TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi
sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+I permukaanya
2. Etiologi
HIV merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili
Lentivirus dan family Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe :
HIV-1 yang menyebar luas keseluruh dunia; dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika
Virion HIV-1 bersifat bulat dan mengandung inti berbentuk kerucut yang
dikelilingi oleh lipida yang berasal dari membran sel inang. Inti virus mengandung
protein kapsid utama p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua Salinan RNA genomic,
dan tiga enzim virus protase, reverse transciptase, dan integrase. Inti virus dikelilingii
oleh protein matriks yang disebut p17, terbaring dibawah selubung virion. Amplop
virus itu sendiri bertahtakan dengan dua glikprotein virus (gp120 dan gp41), penting
terdiri dari gen penagatur yang memiliki peran masing-masing dalam virulensi.
Misalnya, gen lel,pol, dank ode env untuk berbagai protein virus yang kemudian
digunakan untuk perakitan virus. Gen penting lainnya adalah nef, yang bertanggung
jawab untuk perkembangan penyakit ini. HIV mempunyai karateristik dari rendahnya
sangat bervariasi, dan dengan demikian struktur antigen sangat bervariasi. (Tanto
dkk,2014)
b) Metode Transmisi
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV
suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang
Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal
dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterine), waktu bersalin
(intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI). Penyebab utama trasmisi
vertkal adalah intrapartum yang menyumbang 50-70% HIV menular secara vertikal.
Resiko penularan HIV secara vertikal meningkat pada bayi yang lahir dari wanita
yang memiliki infeksi HIV akut dan viral load tinggi selama kehamilan atau menyusui,
usia tua saat hamil, persalinan spontan, dan juga saat menyusui. Semua ini
menyebabkan 90% kasus HIV anak-anak (dibawah usia 15 tahun) disebabkan oleh
HIV-1 berada didalam ASI dalam bentuk terikat dalam satu sel atau virus
bebas, namun belum diketahui bentuk mana yang ditularkan ke bayi. Beberapa zat
antibody yang terdapat didalam ASI dapat bekerja protektif terhadap penularan
melalui ASI seperti laktoferin, secretory leukocyte protease inhibitor. Status vitamin A
pada ibu juga penting karena terbukti laju penularan lebih tinggi pada ibu dengan
sedangkan pada operasi Caesar adalah 1,8% dan transmisi menyusui adalah 15%.
(CDC HIV/AIDS<2016)
3. Patogenesis
Lagerhans, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikroglia, astrosit, sel trophoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Tanto
dkk,2014).
HIV memiliki struktur gp120 yang akan berkaitan dengan reseptor CD4+. Ikatan
tersebut diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor kemokin
CCR5 dan reseptor CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan untuk penggabungan
virus dengan membran sel agar virus dapat masuk ke dalam sel inang. Setelah
berikatan dengan kuta terjadilah fusi membrane virus dan seluruh komponen HIV akan
masuk ke dalam sitoplasma sel inang, kecuali selubungnya. (Tanto dkk, 2014)
Di dalam sel inang, ssRNA virus akan mengalami proses transkripsi dengan
perantara enzim reverse transcriptase hingga terbentuk seuntai cDNA. Setelah itu, DNA
yang terbentuk akan pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel inang dan menyisip ke
dalam DNA sel inang dengan bantuan enzim integrase, yang disebut juga sebagai
provirus. Provirus tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang
sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferiensi sel inang yang terinfeksi.
Sampai suatu saat, terjadilah suatu stimulasi yang dapat memicu terjadinya replikasi
virus dengan kecepatan tinggi, seperti pengaruh beberapa sitokin proinflamatorik.
(Tanto dkk,2014)
Provirus yang terintegrasi dalam DNA sel target akan ikut proses kripsi sel inang.
Hasil transkripsi tersebut memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA genom yang nantinya
tergabung dalam virion, dan sebagai mRNA yang menjadi protein-protein virus. RNA
genom dan protein-protein virus tersebut akan menjadi virus yang baru. (Tanto
dkk,2014)
4. Manifestasi Klinik
Menurut Kemenkes, 2012 infeksi HIV dibagi menjadi 4 fase. Fase awal atau masa
inkubasi terjadi 2-4 minggu pertama setelah terinfeksi, tidak ada gejala yang terjadi.
