunodeficiency Virus type 2 (HIV-2). HIV-1 adalah virus HIV yang paling
infektif, memiliki virulensi yang lebih tinggi, dan merupakan penyebab infeksi
HIV global. HIV-2 adalah virus yang memiliki infektifitas dan virulensi yang
lebih rendah dan ditemukan terutama di Afrika Barat.4,10
Retrovirus merupakan virus yang memiliki virion sferis berdiameter 80-100
nm dan memiliki inti silindris. Genom pada retrovirus berupa RNA untai tunggal.
Retrovirus memiliki suatu enzim reverse transcriptase yang berfungsi mengubah
RNA virus menjadi Deoxyribonucleic acid (DNA) pada saat menginfeksi sel.4,12
Virus HIV memiliki struktur dasar berupa partikel inti (core), protein matriks,
dan selubung virus (envelope) yang merupakan pembentuk membrane sel host.
Selubung virus tersusun atas dua lapis lemak dan beberapa protein yang tertanam
pada selubung virus, protein membentuk struktur yang terdiri dari glikoprotein
120 (gp120) yang berada dibagian luar membrane virus, dan glikoprotein 41
(gp41) yang menembus membrane virus. Glikoprotein luar berfungsi untuk
perlekatan dengan reseptor sel inang saat proses infeksi dan glikoprotein
transmembran sangat diperlukan untuk proses fusi. Protein matriks HIV terdiri
dari protein p17 dan terletak antara selubung dan inti, sedangkan inti virus terdiri
dari protein p24 yang mengelilingi dua untai tunggal RNA HIV dan enzim yang
diperlukan untuk replikasi HIV, seperti reverse transcriptase, protease,
ribonuklease, dan integrase.4,10,12
D. Siklus hidup HIV-AIDS
Seperti halnya virus lain, virus HIV hanya dapat bertahan hidup dan
memperbanyak diri di dalam sel. Dengan demikian daur hidup virus HIV dapat
dibedakan dalam beberapa tahap, yaitu : 4,10,12

5
Gambar 3 : Siklus Hidup HIV12

1) Tahap masuknya virus dalam sel


Tahap masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur permukaan
virus dan inangnya, penempelan berlangsung karena adanya muatan listrik yang
berlawanan antara molekul gp120 yang memiliki muatan positif dengan
proteoglikan dan lektin permukaan sel yang bermuatan negative, setelah terjadi
penempelan, gp120 akan melakukan ikatan spesifik dengan molekul CD4 yang
dimiliki sel inang, ikatan ini akan memicu berbagai perubahan struktur molekul
gp120, diantaranya membentuk tempat ikatan untuk molekul koreseptor kemokin
dari jenis C-C Chemokine Receptor type 5 (CCR5) atau C-X-C Chemokine
Receptor type 4 (CXCR4), koreseptor dibutuhkan untuk menginduksi konfirmasi
gp41 yang berada dalam membran virus, dan struktur tersebut akan memaparkan
peptide fusi dari molekul gp41 yang akan disusul penyisipan peptida tersebut
dalam membrane sel inang (sel TCD4+).

6
2) Tahap transkripsi mundur dari integrasi genom
Dalam memanfaatkan kelengkapan yang dimiliki sel, genom virus harus
digabungkan dengan genom sel inang dengan cara diintegrasikan melalui
penyisipan dalam molekul DNA yang dimiliki inti sel inang. Tetapi karena genom
retrovirus dalam bentuk RNA, maka sebelum diintegrasikan dalam genom sel
inang, molekul RNA harus ditranskripsi mundur menjadi molekul DNA. Itulah
sebabnya dalam inti retrovirus dilengkapi dengan enzim reverse transcriptase
yang diperlukan untuk transkripsi mundur. Dua untaian RNA virus ditranskripsi
mundur menjadi dua untaian complementary Deoxyribonucleic Acid (cDNA).
Pasangan DNA virus ini kemudian pindah dari sitoplasma sel kedalam intinya dan
disisipkan kedalam DNA inang dengan bantuan enzim integrase.
Genom virus yang telah menyatu dengan genom sel inang dapat berada dalam
keadaan laten atau aktif. cDNA yang aktif disebut sebagai provirus. Provirus
digunakan sebagai pola cetakan transkripsi menjadi untainan RNA dalam proses
replikasi atau biosintesis protein virus yang diperlukan dalam partikel virus baru.
3) Tahap replikasi
Replikasi salinan virus dimulai dengan proses transkripsi, splicing messenger
Ribonucleic Acid (mRNA) dalam inti, dan translasi pada ribosom dari rough
reticulum endoplasmic (rER) menjadi peptide yang diselesaikan dalam kompleks
golgi.
4) Tahap perakitan dan pendewasaan virus
Perakitan partikel virus baru pada prinsipnya berlangsung pada membran sel
inang yang terinfeksi. Perakitan komponen – komponen virus bergantung pada
protein sel inang, yang akan mengikat protein p55 dan mendorong pembentukan
inti virus yang belum dewasa. Protein struktural lain dari virus berkumpul di
membran sel bersama dua untaian genom RNA. Enzim reverse transcriptase,
protease, dan integrase diintegrasikan menjadi virus yang belum dewasa. Protein
struktural utama yaitu p6, menghubungkan daerah membrane plasma yang
merupakan tempat berlangsungnya pembentukan partikel virus baru. Sebelum
berlangsungnya pembentukan partikel virus, beberapa faktor restriksi virus dalam
sitoplasma dapat digabungkan dalam virion. Bersamaan dengan pembentukan

