Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka HIV/AIDS

1. Defenisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan pathogen yang menyerang

sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+I permukaanya

seperti makrofag dan limfosit T, sementara Acquired Immunodeficiency Syndrome

(AIDS) merupakan kondisi (sindrom) imunisupresif yang berkaitan dengan berbagai

infeksi oprtunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic tertentu akibat

infeksi HIV, (Tanto dkk,2014)

2. Etiologi

a) Struktur dan Faktor Virulensi

HIV merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili

Lentivirus dan family Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe :

HIV-1 yang menyebar luas keseluruh dunia; dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika

Barat dan beberapa negara Eropa.(Tanto dkk,2014)

Virion HIV-1 bersifat bulat dan mengandung inti berbentuk kerucut yang

dikelilingi oleh lipida yang berasal dari membran sel inang. Inti virus mengandung

protein kapsid utama p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua Salinan RNA genomic,

dan tiga enzim virus protase, reverse transciptase, dan integrase. Inti virus dikelilingii

oleh protein matriks yang disebut p17, terbaring dibawah selubung virion. Amplop

virus itu sendiri bertahtakan dengan dua glikprotein virus (gp120 dan gp41), penting

untuk infeksi HIV pada sel. (Kumar dkk,2014)

Sehubungan dengan protein yang disebutkan diatas, genom provirus HIV-1

terdiri dari gen penagatur yang memiliki peran masing-masing dalam virulensi.
Misalnya, gen lel,pol, dank ode env untuk berbagai protein virus yang kemudian

digunakan untuk perakitan virus. Gen penting lainnya adalah nef, yang bertanggung

jawab untuk perkembangan penyakit ini. HIV mempunyai karateristik dari rendahnya

kepatuhan terhadap virus plomerase, yang menghasilkan urutan nukleotida yang

sangat bervariasi, dan dengan demikian struktur antigen sangat bervariasi. (Tanto

dkk,2014)

b) Metode Transmisi

Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV

yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum

suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang

terinfeksi HIV ke bayinya yang dilahirkan. (Djoerban,2014)

Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal

dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterine), waktu bersalin

(intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI). Penyebab utama trasmisi

vertkal adalah intrapartum yang menyumbang 50-70% HIV menular secara vertikal.

Resiko penularan HIV secara vertikal meningkat pada bayi yang lahir dari wanita

yang memiliki infeksi HIV akut dan viral load tinggi selama kehamilan atau menyusui,

usia tua saat hamil, persalinan spontan, dan juga saat menyusui. Semua ini

menyebabkan 90% kasus HIV anak-anak (dibawah usia 15 tahun) disebabkan oleh

transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi pada tahun 2006.(Suradi,2003)

HIV-1 berada didalam ASI dalam bentuk terikat dalam satu sel atau virus

bebas, namun belum diketahui bentuk mana yang ditularkan ke bayi. Beberapa zat

antibody yang terdapat didalam ASI dapat bekerja protektif terhadap penularan

melalui ASI seperti laktoferin, secretory leukocyte protease inhibitor. Status vitamin A
pada ibu juga penting karena terbukti laju penularan lebih tinggi pada ibu dengan

defesiensi vitamin A. (suradi,2003)

Menurut CDC, 8.500 wanita denan HIV melahirkan setiap tahun.Tanpa

tindakan pencegahan, resiko penularan intraprtum pervaginam adalah 10,6%

sedangkan pada operasi Caesar adalah 1,8% dan transmisi menyusui adalah 15%.

(CDC HIV/AIDS<2016)

3. Patogenesis

HIV menyerang sel-sel dengan reseptor CD4+, terutama limfosit T

monosit/makrofag, namun juga menginfeksi sel lainnya, seperti megakariosit, epidermal

Lagerhans, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks,

mikroglia, astrosit, sel trophoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Tanto

dkk,2014).