Beberapa minggu kemudian, p-asien masuk ke fase infeksi akut yang ditandai oleh
gejala mirip flu, termasuk fatigue, demam,sakit kepala, limfadenopati. Karateristik dari
fase ini adalah viral load tinggi, berlangsung selama 28 hari sampai beberapa minggu.
Fase ini diikuti oleh fase laten panjang yaitu 5 sampai 10 tahun, gejala hampir tidak ada
tetapi virus tetap aktif berkembang dan menghancurkan sistem imun tubuh. Seiring
dengan menurunnya jumlah CD4, penurunan imun juga terjadi dan AIDS terdiagnosis
saat CD4 < 200/ml. pasien akan menghadapi ancaman hidup dari infeksi oportunistik
atau keganasan seperti sarcoma Kaposi dan limfoma non Hodgkin. (Lumbanraja, 2016)
Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan trasmisi perinatal. Trasmisi
tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal seperti
pada kasus epsiotomi, laserasi vagina atau persalinan dengan forsep, sekresi genital
yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-rata tarnsmisi vertikal dari ibu ke anak dengan
infeksi HIV mencapai 25-30%. Faktor lain yang meningkatkan resiko transmisi ini, antara
lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV, ibu dengan AIDS,
lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah. Viral load maternal yang tinggi,
kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi HIV adalah karier
asimptomatik dan mempunyai kondisi tersebut ketergantungan obat, nutris buruk, akses
terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan adanya penyakit menular seksual.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur, Premature Rupture
Membrane (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi pertumbuhan intrauterine,
Kemajuan ilmu pengetahuan tentang HIV dewasa ini menunjukkan bahwa deteksi
dini infeksi HIV sangat menguntungkan bagi penderita dan masyarakat. Dengan
demikian, hal ini merupakan tantangan bagi petugas kesehatan (dokter, bidan, perawat)
Menurut Maryunani dan Aeman, 2013. Beberapa keuntungan diagnosis dini infeksi
konseling
c) Memudahkan mencari jejak kontak individual yang pernah kontak dengan kasus
Sebenarnya virus HIV tidak mudah menular seperti penularan virus influenza.
Virus HIV terutama terdapat didalam darah, cairan sperma, cairan vagina dan sedikit
Menurut Kemenkes, 2012. Cara penularan HIV dan AIDS dapat terjadi melalui :
mengidap HIV. Kebanyakan orang terjangkit HIV karena melakukan kegiatan seks
yang tidak terlindungi dengan orang tertentu yang telah terjangkit HIV.
Orang yang terjangkit HIV jika darah yang tercemar HIV masuk dalam darah
mereka. Darah yang tercemar ini dapat masuk kedalam tubuh mereka melalui
suatu trasfusi darah (penerimaan darah atau produk darah) yang tercemar. Darah
yang tercemar ini dapat pula berasal dari suatu jarum atau pisau yang telah
digunakan pada seseorang yang telah kejangkitan HIV dan tidak disucihamakan
setelah jarum dan pisau itu digunakan, termasuk penggunaan alat suntikan dan alat
Penularan HIV dengan cara ini banyak sekali terjadi pada mereka yang kecanduan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penularan HIV dari Ibu ke Bayi
dapat terjadi :
a) Selama kehamilan, ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko
kejadian 5-10%
HIV dari ibu ke Bayi terjadi karena pada saat persalinan. Hal ini disebabkan
terjadinya sedikit pencampuran antara darah ibu ke bayi dapat pula terjadi pada
saat bayi terpapar oleh darah dan lender ibu di jalan lahir. Hal ini disebabkan
karena :
a. Kulit bayi baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah terinfeksi bila
b. Kemungkinan bayi menelan darah atau lendir sehingga bayi dapat terinfeksi
c) Selama Menyusui
Bayi tertular melalui pemberian ASI yang mengidap HIV dengan resiko
c. HIV dapat diteruskan kepada seoarang bayi melalui proses menyusui dari
d. Anak-anak dan remaja dapat memperoleh HIV dari kontak cairan darah
(Nasronudin.2007)
1. Selama kehamilan
a. Tingginya muatan virus (virus load) ibu (ibu baru terinfeksi HIV&AIDS lanjut)
Muatan virus HIV yang tinggi merupakan faktor utama yang mempengaruhi resiko
penularan HIV dari ibu ke anak, meskipun diketahui selama kehamilan, bayi mungkin
tertular HIV dari ibunya yang memiliki viral load yang tinggi, belum ada penelitian yang
memeriksa bayi didalam kandungan untuk mendeteksi infeksi HIV. Selain itu,ibu juga
memiliki masa jendela (window period) selama enam bulan setelah ibu terinfeksi HIV.