7
partikel virus muda dari membrane sel, terjadi proses proteolisis kapsid untuk
pengembangan virus menjadi dewasa.
E. Penularan HIV
Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut :5,13
a. Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan,
terlebih jika disertai infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Karena itu semua
hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral
maupun anal.
b. Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit)
dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril
c. Perinatal : penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah
atau cairan genital saat persalinan dan melalui air susu ibu (ASI) pada masa
laktasi.
2.5.1 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi
berkisar antara 20-50%. Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada
masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV, namun bila terjadi
peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih
sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut :
3,5,13,14

a. Faktor ibu.
1) Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama
terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin

8
besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan
dan masa menyusui bayi.
2) Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel
CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah
karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu
berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi,
sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya
mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
3) Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
4) Penyakit infeksi selama kehamilan: infeksi menular seksual (IMS), misalnya
sifilis; infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko
meningkatkan kadar HIV pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV
kepada bayi semakin besar.
5) Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
b. Faktor bayi
1) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
2) Periode pemberian air susu ibu (ASI) : risiko penularan melalui pemberian
ASI bila tanpa pengobatan berkisar antara 5-20%.
3) Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi
ASI.
c. Faktor tindakan obstetrik
Resiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi saat persalinan, karena
tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya
hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan

9
lendir ibu di jalan lahir. Faktor – faktor yang dapat meningkatkan resiko
penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut :
1) Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar dari
pada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak
risiko lainnya untuk ibu.
2) Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/
lendir ibu semakin lama.
3) Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat
jam.
4) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
F. Patomekanisme
Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target ( terutama
sel limfosit T ) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD4. Ia
melepas bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-tase yang dibawanya
untuk mengubah bentuk RNA-nya menjadi DNA agar dapat bergabung
menyatukan diri dengan DNA sel target (sel limfosit T helper CD4 dan sel-sel
imunologik lain ). Dari DNA sel target ini berlangsung seumur hidup. Sel limfosit
T ini dalam tubuh mempunyai mempunyai fungsi yang penting sebagai daya
tahan tubuh. Akibat infeksi ini fungsi sistem imun (daya tahan tubuh) berkurang
atau rusak, maka fungsi imonologik lain juga mulai terganggu.4,10
HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus untuk
melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi linfosit B juga
terpengaruh, dengan peningkatan produksi imunoglobulin total sehubungan
dengan penurunan produksi antibodi spesifik. Dengan memburuknya sistem imun
secara progresif, tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi oportunis dan
juga berkurang kemampuannya dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV
dimanifestasikan sebagai penyakit multi-sistem yang dapat bersifat dorman