HIV memiliki struktur gp120 yang akan berkaitan dengan reseptor CD4+. Ikatan

tersebut diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor kemokin

CCR5 dan reseptor CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan untuk penggabungan

virus dengan membran sel agar virus dapat masuk ke dalam sel inang. Setelah

berikatan dengan kuta terjadilah fusi membrane virus dan seluruh komponen HIV akan

masuk ke dalam sitoplasma sel inang, kecuali selubungnya. (Tanto dkk, 2014)

Di dalam sel inang, ssRNA virus akan mengalami proses transkripsi dengan

perantara enzim reverse transcriptase hingga terbentuk seuntai cDNA. Setelah itu, DNA

yang terbentuk akan pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel inang dan menyisip ke

dalam DNA sel inang dengan bantuan enzim integrase, yang disebut juga sebagai

provirus. Provirus tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang

sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferiensi sel inang yang terinfeksi.

Sampai suatu saat, terjadilah suatu stimulasi yang dapat memicu terjadinya replikasi
virus dengan kecepatan tinggi, seperti pengaruh beberapa sitokin proinflamatorik.

(Tanto dkk,2014)

Provirus yang terintegrasi dalam DNA sel target akan ikut proses kripsi sel inang.

Hasil transkripsi tersebut memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA genom yang nantinya

tergabung dalam virion, dan sebagai mRNA yang menjadi protein-protein virus. RNA

genom dan protein-protein virus tersebut akan menjadi virus yang baru. (Tanto

dkk,2014)

4. Manifestasi Klinik

Menurut Kemenkes, 2012 infeksi HIV dibagi menjadi 4 fase. Fase awal atau masa

inkubasi terjadi 2-4 minggu pertama setelah terinfeksi, tidak ada gejala yang terjadi.

Beberapa minggu kemudian, p-asien masuk ke fase infeksi akut yang ditandai oleh

gejala mirip flu, termasuk fatigue, demam,sakit kepala, limfadenopati. Karateristik dari

fase ini adalah viral load tinggi, berlangsung selama 28 hari sampai beberapa minggu.

Fase ini diikuti oleh fase laten panjang yaitu 5 sampai 10 tahun, gejala hampir tidak ada

tetapi virus tetap aktif berkembang dan menghancurkan sistem imun tubuh. Seiring

dengan menurunnya jumlah CD4, penurunan imun juga terjadi dan AIDS terdiagnosis

saat CD4 < 200/ml. pasien akan menghadapi ancaman hidup dari infeksi oportunistik

seperti Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP), Micobacterium Avium Complex (MAC),

tuberculosis pulmonary, toksoplasmosis, kandidiasis, dan infeksi cytomegalovirus (CMV)

atau keganasan seperti sarcoma Kaposi dan limfoma non Hodgkin. (Lumbanraja, 2016)

Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan trasmisi perinatal. Trasmisi

perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa penelitian melaporkan

tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal seperti

pada kasus epsiotomi, laserasi vagina atau persalinan dengan forsep, sekresi genital

yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-rata tarnsmisi vertikal dari ibu ke anak dengan

infeksi HIV mencapai 25-30%. Faktor lain yang meningkatkan resiko transmisi ini, antara
lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV, ibu dengan AIDS,

lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah. Viral load maternal yang tinggi,

korioamnionitis, persalinan pervaginam dan pasien HIV dengan koinfeksi. Interprestasi

kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi HIV adalah karier

asimptomatik dan mempunyai kondisi tersebut ketergantungan obat, nutris buruk, akses

terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan adanya penyakit menular seksual.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur, Premature Rupture

Membrane (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi pertumbuhan intrauterine,

kematian perinatal dan endometritis postpartum. (Nasronudin,2007)

5. Keuntungan Diagnosa Dini Infeksi HIV

Kemajuan ilmu pengetahuan tentang HIV dewasa ini menunjukkan bahwa deteksi

dini infeksi HIV sangat menguntungkan bagi penderita dan masyarakat. Dengan

demikian, hal ini merupakan tantangan bagi petugas kesehatan (dokter, bidan, perawat)

untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang diagnosis dini infeksi

HIV (Maryunani, 2013).

