Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program pencegahan dan pemberantasan penyakit sebagai salah satu program
pokok pembangunan di bidag kesehatan masih menitikberatkan pada penyakit infeksi,
meskipun dewasa ini terjadi pergeseran pola penyakit yaitu dengan makin
meningkatnya penyakit degeneratif. Untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan
yang timbul di wilayah puskesmas, maka memerlukan kemampuan melakukan upaya
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan penyakit
(curatif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) pada kegiatan pencegahan dan
pemberantasan penyakit.
Untuk melakukan kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit, hal-hal yang
perlu diperhatika antara lain: keadaan sumber daya manusia, tersedianya sarana, dan
dana operasional serta komitmen dari pimpinan atau unit penyelenggara. Rekomedasi
dirumuskan oleh tim pencegahan dan pemberantasan penyakit. Upaya penanggulangan
dilakukan oleh para pengambil keputusan sehingga sasarn dan tujuan program
kesehatan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Untuk membantu kesamaan pemahaman terhadap konsep, pengertian dan
pelaksanaan kesgiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit perlu disusun pedoman
program sehingga kegiatan yang dilaksanakan merupakan suatu kebutuhan dari
masyarakat itu sendiri sebagai upaya penaggulangan masalah kesehatan.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan pedoman pelaksanaan promosi kesehatan di Puskesmas ini
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Sebagai acuan bagi petugas penanggulangan penyakit menular dalam
melaksanakan kegiatannya di wilayah kerja Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
a. Tersedianya acuan tentang jenis kegiatan penanggulangan penyakit menular,
peran dan fungsi ketenagaan, sarana dan prasarana di Puskesmas.
b. Tersedianya acuan untuk melaksanakan kegiatan penanggulangan penyakit
menular yang bersumberdaya masyarakat di wilayah kerja Puskesmas.
c. Tersedianya acuan bagi tenaga penanggulangan penyakit menular Puskesmas
untuk bekerja secara profesional dalam melaksanakan kegiatan promosi
kesehatan yang berumutu kepada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas.

C. Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup kegiatan penanggulangan penyakit menular di wilayah kerja Puskesmas
meliputi:
1. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko:
a. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko dan
diseminasinya;
b. Menyiapkan materi dan menyusun rencana kebutuhan untuk pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko;
c. Menyediakan kebutuhan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko sebagai
stimulan;
d. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
e. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
f. Melakukan bimbingan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pencegahan dan
penanggulangan faktor risiko;
g. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
h. Melakukan kajian program pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
i. Membina dan mengembangkan UPT dalam pencegahn dan penanggulangan
faktor risiko;
j. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan pencegahan
dan pemberantasan penyakit.
2. Peningkatan imunisasi:
a. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan peningkatan imunisasi, dan diseminasinya;
b. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan
imunisasi;
c. Menyediakan kebutuhan peningkatan imunisasi sebagai stimulan yang ditujukan
terutama untuk masyarakat miskin dan kawasan khusus sesuai dengan skala
prioritas;
d. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/protap program
imunisasi;
e. Menyiapkan dan mendistribusikan sarana dan prasarana imunisasi;
f. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan
program imunisasi
g. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan imunisasi;
h. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis peningkatan imunisasi;
i. Melakukan kajian upaya peningkatan imunisasi;
j. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan imunisasi;
k. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan imunisasi.
3. Penemuan dan tatalaksana penderita:
a. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan
perundangundangan, dan kebijakan penemuan dan tatalaksana penderita dan
diseminasinya;
b. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan penemuan dan
tatalaksana penderita;
c. Menyediakan kebutuhan penemuan dan tatalaksana penderita sebagai stimulan;
d. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program
penemuan dan tatalaksana penderita;
e. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan
program penemuan dan tatalaksana penderita;
f. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan penemuan dan
tatalaksana penderita;
g. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis penemuan dan tatalaksana penderita;
h. Melakukan kajian upaya penemuan dan tatalaksana penderita;
i. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya penemuan dan tatalaksana
penderita;
j. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan penemuan
dan tatalaksana penderita.
4. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah:
a. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah dan diseminasinya;
b. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan
surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
c. Menyediakan kebutuhan peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah sebagai stimulan;
d. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program
surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
e. Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan menanggulangi KLB/Wabah,
termasuk dampak bencana;
f. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan
program surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
g. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
h. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan
KLB/wabah;
i. Melakukan kajian upaya peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan KLB/wabah;
j. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
k. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
5. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan
pemberantasan penyakit:
a. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan,
dan kebijakan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan
dan pemberantasan penyakit dan diseminasinya;
b. Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit.
c. Menyediakan kebutuhan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
pencegahan dan pemberantasan penyakit sebagai stimulan;
d. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit;
e. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan
program komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit;
f. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan komunikasi informasi
dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
g. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
pencegahan dan pemberantasan penyakit;
h. Melakukan kajian upaya peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
pencegahan dan pemberantasan penyakit;
i. Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan komunikasi
informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
j. Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan komunikasi
informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.

Ruang Lingkup Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit:

- Imunisasi

- Surveilans epidemiologi

- TBC

- Malaria

- Kusta

- DBD

- ISPA/Pnemonia

- Diare

- Rabies/Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)

- Kesehatan Matra (Haji dan P. Bencana)


- HIV/AIDS

- Penyakit tidak menular (DM, hipertensi, dll).

D. Batasan Operasional
Batasan operasional pada penanggulangan penyakit terdiri dari:
1. Definisi epidemiologi menurut WHO (1989) adalah ilmu yang mempelajari distribusi
dan determinan dari peristiwa kesehatan dan peristiwa yang berkaitan dengan
kesehatan yang menimpa sekelompok masyarakat dan menerapkan ilmu tersebut
untuk memecahkan masalah-masalah kesehatan.
2. Pengertian Surveilans (WHO) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
3. Surveilans epidemiologi adalah kegiatan aalisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan
tersebut, agar dapat melakukan tinakan penanggulangan secara efektif dan efisien
melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
4. Kejadian Luar Biasa (KLB) =
Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) = adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidmiologis dalam kurun waktu dan
daerah tertentu.
5. Penyelidikan epidemiologi KLB yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan adanya penderita penyakit yang dapat menimbulkan KLB, mengenai
sifat-sifat penyebabnya dan faktor-fator yang mempengaruhi terjadinya dan
penyebarluasannya.
6. 3 M Plus adalah tindakan yang dilakukan secara teratur untuk memberantas jentik dan
menghindari gigitan nyamuk Demam Berdarah
7. Definisi KLB campak
1. Tersangka KLB Campak
Adanya 5 atau lebih kasus tersangka campak dalam waktu 4 minggu
berturut-turut mengelompok dan mempunyai hubungan epidemiologis satu sama
lain.
2. KLB Campak Pasti
Apabila minimum 2 spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus
pada tersangka KLB campak.
8. Definisi KIPI Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP
KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1
bulan setelah imunisasi.

E. Dasar Hukum
Dasar hukum dari pedoman pelaksanaan penanggulangan penyakit menular di
puskesmas antara lain:
1. Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
2. Undang-Undang No. 4 tahun 1984 entang Wabah Penyakit Menular
3. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Profinsi Daerah Otonom.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560/Menkes/Per/VII/1984 tentang Jenis
Penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah, tata cara penyampaian
laporannya dan cara penanggulangan wabahnya
5. Peraturan Dirjen PPM dan PLP No 451-1/PD.03.04 JF/1991 tentang Pedoman
penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa.
6. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No.37 Tahun 2000 tentang Dinas
Kesehatan Propinsi.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia utama yang dicantumkan di Standar Puskesmas untuk pemegang
program penaggulangan penyakit (fungsional epidemiolog) adalah sarjana/ D III
Kesehatan yang memiliki kompetensi sesuai dengan program yang dibawahinya , dengan
perincian tiap program sebagai berikut:
Program Standar Ketenagaan Standar Kompetensi
Imunisasi Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Imunisasi
Surveilans Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Surveilans
epidemiologi
TBC Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan TBC
Malaria Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Malaria
Kusta Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Kusta
DBD Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan DBD
ISPA/Pnemonia Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan ISPA
Diare Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Diare
Rabies/Gigitan Hewan Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Rabies
Penular Rabies (HPR)
Kesehatan Matra (Haji Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan kesehatan matra
dan P. Bencana)
HIV/AIDS Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan HIV/AIDS
Penyakit tidak menular Bidan/ Perawat (DIII) Pelatihan Hipertensi, Pelatihan
(DM, hipertensi, dll). Diabetes

B. Distribusi Ketenagaan
Tenaga pelaksana program pemberantasan penyait di Puskesmas Dinoyo sebanyak 1
orang utuk tiap program.
C. Jadwal Kegiatan
1. Kegiatan pelayanan pemberantasan penyakit yang ada di dalam gedung dibuka
sesuai dengan jadwal buka Puskesmas Dinoyo yaitu; Senin-Kamis pukul 7.00-
13.00 WIB, Jumat pukul 7.00-11.00 WIB, Sabtu pukul 7.00-12.00 WIB
2. Jadwal pelayanan/kegiatan luar gedung diesuaikan dengan Rencana Pelaksanaan
Kegiatan Tahunan
BAB III
STANDAR FASILITAS