10
selama bertahun-tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap.
Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari penyakit ini bervariasi dari
orang ke orang. Virus ini ditularkan hanya melalui kontak langsung dengan darah
atau produk darah dan cairan tubuh, melalui obat-obatan intravena, kontak
seksual, transmisi perinatal dari ibu ke bayi, dan menyusui. Tidak ada bukti yang
menunjukkan infeksi HIV didapat melalui kontak biasa.12,13
Empat populasi utama pada kelompok usia pediatrik yang terkena HIV : 4,5
1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi
(disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus
AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
2) Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan
hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang )
G. Gambaran klinis
Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit
berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis
oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan anak dengan
infeksi HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun.5,6
Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen pada
penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi oportunistik
"penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan sangat mematikan
adalah Pneumocystis carinii pneumonia (PPC). Tanda klinis PPC pada bayi
terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan berat dengan batuk, takipnea,
dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke arah blokade kapiler
alveolar (mis : proses radang interstisial). Roentgenogram dada menunjukkan
pneumonitis difus bilateral dengan diafragma datar. Diagnosis biasanya diperkuat
oleh bronkoskopi fleksibel dan cuci bronkoalveolar dengan pewarnaan yang tepat
untuk kista maupun tropozoit. Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik.
Diagnosa banding pada bayi termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus
Epstein-Barr, virus herpes simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi

11
pernafasan terkait mengi. Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal mungkin,
tetapi prognosis jelek dan tidak secara langsung dikorelasikan dengan jumlah
limfosit CD4+.. Reaktivasi PPC tampak semakin bertambah pada anak yang lebih
tua yang mempunyai perjalanan klinis infeksi HIV-1 yang lebih kronis.
Profilaksis PPC (trimetropim-sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan
pada penderita pediatri dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka
absolut ).15,16
Infeksi oportunistik penting lain melibatkan ssstem saraf sentral, seperti
Toxoplasma gondii. Infeksi Mycobacterium avium complex biasanya
menimbulkan gejala saluran cerna, dan herpes virus menimbulkan komplikasi
retina, paru, hati, dan neurologist. M. tuberculosis dan malaria yang tersebar di
seluruh dunia adalah patogen oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma
relatif tidak sering pada penderita terinfeksi HIV-1 pediatri.15,17
Manifestasi klinisnya antara lain : 15,18
World Health Organization (WHO) menyatakan stadium klinis infeksi HIV
bayi dan anak yang dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV.
Stadium klinis ini berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara
komprehensif dan berkesinambungan (lihat tabel 1). 17,18

Tabel 1 : Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV17,18
Stadium klinis 1 Asimtomatik
Limfadenopati generalisata
Hepatosplenomegali
Stadium klinis 2 Hepatosplenomegali
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster

12
Infeksi saluran napas atas kronik atau
berulang
Infeksi kuku oleh fungal
Stadium klinis 3 Malnutrisi sedang yang tidak dapat
dijelaskan, tidak berespon secara
adekuat terhadap terapi standar.
Diare persisten yang tidak dapat
dijelaskan (14 hari atau lebih)
Demam persisten yang tidak dapat
dijelaskan ( > 37.5oC intermitten atau
konstan > 1 bulan )
Kandidosis oral persisten (di luar saat
6-8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontritis/gingivitis ulseratif
nekrotikans akut
TB kelenjar
TB paru
Pneumonia bacterial yang berat dan
barulang
Pneumonistis interstitial limfoid
simtomatik.
Penyakit paru berhubungan dengan
HIV yang kronik termasuk
bronkiektasis.
Anemia yang tidak dapat dijelaskan
(<8g/dl), neutropenia (<500/mm3) atau
trombositopenia (<50000/mm3)
Stadium klinis 4 Malnutisi, wasting dan stunting berat
yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespons terhadap terapi standar.

13
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang
Infeksi herpes simplex kronik
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esophagus
Toksoplasmosis susunan saraf pusat
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV)
Kriptokokosis ekstrapulmonar
Mikosis endemic
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis
Kardiomiopati atau nefropati
Limfoma sel B non-hodgkin atau
limfoma serebral
Progressive multifocal
leukoencephalopathy

H. Diagnosis infeksi HIV pada anak


Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi dari ibu – termasuk antibodi
terhadap HIV – ditransfer secara pasif kepada janin dan dapat terdeteksi sampai
anak berumur 18 bulan. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak
kurang dari 18 bulan dapat menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut
tidak terinfeksi HIV. Diagnosis HIV pada bayi dan anak dapat menggunakan uji
virologi dan serologi.13,15
Penilian awal pada prosedur diagnostik HIV pada bayi dan anak bila
ditemukan : 15,17
a. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat obat anti tuberkulosis (OAT) berulang , malnutrisi, atau pneumonia
berulang dan diare kronis atau berulang).