Menurut Maryunani dan Aeman, 2013. Beberapa keuntungan diagnosis dini infeksi

HIV adalah sebagai berikut :

a. Keuntungan pada penderita secara individual

a) Memperpanjang masa asimptomatik

b) Menunda progresivitas penyakit

c) Mencegah infeksi oportunistik

d) Mengoptimalkan pengelolaan kesehatan bagi penderita melalui edukasi dan

konseling

e) Pengobatan hanya memungkinkan bila intervensi dilakukan sedini mungkin

b. Keuntungan bagi penderita secara berkelompok

a) Memonitor kemajuan terapi


b) Meningkatkan partisipasi dalam riset dan uji klinik

c) Mengembangkan pelayanan baru sesuai dengan kebutuhan penderita

c. Keuntungan bagi komunitas

a) Dokumentasi perubahan epidemic

b) Menurunkan kegiatan yang beresiko tinggi

c) Memudahkan mencari jejak kontak individual yang pernah kontak dengan kasus

d) Mengontrol transmisi HIV

d. Keuntungan bagi petugas kesehatan

a) Waktu untuk mempengaruhi jalannya penyakit menjadi lebih lama

b) Waktu untuk konseling menjadi lebih lama

6. Penularan HIV dan AIDS

Sebenarnya virus HIV tidak mudah menular seperti penularan virus influenza.

Virus HIV terutama terdapat didalam darah, cairan sperma, cairan vagina dan sedikit

dalam ASI pengidap HIV dan AIDS.

Menurut Kemenkes, 2012. Cara penularan HIV dan AIDS dapat terjadi melalui :

a. Hubungan seksual (homo maupun heteroseksual) dengan seorang yang tubuhnya

mengidap HIV. Kebanyakan orang terjangkit HIV karena melakukan kegiatan seks

yang tidak terlindungi dengan orang tertentu yang telah terjangkit HIV.

b. Darah yang tercemar

Orang yang terjangkit HIV jika darah yang tercemar HIV masuk dalam darah

mereka. Darah yang tercemar ini dapat masuk kedalam tubuh mereka melalui

suatu trasfusi darah (penerimaan darah atau produk darah) yang tercemar. Darah

yang tercemar ini dapat pula berasal dari suatu jarum atau pisau yang telah

digunakan pada seseorang yang telah kejangkitan HIV dan tidak disucihamakan

setelah jarum dan pisau itu digunakan, termasuk penggunaan alat suntikan dan alat

tusuk (alat tattoo, akupuntur, tindik) yang tercemar.


Penggunaan bergantian suatu alat suntik tanpa pensucihama terutama

dikalangan mereka yang menyuntikkan obat-obatan dapat menyebarkan HIV.

Penularan HIV dengan cara ini banyak sekali terjadi pada mereka yang kecanduan

obat bius, narkoba yang disuntikkan. (Noviana,2017)

c. Penularan dari Ibu Pengidap HIV kepada Anak

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penularan HIV dari Ibu ke Bayi

dapat terjadi :

a) Selama kehamilan, ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko

kejadian 5-10%

b) Selama persalinan, dengan resiko kejadian 10-20%, sebagian besar penularan

HIV dari ibu ke Bayi terjadi karena pada saat persalinan. Hal ini disebabkan

karena pada saat proses persalinan,tekanan pada plasenta terutama plasenta

yang mengalami peradangan atau terinfekasi meningkat menyebabkan

terjadinya sedikit pencampuran antara darah ibu ke bayi dapat pula terjadi pada

saat bayi terpapar oleh darah dan lender ibu di jalan lahir. Hal ini disebabkan

karena :

a. Kulit bayi baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah terinfeksi bila

kontak dnegan HIV

b. Kemungkinan bayi menelan darah atau lendir sehingga bayi dapat terinfeksi

HIV. Disamping itu, penggunaan tindakan invasif selama proses persalinan

dan ibu mengalami khorioamnionitis juga memperbesar penularan HIV dari

ibu ke bayi pada masa ini.

c) Selama Menyusui

Bayi tertular melalui pemberian ASI yang mengidap HIV dengan resiko

kejadian 10-15%. Berkenaan dengan bayi dan anak-anak, berbagai sumber

mengungkapkan adanya fakta-fakta sebagai berikut:


a. HIV dapat ditransmisikan kepada seorang bayi selama kehamilan atau

pada saat melahirkan

b. Seorang ibu yang terinfeksi HIV berkemungkinan memperoleh bayi

dengan HIV dengan perbandingan 1:4 untuk setiap kehamilan

c. HIV dapat diteruskan kepada seoarang bayi melalui proses menyusui dari

seorang ibu yang terinfeksi HIV

d. Anak-anak dan remaja dapat memperoleh HIV dari kontak cairan darah

atau cairan tubuh melalui seks yang meliputi kekerasan seksual,

pemaksaan atau eksploitasi seks untuk tujuan komersial.