Standar fasilitas ruang tenaga pemberantasan penyakit meliputi ruangan yang


menunjang kegiatan terutama untuk mencatat dan pengerjaan laporan dari berbagai kegiatan
dalam dan luar gedung puskesmas. Ruangan tersebut meliputi:
1. Letak
Letak ruangP2 brada d masing-masing lokasi yang sudah dipetakan sebelumnya.
2. Ruang
a. Luas ruangan adalah 4 m x 3 m.
b. Peralatan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1) Mebelair : meja dan kursi
2) Lemari
3) Media promosi (leaflet, lembar balik, poster, dll)
4) Peta ruang
5) Check list kebersihan ruangan
6) Check List Perwatan Sarana dan Prasarana
Selain itu, promosi kesehatan pun bekerja sama dengan semua petugas di lintas
program, seperti gizi, P2, balai pengobatan, apotek, loket, dll, sehingga media promosi
kesehatan pun menjangkau seluruh ruangan di puskesmas.
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

1. Tatalaksana Surveilans Epidemiologi


a. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara
operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor
kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan
kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program, sehingga perlu
dikembangkan subsistem survailans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit
Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Dan Perilaku,
Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans Epidemiologi
Kesehatan Matra
1) Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Merupakan analisis terus
menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk
mendukung P2 menular.
2) Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Merupakan analisis terus
menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan faktor risiko
untuk mendukung P2 tidak menular.
3) Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Merupakan
analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor risiko
untuk mendukung program penyehatan lingkungan.
4) Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan Merupakan analisis terus
menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor risiko untuk
mendukung program-program kesehatan tertentu.
5) Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra Merupakan analisis terus menerus
dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor risiko untuk upaya
mendukung program kesehatan matra.
b. Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
1) Pengorganisasian Setiap instansi kesehatan pemerintah, instansi kesehatan
propinsi, instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga kesehatan
masyarakat dan swasta wajib menyelenggarakan surveilans epidemiologi, baik
secara fungsional atau struktural.
2) Mekanisme Kerja Kegiatan surveilans epidemiologi kesehatan merupakan
kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan sistematis dengan
mekanisme kerja sebagai berikut :
a. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya
b. Perekaman, pelaporan, dan pengolahan data
c. Analisis dan interpretasi data
d. Studi epidemiologi
e. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya
f. Membuat rekomendasi dan alternatif tindaklanjut
g. Umpan balik.
3) Jenis Penyelenggaraan
Pelaksanaan surveilans epidemiologi kesehatan dapat menggunakan satu cara
atau kombinasi dari beberapa cara penyelenggaraan surveilans epidemiologi.
Cara- cara penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas
metode pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya.
a. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan
1) Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan
surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan,
dan atau faktor risiko kesehatan
2) Surveilans Epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan
surveilans epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan,
faktor risiko atau situasi khusus kesehatan
3) Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk
mendapatkan signal adanya masalah kesehatan pada suatu populasi
atau wilayah yang lebih luas.
4) Studi Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi pada periode tertentu serta populasi dan atau wilayah
tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi
penyakit, permasalahan dan atau faktor risiko kesehatan
b. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
1) Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi,
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara
mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data
lainnya.
2) Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi,
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima
data tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau
sumber data lainnya.
c. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
1) Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau
wabah dan atau bencana b. Pola Selain Kedaruratan, adalah
kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku
untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau bencana
2) Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
 Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan
klinis atau tidak menggunakan peralatan pendukung
pemeriksaan.
 Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah
kegiatan surveilans dimana data diperoleh berdasarkan
pemeriksaan laboratorium atau peralatan pendukung
pemeriksaan lainnya

4) Sasaran Penyelenggaraan
Sasaran penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan meliputi
masalah-masalah yang berkaitan dengan program kesehatan yang ditetapkan
berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional dan global, penyakit
potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta sasaran spesifik
lokal atau daerah. Secara rinci sasaran penyelenggaran sistem surveilans
epidemiologi kesehatan adalah sebagai berikut :
a. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit
menular adalah :
 Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
 Surveilans AFP
 Surveilans penyakit potensial wabah atau kejadian luar biasa
penyakit menular dan keracunan
 Surveilans penyakit demam berdarah dan demam berdarah dengue
 Surveilans malaria
 Surveilans penyakit-penyakit zoonosis, antraks, rabies,
leptospirosis dan sebagainya
 Surveilans penyakit filariasis
 Surveilans penyakit tuberkulosis
 Surveilans penyakit diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit
perut lainnya
 Surveilans penyakit kusta
 Surveilans penyakit frambosia
 Surveilans penyakit HIV/AIDS
 Surveilans penyakit menular seksual
 Surveilans penyakit pnemonia, termasuk penyakit pneumonia akut
berat (severe acute respiratory syndrome)
b. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit tidak
menular adalah :
 Surveilans hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner
 Surveilans diabetes mellitus
 Surveilans neoplasma
 Surveilans penyakit paru obstuksi kronis
 Surveilans gangguan mental
 Surveilans kesehatan akibat kecelakaan
c. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan
lingkungan dan perilaku adalah :
 Surveilans sarana air bersih
 Surveilans tempat-tempat umum
 Surveilans pemukiman dan lingkungan perumahan
 Surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya
 Surveilans vektor penyakit
 Surveilans kesehatan dan keselamatan kerja
 Surveilans rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya,
termasuk infeksi nosokomial
3. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi masalah kesehatan
adalah
a. Surveilans gizi dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG)
b. Surveilans gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi, kekurangan vitamin
A
c. Surveilans gizi lebih
d. Surveilans kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi.
e. Surveilans kesehatan lanjut usia.
f. Surveilans penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan
bahan berbahaya
g. Surveilans penggunaan sediaan farmasi, obat, obat tradisionil, bahan
kosmetika, serta peralatan
h. Surveilans kualitas makanan dan bahan tambahan makanan
4. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan matra
adalah :
a. Surveilans kesehatan haji
b. Surveilans kesehatan pelabuhan dan lintas batas perbatasan
c. Surveilans bencana dan masalah sosial
d. Surveilans kesehatan matra laut dan udara
e. Surveilans pada kejadian luar biasa penyakit dan keracunan Setiap
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan sebagaimana tersebut
diatas disusun dalam suatu pedoman yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Sesuai kebutuhan nasional dapat dikembangkan
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan lainnya dengan
keputusan Menteri Kesehatan, dan sesuai kebutuhan di daerah Propinsi
dengan keputusan Gubernur Propinsi bersangkutan.
2. Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
a. Penemuan Pasien Tuberkulosis
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian
kegiatan mulai dari penjariangan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik
dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe
pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari
penjaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi dan tipe pasien.
1. Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
yang terdampak TB dan populasi rentan
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi
yang aktif, sehingga semua terdugaTB dapat ditemukan secara dini
c. Penjaringan terduaga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan; didukung
dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1) kelompok khsus yang rentan karena berada di ligkungan yang berisiko
tinggi terjadinya penularan TB seperti pada pasien HIV, DIABETES
Mellitus dan Malnutrisi.
2) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko
tinggi terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/ Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan
panti jompo.
3) Anak dibawah umur 5 tahun yang kontak dengan pasien TB
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten
f. Penerapan manajemen tatalaksaa terpadu pada paien dengan gejala dan
tanda yang sama dengan gejala TB
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka.
2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakuakn dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan.
b. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi M. Tuberculosis dimaksudkan
untuk menegakkan diagnosis pada TB pada pasien tertentu
3. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Untuk mrnjmin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah teridentifikasi atau lulus
uji pemantapan mutu/Quality Assurance. Hal ini dimaksudkan untuk
memperkecil kesalan dalam memantapkan jenis resistensi OAT dan
pengambilan keputusan panduan pengobatan pasien dengan resistan obat.

c. Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa


1. Diagnosis TB paru:
 Dalam upaya pegendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru
ada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat
 Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan
hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaa foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB
 Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas yang tidak memberikan
perbaikan klinis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaa foto
toraks saja
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemriksaan tuberkulin.
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung
 Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak seara
mikroskopis langsung
 Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 dari pemeriksaan contoh
uji dahak SPS hasilnya BTA positif
2. Diagnosis TB ekstra paru
 Ejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena
 Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis
 Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan
gejala yang sesuai untuk menemukan kemungkinan adanya TB Paru
3. Klasifikasi dan Tipe TB
Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang
sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan
pengobatan dan suveilans penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan
klasisfikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud:
a. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
b. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
c. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB
d. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan
e. Analisis kohort hasil pengobatan
f. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kota
4. Pengobatan Pasien TB
a. Tujuan pengobatan TB adalah:
1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB
4) Menurunkan penularan TB
5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
b. Prinsip Pengobatan TB
Obat anti Tuberculosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobata TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
c. Tahap Pengobatan TB
1) Tahap awal: Pengoabtan diberika setiap hari. Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh
pada sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan
2) Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjuta merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam
tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
d. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB
1) Pemantauan kemajuan obat
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis
yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan radiologis.
Tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak:
a. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif:
 Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberi
dosis pengobatan tahap lanjutan
 Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai
dengan jadwal (pada bulan ke 5 dan akhir pengobatan)
b. Apabila pada akhir pemeriksaan pada akhir tahap awal positif:
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan panduan OAT
kategori 1):
 Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?
Apabila tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang
pentingnya berobat teratur.
 Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan
OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali
setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan.
 Apabila tidak memungkinkan pemriksaan uji kepekaan
obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak
kembali pada akhir bulan ke 5.
 Pada bulan ke 5 atau lebih
1) Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobat ulang
apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hsilnya negatif
2) Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif,
pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan
sebagi terduga pasien TB MDR
3) Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke
RS Pusat Rujukan TB MDR
 Pengawasan langsung menelan obat
Panduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman
ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru
tanpa memicu munculnya kuma resisten obat. Untuk
tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa
pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran
dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat).
1) Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui,
baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain
itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan
bersama-sama dengan pasien
2) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru
Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal
dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga
3) Tugas seorang PMO
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara
teratur sampai selesai pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak
pada waktu yang telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien
TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan
TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
4) Informasi penting yang perlu dipahami seorang PMO
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan
atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang
mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif
dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat
secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan
perlunya segera meminta pertolongan ke fasyankes.
e. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien
dapat saja mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Guna
mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk
memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek
samping berat dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat.
Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak diperlukan. Petugas
kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara
mengajarkan kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum
efek samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya
kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan
harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan
pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat. Efek
samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus
dicatat pada kartu pengobatannya. Secara umum, seorang pasien yang
mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan
pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau
pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya. Apabia pasien
mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna
penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat
sebaiknya dirawat di rumah sakit.

