LAYANAN DETEKSI DINI DAN RESPON KEJADIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR ZOONOTIK
(SURVEILANS PENYAKIT FILARIASIS)
TAHUN ANGGARAN 2022
1. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15/MENKES/PER/X/2017
tentang Penanggulangan Kecacingan.
Keputusan Menteri kesehatan Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggara Sistem Surveilanss Epidemiologi Penyakit Menular dan penyakit tidak
menular terpadu.
Keputusan Menteri Kesehatan Rl Nomor 267/MENKES/SK/III/2004tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pencegahan Penyakit Menular
2. Gambaran Umum
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) merupakan salah satu penyakit menular menahun yang
masih menjadi masalah Kesehatan masyarakat di Indonesia karena berjangkit di sebagian besar
wilayah Indonesia dan dapat menimbulkan kecacatan yang menetap. Limfatik Filariasis (LF)
merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dan diklasifikasikan sebagai Penyakit
Tropis Terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTD). Di Indonesia LF bisa disebabkan
oleh semua jenis cacing filaria Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori dan
ditularkan oleh nyamuk-nyamuk Culex, Anopheles dan Aedes.
Berdasarkan laporan daerah dan hasil survei darah jari, hingga tahun 2015, tercatat
sebanyak 239 kabupaten/kota sudah dinyatakan endemis filariasis dari 511 kabupaten/kota.
Sedangkan untuk jumlah kasus kronis fllariasis (limfedema dan hidrokel) telah tercatat
sebanyak 14.932 orang yang tersebar di 401 kabupaten/kota di 33 propinsi.
Pada tahun 2021, Indonesia melaporkan inkonsistensi kualitas BRT saat dilakukan
pemeriksaan kendali mutu. Untuk merespon laporan tersebut, WHO mengadakan studi
multicenter di tiga negara pengguna BRT pada awal tahun 2022 dan satu laboratorium
independent (US-CDC). Hasil studi multicenter menunjukkan inkonsistensi sehingga WHO
tidak merekomendasikan penggunaan Brugia Rapid Test untuk TAS di Indonesia tahun
2022 dan menggantinya dengan Brugia Impact Survey (BIS), sebuah survei dengan alat
diagnostik sediaan darah jari malam. Satu kabupaten endemis Brugia spp. yang layak
TAS bisa memilih salah satu opsi berikut ini, sesuai dengan jenis TAS yang akan
dilaksanakan:
Adapun lokasi kegiatan filariasis dilakukan di Prov NTT yaitu TAS 1 di Kabupaten
Nagakeo, Lembata, Kupang dan Ngada. Justifikasi pemilihan lokasi berdasar rangkaian
tahapan proses kegiatan Eliminasi Filariasis, dimana kabupaten tersebut telah
melaksanakan POPM tahun terakhir untuk melihat apakah sudah tidak terjadi penularan
filariasis.
BBTKL PP Surabaya bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTT melakukan Brugia
Impact survei (BIS) ini yang dikenal dengan survei Transmition Assessment Survey (TAS)
guna mendapatkan informasi endemisitas filariasis yang terbaru sebagai masukan program
eliminasi LF di tingkat Nasional atau di tingkat Kabupaten/Kota untuk program pemberian
obat masal pencegahan POPM LF. Serta, menunjang resolusi 50.29 the World Health
Assembly untuk eliminasi LF sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat di tahun
2021 selaras pula dengan WHO yang meluncurkan program eliminasi LF global (GELPF)
pada tahun 2000, dengan strategi utama (POPM) LF dalam memutuskan rantai penularan
penyakit,
B. TUJUAN
Tujuan Umum :
Sebagai pengganti sementara TAS, tujuan BIS tidak berbeda dengan TAS. BIS dilakukan
untuk mengukur prevalensi infeksi di Kabupaten/Kota endemis Filariasis telah berhasil
diturunkan ke tingkat dimana penularan baru tidak terjadi (prevalensi mikrofilariaemi <1%) di
daerah endemis Brugia spp dan endemis campuran (Brugia spp. dan W.bancrofti) sehingga
POPM Filariasis bisa dihentikan dengan aman. Pelaksanaan BIS di kabupaten Nagakeo,
Lembata, Kupang dan Ngada bertujuan untuk menggantikan sementara TAS1 sebelum
kabupaten Bengkayang dapat menghentikan POPM LF dan melanjutkan ke tahapan
surveilans LF TAS2 dan TAS3.