(Nasronudin.2007)

B. Faktor Resiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

1. Selama kehamilan

a. Tingginya muatan virus (virus load) ibu (ibu baru terinfeksi HIV&AIDS lanjut)

Muatan virus HIV yang tinggi merupakan faktor utama yang mempengaruhi resiko

penularan HIV dari ibu ke anak, meskipun diketahui selama kehamilan, bayi mungkin

tertular HIV dari ibunya yang memiliki viral load yang tinggi, belum ada penelitian yang

memeriksa bayi didalam kandungan untuk mendeteksi infeksi HIV. Selain itu,ibu juga

memiliki masa jendela (window period) selama enam bulan setelah ibu terinfeksi HIV.

Pada masa ini, HIV telah ada didalam tubuhnya, tetapi tubuh belum cukup membentuk

antibody HIV. Hasilnya tentu akan negatif palsu. (Maryuni,2013)

b. Infeksi Plasenta (virus, bakteri, parasit)

Tidak semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif juga akan terinfeksi HIV positif

seperti ibunya, karena kebanyakan orang beranggapan bahwa darah bayi menyatu

dengan darah ibu di dalam kandungan, jadi bayi tertular HIV. Ternyata anggapan

tersebut tidak benar, karena ada plasenta yang melindungi janin dari infeksi HIV. Hal

ini disebabkan karena plasenta memisahkan sirkulasi darah janin dan ibu melalui
beberapa lapisan selnya. Oksigen, makanan, antibodi, dan obat-obatan dapat

menembus plasenta, namun HIV tidak dapat menembusnya, kecuali ada infeksi pada

kehamilan.

Kekuatan plasenta dalam melindungi janin terhadap infeksi HIV mengalami

gangguan bila ada infeksi virus, bakteri ataupun parasit serta daya tahan tubuh ibu

sangat rendah. Hal ini bisa menyebabkan virus HIV akan menembus plasnta sehingga

terjadi resiko penularan HIV ke bayi. Infeksi parasit seperti malaria juga dapat

meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi, karena parasit malaria dapat

merusak plasenta sehingga memudahkan virus HIV menembus plasenta untuk

menginfeksi bayi.

c. Ibu memiliki Infeksi Menular Seksual (IMS)

Bila ibu menderita Infeksi Menular Seksual (IMS) maka kadar HIV ibu akan

meningkat, sehingga meningkatkankan pula resiko penularan HIV ke bayi. (Hutapea,R

2011)

d. Ibu menderita kekurangan gizi

Bila ibu memiliki berat badan rendah selama kehamilan serta kekurangan

mikronutrisi (vitamin, mineral, zat logam), maka resiko terkena berbagai penyakit

infeksi juga meningkat. Dengan sendirinya, akan meningkatkan resiko penularan HIV

dari ibu ke bayi.

2. Selama kelahiran/ Persalinan

a. Tingginya Muatan Virus (Viral Load ) Ibu

Ibu yang baru terinfeksi HIV menularkan ke bayinya selama persalinan. Hal ini

disebabkan karena jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi bila dibandingkan

jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama kehamilan

(Nasronudin,2007)
b. Ibu Mengalami Pecah ketuban

Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko

penularan sampai 2 kali lipat bila dibandingkan dengan ketuban pecah kurang dari 4

jam sebelum persalinan. Hal ini disebabkan karena proses persalinan yang

berlangsung lama, dapat meningkatkan lamanya kontak antara bayi dengan darah dan

lendir dari jalan lahir ibu.

c. Persalinan yang invasif

Persalinan yang menggunakan tindakan medis secara invasif seperti persalinan

secara vacum atau persalinan dengan menggunakan forceps dan tindakan episyotomi

dapat meningkatkan resiko penularan HIV ibu ke bayi selama proses persalinan.

d. Khorioamnionitis

Ibu yang memiliki khorioamnionitis yang disebabkan karena penyakit Infeksi

Menular Seksual, yang tidak diobati atau infeksi lainnya, juga meningkatkan resiko

penularan HIV dari ibu ke bayi.