Pada masa ini, HIV telah ada didalam tubuhnya, tetapi tubuh belum cukup membentuk
Tidak semua bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif juga akan terinfeksi HIV positif
seperti ibunya, karena kebanyakan orang beranggapan bahwa darah bayi menyatu
dengan darah ibu di dalam kandungan, jadi bayi tertular HIV. Ternyata anggapan
tersebut tidak benar, karena ada plasenta yang melindungi janin dari infeksi HIV. Hal
ini disebabkan karena plasenta memisahkan sirkulasi darah janin dan ibu melalui
beberapa lapisan selnya. Oksigen, makanan, antibodi, dan obat-obatan dapat
menembus plasenta, namun HIV tidak dapat menembusnya, kecuali ada infeksi pada
kehamilan.
gangguan bila ada infeksi virus, bakteri ataupun parasit serta daya tahan tubuh ibu
sangat rendah. Hal ini bisa menyebabkan virus HIV akan menembus plasnta sehingga
terjadi resiko penularan HIV ke bayi. Infeksi parasit seperti malaria juga dapat
meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi, karena parasit malaria dapat
menginfeksi bayi.
Bila ibu menderita Infeksi Menular Seksual (IMS) maka kadar HIV ibu akan
2011)
Bila ibu memiliki berat badan rendah selama kehamilan serta kekurangan
mikronutrisi (vitamin, mineral, zat logam), maka resiko terkena berbagai penyakit
infeksi juga meningkat. Dengan sendirinya, akan meningkatkan resiko penularan HIV
Ibu yang baru terinfeksi HIV menularkan ke bayinya selama persalinan. Hal ini
disebabkan karena jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi bila dibandingkan
jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama kehamilan
(Nasronudin,2007)
b. Ibu Mengalami Pecah ketuban
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko
penularan sampai 2 kali lipat bila dibandingkan dengan ketuban pecah kurang dari 4
jam sebelum persalinan. Hal ini disebabkan karena proses persalinan yang
berlangsung lama, dapat meningkatkan lamanya kontak antara bayi dengan darah dan
secara vacum atau persalinan dengan menggunakan forceps dan tindakan episyotomi
dapat meningkatkan resiko penularan HIV ibu ke bayi selama proses persalinan.
d. Khorioamnionitis
Menular Seksual, yang tidak diobati atau infeksi lainnya, juga meningkatkan resiko
Ibu yang memberikan ASI dalam periode waktu yang lama dapat menyebabkan
bayi tertular HIV dari ibu. Hal ini disebabkan karena ASI dari ibu yang terinfeksi HIV
terbukti mengandung HIV, meskipun konsentrasinya lebih rendah dari yang ditemukan
di darah.
diberikan dapat bersamaan susu formula dan makanan padat lainnya berkemungkinan
dapat menyebabkan bayi memiliki resiko terinfeksi HIV lebih tinggi dibandingkan
dengan bayi yang diberikan susu formula saja atau ASI ekslusif. Hal ini diperkirakan
karena air dan makanan padat yang kurang bersih (terkontaminasi) dapat merusak
usus bayi yang mendapatkan makanan campuran pada tahap awal ini, sehingga HIV
Ibu yang memiliki masalah pada payudara, seperti mastitis, abses, infeksi pada
putting susu, luka pada putting susu, maupun putting susu yang retak dapat
Bayi yang memiliki luka/lesi di mulutnya memiliki resiko tertular HIV lebih besar
pada saat diberikan ASI, terutama pada bayi berumur dibawah 6 tahun.