Tabel Efek samping ringan OAT

d. Tatalaksana TB pada Anak


1. Diagnosis TB pada anak
 Anak yang kontak erat dengan pasien TB menukar
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah yang tinggal serumah atau
sring bertemu dengan pasien TB menular
 Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
pada anak
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat
berupa gejala sistemik/ umum atau sesuai organ terkait.
2. Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/ umum adalah sebagai berikut
 Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
 Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala-gejala sistemik/umum lain.
 Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan.
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure tothrive).
 Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
 Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
3. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak.
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka
kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti
lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman
penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosispada pemeriksaan
dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan
mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA
dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan
serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana
diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan
Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan
metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi dahak atau
pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas
tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB
4. Pengobatan TB pada Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pengobatan pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang
sakit TB, sedangjan profilaksis TB diberikan kepada anak yang kontak TB
(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB.
5. Pemantauan dan Hasil Pngobatan TB Anak
Pada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada
tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah dberi OAT selama 2
bulan, respon pengobatan pasien hrus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis yyang terdapat pada awal diagnosis
berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningat,
demam menghilang dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik,
maka dilanjutkan dengan pemberian OAT sampai 6 bualn. Sedangkan
apabila respon pengobatan berkurag, maka pasien harus dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap.
3. Tatalaksana Pelayanan Imunisasi
a. Konsep pelayanan secara umum
1) Dilakukan secara kerja sama tim (team work)
2) Pelayanan dilakukan sesuai standart profesi
3) Peralatan yang tersedia memenuhi persyaratan
4) Semua tindakan terdokumentasi dengan baik
5) Sistem monitor dan evaluasi berjalan dengan baik
b. Prosedur pelayanan imunisasi adalah :
1) Melakukan identifikasi pasien
 Pasien baru :
Pasien datang sendiri kemudian dilakukan pengkajian berdasarkan SOAP
dan ditulis di rekam medis baru secara lengkap.
 Pasien lama :
Pasien datang sendiri kemudian dilakukan pengkajian berdasarkan SOAP
dan ditulis di rekam medis lama secara lengkap.
2) Dilakukan pemeriksaaan tanda-tanda vital (suhu ,nadi, RR).
3) Jika hasil permeriksaan tanda –tanda vital dalam batas normal di lakukan
persiapan alat & vaksin untuk imunisasi.
4) Mengatur posisi bayi yang akan di lakukan imunisasi
5) Melakukan penyuntikan sesuai macam vaksin yang di gunakan.
6) Memberikan KIE tentang :efek samping imunisai ,obat yang harus di
berikan,yang harus dilakukan pasca imunisasi
7) Menjelaskan tentang jadwal kunjunga ulang.
c. Jenis Pelayanan
1) Pelayanan imunisasi:
 Pelayanan imunisasi dasar meliput : imunisasi BCG,Polio,DPT HB
HIB,CAMPAK
 Pelayanan imunisasi Tetanus Toxsoid bagi WUS & BUMIL.
 Pelayanan Imunisasi anak sekolah.
4. Tatalaksana Pelayanan ISPA
a. Prosedur pelayanan ISPA adalah :
1) Petugas menerima pasien dengan ramah.
2) Petugas melakukan anamnesa.
3) Petugas mencuci tangan dan persetujuan tindakandan memakai sarung tangan.
4) Petugas melakukan pemeriksaan berdasarkan MTBS dandan menegakkan
diagnose.
5) Petugas melakukan edukasi kepada pelanggan bahwawpenyakit tersebut
disebabkan oleh virus dan dapat sembuh dengan sendiri dalam beberapa
hari,cukup denagn istirahat yangt cukup danmakanan yang bergizi dan
pengobatan simptomati sesuai MTBS.
6) Apabila ada kecurigaan sekunder,petugas member pelanggan resep dengan
pengobatan simptomatis dan antibiotika sesuai MTBS.
7) Petugas membereskan alat dan cuci tangan.
8) Petugas melakukan pencatatan.

b. Jenis Kegiatan
1) Melaksanaakan promosi meliputi advokasi dan sosialisasi, untuk
penanggulangan pneumonia balita sehingga masyarakat dan mitra kerja
terkaitmendukung pelaksanaan penanggulangan pnomonia balita:
2) Melaksanakan penemuan penderita pneumonia melalui sarana kesehatan dasar
(pelayaanan kesehatan di desa,puskesmas pembantu,puskesmas dan sasaran
rawat jalan rumah sakit)di bantu oleh kegiatan posyandu dan kader posyandu.
3) Melaksanakan tatalaksana standart penderita IAPA denagan deteksi dini ,
pengobatan yang tepat dan segera ,pencegahan komplikasi dan rujukan ke
sarana kesehatan yang lebih memadahi.
4) Melaksanakan surveilans kesakitankematian pneumonia balita serta faktor
resikongya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan
5. Tatalaksana Pemberantasan dan Penaggulangan Diare
a. Tujuan
Tercapainya tatalaksana penderita diare yang tepat dan efektif
b. Prinsip tatalaksana penderita diare
1) Mencegah terjadinya dehidrasi
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan
minum lebih banyak cairan rumah tangga yang dianjurkan.
Macam cairan yang dapat digunakan akan tergantung pada :
- Kebiasaan setempat dalam mengobati diare
- Tersedianya cairan sari makanan yang cocok
- Jangkauan pelayanan kesehatan
- Tersedianya oralit
Bila tidak mungkin memberikan cairan rumah tangga yang dianjurkan, berikan air matang
2) Mengobati dehidrasi
Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas
kesehatan atau darana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat, yaitu
dengan oralit. Bila terjadi dehidrasi berat, penderita harus segera diberikan cairan intravena
dengan Ringer Laktat sebelum dilanjutkan terapi oral.
3) Memberi makanan
Berikan makanan selama serangan diare untuk memberikan gizi pada penderita terutama
anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan.
Berikan cairan termasuk oralit dan makanan sesuai yang dianjurkan
Anak yang masih minum ASI harus lebih seting diberi ASI
Anak yang minum susu formula diberikan lebih sering dari biasanya
Anak usia 6 bualn atau lebih termasuk bayi yang telah mendapat makanan padat harus
diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit-sedikit tetapi sering.
Setelah diare berhentim pemberian ekstra makan diteruskan selama 2 minggu untuk
membantu pemulihan berat badan anak.
4) Mengobati masalah lain
Apabila diketemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka diberikan
pengobatan sesuai indikasi, dengan tetap mengutamakan rehidrasi.
Tidak ada obat yang aman dan efektif untuk menghentikan diare.
c. Prosedur tatalaksana penderita diare
a. Menilai derajat dehidrasi
Tabel Penilaian Derajat Dehidrasi

PENILAIAN A B C
1. Lihat
Keadaan umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai atau
tidak sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung dan


kering

Air Mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut dan Lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum biasa *Haus, ingin *Malas minum atau


Tidak haus minum banyak tidak bisa minum

2. Periksa :
Turgor Kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat
lambat
3. Derajat Dehidrasi Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
ringan/sedang

Bila ada 1 tanda * Bila ada 1 tanda *


ditambah 1 atau ditambah 1 atau lebih
lebih tanda lain tanda lain
4. Terapi Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C

Cara membaca tabel untuk menentukan kesimpulan derajat dehidrasi


- Baca tabel penilaian derajat dehidrasi dari kolom kanan ke kiri (C ke A)
- Kesimpulan derajat dehidrasi penderita ditentukan dari adanya 1 gejala kunci (yang
diberi tanda bintang) ditambah minimal 1 gejala yang lain (minimal 1 gejala) pada
kolom yang sama.
Dengan menggunakan Tabel Penilaian Derajat Dehidrasi

Lihatlah :

- Bagaimana keadaan umum anak tersebut?


 Apakah dia baik dan sadar?
 Apakah dia gelisah atau rewel?
 Apakah dia mengantuk, lesu, lunglai atau tidak sadar?

- Apakah anak mengeluarkan air mata waktu menangis?


- Apakah matanya normal, cekung atau sangat cekung dan kering?
- Apakah mulut dan lidahnya basah, kering atau sangat kering?
(raba lidah dan bagian dalam mulut dengan jari yang bersih dan kering untuk mengetahui
keadaan mulut dan lidah anak)
- Saat saudara memberikan minum, apakah anak :
 Minum biasa atau tampak tidak haus?
 Minum banyak dan tampak haus?
 Minum sedikit atau tampak tidakbisa minum?