14
b. Bayi lahir dari ibu yang terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan perlakuan
pencegahan penularan dari ibu ke anak.
c. Untuk mengetahui status bayi atau anak kandung dari ibu yang didiagnosis
terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
d. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV, atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab
yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
e. Terpajan atau potensi terkenan infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain.
f. Anak yang mengalami kekerasan seksual.
1) Prinsip diagnosis HIV pada bayi dan anak
a) Uji virologis
Uji virologis merupakan tes yang direkomendasikan untuk semua bayi lahir
yang terpajan HIV, pada usia : 13,17
a. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah
umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifitas
98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
b. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
c. Uji virologis yang dianjurkan : HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) atau Dried Blood Spot
(DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat digunakan HIV RNA kuantitatif
viral load (VL) menggunakan plasma EDTA.
d. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4-6 minggu atau waktu tercepat yang mampu
laksana sesudahnya.
e. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka
terapi ARV harus segera dimulai, pada saat yang sama dilakukan pengambilan
sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
f. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif segera diikuti
dengan inisiasi ARV.

15
b) Uji serologis13,15,17
a. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan
spesifitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan
serologis dewasa.
b. Anak umur <18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila
hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologist
untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.
Jika uji serologis positif dan uji virologis positif belum tersedia, perlu
dilakukan pemantauaan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
c. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi
HIV harus menjadi uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
d. Pada anak umur < 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV
tetapi uji virologist tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan
diagnosis presumtif.
e. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
f. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan
pada orang dewasa.
2). Diagnosis presumtif HIV pada anak < 18 bulan
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan diperkirakan terinfeksi HIV, tetapi
perangkat laboratorium untuk Polymerase Chain Reaction (PCR) HIV tidak
tersedia, maka diagnosis ditegakkan dengan cara diagnosis presumtif, antara lain :
13,18

a) Bila didapatkan 1 dari kriteria berikut :13,15


a. PCP, meningitis, kriptokokus, kandidiasis esophagus
b. Toksoplasmosis
c. Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar
2.8.2.1 Bila didapatkan minimal 2 gejala berikut : 13,15
a. Oral trush

16
b. Pneumonia berat
c. Sepsis berat
d. Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang lanjut pada
ibu
e. CD4+ <20%
Menurut definisi Integrated management of childhood illness (IMCI) : 13,15,17
a. Oral trush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang normal atau
kemerahan (pseudomembran), atau bercak merah lidah, langit – langit mulut
atau tepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan pengobatan
antifungal topikal.
b. Pneumonia adalah betuk atau sesak napas pada anak dengan gambaran chest
indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti letargik atau penurunan
kesadaran, tidak dapat minum atau menyusu, muntah, dan adanya kejang
selama episode sakit sekarang.
c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan tanda yang
berat seperti bernapas cepat, chest drawing, ubun – ubun besar menonjol,
letargi, gerakan berkurang, tidak mau minum atau menyusu, dan kejang.

3). Diagnosis presumtif HIV pada anak >18 bulan


Diagnosis pada anak >18 bulan dengan memakai cara yang sama yaitu uji HIV
pada orang dewasa, yaitu pemeriksaan antibodi / serologi. Pada anak yang masih
mendapatkan ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi
dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama >6 minggu. Pada umur >18 bulan
ASI bukan lagi sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu
diminta untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.15,17
I. Penatalaksanaan
1. Penetapan Kriteria Klinis
Segera setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, dilakukan penilaian stadium
klinis. Penilaian stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling berat yang
pernah dialami, (lihat tabel 2).15,17
Tabel 2 : Kriteria Klinis

17
Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara klinis berhubungan dengan
HIV
Klinis Stadium Klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
2. Penetapan kelas imunodefisiensi
Kelas imunodefisiensi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan CD4,
terutama nilai persentase pada anak umur < 5 tahun, (lihat tabel 3).17,18
Tabel 3 Kelas imunodefisiensi17
Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4
Nilai CD4 menurut umur
Imunodefisiens < 11 bulan 12 – 35 bulan 36 – 59 bulan > 5 tahun
i (%) (%) (%) (sel/mm3)
Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500
Ringan 30 – 35 25 – 30 20 -25 350 – 499
Sedang 25 – 30 20 – 25 15 – 20 200 – 349
Berat < 25 < 20 < 15 < 200 atau
< 15 %
3. Indikasi terapi ARV menggunakan kombinasi kriteria klinis dan
imunologis
Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi untuk
mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin,(lihat tabel 4).17,18
Tabel 4 Indikasi ARV17
Umur Kriteria Klinis Kriteria Terapi
Imunologis
< 5 tahun Terapi ARV tanpa terkecuali
> 5 tahun Stadium 3 dan 4 Terapi ARV
Stadium 2 < 25 % pada anak Jangan obati bila
Stadium 1
24 – 59 bulan tidak ada
< 350 pada anak pemeriksaan
< 5 tahun CD4 , obati bila
CD4 < nilai
menurut umur