Menurut WHO di dalam Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke
Anak, 2012 mengupayakan 4 prong/pilar untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu
Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV positif
Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil positif HIV ke bayi yang
dikandungnya
Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif
Keempat prong/pilar tersebut secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah
serta dapat dilaksanakan oleh institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya
masyarakat ( Maryunani,2013)
D. Antireteroviral (ARV)
1. Obat Antireteroviral (ARV)
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menghilangkan HIV dari tubuh
manusia. Obat yang ada hanya dapat menghambat perkembangan virus (HIV), tetapi tidak
dapat menghilangkan HIV sama sekali dari dalam tubuh. Obat tersebut dinamakan obat
antireteroviral (ARV). ARV bekerja dengan menghambat proses pembuatan HIV dalam sel
CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang tersedia untuk menularkan sel CD4 baru.
Akibatnya sistem kekebalan tubuh kita dilindungi dari kerusakan dan mulai pulih kembali. Hal ini
Ada beberapa macam obat ARV, penggunaan ARV secara kombinasi yang dijalankan
dengan dosis dan cara yang benar mampu membuat jumlah HIV menjadi sangat sedikit,
bahkan sampai tidak terdeteksi. Meski sudah tidak terdeteksi, pemakaian ARV tidak boleh
dihentikan, karena jika dihentikan dalam waktu dua bulan akan kembali kekondisi sebelum
alasan utama mengapa kebanyakan individu ODHA gagal memperoleh manfaat dari penerapan
ARV.
Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk
a. Adanya efek samping/dampak pengobatan yang tidak tertahankan (diare, tidak enak
b) Bagi orang dengan gejala AIDS, menggunakan ARV biasanya mengurangi atau
a) Sel CD4 adalah sel dalam sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi. Pada
orang HIV-Negatif, jumlah CD4 biasanya antara 500 sampai 1.500. Setelah
CD4 turun dibawah 200, maka akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik,
a) HIV sangat cepat menggandakan diri. Oleh karena itu, jumlah virus dalam darah
dapat menjadi tinggi. Semakin banyak virus, semakin cepat perjalanan infeksi
HIV. ARV dapat menghambat penggandaan HIV, sehingga jumlah virus dalam
b) Setelah memulai ARV, jumlah virus dalam darah akan turun secara drastis.
Setelah beberapa bulan diharapkan virus dalam darah menjadi tidak terdeteksi
Tidak semua orang dengan infeksi HIV membutuhkan ARV. Sebagian besar
ilmuwan sepakat bahwa sebaiknya memulai ARV baru sebelum masuk masa AIDS. Hal
ini dapat terjadi hingga sepuluh tahun atau mungkin lebih lebih setelah terinfeksi HIV.
Namun cara menentukan kapan sebaiknya mulai menggunakan ARV tidaklah mudah.
Para dokter memakai istilah „indikasi‟ yang artinya tanda atau gejala yang dapat
menjadi alasan dimulainya pemberian ARV. Biasanya indikasi ini berupa tanda/gejala
klinis setiap ODHA. Maka sangat dianjurkan kepada para ODHA agar rutin dalam
jumlah sel CD4. Dengan mengetahui informasi mengenai status kesehatan ODHA maka
akan dapat diputuskan kapan saat yang tepat memulai menggunakan ARV. Menurut
pedoman WHO, ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 turun di bawah 350, bila ODHA
hamil, mengalami TB aktif, membutuhkan terapi untuk virus hepatitis B (HBV), atau
4. Efek Samping
Efek samping merupakan salah satu hal yang sering mempengaruhi kepatuhan
terhadap minum obat. Sebagian besar obat (bukan hanya ARV), dapat mengakibatkan
efek samping pada beberapa orang. Harus diingat bahwa semua obat adalah racun.