3. Selama Menyusui ASI

a. Ibu baru terinfeksi HIV

Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan HIV ke bayinya

b. Durasi menyusui yang lama

Ibu yang memberikan ASI dalam periode waktu yang lama dapat menyebabkan

bayi tertular HIV dari ibu. Hal ini disebabkan karena ASI dari ibu yang terinfeksi HIV

terbukti mengandung HIV, meskipun konsentrasinya lebih rendah dari yang ditemukan

di darah.

c. Pemberian makanan campuran pada tahap awal

Pemberian makanan campuran (mixed feeding) yaitu pemberian ASI yang

diberikan dapat bersamaan susu formula dan makanan padat lainnya berkemungkinan

dapat menyebabkan bayi memiliki resiko terinfeksi HIV lebih tinggi dibandingkan
dengan bayi yang diberikan susu formula saja atau ASI ekslusif. Hal ini diperkirakan

karena air dan makanan padat yang kurang bersih (terkontaminasi) dapat merusak

usus bayi yang mendapatkan makanan campuran pada tahap awal ini, sehingga HIV

dari ASI dapat masuk ke tubuh bayi

d. Ibu mengalami mastitis/abses pada payudara

Ibu yang memiliki masalah pada payudara, seperti mastitis, abses, infeksi pada

putting susu, luka pada putting susu, maupun putting susu yang retak dapat

menambah resiko penularan HIV ibu ke bayi melalui pemberian ASI.

e. Penyakit mulut pada bayi

Bayi yang memiliki luka/lesi di mulutnya memiliki resiko tertular HIV lebih besar

pada saat diberikan ASI, terutama pada bayi berumur dibawah 6 tahun.

C. Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)

Menurut WHO di dalam Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke

Anak, 2012 mengupayakan 4 prong/pilar untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu

ke anak yang dilaksanakan secara komprehensif yaitu :

Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif

Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV positif

Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil positif HIV ke bayi yang

dikandungnya

Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif

beserta bayi dan keluarganya

Keempat prong/pilar tersebut secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah

serta dapat dilaksanakan oleh institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya

masyarakat ( Maryunani,2013)

D. Antireteroviral (ARV)
1. Obat Antireteroviral (ARV)

Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menghilangkan HIV dari tubuh

manusia. Obat yang ada hanya dapat menghambat perkembangan virus (HIV), tetapi tidak

dapat menghilangkan HIV sama sekali dari dalam tubuh. Obat tersebut dinamakan obat

antireteroviral (ARV). ARV bekerja dengan menghambat proses pembuatan HIV dalam sel

CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang tersedia untuk menularkan sel CD4 baru.

Akibatnya sistem kekebalan tubuh kita dilindungi dari kerusakan dan mulai pulih kembali. Hal ini

ditunjukkan dengan peningkatan jumlah sel CD4 dalam tubuh.

Ada beberapa macam obat ARV, penggunaan ARV secara kombinasi yang dijalankan

dengan dosis dan cara yang benar mampu membuat jumlah HIV menjadi sangat sedikit,

bahkan sampai tidak terdeteksi. Meski sudah tidak terdeteksi, pemakaian ARV tidak boleh

dihentikan, karena jika dihentikan dalam waktu dua bulan akan kembali kekondisi sebelum

ARV. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antireterovirus adalah

alasan utama mengapa kebanyakan individu ODHA gagal memperoleh manfaat dari penerapan

ARV.

Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk

penerapan pengobatan tersebut, diantaranya karena:

a. Adanya efek samping/dampak pengobatan yang tidak tertahankan (diare, tidak enak

badan, mual, lelah, dll)

b. Terapi antireterovirus sebelumnya yang tidak efektif

c. Infeksi HIV tertentu yang resisten obat

d. Tingkat kepatuhan pasien

e. Kesiapan mental pasien untuk melakukan terapi ARV.