Tujuan Khusus :
a) Mengetahui prevalensi dan faktor risiko filariasis pada masyarakat
b) Mengetahui angka mikrofilaria
c) Survei ini adalah untuk menilai apakah penularan sudah dapat ditekan dengan mf < 1
C. PENERIMA MANFAAT
Kegiatan ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada Dinas Kesehatan Provinsi/ Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dalam upaya mengetahui keberhasilan program POPM dalam
menurunkan prevalensi filariasis.
Selain jumlah Desa/Kelurahan yang terdapat di suatu kabupaten, besarnya unit evaluasi dari
suatu kabupaten juga ditentukan oleh jumlah penduduk. Dalam penerapan BIS, batas
maksimal jumlah penduduk untuk satu unit evaluasi adalah 500.000 jiwa. Jika suatu
kabupaten/kota memiliki
>500.000 maka harus dibagi menjadi beberapa unit evaluasi sehingga masing-masing unit
evaluasi memiliki jumlah penduduk kurang dari 500.000 jiwa.
SSB akan memilih 30 klaster dari daftar ini menggunakan sampling probability proportionate
to estimated size (PPES). SSB juga akan membuat daftar angka acak untuk memilih
responden survei di setiap klaster terpilih.
3. Tim Kerja BBTKLPP Surabaya memilih 30 klaster secara acak dari daftar desa yang
dikirimkan dengan memakaai perangkat ecxell SSB untuk Brugia Impact Survey. Daftar
klaster terpilih akan dikembalikan ke pengelola program Filariasis Kabupaten/kota
disertai daftar angka acak untuk memilih responden/KK dietiap klaster terpiih.
4. Tim kerja BBTKLPP Surabaya, Dinkes Prov NTT bersama pengelola Program
Filariasis dan Kabupaten beserta Puskesmas yang wilayah kerjanya menjadi klaster
terpilih untuk BIS akan bertemu untuk berkoordinasi sesaat sebelum beberapa hari
pelaksanaan BIS. Dalam pertemuan koordinasi ini, Puskesmas akan menyusun
daftar KK lengkap di setiap klaster terpilih agar bisa memilih responden/KK
berdasarkan daftar angka acak yang dihasilkan SSB untuk setiap klasternya.
Jika daftar KK di setiap klaster terpilih tidak tersedia maka daftar angka acak akan
digunakan untuk memilih KK pada saat tim survei datang ke lokasi (Lampiran 5.
Tatacara pemilihan rumah/KK menggunakan daftar angka acak pemilihan
responden/KK).
5. Pada waktu pengumpulan sampel tim survei mengunjungi setiap responden/KK
terpilih dan mengumpulkan sediaan darah dari anggota keluarga yang berusia
>=18 tahun yang bersedia diperiksa di setiap KK terpilih.
e. Besaran sampel
Besaran sampel dihitung agar bisa menentukan rerata angka prevalensi mikrofilaria
dalam darah adalah <1% di daerah endemis dengan vektor
Anopheles/Culex/Mansonia.
Nilai ambang batas kritis (critical cut-off) untuk menentukan kelulusan satu unit evaluasi
dihitung dari besaran sampel berdasarkan jumlah populasi sasaran survei (penduduk
usia >=18 tahun) adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Besaran sampel dan nilai ambang batas kritis (critical cut-off) berdasarkan jumlah
populasi dari unit evaluasi dengan vector Anopheles/culex/mansonia untuk mendeteksi
ambang 1% mikrofilariaemi pada orang dewasa.