18
4. Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis
presumtif
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif
harus segara mendapat terapi ARV.Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat
dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan
atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV
ulang), maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien pasti terdiagnosis HIV atau
tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV dihentikan.15,19
5. Rekomendasi ARV
a. Panduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI)17,19
Pemberian ARV pada bayi mengikuti pedoman HIV pada anak (2013). Sejak
ARV dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan pemberian obat setiap hari,
karena ketidakpatuhan merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan.
Persiapan amat penting dilakukan sebelum memulai pemberian ARV, yaitu
persiapan pengasuh bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun
susu formula, harus diberi zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam), selama
enam minggu.17,18,20
Dosis zidovudin/Azidothymidine (AZT):17
1) Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu.
2) Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama empat minggu,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu.
3) Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama dua minggu
pertama, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti 4
mg/kg BB/12 jam selama dua minggu.
Pemberian ARV pada bayi, harus disesuaikan dengan dosis penalaksanaan
perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti terinfeksi HIV,
(lihat tabel 5) 15,19
Tabel 5 Dosis pengobatan antiretroviral pada bayi15,19

19
Obat Dosis
Zidovudine (ZDV) : Dosis pengobatan 1) Bayi yang lahir >35 minggu
dan profilaksis Bayi sampai 4 – 6 minggu
4 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
Berat Badan Volume (mL)
(kg) ZDV 10 mg/mL
Oral Syrup 2 x
sehari
2 - < 3 kg 1 mL
3 - < 4 kg 1.5 mL
4 - < 5 kg 2 mL
2) Bayi yang lahir 30 - < 35 minggu
Bayi – usia 2 minggu
2 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
Usia 2 minggu sampai 4 – 6 minggu :
3 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
3) Bayi yang lahir < 30 minggu
Bayi – usia 4 minggu :
2 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
Bayi usia 4 – 6 minggu :
3 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
Lamivudine (3TC) 1) Bayi yang lahir >32 minggu
Dosis pengobatan dan profilaksis Bayi – usia 4 minggu :
2 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
Bayi usia 4 – 6 minggu :
4 mg/kg/dosis/oral 2 x sehari
Nevirapine (NVP) 1) Bayi dengan BB 1.5 – 2 kg :
Dosis propilaksis 8 mg dosis oral 1 x sehari
2) Bayi dengan BB > 2 kg :
12 mg dosis oral 1 x sehari
Nevirapine (NVP) 1) Bayi yang lahir > 37 minggu
Dosis pengobatan Bayi – usia 6 minggu :
6 mg/kg/dosis oral 2 x sehari

20
2) Bayi yang lahir 34 - < 37 minggu
Bayi – usia 1 minggu :
4 mg/kg/dosis oral 2 x sehari
Bayi sampai usia 1 – 6 minggu :
6 mg/kg/ dosis oral 2 x sehari

b. Inisiasi profilaksis kotrimoksazol pada anak


Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka
diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai
dinyatakan HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah
infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV. Meminum kotrimoksazol
harus teratu, ( lihat tabel 6).5,16,17
Tabel 6 Panduan dosis kotrimoksazol yang direkomendasikan untuk bayi dan
anak-anak
Usia atau BB Dosis
<6 bulan atau <5kg 100 mg atau 20 mg
6 bulan – 5 tahun atau 5 – 15 kg 200 mg atau 40 mg
6 – 14 tahun atau 15 – 30 kg 400 mg atau 80 mg
>14 tahun atau >30 kg 800 mg atau 160 mg