Periksalah

- Sewaktu kulit dicubit, apakah kembali dengan cepat, lambat atau sangat lambat (lebih
lama dari 2 detik)
Catatan : Hati – hati dalam mengartikan cubitan kulit, karena :
 Pada penderita yang gizinya buruk, kulitnya mungkin saja kembali dengan lambat
walaupun dia tidak dehisrasi
 Pada penderita yang obesitas (terlalu gemuk), kulitnya mungkin saja kembali dengan
cepat walaupun penderita mengalami dehidrasi.
b. Menentukan rencana pengobatan
Berdasarkan hasil penilaian derajat dehidrasi gunakan bagan rencana pengobatan yang
sesuai :
 Rencana terapi A untuk penderita diare tanpa dehidrasi
 Rencana terapi B untuk penderita diare dengan dehidrasi ringan sedang
 Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat
c. Memeriksa dan mengobati diare dengan masalah lain
1) Memeriksa
Ada 3 (tiga) masalah lain yang harus diperhatikan pada penderita yaitu :
 Disentri (diare dengan tinja berdarah)
 Diare persisten (diare yang berlangsung sampai 2 minggu atau lebih)
 Daire dengan penyakit penyerta (gangguan gizi, demam)

Untuk mengetahui adanya masalah lain dilakukan pendekatan, yaitu dengan :


a) Menanyakan
 Adanya darah dalam tinja
 Lamanya diare
b) Memperhatikan adanya
 Tanda – tanda gangguan gizi
 Bila anak tampak kering, seperti tulang dibalut kulit, dia menderita “marasmus”
 Bila ada pembengkakan menyeluruh dan kurus, rambut pirang, anak menderita
kwadhiorkor
 Anak dengan gizi buruk tersebut harus dirujuk untuk tatalaksana gizi

2) Mengobati diare dengan masalah lain


a) Disentri
Secara umum disentri dikelola sama dengan kasus diare lain sesuai dengan acuan
tatalaksana diare akut. Aspek khusus tatalaksana disentri adalah :
 Semua kasus disentri pada tahap awal diberi antibiotik :
Kotrimoksazol dengan dosis 5 mg/kg BB/2x sehari dihitung dari berat
Trimetropim atau Ampisilin dengan dosis 25 mg/kg BB/4x sehari
 Penderita dipesan untuk kontrol kembali jika :
 Tidak membaik atau bertambah berat pada hari ketiga setelah pengobatan
 Tidak sembuh pada hari kelima setelah pengobatan
 Muncul tanda – tanda komplikasi yaitu : panas tinggi, kejang, penurunan
kesadaran, tidak mau makan, kejang, menjadi lemah
Pada kunjungan ulang, pada penderita yang tidak membaik pada hari ketiga atau
belum sembuh pada hari kelima setelah pengobatan awal, dinilai kembali apakah
disentri disebabkan oleh Shigella/bakteri sejenis yang infasif.
b) Diare Persisten
Tatalaksana diare persisten diutamakan untuk mencegah dehidrasi dan meningkatkan
nutrisi
 Rehidrasi
Oralit efektif untuk sebagian besar penderita dengan diare persisten.
Pada sebagian kecil penderita, mungkin terjadi gangguan absorpsi, sehingga diare
menjadi berat.
Pada kasus-kasus demiP2n dilakukan rehidrasi secara intravena.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit diatasii sesuai dengan Tatalaksana
Disentri Berat
 Nutrisi
Nutrisi yang adekuat, baik dalam jumlah maupun komposisinya merupakan
langkah kunci untuk mencapainya. Pemberian nutrisi harus disesuaikan dengan
kemampuan/kapasitas digesti dan absorpsi, sehingga akan memperluas pilihan
jenis, bentuk dan cara pemberian makanan. Tetapi harus diingat, nutrisi enteral
harus lebih diutamakan, karena lebih murah, efek sampingnya lebih sedikit dan
yang paling penting ternyata rehabilitasi mukosa jauh akan lebih cepat dan
sempurna kalau diberi nutrisi intra luminal yang hanya dipasok melalui nutrsi
enteral.

c) Diare dengan penyakit penyerta


1) Diare dengan gangguan gizi
Semua penderita diare pada KEP berat dirawat inap. Ada yang membagi
tatalaksana KEP berat menjadi 4 tahapan :
 Tahapan penyelamatan
 Tahapan penyesuaian
 Tahapan penyembuhan
 Tahapan pembinaan

Pada tahapan penyelamatan, dilakukan penanggulangan gangguan nutrisi vital


tubuh. Penanggulangan gangguan fungsi pernapasan dan funsgi serebral secara
intensif belum dapat dilakukan di semua rumah sakit. Kegiatan utama
penyelamatan lebih bertumpu pada resusitasi dan asam basa yang menyertainya.
Kegiatan ini lebih kurang sejalan dengan langkah penanggulangan dehidrasi.
Pada tahapan penyesuaian, secara bertahap kita menilai dan memberikan makanan
yang sesuai yang dapat ditelolir oleh anak untuk sampai pada makanan optimal
yang akan diberikan pada tahapan penyembuhan.

Pada tahapan penyembuhan diharapkan bukan hanya diare, tetapi KEP juga dapat
diatasi.

Pada tahapan pembinaan kita melakukan langkah-langkah pendidikan dan


bimbingan serta langkah preventif dan promotif lainnya, sehingga ibu dapat
merawat anaknya dan diharapkan tetap tumbuh kembang secara optimal. Dalam
praktek tahapan-tahapan ini tidak terpisah dan berdiri secara eklusif, misalnya kita
sudah dapat memulai langkah pembinaan dari awal. Kita harus mencari dan
mengobati penyakit penyerta begitu keadaan memungkinkan.

2) Diare dengan penyakit penyerta lainnya.


Dalam tatalaksana harus diperhatikan :
 Kemampuan untuk makan minum peroral
 Fungsi dan kemampuan sistem sirkulasi
 Cadangan jantung yang rendah, misalnya pada pneumonia berat (akibat risiko
corpumonale akut) atau KEP berat (akibat atropi dan hipoksia otot jantung).
Dehidrasi terjadi pada seluruh kompartemen cairan : invaskuler, ekstraseluler
dan intraseluler. Jadi kita seperti berhadapan dengan hipervolumia temporer.
Berkurangnya cadangan kardiovaskuler menyebabkan rehidrasi cepat akan
berbahaya, sehingga kita harus menyesuaikan kecepatan pemberian cairan
rehidrasi (lihat tatalaksana diare dengan KEP berat).
 Penyakit atau keadaan yang memerlukan retriksi cairan
 Misalnya pada ensefalitis atau dekompensasi kordis. Kita harus menyadari
jumlah cairan yang kita perhitungkan berdasarkan pada asumsi tertentu.
Misalnya dehidrasi berat diperkirakan berdasarkan kehilangan cairan 12,5 %
dari berat badan. Langkah penyesuaian yang diambil antara lain memberikan
cairan ¾ atau 80 % dari perhitungan, diikuti dengan observasi yang lebih ketat.
Tentu kita juga harus memperlambat kecepatan pemberian cairan rehidrasi.
 Fungsi ginjal. Dapat dimengerti bahwa gangguan fungsi ginjal mengharuskan
kita menyesuaikan jumlah, komposisi elektrolit dan asam basa pemberian
cairan.
 Interaksi perjalanan penyakit
 Dalam tatalaksana kasus diare pada KEP berat telah tercermin interaksi
perjalanan penyakit diare dan penyakit yang menyertainya. Interaksi ini juga
dapat terjadi pada penyakit lain. Misalnya pada meningitis bakterial yang
diobati dengan seftriakson, sefalosporin yang dieliminasi melalui empedu,
dapat menimbulkan gangguan ekosistem usus dan memperberat diare.