2. Manfaat Obat Antireteroviral (ARV)

Manfaat yang didapat dari menggunakan ARV, antara lain:

a. Menghambat perjalanan penyakit HIV:


a) Bagi orang yang belum mempunyai gejala AIDS, ARV akan mengurangi

kemungkinan menjadi sakit.

b) Bagi orang dengan gejala AIDS, menggunakan ARV biasanya mengurangi atau

menghilangkan gejala tersebut. ARV juga mengurangi kemungkinan gejala

tersebut di masa depan.

b. Meningkatkan jumlah sel CD4

a) Sel CD4 adalah sel dalam sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi. Pada

orang HIV-Negatif, jumlah CD4 biasanya antara 500 sampai 1.500. Setelah

terinfeksi HIV, jumlah CD4 cenderung berangsur-angsur menurun. Bila jumlah

CD4 turun dibawah 200, maka akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik,

seperti: PCP, Tokso, TB, dll.

b) Menggunakan ARV secara rutin dapat mempertahankan jumlah CD4 dalam

tubuh dan meningkatkannya.

c. Mengurangi jumlah virus dalam darah

a) HIV sangat cepat menggandakan diri. Oleh karena itu, jumlah virus dalam darah

dapat menjadi tinggi. Semakin banyak virus, semakin cepat perjalanan infeksi

HIV. ARV dapat menghambat penggandaan HIV, sehingga jumlah virus dalam

darah tidak dapat diukur/terdeteksi.

b) Setelah memulai ARV, jumlah virus dalam darah akan turun secara drastis.

Setelah beberapa bulan diharapkan virus dalam darah menjadi tidak terdeteksi

3. Memulai Terapi Antireteroviral (ARV)

Tidak semua orang dengan infeksi HIV membutuhkan ARV. Sebagian besar

ilmuwan sepakat bahwa sebaiknya memulai ARV baru sebelum masuk masa AIDS. Hal

ini dapat terjadi hingga sepuluh tahun atau mungkin lebih lebih setelah terinfeksi HIV.

Namun cara menentukan kapan sebaiknya mulai menggunakan ARV tidaklah mudah.
Para dokter memakai istilah „indikasi‟ yang artinya tanda atau gejala yang dapat

menjadi alasan dimulainya pemberian ARV. Biasanya indikasi ini berupa tanda/gejala

klinis atau hasil tes laboratorium.

Keputusan tentang kapan memulai menggunakan ARV didasari pada keadaan

klinis setiap ODHA. Maka sangat dianjurkan kepada para ODHA agar rutin dalam

melakukan pemeriksaan terhadap status kesehatannya, terutama dalam memantau

jumlah sel CD4. Dengan mengetahui informasi mengenai status kesehatan ODHA maka

akan dapat diputuskan kapan saat yang tepat memulai menggunakan ARV. Menurut

pedoman WHO, ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 turun di bawah 350, bila ODHA

hamil, mengalami TB aktif, membutuhkan terapi untuk virus hepatitis B (HBV), atau

mempunyai gejala penyakit terkait HIV yang sedang atau berat

4. Efek Samping

Efek samping merupakan salah satu hal yang sering mempengaruhi kepatuhan

terhadap minum obat. Sebagian besar obat (bukan hanya ARV), dapat mengakibatkan

efek samping pada beberapa orang. Harus diingat bahwa semua obat adalah racun.

Efek samping paling cenderung muncul pada awal penggunaannya dan hilang sendiri

setelah beberapa minggu.

Beberapa contoh efek samping seperti mual, muntah, diare dan/atau sakit kepala

berat. Selain itu ada juga efek samping yang hanya diketahui melalui tes laboratorium,

termasuk gangguan fungsi hati atau ginjal dan anemia. Beberapa efek samping dapat

menjadi gawat jika tidak ditangani dengan tepat dan segera. Efek samping lain baru

muncul setelah beberapa bulan ataupun beberapa tahun. Efek samping ini jelas

mempengaruhi kehidupan para ODHA. Oleh karenanya pelu adanya komunikasi yang

baik antara ODHA dengan dokter sebelum memulai ARV.