Profilaksis kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV


sesudah dipastikan tidak tertular HIV (setelah ada hasil laboratorium baik PCR
maupun antibodi pada usia sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun yang
terinfeksi HIV, kotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4 >25%.5,17
Profilaksis untuk semua anak yang lahir dari ibu HIV positif sampai umur 5
tahun. Kebutuhan kotrimoksazol profilaksis bagi bayi dari ibu HIV, dosis berbasis
trimetropin dalam kotrimoksazol 4mg/kgBB perkali, sekali sehari. Strategi ini
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi infeksi HIV tinggi. Pasien dan
keluarga harus diedukasi bahwa kotrimoksazol tidak mengobati atau
menyembuhkan infeksi HIV. Kotrimoksazol tidak menggantikan kebutuhan terapi
antiretroviral. Kotrimoksazol mencegah infeksi yang umum terjadi pada bayi yang

21
terpajan HIV dan anak imunokompromais, dengan tingkat mortalitas tinggi, ( lihat
tabel 7). 5,17
Tabel 7 Inisiasi profilaksis kotrimoksazol
Bayi dan anak terpajan HIV Bayi dan anak terinfeksi HIV
<1 tahun 1-5 tahun >5 tahun
Profilaksis kotrimoksazol Profilaksis Stadium Stadium
secara umum diindikasikan kotrimoksazol WHO 2 – 4 WHO
mulai 6 minggu setelah lahir diindikasikan tanpa melihat berapapun
dan dipertahankan sampai tanpa melihat persentase dan
tidak ada resiko transmisi nilai CD4 atau CD4 atau CD4<350
HIV dan infeksi HIV telah stadium klinis stadium atau stadium
disingkirkan WHO WHO 3 atau
berapapun 4 tanpa
dengan melihat kadar
CD4<25% CD4

c. Pemberian nutrisi bagi bayi dari ibu dengan HIV


Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-
nya sebagai berikut :15,17,21
1) Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularan HIV
diberikan sejak sebelum persalinan.
2) Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat
informasi dan konseling secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil seorang
ibu haruslah didukung.
3) Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan
mixed feeding).
4) Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula, karena
memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV kepada bayi.
Hal ini karena susu formula adalah benda asing yang dapat menimbulkan

22
perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV
yang ada dalam ASI ke aliran darah bayi.
5) Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV
negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika seluruh syarat AFASS
(affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Pemenuhan
syarat AFASS ditandai dengan adanya: rumah tangga dan masyarakat yang
memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik, ibu atau
keluarganya sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak, ibu atau keluarganya mampu
menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan frekuensi yang cukup,
sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi, ibu atau
keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus-menerus
sampai bayi berusia 6 bulan, keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik, dan ibu atau keluarganya dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi bayinya.
6) Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat diberikan
dengan cara penyiapan yang baik. Di negara berkembang, syarat tersebut sulit
dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI, yang cukup aman
selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.
7) Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi)
bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan
terhenti secara berangsur. Sementara menunggu terhentinya produksi ASI,
untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah dengan
frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI berhenti. ASI
perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.
8) Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat pada nomor
5 belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara diperah
dan dipanaskan (heat-treated) dan diberikan dengan menggunakan gelas kaca
atau gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen), sementara bayi mulai

23
mendapat makanan pendamping seperti biasa. Pada usia 12 bulan ASI harus
dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi utama.
Jika bayi telah diketahui HIV positif:
a) Ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi berumur
enam bulan.
b) Mulai usia enam bulan, bayi diberikan makanan pendamping ASI dan ASI
tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.
J. Pencegahan penularan HIV
1. Prong 1 : Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV
pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi tertular HIV.
Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan pencegahan
primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini,
bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Hal ini berarti mencegah
perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya untuk tidak
terinfeksi HIV. Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi dijamin bisa
dicegah.5,15,20
Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut:
5,15,20,21

1) A (Abstinence): artinya absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
yang belum menikah.
2) B (Be faithful): artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan).
3) C (Condom): artinya cegah penularan hiv melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom.
4) D (Drug No): artinya dilarang menggunakan narkoba.
5) E (Education): artinya pemberian edukasi dan informasi yang benar mengenai
hiv, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
2. Prong 2: Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV

24
Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan
seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan HIV
memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas dan
menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat keadaan
daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap penularan HIV
selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi. Perempuan dengan HIV
masih dapat melanjutkan kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa
bila mendapatkan pengobatan dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa
memiliki anak yang bebas dari HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik.
Untuk itu, perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan
yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan
yang tidak direncanakan. 5,15,20
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : 5,15,20
1) Meningkatkan akses orang dengan HIV AIDS (ODHA) ke layanan keluarga
berencana (KB) yang menyediakan informasi dan sarana pelayanan
kontrasepsi yang aman dan efektif.
2) Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang perencanaan
kehamilan dan pemilihan metoda kontrasepsi yang sesuai, kehidupan seksual
yang aman dan penanganan efek samping KB.
3) Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan dengan
HIV.
4) Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan.
3.0.3 Prong 3: Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar antara 20-
50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur dan perawatan
yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIV
melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. 5,15,20
Pencegahan penularan HIV, pada ibu hamil yang terinfeksi HIV ke janin atau
bayi yang dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut : 5,15,20

25
1) Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV.
2) Menegakkan diagnosis HIV.
3) Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) bagi ibu.
4) Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
5) Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta KB.
6) Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
7) Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8) Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9) Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama
hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara berkesinambungan.
Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk
mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko
penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.
5,15,20

3. Prong 4: Dukungan psikologis, sosial, medis dan perawatan


Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar dapat bergaul dan
bekerja mencari nafkah seperti biasa. Dukungan medis dan perawatan diperlukan
untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penurunan daya tahan tubuh.
Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan keluarganya.5,15,20
1) Dukungan psikososial
Pemberian dukungan psikologis dan sosial kepada ibu dengan HIV dan
keluarganya cukup penting, mengingat ibu dengan HIV maupun ODHA lainnya
menghadapi masalah psikososial, seperti stigma dan diskriminasi, depresi,
pengucilan dari lingkungan sosial dan keluarga, masalah dalam pekerjaan,
ekonomi dan pengasuhan anak. Dukungan psikososial dapat diberikan oleh
pasangan dan keluarga, kelompok dukungan sebaya, kader kesehatan, tokoh
agama dan masyarakat, tenaga kesehatan dan Pemerintah. Bentuk dukungan
psikososial dapat berupa empat macam, yaitu:5,15,20
a) Dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang,
b) Dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif.

26
c) Dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi keluarga.
d) Dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV-AIDS dan seluruh
layanan pendukung, termasuk informasi tentang kontak petugas kesehatan
/kelompok dukungan sebaya.
2) Dukungan medis dan perawatan
Tujuan dari dukungan ini untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat dengan
peningkatkan pola hidup sehat, kepatuhan pengobatan, pencegahan penyakit
oportunis dan pengamatan status kesehatan. Dukungan bagi ibu meliputi:5,15,20
a) Pemeriksaan dan pemantauan kondisi kesehatan.
b) Pengobatan dan pemantauan terapi ARV,
c) Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik,
d) Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan,
e) Konseling dan dukungan asupan gizi,
f) Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat,
g) Kunjungan rumah.
3) Dukungan bagi bayi/anak meliputi:
a) Diagnosis HIV pada bayi dan anak.
b) Pemberian kotrimoksazol profilaksis.
c) Pemberian ARV pada bayi dengan HIV.
d) Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi dan anak.
e) Pemeliharaan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang anak.
f) Pemberian imunisasi.
4) Penyuluhan yang diberikan kepada anggota keluarga meliputi :
a) Cara penularan HIV dan pencegahannya.
b) Penggerakan dukungan masyarakat bagi keluarga.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartadi ST, Kaligis F, Ismail RI, Damping CE, Kurniati N. Mental disorders
in children and adolescents with hiv and various factors related. 2017;5:170.
Diakses pada tanggal 26-02-2019. Didapat dari :
https://media.neliti.com/media/publications/227857-gangguan-mental-pada-
anak-dan-remaja-den-7c06f7a0.pdf
2. Hondegla ABA, Djeha A, Evia KL, Atakouma DY. Outcome of infants born
to hiv-positive women through the aspects of prevention of mother to child
transmission in lome (togo, west africa) from 2008 to 2010. 2016;8:100-2.
Diakses pada tanggal 05-02-2019. Didapat dari :
http://www.academicjournals.org/journal/JAHR/article-full-text-
pdf/65EB48659910