Pada survei klaster ini SSB mengeluarkan list 30 klaster, berdasarkan jumlah sampel
minimum dari table di atas dari setiap klaster diperlukan adalah 34 sampel KK dimana
semua orang dewasa dalam KK tersebut akan diambil menjadi sampel.
f. Alat diagnostik survei
Alat diagnostik yang dipakai untuk mengetahui adanya mikrofilaria dalam darah dilakukan
dengan membuat sediaan apus darah tepi yang dikumpulkan pada jam 22.00 – 02.00.
Pengumpulan darah bisa dilakukan dengan tabung mikrokapiler non heparin dan langsung
dibuat menjadi sediaan apus di lokasi. Sediaan apus darah ini perlu diwarnai dengan Giemsa
sebelum bisa diperiksa keberadaan mikrofilaria memakai mikroskop Pemilihan metode
pengambilan darah diserahkan kepada tim survei, disesuaikan dengan ketersediaan alat dan
kondisi lokasi klaster terpilih.
g. Penyuluhan kesehatan
Pada saat masyarakat yang mau berpartisipasi sudah berkumpul, petugas provinsi atau
kabupaten/kota memberikan penyuluhan tentang penyakit filariasis, tujuan survei, tindak lanjut
setelah ada hasil survei. Media penyuluhan kesehatan dapat menggunakan flipchart, leaflet,
poster dan atau film documenter filariasis..
2. Pewarnaan slide
Pewamaan sediaan darah jari merupakan tanggungjawab dari tim pusat, dengan mengikutl
protocol yang tersedia.
4. Penetapan Hasll
Penetapan hasil didasarkan pada ada atau tidaknya mikrofilarla dalam sediaan darah
sampel. Bila ditemukan adanya microfilaria maka sampel dikatakan posltif
2. Tahapan Pelaksanaan.
• On the job training(OJT);
• Survei darah jari di malam hari pada pukul 22:00-2:00WIB;
• Pewamaan slide.
• Pemeriksaan slide (dilakukan oleh teknlsi ahli)
Kegiatan OJT lni dilaksanakan sebelum kegiatan survei. Supervisor pusat memberikan
pemaparan materi dan praktek kepada petugas kabupaten, puskesmas dan kader.
3. Tim Survei
Survel di lokasi k a b u p a t e n p r o v i n s i N T T ini melibatkan tim dari tingkat pusat sampai puskesmas
dengan rincian total tenaga seluruh lokasi sebagai berikut :
•Pusat 2 orang sebagai supervisor pusat yang akan memastikan kualitas survei, 2 orang analis
dan 2 orang sebagai petugas administrasi & keuangan
•Provinsi 2 orang sebagai supervisor lapangan yang akan memastikan kelancaran sebelum dan
selama survei berlangsung.
•Kabupaten/kota 4 orang sebagai coordinator lapangan.
•Puskesmas 3 orang (analis kesehatan atau Petugas Laboratorium) sebagai petugas pengambil
darah.
•Kader 3 orang sebagai petugas yang mengajak masyarakat berpartisipasi aktif pada kegiatan
survey dan membantu tim survey untuk mengisl data sampel (nama, usia berdasarkan kolom
jenis kelamin) pada fornulir pemeriksaan dan data lain yang ada dalam formunlir survey
dengan supervise dari petugas kabupaten
Waktu pencapaian keluaran dari kegiatan ini adalah 8 bulan yaitu dari bulan Januari sampai
bulan
Desember 2022.
Bulan ke-
Tahapan Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persiapan kegiatan melalui rapat
internal penentuan lokasi
sasaran
Penyusunan kerangka acuan
kegiatan
Pengadaan bahan dan
reagensia
Koordinasi kegiatan Survei
OJT kegiatan
Survei
Pemeriksaan laboratorium
Analisis data
Penyusunan laporan
Biaya yang diperlukan untuk kegiatan ini bersumber dari DIPA BBTKLPP Surabaya Tahun
2022.
Demikian Kerangka Acuan Kerja dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Kepala