d. Sarana Rehidrasi
Sarana Rehidrasi dapat digolongkan menurut tempat pelayanan yaitu di /puskesmas, disebut
Pojok Oralit dan di Rumah sakit disebut Kegiatan Pelatihan Diare (KPD).
a. Pojok Oralit (Pojok URO)
Pojok Oralit didirikan sebagai upaya terobosan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat/ibu rumah tangga, kader dan petugas kesehatan dalam tatalaksana
penderita diare. Pojok oralit juga merupakan sarana rujukan penderita diare, baik yang
berasal dari kader maupun masyarakat. Cepat atau lambat harapan untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat dan petugas terhadap tatalaksana penderita diare, khususnya upaya
rehidrasi oral.
1) Fungsi
 Mempromosikan upaya – upaya Rehidrasi Oral (URO)
 Memberikan pelayanan penderita diare
2) Tempat
Pojok Oralit adalah bagian dari suatu ruangan di Puskesmas (di sudut ruangan tunggu
pasien) dengan 1-2 meja kecil. Seorang petugas Puskesmas dapat mempromosikan URO
kepada ibu – ibu yang sedang menunggu giliran untuk pemeriksaan. Bila seseorang
penderita memerlukan URO, maka penderita tersebut dapat duduk di kursi dibantu oleh
Ibu/keluarganya untuk melarutkan dan meminum oralit selama waktu observasi 3 jam.
3) Sarana Pendukung
 Tenaga pelaksana : Dokter dan Paramedis terlatih
 Prasarana :
 Tempat pendaftaran
 Ruang tunggu, sebagai tempat pojok oralit yang dilengkapi dengan meja, termos
es, cerek, oralit 200 cc, sendok, handuk, baskom, tempat cuci tangan, ember,
poster untuk penyuluhan tatalaksana penderita diare, termasuk cara melarutkan
dan cara penyimpanannya.
 Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana penyuluhan penyakit diare atau
kamar periksa yang tersedia di Puskesmas
4) Cara membuat Pojok Oralit
a) Pilihlah lokasi untuk “Pojok URO”
 Dekat tempat tunggu (ruang tunggu), ruang periksa, serambi muka yang tidak
berdesakan
 Dekat dengan sumber air
 Dekat dengan toilet atau kamar mandi
 Menyenangkan dan baik ventilasinya
b) Pengaturan model di Pojok Oralit
 Sebuah meja untuk mencampur larutan oralit dan menyiapkan peralatan
 Kursi atau bangku dengan sandaran, dimana ibu dapat duduk nyaman saat
memangku anaknya
 Sebuah meja kecil dimana ibu dapat menempatkan gelas yang berisi larutan oralit
 Oralit paling sedikit 200 bungkus
 3 buah botol/gelas ukur yang dapat mengukur berbagai macam gelas yang
dipunyai ibu
 3 buah gelas
 3 buah sendok
 2 buah pipet (mungkin lebih memudahkan dipakai, daripada sendok untuk
beberapa bayi)
 Pamplet (yang menerangkan kepada ibu, bagaimana mengobati atau merawat anak
diare), untuk dibawa pulang ke rumah
 Sabun untuk cuci tangan
 Waskom (untuk cuci tangan)
 Media penyuluhan
Media pennyuluhan dalam bentuk poster yang menarik tentang pengobatan dan
pencegahan diare penting diketahui oleh ibu. Selama duduk di Pojok Oralt, sangat
bermanfaat bagi mereka untuk belajar mengenai Upaya Rehidrasi Oral serta hal –
hal yang penting lainnya, misal : pemberian ASI, perbaikan makanan tambahan,
penggunaan air yang bersih, mencuci tangan dan penggunaan jamban, juga
termasuk poster tentang imunisasi
5) Kegiatan Pojok Oralit
a) Penyuluhan URO dan Pencegahan
 Memberikan demonstrasi tentang bagaimana mwncampur larutan oralit dan
bagaimana cara memberikannya
Menjelaskan cara mengatasi kesulitan dalam memberikan larutan oralit bila ada
muntah
 Memberikan dorongan kepada ibu untuk memulai memberikan makanan pada
anak atau ASI pada bayi (Puskesmas perlu memberikan makanan pada anak yang
tinggal sementara di fasilitas pelayanan)
 Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan pengobatan selama anaknya di
rumah dan menentukan indikasi kapan anaknya dibawa kembali ke Puskesmas
 Petugas kesehatan perlu memberikan penyuluhan kepada pengunjung Puskesmas
dengan menjelaskan tatalaksana penderita diare di rumah serta cara pencegahan
diare
b) Pelayanan penderita
Setelah penderita diperiksa, ditentukan diagnosa dan derajat dehidrasi di ruang
pengobatan, tentukan jumlah cairan yang dibutuhkan dalam 3 jam, selanjutnya
bawalah ibu ke Pojok URO untun menunggu selama diobservasi serta :
 Jelaskan manfaat oralit dan ajari ibu membuat larutan oralit
 Perhatikan ibu waktu memberikan oralit
 Periksa penderita secara periodeik dan catat keadaannya (pada catatab klinik
penderita diare rawat jalan) setiap 1-2 jam sampai penderita teratasi dehidrasinya
(3-6 jam)
 Catat/hitung jumlah oralit yang diberikan
 Berikan pengobatan terhadap gejala lainnya seperti penurunan panas dan
antibiotika untuk mengobati disentri dan kolera
b. Kegiatan Pelatihan Diare (KPD)
1) Fungsi
KPD didirikan sebagai upaya penanggulangan diare dengan fungsi :
 Pusat pengobatan diare, terutama Upaya Rehidrasi Oral (URO)
 Pusat pelatihan untuk mahasiswa kedokteran dan peserta pelatihan lain
2) Tempat
Lokasi KPD ditempatkan dimana :
 Petugas sering lalu lalang, sehingga mereka dapat mengamati kemajuan anak
 Dekat dengan sumber air
 Dekat dengan WC dan tempat mencuci tangan
 Menyenangkan dan berventilasi baik
3) Sarana Pendukung
 Tenaga pelaksana dokter dan paramedis terlatih
 Prasarana :
(a) Sebuah meja yang dilengkapi dengan ceret, oralit, gelas, sendok,handuk, baskom
tempat cuci tangan, ember dan poster
(b) Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana penyuluhan penyakit diare atau
kamar periksa yang sudah ada
(c) Logistik yang dibutuhkan
- Oralit
- Cairan RL
- Infus set
- Wing needle
- Antibiotik yang diperlukan

4) Kegiatan
a) Kegiatan pelayanan penderita
Setelah diperiksa, ditentukan diagnosa dan derajat dehidrasi dan tentukan jumlah
cairan yang dibutuhkan, kemudian berikan rehidrasi sesuai derajat dehidrasinya.
Bila penderita dehidrasi, lakukan observasi selama 3 jam sambil memberikan
penyuluhan tentang :
 Jelaskan manfaat oralit dan cara membuatnya
 Perhatikan ibu waktu memberikan oralit
 Menjelaskan cara – cara mengatasi kesulitan dalam memberikan larutan oralit bila
muntah
 Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan pengobatan selama anaknya diare
di rumah
b) Kegiatan pelatihan
 Melaksanakan pelatihan untuk staf RSU yang bersangkutan
 Melatih mahasiswa fakultas kedokteran dan keperawatan
c) Kegiatan penelitian
Beberapa KPD digunakan untuk melaksanakan penelitian
6. Tatalaksana Penanggulangan dan pemberantasan Demam Berdarah
Tatalaksana penyakit Demam Berdarah Dengue dilakukan di tempat-tempat pelayanan
Kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit, Klinik, Balai Pengobatan dan lain-lain,
dengan melakukan pemeriksaan tersangka penderita DBD sebagai berikut :

1. Anamnesis ( wawancara ) penderita atau keluarga  tentang  keluhan yang dirasakan


sehubungan dengan gejala DBD.
2. Observasi kulit dan konjungtiva  untuk mengetahui tanda pendarahan

3. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda tanda vital ( kesadaran, tekanan darah, nadi
dan suhu )

4. Penekanan pada ulu hati ( epigastrium).

5. Uji Tourniquet ( Rumple Leede Test )

6. Pemeriksaan laboratorium

7. Pemutusan Rantai penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue

a. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan dengan maksud untuk menyampaikan informasi dan
pengetahuan kepada masyarakat tentang penyakit DBD, bagaimana cara mencegah
dan memberantas penyakit demam berdarah yang lebih efektif, yaitu melalui
pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah (PSN-DBD) dengan 4 M-Plus.

Manfaat dari kegiatan penyuluhan adalah menambah pengetahuan masyarakat yang


pada akhirnya mau dan mampu secara bersama sama dan terus menerus berperan
aktif  melakukan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ) dengan 4 M-plus.

b. Pemantauan Jentik Berkala


Pemantauan jentik berkala kegiatan untuk melihat situasi kepadatan jentik pada
tempat penampungan air di rumah/bangunan milik masyarakat maupun tempat
tempat umum oleh kader Juru Pemantau Jentik (Jumantik) atau tenaga puskesmas ,
sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dini agar masyarakat terhindar dari
penularan penyakit Demam Berdarah Dengue.
Jumantik merupakan kader yang berasal dari masyarakat dan bertugas melakukan
Pemantauan & pemeriksaan jentik tempat-tempat penampungan air di lingkungan
masyarakat  secara berkala dan terus-menerus, memberikan penyuluhan serta
menggerakkan masyarakat dalam melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk
DBD.

Manfaat jumantik adalah memantau dan memberantas jentik-jentik nyamuk demam


berdarah yang ada dilingkungan masyarakat serta memotivasi dan menggerakkan
masyarakat untuk berperan serta dalam melakukan PSN-DBD, sehingga diharapkan
populasi jentik nyamuk demam berdarah yang ada di lingkungan  masyarakat
menjadi berkurang.

c. Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN )


Kegiatan dimaksud adalah pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN )
secara bersama sama pada waktu yang bersamaan ( serentak ) oleh semua lapisan
masyarakat baik pemerintah maupun swasta. Sehingga kegiatan ini dapat
memotivasi dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam melakukan 
PSN-DBD secara mandiri dan berkesinambungan.

d. Larvasidasi Selektif
Larvasidasi terutama dilakukan di daerah yang banyak menampung air/susah air dan
pada penampungan air terbuka yang susah dikuras/dibersihkan.

Manfaat kegiatan Larvasidasi adalah memberantas jentik-jentik nyamuk demam


berdarah dengan menggunakan bubuk abate terutama di daerah yg banyak
menampung air/susah air dan pada penampungan air terbuka yang susah
dikuras/dibersihkan.

e. Fogging dengan Insektisida


Pengasapan dilakukan sesuai dengan kesimpulan analisis dari kegiatan penyelidikan
epidemiologi penyakit DBD di tempat tinggal penderita dan lingkungan sekitarnya.
Apabila kesimpulan akhir harus dilaksanakan  pengasapan (fogging ) , maka    
Pengasapan    ( fogging ) dilakukan oleh petugas puskesmas atau bekerjasama
dengan dinas kesehatan kabupaten/kota. Petugas penyemprot adalah petugas
puskesmas atau petugas harian lepas yang terlatih.