28
3. Guidelines. Pediatric antiretroviral therapy (ART). National aids control
organisation (NACO). 2013;16-125. Diakses pada tanggal 02-03-2019.
Didapat dari : http://naco.gov.in/sites/default/files/Pediatric_14-03-2014.pdf
4. Klatt ED MD. Pathology of HIV/AIDS version 27. Mercer University School
of Medicine Savannah. 2016;6-313. Diakses pada tanggal 06-2-2019. Didapat
dari : https://library.med.utah.edu/WebPath/AIDS2016.PDF
5. Kemenkes RI. Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan hiv dan sifilis
dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. 2015;1-0. Diakses pada tanggal 25-
02-2019. Didapat dari :
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Pedoman_Manajemen_PPIApdf.p
df
6. Chia A, Nguyen A, Ocran S. Prevention of mother to child hiv transmission
in resource-limited areas. Turku University of Applied Sciences. 2016;6-9.
Diakses pada tanggal 09-02-2019. Didapat dari :
https://www.theseus.fi/bitstream/handle/10024/112369/Thesis_final.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
7. Alvarenga WDA, Dupas G. Experience of taking care of children exposed to
HIV: a trajectory of expectations. 2014;22(5)849-50. Diakses pada tanggal
09-02-2019. Didapat dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4292661/pdf/0104-1169-
rlae-22-05-00848.pdf
8. Sohn AH, Hazra R. The changing epidemiology of the global paediatric HIV
epidemic: keeping track of perinatally HIV-infected adolescents. Journal of
the International AIDS Society. 2013;1-6. Diakses pada tanggal 26-02-2019.
Didapat dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3687075/pdf/JIAS-16-
18555.pdf
9. Melaku Z, Lulseged S, Wang C, Lamb MR, Gutema Y, Teasdale CA, at all.
Outcomes among HIV-infected children initiating HIV care and antiretroviral
treatment in Ethiopia. Tropical medicine and international health.

29
2017;22(4)474-77. Diakses pada tanggal 26-02-2019. Didapat dari :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/tmi.12834
10. Tzu L, Ching TT. HIV Pathogenenesis. Lecture 24 biology virology. 2014;5-
32. Diakses pada tanggal 09-02-2019. Didapat dari :
http://www.virology.ws/w3310/024_W3310_14.pdf
11. Kemenkes RI. Estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011 –
2016. 2014;25-30. Diakses pada tanggal 09-02-2019. Didapat dari :
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Estimasi_dan_Proyeksi_HIV_AI
DS_di_Indonesia.pdf
12. Rediscovering Biology. HIV and AIDS. Molecular to global
perspective.2015;5-16. Diakses pada tanggal Diakses pada tanggal 10-02-
2019. Didapat dari : https://archive.org/details/ost-biology-textbook_full
13. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology management,
procedures, on-call promblems, diseaseses, and drugs. International edition.
ed ketujuh. McGraw-Hill Education Lange 2013. P.649-56.
14. Mothi SN, Lala MM, Tappuni AR. HIV/AIDS in women and children in
India. Oral disease. 2016;(22)20-22. Diakses pada tanggal 06-02-2019.
Didapat dari : https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/odi.12450
15. National Consolidated Guidelines. For the prevention of mother-to-child
transmission of hiv (pmtct) and the management of hiv in children,
adolescents and adults. Department health Republic of south Africa. 2015;14-
122. Diakses pada tanggal 6-02-2019. Didapat dari :
http://www.sahivsoc.org/Files/ART%20Guidelines%2015052015.pdf
16. Vreeman RC, Scanlon ML, McHenry MS, Nyandiko WM. The physical and
psychological effects of HIV infection and its treatment on perinatally HIV-
infected children. Journal of the International AIDS Society. 2015;(6)1-8.
Diakses pada tanggal 06-02-2019. Didapat dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4670835/pdf/JIAS-18-
20258.pdf

30
17. Kemenkes RI. Pedoman penerapan terapi HIV pada Anak. 2014. Diakses
pada tanggal 2-03-2019. Didapat dari :
http://www.spiritia.or.id/dokumen/pedoman-hivanak2014.pdf
18. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Ed keenam bahasa Indonesia. Elsevier 2014. P.444-
50.
19. Aids info. Guidelines for the use of antiretroviral agents in pediatric hiv
infection.2018. Diakses pada tanggal 09-02-2019. Didapat dari :
https://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/pediatricguidelines.pdf
20. Achmat Z. Pramono A. Intervention of care support treatment which children
with hiv/aids as the target: a humanistic approach model for children and the
environment in facing stigma. 2015. Diakses pada tanggal 22-02-2019.
Didapat dari : ejournal.umm.ac.id/index.php/JPA/article/download/2746/3445
21. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris SN, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, et all. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Ed 3.
2011. P.143-9.

31

Anda mungkin juga menyukai