Efek samping paling cenderung muncul pada awal penggunaannya dan hilang sendiri
Beberapa contoh efek samping seperti mual, muntah, diare dan/atau sakit kepala
berat. Selain itu ada juga efek samping yang hanya diketahui melalui tes laboratorium,
termasuk gangguan fungsi hati atau ginjal dan anemia. Beberapa efek samping dapat
menjadi gawat jika tidak ditangani dengan tepat dan segera. Efek samping lain baru
muncul setelah beberapa bulan ataupun beberapa tahun. Efek samping ini jelas
mempengaruhi kehidupan para ODHA. Oleh karenanya pelu adanya komunikasi yang
dalam darah menjadi terlalu rendah, maka virus di tubuh dapat menjadi kebal (resistan)
terhadap obat ARV yang pakai. Bila hal ini terjadi, maka obat yang dipakai menjadi tidak
efektif terhadap jenis virus baru ini.Beberapa ahli menganggap bahwa bila lebih dari dua
kali sebulan lupa minum obat, maka jenis virus yang resistan dapat muncul. Bila ini
terjadi, terapi akan mulai gagal sehingga mungkin harus mengganti semua obat yang
kita pakai. Obat baru ini kemungkinan lebih mahal atau lebih sulit diperoleh.Untuk
membantu agar tidak lupa minum obat, dapat mencoba kotak obat khusus, yang
mempunyai tujuh ruang kecil, satu ruang untuk setiap hari. Kotak diisi pada awal minggu
dan setiap hari kita diingatkan untuk minum obat. Kotak obat sekarang sudah tersedia di
Tetap bertahan pada tingkat kepatuhan yang tinggi ini membutuhkan disiplin
pribadi yang tinggi, dan bantuan agar selalu ingat minum obat. Beberapa orang
memakai jam weker. Yang lain menyetel alarm pada HP-nya. Tetapi yang paling penting
adalah dukungan orang terdekat. Harus mencari anggota keluarga, teman atau orang
lain yang siap mengingatkan pada waktu minum obat. Ini dapat seseorang yang
serumah, atau teman yang siap mengingatkan melalui telepon, atau pun dengan SMS.
Jika ragu apakah dapat mencapai tingkat kepatuhan, sebaiknya bicarakan hal ini
dengan dokter tentang cara lain untuk membantu agar selalu patuh pada jadwal
pengobatan.
kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang
jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan
membantu pasien.
b. Karakteristik Pasien
masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial
Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan, jumlah pil yang
makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk
mendapatkan ARV.
Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik
penyerta dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau
meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf
melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan
tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas
Daftar Pustaka
Djoerban Z, Djauzi S. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam. In Setiati S, editor. HIV di
Indonesia. Edisi ke-3 889-933. Jakarta
Elisanti, A. D. (2018). HIV-AIDS Hamil Dan Pencegahan Pada Janin. Cv.Budi Utama:
Yogyakarta.
Erawati, N. L. S., Somoyani, N.K., Suindri, N. N. (2018). Hubungan Antara Sumber Informasi
Tentang HIV/AIDS Dengan Pemeriksaan Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke
Anak (PPIA) Di Puskesmas II Denpasar Selatan. Jurnal Ilmiah Kebidanan: The
Journal Of Midwifery; Vol.6 No.1 Tahun 2018.
Hutapea Ronald. (2011). AIDS & PMS dan Perkosaan. Rineka Cipta: Jakarta Kemenkes.
Kumar, A., Girish, H., Nawaz, A., Balu, P., & Kumar, B. (2014). Determinants of quality of life
among people living with HIV/AIDS: A cross sectional study in central Karnataka,
India. International Journal of Medical Science and Public Health, 3(11), 1413.
https://doi.org/10.5455/ijmsph.2014.230820142
Lumbanraja, S. (2016). Infeksi Menular Seksual. USU Press: Medan.
Maryunani, A., Aeman U. (2013) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi:
Penatalaksanaan di Pelayanan Kebidanan. CV. Trans Info Media: Jakarta.
Nasronudin. (2007). HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Airlangga
Unerversity Press: Surabaya.
Noviana, N. (2017). Catatan Kuliah Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS. CV. Trans Info
Media: Jakarta.
Purnaningtyas, D. A., Dewantiningrum, J. (2011). Persalinan Pervaginam Dan Menyusui
Sebagai Faktor Resiko Kejadian HIV Pada Bayi. Media Medika Indonesiana.