Persyaratan Fogging dengan insektisida :


- Adanya penderita positif DBD berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan
laporan (SO) dari Rumah Sakit/Klinik/BP/Puskesmas.
- Didukung hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang telah terlatih dengan ditemukannya penderita demam tanpa sebab minimal 3
orang dan atau tersangka penderita DBD serta ditemukan positif jentik Aedes  (≥ 5
% ) dari rumah/bangunan disekitar rumah penderita.

Kegiatan fogging focus ini bertujuan memutus rantai penularan dengan membunuh
nyamuk dewasa yang sudah mengandung virus dengue dengan radius ± 100 M dari
rumah penderita. Tetapi kegiatan fogging ini bukan merupakan solusi utama untuk
pencegahan DBD selain itu fogging tersebut harus dilakukan oleh tenaga khusus dan
terampil karena obat (insektisida) yang digunakan mempunyai efek samping
berbahaya bagi lingkungan dan orang yang melaksanakannya sertaterjadinya
resistensi terhadap nyamuk itu sendiri.

Mengingat untuk pencegahan yang paling efektif dapat dilakukan dengan


memberantas tempat berkembang biak nyamuk demam berdarah dengue dengan
berperilaku hidup bersih dan sehat di keluarga dan dilingkungan tempat tinggal yaitu
dengan cara antara lain :

a. Membersihkan lingkungan dan rumah masing-masing setiap hari, terutama


tempat penampungan air sebagai tempat berkembangbiak nyamuk demam
berdarah dengue seperti bak mandi, drum, ban bekas, alas pot bunga,
dispenser, tempat minum burung dan lain-lain.
b. Melaksanakan kerja bakti secara teratur (satu minggu sekali) dilingkungan
masing-masing.

c. Melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan 4 M PLUS :


1. MENGURAS :  Menguras dan menyikat dinding tempat penampungan air
seperti : bak mandi dan drum.

2. MENUTUP : Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti : drum, 


tempayan dan lain-lain.

3. MENGUBUR :Mengubur atau menimbun barang-barang bekas serta


mengumpulkan barang-barang bekas yang dapat menampung air dan
dibuang ke tempat pembuangan sementara (TPS).

4. PLUS CARA LAIN : Mengganti air vas bunga seminggu sekali,


mengeringkan air di alas pot bunga, memperbaiki saluran air dan talang air
yang tidak lancar/rusak serta memasang kawat kasa atau menggunakan obat
anti nyamuk serta menggunakan kelambu untuk menghindari dari gigitan
nyamuk.

5. MEMANTAU :  Memantau dan memeriksa tempat-tempat penampungan


air sebagai tempat berkembangbiak nyamuk aedes aegpty  seperti bak
mandi, drum, ban bekas, alas pot bunga, dispenser, tempat minum burung
dan lain-lain.

Peran serta masyarakat dan pihak terkait sangat diperlukan dalam melakukan pencegahan
DBD melalui PSN ( Pemberantasan Sarang Nyamuk ) tersebut.

7. Tatalaksana Pelayanan Kusta


Kusta atau morbus hansen merupakan infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Leprae . Bakteri ini secara primer menyerang sistem saraf perifer manusia
dan sekunder menyerang kulit serta organ lain kecuali sistem syaraf pusat.
Penyakit kusta merupakan masalah yang sangat komplek di Indonesia saat ini. Karena
masalah tersebut tidak hanya dari segi medis saja, melainkan sudah masuk dalam tataran
masalah sosial, ekonomi, psikologis maupun spiritual.Mycobacterium leprae adalah
penyebab bakteri penyebab kusta. Di Indonesia pada tahun 2010 ada sekitar 17.012 kasus
kusta baru dan wilayah endemi kusta adalah wilayah pedalaman. Sehingga perlu perhatian
khusus oleh para petugas kesehatan dalam proses diagnosa lebih awal.
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien Kusta
(Lepra) dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien
kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO (1995), yaitu
program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat medikamentosa utama yang
terdiri dari Rifampisin, Klofazimin (Lamprene) dan DDS (Dapson/4,4-diamino-difenil-
sulfon) yang telah diterapkan sejak th 1981.

Diagnosis :
Diagnosis bisa ditegakkan bila dinemukan tanda kardinal (cukup salah satu saja) dari tanda
berikut :
a. Makula hipopigmentasi ataupun eritematosa yang mati rasa atau kurang rasa.
b. Penebalan saraf perifer.
c. Pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam) positif.

Diagnosis banding :
1. Tinea versikolor (panu)
2. Pitiriasis alba
3. Vitiligo
4. Tinea korporis.
5. Hipopigmentasi post inflamasi.
6. Dermatitis Seboroik.
7. Pitiriasis Rosea.
8. Liken Planus.

Pemeriksaan penunjang diagnosis :


a. BTA : BI/MI
b. Uji Lepromin
c. Uji Serologis MLPA (mycobacterium leprae particle agglutination)
d. Pemeriksaan Histopatologis (PA)
e. PCR

Program MDT ini bertujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidak-taatan pasien, menurunkan angka putus obat, mengefektifkan waktu
pengobatan dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Adapun tiga gejala utama (cardinal sign) penyakit kusta adalah :

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

2. Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau


kemerah-merahan (erythematous) yang mati rasa (anaesthesi).

3. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi Saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf
ini bisa berupa :

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa


b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese)atau kelumpuhan(paralise)
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).

Adapun tanda-tanda tersangka kusta lainnya adalah :

1. Tanda-tanda pada kulit

a. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh

b. Kulit mengkilap

c. Bercak yang tidak gatal

d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut


e. Lepuh tidak nyeri

2. Tanda-tanda pada saraf

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka

b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka

c. Adanya cacat

d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta. Jangan digunakan sebagai


dasar diagnosis/pemeriksaan penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih belum dapat
dipastikan, tindakan yang dapat dilakukan adalah :

o Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis,


frambusia)

o Jika tidak ditemukan adanya mati rasa yang jelas maupun penebalan saraf
namun ada tanda-tanda mencurigakan seperti nodul, pembengkakan pada
wajah atau cuping telinga, atau infiltrasi pada kulit, perlu dilakukan
pemeriksaan apusan kulit

o Menunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya mati rasa, jika lesi kulit
tersebut benar kusta maka dalam periode tersebut mati rasa harusnya menjadi
jelas dan dapat dimulai pengobatan MDT. Jika masih meragukan maka
tersangka kusta perlu dirujuk ke rumah sakit.

Apabila seseorang terkena penyakit kusta, maka penyakitnya dapat diklasifikasi diantara dua
jenis kusta yaitu kusta pauci baciler (PB) dan kusta multi basiler (MB). Berikut adalah
kriteria penentuan tipe kusta :

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-
tahun. Penularan terjadi apabila M.leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan
masuk ke dalam tubuh orang lain.

Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis
penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang
sudah minum obat sesuai rekomendasi WHO tidak lagi menjadi sumber penularan kepada
orang lain. Berikut adalah diagram rantai penularan penyakit kusta :
PENGOBATAN KUSTA

Program MDT ini bertujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidak-taatan pasien, menurunkan angka putus obat, mengefektifkan waktu
pengobatan dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Berikut ringkasan pedoman pemberian paket medikamentosa pada kasus Kusta, antara lain :

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis MDT Dewasa Anak


– Kusta PB BB < 35 kg BB > 35 kg 10-14 thn
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln 600 mg/bln 450 mg/bln(12-15
petugas) mg/kgBB/bln)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1-2 100 mg/hr 50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr) mg/kgBB/hr)

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (Released From
Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis MDT Dewasa Anak


– Kusta MB BB < 35 kg BB > 35 kg 10-14 thn
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln 600 mg/bln 450 mg/bln(12-15
petugas) mg/kgBB/bln)
Klofazimin 300 mg/bln (diawasi petugas)dan
dilanjutkan esok

50 mg/hr (swakelola)200 mg/bln (diawasi)dan dilanjutkan esok

50 mg/hr (swakelola)Dapson(Swakelola)50 mg/hr(1-2 mg/kgBB/hr)100 mg/hr50


mg/hr(1-2 mg/kgBB/hr)

Pengobatan MDT untuk Kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.

Namun dibalik program MDT, ternyata masih terdapat efek samping yang ditimbulkan MDT
yang dilaporkan. Berikut ini tindak lanjut terhadap efek samping MDT yang mungkin terjadi
(Rekomendasi UPK Kusta Depkes RI dan WHO, tahun 2000), yaitu sebagai berikut :

Tabel 3. Efek Samping dan Tindak Lanjut

RegimenMDT Efek Samping(ES) Tindak Lanjut Obat Subsitusi


Rifampisin Urin, tinja, keringat Obat MDT dapat –
merah. diteruskan.
Klofazimin Warna kulit menjadi Obat MDT dapat Etionamid dan
hitam diteruskan. Protionamid (Tidak
(hiperpigmentasi). dianjurkan, ES
hepatotoksik).
Dapson Gatal, merah pada Stop Dapson dan –
kulit. Bila berat kulit segera rujuk
kepala dan seluruh penderita ke RS.
tubuh dapat
terkelupas.