5. Kepatuhan dan Resistensi


Kepatuhan pada jadwal pengobatan adalah sangat penting. Jika tingkat obat

dalam darah menjadi terlalu rendah, maka virus di tubuh dapat menjadi kebal (resistan)

terhadap obat ARV yang pakai. Bila hal ini terjadi, maka obat yang dipakai menjadi tidak

efektif terhadap jenis virus baru ini.Beberapa ahli menganggap bahwa bila lebih dari dua

kali sebulan lupa minum obat, maka jenis virus yang resistan dapat muncul. Bila ini

terjadi, terapi akan mulai gagal sehingga mungkin harus mengganti semua obat yang

kita pakai. Obat baru ini kemungkinan lebih mahal atau lebih sulit diperoleh.Untuk

membantu agar tidak lupa minum obat, dapat mencoba kotak obat khusus, yang

mempunyai tujuh ruang kecil, satu ruang untuk setiap hari. Kotak diisi pada awal minggu

dan setiap hari kita diingatkan untuk minum obat. Kotak obat sekarang sudah tersedia di

apotek di hampir semua kota besar di Indonesia.

Tetap bertahan pada tingkat kepatuhan yang tinggi ini membutuhkan disiplin

pribadi yang tinggi, dan bantuan agar selalu ingat minum obat. Beberapa orang

memakai jam weker. Yang lain menyetel alarm pada HP-nya. Tetapi yang paling penting

adalah dukungan orang terdekat. Harus mencari anggota keluarga, teman atau orang

lain yang siap mengingatkan pada waktu minum obat. Ini dapat seseorang yang

serumah, atau teman yang siap mengingatkan melalui telepon, atau pun dengan SMS.

Jika ragu apakah dapat mencapai tingkat kepatuhan, sebaiknya bicarakan hal ini

dengan dokter tentang cara lain untuk membantu agar selalu patuh pada jadwal

pengobatan.

6. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Faktor-faktor yangmempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat

berpengaruh negatif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan

kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan diantaranya :

a. Fasilitas Layanan Kesehatan


Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas

dan birokratik adalah penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap

kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses

layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman,

jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan

membantu pasien.

b. Karakteristik Pasien

Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras / etnis, penghasilan,

pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal kelompok dalam

masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial

(kesehatan jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan

dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).

c. Paduan Terapi ARV

Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan, jumlah pil yang

harus diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan

makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk

mendapatkan ARV.

d. Karakteristik Penyakit Penyerta

Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik

penyerta dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau

penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum

e. Hubungan Pasien dengan Tenaga Kesehatan

Karakteristik hubungan pasien tenaga kesehatan yang dapat mem pengaruhi

meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf

klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang

melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan
tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas

tempat layanan dengan kebutuhan pasien.

Daftar Pustaka

Djoerban Z, Djauzi S. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam. In Setiati S, editor. HIV di
Indonesia. Edisi ke-3 889-933. Jakarta
Elisanti, A. D. (2018). HIV-AIDS Hamil Dan Pencegahan Pada Janin. Cv.Budi Utama:
Yogyakarta.
Erawati, N. L. S., Somoyani, N.K., Suindri, N. N. (2018). Hubungan Antara Sumber Informasi
Tentang HIV/AIDS Dengan Pemeriksaan Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke
Anak (PPIA) Di Puskesmas II Denpasar Selatan. Jurnal Ilmiah Kebidanan: The
Journal Of Midwifery; Vol.6 No.1 Tahun 2018.
Hutapea Ronald. (2011). AIDS & PMS dan Perkosaan. Rineka Cipta: Jakarta Kemenkes.
Kumar, A., Girish, H., Nawaz, A., Balu, P., & Kumar, B. (2014). Determinants of quality of life
among people living with HIV/AIDS: A cross sectional study in central Karnataka,
India. International Journal of Medical Science and Public Health, 3(11), 1413.
https://doi.org/10.5455/ijmsph.2014.230820142
Lumbanraja, S. (2016). Infeksi Menular Seksual. USU Press: Medan.
Maryunani, A., Aeman U. (2013) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi:
Penatalaksanaan di Pelayanan Kebidanan. CV. Trans Info Media: Jakarta.
Nasronudin. (2007). HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Airlangga
Unerversity Press: Surabaya.
Noviana, N. (2017). Catatan Kuliah Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS. CV. Trans Info
Media: Jakarta.
Purnaningtyas, D. A., Dewantiningrum, J. (2011). Persalinan Pervaginam Dan Menyusui
Sebagai Faktor Resiko Kejadian HIV Pada Bayi. Media Medika Indonesiana.

Anda mungkin juga menyukai