Kemudian beberapa hal yang perlu diperhatikan dan ditanyakan sebelum memulai
pengobatan (Rekomendasi UPK Kusta Depkes RI dan WHO, tahun 2000), antara lain :

Tabel 4. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memulai pengobatan Kusta

Keadaan Penderita Tindakan yang harus dilakukan


Jaundice (warna kuning pada Rujuk ke Dokter Spesialis Penyakit
kulit/mata) Dalam. Obat jangan diberikan, tunda
sampai warna kuning hilang (fungsi
hati sudah normal).
Anemia Berikan obat anemia disamping obat
kusta
Tuberkulosis (TB) Pengobatan TB dengan Rifampisin
tetap diberikan dan tambahkan obat
kusta lainnya. Rifampisin pada
kemasan obat kusta jangan diberikan
lagi.
Hamil Obat kusta tetap diberikan
Alergi Sulfa DDS jangan diberikan

Penyulit yang mungkin menyertai :


a. Ulkus plantaris sampai osteomielitis.
b. Mutilasi dan deformitas (kecacatan) yang menetap.
c. Reaksi Lepra.
d. Claw hand, drop foot.

Kusta bukanlah suatu penyakit keturunan atau penyakit kutukan dari tuhan, melainkan
penyakit yang menyerang kulit yang disebabkan oleh serangan bakteri Mycobacterium
leprae. Penularan kusta sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun dijelaskan bahwa
penularan di dalam rumah tangga dan hubungan dekat dengan penderita dalam jangka waktu
yang lama akan lebih beresiko untuk tertular. Penularan kusta melaui bakteri yang biasanya
terdapat di sekret hidung dan berulang-ulang kontak dengan kulit yang keadaan terluka. Pada
kasus anak-anak di bawah umur satu tahun, penularannya melalui plasenta.

Masa inkubasi penyakit kusta berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan rata-rata
penularan adalah 4 tahun. Seseorang dapat terhindar dari penularan kusta apabila tubuhnya
memiliki kemampuan untuk membentuk kekebalan yang efektif. Penularan kusta, bergantung
pada beberapa hal, diantaranya:

1. Faktor imunitas/ daya tahan tubuh seseorang.


2. Faktor sumber penularan. Bakteri penyebab kusta akan menginfeksi pada orang lain
apabila penderita kusta tidak mendapatkan pengobatan dan tidak berobat secara
teratur.

3. Faktor bakteri kusta. Bakteri kusta dapat bertahan hidup pada suhu yang rendah.
Selain itu dapat hidup di luar tubuh manusia selama 1-9 hari. Walaupun bakteri kusta
berasal dari sekret hidung dan mengering, akan tetapi bakteri masih ada yang dapat
bertahan hidup dan meginfeksi orang lain.
8. Tatalaksana Pelayanan IMS
Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan mengembangkan program (Program Expansion
Strategy)dengan memfokuskan akses layanan bermutu (KTS, PDP, IMS, PDB, PMTCT, dan

Tergantung kompetensi dan tugasnya, sistem layanan pengendalian program HIV dan
AIDSdibagi dalam bentuk strata pelayanan, yaitu strata I, II, III dan dibangun
melaluilayananberbasis masyarakat. Strata III biasanya dilaksanakan di tingkat
provinsi atau nasional,strata II atau tingkat menengah biasanya di kabupaten/ kota dan
strata I atau layanan dasardi tingkat puskesmas kecamatan, kelurahan maupun yang
berbasis masyarakat.
Gambaran Umum Paket Kegiatan dan Layanan di setiap Jenjang
BAB V
LOGISTIK PEMBERANTASAN PENYAKIT

Kebutuhan dana dan logistik untuk kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas


direncanakan dalam pertemuan lokakarya Puskesmas dan lokakarya lintas sektor sesuai
dengan tahapan kegiatan dan metode yang akan dilaksanakan.
1. Kebutuhan Media
Media yang dibutuhkan berupa leaflet, poster, lembar balik untuk menunjang kegiatan
promosi kesehatan.
2. Kebutuhan ATK
Peralatan yang dibutuhkan adalah kertas, map, dan folder untuk memudahkan dalam
menyimpan berbagai data kegiatan.
3. Semua logistik P2 dicatat dan dilaporkan ke Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Kota Malang

Berikut Rincian Logistik Pelayanan


1. Pengadaan Barang Operasional Imunisasi
a. Barang umum (alat / bahan pameriksaan)
NO. PERSEDIAAN BARANG JUMLAH BARANG
1. Soundtimer / respiratori rate 2
2. Stetoskop 1
3. thermometer 1
4. Senter
5. Handscon

b. Alat sosialisasi
NO. PERSEDIAAN BARANG JUMLAH BARANG
1. Leaflet

c. Pelayanan
NO. PERSEDIAAN BARANG JUMLAH BARANG
1. Lemari ES 1
2. Vaksin carrier 15
3. Cold Pack 25
4. Termometer Muller 1
5. Freezetag 1
6. Buku monitoring suhu 1
7. Buku stok Vaksin 10
8. Kartu TT 50
9. Buku P2 50
10. Spuit 0.05 cc 1000
11. Spuit 0.5 cc 2000
12. Spuit 10 cc 500
13. Spuit 5 cc 0
14. Safety Box 15
15. Kapas injeksi 5
16. Air DTT 5
17. Dropper 30
18. Pelarut vaksin 30
19. Vaksin imunisasi(BCG,Polio,Campak, DPTHB 25/30/40/10/100/100/
HIB,TT,TD ,Td)

20 Termometer 2
21 Respiratory rate 1
22 Jam Tangan 1
23 Alat tulis( bolpoint,pencil,tipex) 1/1/1
24 Sarung tangan 5

2. Pengadaan Barang Operasional ISPA


a. Barang umum (alat / bahan pameriksaan)
NO. PERSEDIAAN BARANG JUMLAH BARANG
1. Soundtimer / respiratori rate 2
2. Stetoskop 1
3. thermometer 1
4. Senter
5. Handscon
b. Alat sosialisasi
NO. PERSEDIAAN BARANG JUMLAH BARANG
1. Leaflet

3. Logistik Pemberantasan dan penaggulangan Penyakit Diare


Tujuan
Terlaksananya manajemen logistik P2Diare yang meliputi :
a. Melakukam penyimpanan dan distribusi oralit
b. Mengatur persediaan (stock) sehingga tidak mengalami kekosongan stock
c. Memantau penyimpanan, distribusi dan persediaan (stock) oralit di lapangan

Kebijaksanaan dan Koordinasi


Hasil pertemuan lintas program dan sektor di Tingkat Pusat menghasilkan koordinasi dan
kesepakatan serta pengertian – pengertian yang luas terhadap pengelolaan suplai oralitm yaitu :
1. Oralit dari pemerintah
a. Formula oralit oleh pemerintah, sesuai dengan formula oralit yang dianjurkan oleh WHO.
Formula oralit ukuran 200 ml, yaitu :
 NaCl (garam biasa) 0,7 gram
 Trisodium sitrat hidrat 0,6 gram
 Kalium Krorida (KCl) 0,3 gram
 Glukosa (anhidrat) 4,0 gram
b. Kemasan 1000 ml hanya digunakan di Sarana Kesehatan (RSU atau Puskesmas dengan
perawatan), sedangkan kemasan 200 ml digunakan di Puskesmas tanpa perawatan dan
masyarakat/kader
c. Pengadaan oralit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke
Gudang Farmasi Kabupaten Dati II
d. Distribusi oralit, dari Dati II (GFK) ke Puskesmas sebaiknya denga sistem Laporan
Pamakaian dan Laporan Permintaan Obat (PLPO, kecuali ada permintaan yang difatnya
darurat (ada KLB atau persediaan telah mencapai minimal)
e. Penyimpanan oralit di Puskesmas hendaknya dijadikan satu gudang (one gate policy) dan
dikelola secara baik dan benar
f. Persediaan minimal disesuaikan dengan kebutuhan, disarankan sama dengan kebutuhan
satu (1) bulan
g. Distribusi dari Puskesmas ke Kader hendaknya dilakukan pada hari H posyandu
sebanyak jumlah oralit yang telah digunakan oleh kader. Perhatikan Pencatatan dan
Pelayanan penderita (termasuk pelayanan di luar hari H Posyandu)
2. Beberapa kebijaksanaan yang diuraikan pada 2.1, tidak absolut, artinya akan mengikuti
kebijakan global pemerintah sejalan dengan perkembangan desentralisasi
3 Perlu adanya koordinasi antara Dinas Kesehatan Dati II (Pengelola Program) dengan
pengelola GFK terutama untuk perencanaan kebutuhan, pemantaunan distribusi dan
mengetahui stok obat di GFK

4. Logistik Pelayanan Kusta


a. Ketersedian Obat MDT (Tipe PB dan Tipe MB)
b. Register Pasien tipe PB dan Mb
c. Buku POD Pasien Kusta
d. Ketersediaanya Obat untuk reaksi pada pasien Kusta (Prednison, Metyl
Prednison)
e. Bahan KIE Pasien Kusta ( leaflet dan buklet)
f. Sarana dan prasarana perawatan tangan dan kaki

5. Logistik Pelayanan IMS/ HIV


Laboratorium, logistik dan sumberdaya lain
a. Pemeriksaan rapid test dan konfirmasi
b. Pemeriksaan CD4, viral load, radiodiagnostik lain, laboratorium untuk IO yang
lengkap
c. Program jaminan mutu dengan melakukan pemantapan mutu internal (PMI) dan
pemantapan mutu eksternal (PME) nasional dan internasional.
d. Kemampuan dalam perencanaan, penyediaan, inventori dan pelaporan untuk
obat ARV, obat IO, obat IMS, obat simtomatis, OAT strategi DOTS, reagen ,
berbagaiformulir layanan.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Sasaran keselamatan pasien di kamar bersalin meliputi 6 sasaran keselamatan pasien


seperti yang tertuang pada peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011 yaitu terdiri dari :
1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Peningkatan komunikasi yang efektif
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (High-Alert)
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur,tepat pasien operasi
5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Pengurangan risiko pasien jatuh

Pelayanan di P2 Puskesmas Dinoyo menerapkan 7 langkah menuju keselamatan pasien


yang mengacu pada peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011
1. Membangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien
Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
Langkah penerapan:
a. Bagi Puskesmas
Pastikan puskesmas memiliki kebijakan yang menjabarkan apa yang harus
dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah
pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan
kepada staf, pasien dan keluarga.
 Pastikan puskesmas memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan
akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
 Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di
puskesmas.
 Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan
pasien.
b. Bagi P2
 Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara mengenai
kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
 Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di
puskesmas anda untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka
dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang
tepat.
2. Memimpin Dan Mendukung Staf
Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di
puskesmas
Langkah penerapan:
a. Untuk Puskesmas
1) Pastikan ada anggota pimpinan yang bertanggung jawab atas Keselamatan
Pasien
2) Identifikasi di tiap bagian puskesmas, orang-orang yang dapat diandalkan
untuk menjadi “penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien
3) Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda minilokakarya maupun rapat
tinjauan manajemen puskesmas
4) Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf puskesmas
anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.
b. Untuk P2
1) Nominasikan “penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin Gerakan
Keselamatan Pasien
2) Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka
dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien
3) Tumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden.

3. Mengintegrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko


Mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan
asesmen hal yang potensial bermasalah.
Langkah penerapan:
a. Untuk Puskesmas
1) Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis
dan nonklinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan
Keselamatan Pasien dan staf;
2) Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko yang
dapat dimonitor oleh kepala puskesmas
3) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh darisistem pelaporan
insiden dan asesmen risiko untuk dapat secaraproaktif meningkatkan
kepedulian terhadap pasien.
b. Untuk P2
1) Bentuk forum-forum di puskesmas untuk mendiskusikanisu-isu Keselamatan
Pasien guna memberikan umpan balikkepada manajemen yang terkait;
2) Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam prosesasesmen risiko
di puskesmas
3) Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untukmenentukan akseptabilitas
setiap risiko, dan ambillah langkahyang tepat untuk memperkecil risiko
tersebut;
4) Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukanke proses
asesmen dan pencatatan risiko di puskesmas

4. Mengembangkan Sistem Pelaporan


Memastikan staf dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta puskesmasmengatur
pelaporan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Langkah penerapan:
a. Untuk Puskesmas
Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalammaupun ke
luar, yang harus dilaporkan ke Kepala Dinas Kesehatan
b. Untuk P2
Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktifmelaporkan setiap
insiden yang terjadi dan insiden yang telahdicegah tetapi tetap terjadi juga, karena
mengandung bahanpelajaran yang penting.

5. Melibatkan Dan Berkomunikasi Dengan Pasien


Mengembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
Langkah penerapan:
a. Untuk Puskesmas
1) Pastikan puskesmas memiliki kebijakan yang secara jelasmenjabarkan cara-
cara komunikasi terbuka selama prosesasuhan tentang insiden dengan para
pasien dan keluarganya.
2) Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yangbenar dan jelas
bilamana terjadi insiden.
3) Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada stafagar selalu
terbuka kepada pasien dan keluarganya.
b. Untuk P2
1) Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatanpasien dan
keluarganya bila telah terjadi insiden
2) Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluargabilamana terjadi
insiden, dan segera berikan kepada merekainformasi yang jelas dan benar
secara tepat
3) Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empatikepada pasien dan
keluarganya.
6. Belajar Dan Berbagi Pengalaman Tentang KeselamatanPasien
Mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajarbagaimana dan
mengapa kejadian itu timbul.
Langkah penerapan:
a. Untuk Puskesmas
1) Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajianinsiden secara
tepat, yang dapat digunakan untukmengidentifikasi penyebab.
2) Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas criteria pelaksanaan
Analisis Akar Masalah (root cause analysis/RCA)yang mencakup insiden
yang terjadi dan minimum satu kali pertahun melakukan Failure Modes and
Effects Analysis (FMEA)untuk proses risiko tinggi.
b. Untuk P2
1) Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisisinsiden.
2) Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampakdi masa depan
dan bagilah pengalaman tersebut secara lebihluas.

7. Mencegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan


Pasien
Menggunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untukmelakukan
perubahan pada sistem pelayanan.

BAB VII
KESELAMATAN KERJA

7.1 PENGERTIAN
Keselamatan kerja merupakan suatu system dimana puskesmas membuat
kerja/aktifitas karyawan lebih aman.Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan pribadi atau pun puskesmas.

7.2 TUJUAN
a. Terciptanya budaya keselamatan kerja
b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
c. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya
d. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi

7.3 TATA LAKSANA KESELAMATAN KERJA PEGAWAI


a. Setiap petugas kesehatan maupun non kesehatan dalam menjalankan tugas
memperhatikan prinsip pencegahan infeksi, yaitu :
- Menganggap bahwa pasien maupun dirinya sendiri dapat menularkan infeksi
- Menggunakan alat pelindung (sarung tangan, kaca mata, sepatu boot, celemek,
masker, caps kepala)
- Melakukan perasat yang aman bagi petugas maupun pasien, sesuai prosedur yang
ada, misalnya : memasang infuse, menyuntik, memasang kateter, menjahit luka,
dll
- mencuci tangan dengan sabun antiseptic sebelum dan sesudah menangani pasien
b. Terdapat tempat sampah infeksius dan non infeksius
c. Mengelola alat dengan memperhatikan prinsip UPI yaitu :
- Dekontaminasi dengan larutan klorin 0,5% selama 10 menit
- Cuci dengan menggunakan sabun dan bilas dengan menggunakan air bersih yang
mengalir, Gunakan sarung tangan rumah tangga supaya tidak tertusuk instrument
yang tajam
- Sterilisasi
* menggunakan otoklaf 106 kPa (15lbs/in) 1210 C (2500 F) tanpa bungkus 20
menit, jika terbungkus 30 menit
* menggunakan oven 1700 C ( 3400 F )selama 60 menit, 1600 C ( 3200 F )
selama 120 menit
d. Melakukan upaya kewaspadaan standar meliputi :
 Mencuci tangan
- Setelah menyentuh darah, duh tubuh, sekresi, ekskresi dan benda-
benda yang terkontaminasi
- Segera setelah melepas sarung tangan
- Sebelum dan setelah memeriksa pasien satu ke pasien lain
 Sarung tangan
- Untuk kontak dengan darah, duh tubuh, sekresi, bahan-bahan yang
terkontaminasi
- Untuk kontak dengan membran mukosa dan kulit yang tak utuh (non-
intact skin) : koyak, terkelupas, dan lain-lain
 Masker, kacamata, pelindung wajah
- Melindungi membran mukosa mata, hidung, dan mulut ketika terjadi
kontak dengan darah dan duh tubuh
 Gaun Operasi
- mecegah agar pakaian tidak terkontaminasi darah maupun duh
tubuhselama melakukan tindakan
 Peralatan untuk perawatan pasien
- Tangani alat yang telah terkontaminasi sedemikian rupa sehingga
tidak menyetuh kulit atau membran mukosa dan untuk mencegah
agar baju maupun lingkungan tidak terkontaminasi
- Bersihkan peralatan pakai ulang (reusable) sebelum digunakan
kembali
 Membersihkan lingkungan
- Perawatan rutin, membersihkan dan disinfeksi perlengkapan dan
perabotan di ruang asuhan pasien

 Benda – benda tajam


- Hendaknya selalu memakai autodisable syringe
- Jangan memasang kembali tutup jarum suntik yang telah digunakan
- Jangan melepas jarum dari alat suntik/semprit sekali pakai
(diposable)
- Jangan membengkokkan atau mematahkan jarum bekas pakai
dengan tangan
- Letakkan benda-benda tajam yang telah digunakan ke dalam wadah
anti tusukan
 Resusitasi pasien
- Gunakan pelindung mulut, kantung resusitasi atau alat pernapasan
lainnya untuk menghindari pemberian resusitasi dari mulut ke mulut
 Penempatan pasien
- Tempatkan pasien yang dapat mengkontaminasi lingkungan
maupun yang tidak terjamin kebersihannya pada ruang
khusus/terpisah
BAB IX
PENUTUP

Upaya Pemberantasan Penyakit adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut


surveilans, tuberculosis, diare, ispa, imunisasi, penyakit tidak menular, kusta, ims. Tujuan
dari program ini adalah tercegahnya kejadian luar biasa, terbebasnya Kabupaten Sukoharjo
dari  penyakit Rabies, Anthraks, Pes dan Tetanus Neonatoru, menurunnya angka kesakitan
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) dengan prioritas pada bayi, balita, anak
sekolah dan wanita usia subur termasuk ibu hamil, tersedianya data dan informasi penyakit
tidak menular, berkembangnya system kewaspadaan dini kejadian luar biasa, pencegahan dan
penanggulangan bencana secara terpadu dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat

Pedoman ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pelaksana program
pemberantasan penyakit di puskesmas dalam rangka meningkatkan kualitas komunikasi
kesehatan di Puskesmas. Selain itu, dengan buku pedoman ini diharapkan dapat digunakan
sebagai dasar advokasi bagi pemegang kebijakan untuk peningkatan upayapemberantasan
penyakit di Puskesmas.

KEPALA UPT PUSKESMAS DINOYO

dr. BAYU TJAHJAWIBAWA


Nip. 19660116 200212 1 003

Anda mungkin juga menyukai