Anda di halaman 1dari 6

NARASI PENGAMBILAN DAN PENGEPAKAN SAMPEL

A. AFP (Acute Flaccid Paralysis)


AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah serangkaian kegiatan untuk
mengumpulkan specimen tinja sebanyak2 (dua) kali sesegera mungkin
dengan interval waktu minimal 24 jam gunamendapatkan specimen yang
adekuat.
B. Tujuan
1. Untuk penegakkan diagnosis
2. Mengumpulkan specimen tinja sedini mungkin dan mengirimkannya
keLaboratorium
3. Memastikan ada/tidaknya sisa kelumpuhan (residual paralysis)
padakunjungan ulang 60 hari kasus AFP dengan specimen tidak
adekuat atauvirus polio vaksin positif
4. Mengumpulkan resume medic dan hasil pemeriksaan penunjang
lainnya,sebagai bahan kajian klasifikasi final oleh kelompok kerja ahli
nasional
C. Specimen
Specimen yang diperlukan dari penderita AFP adalah specimen tinja, namun
tidak semua kasus AFP yang dilacak harus dikumpulkan specimen tinjanya.
Persyaratan dan Alat :
a. Alat & Bahan
1. 2 buah pot tinja yang sesuai dengan standar
2. 2 buah kantong plastik ukuran kecil
3. 2 buah kantong plastik ukuran besar
4. 2 buah kertas label
5. Pena
6. Spidol permanen untuk menulis di pot sampel
7. Gunting
8. Lakban
9. Formulir pelacakan (FP 1)
10. Spesimen carrier
11. Cold Pack 5 buah
12. Logtag
b. Persyaratan alat & bahan
1. 2 buah pot bertutup ulir di bagian luarnya yang dapat ditutup rapat,
terbuat dari bahan transparan, tidak mudah pecah, tidak bocor,
bersih dan kering(pot-tinja)
2. 2 buah kantong plastik bersih ukuran kecil untuk membungkus
masing-masing pot-tinja
3. 1 buah kantong plastik besar untuk membungkus ke 2 pot-tinja
yang telah dibungkus dengan kantong plastic kecil
4. 1 buah kantong plastik besar untuk membungkus FP 1 dan formulir
permintaan pemeriksaan yang akan disertakan dalam specimen
carrier
5. 2 buah kertas label auto-adhesive (pada umumnya sudah
tertempel di pot yang tersedia)
6. Pena dengan tinta tahan air untuk menulis label
7. Spidol permanen untuk menulis di pot sampel
8. Gunting
9. Cellotape untuk merekatkan tutup pot dengan badan pot
10. Formulir pelacakan (FP 1) dan pengiriman specimen (FP-S1)

D. Langkah-langkah Pengambilan Sampel:


1. Gunakan APD ( Masker dan Handscone)
2. Pastikan pot yang akan digunakan adalah pot tutup berulir
3. Ambil satu sendok feses kurang lebih 8 gr, atau 1 sendok makan
kemudian letakkan pada pot
4. Pastikan pot tertutup rapat
5. Beri label pada pot yang berisi identitas sampel berupa nama, jenis
kelamin, tanggal pengambilan dan nomor EPID
6. Berikan selotip pada label agar tidak pudar terkena air
7. Pastikan penutup pot juga diberi selotip agar memastikan isi
spesimen tidak keluar
8. Simpan pot pertama pada kulkas dengan suhu 2-8 0C
9. Pot kedua diambil dengan selang waktu 24 jam dari pengambilan pot
pertama
10. Perlakuan sampel no.1-7 dilakukan dalam pengambilan pot kedua.

E. Langkah-langkah Pengepakan sampel:


1. Gunakan APD ( Masker dan Handscone)
2. Beri Label 1 pot pertama dengan spidol
3. Masukkan sampel ke dalam kantong plastik kecil
4. Beri label 2 pada pot kedua dengan spidol
5. Masukkan sampel ke dalam kantong plastik kecil
6. Masukkan kedua sampel tersebut ke dalam kantong plastik besar
7. Siapkan specimen carrier dengan menambahkan 5 cold pack diisi
pada pagian bawah, sisi kanan, sisi kiri dan depan belakang.
8. Sampel dimasukkan ke dalam spesimen carrier yang sudah diisi cold
pack dan logtag
9. Diberikan tambahan tisu atau potongan kertas agar menghindari
guncangan
10. Kemas formulir FP1 ke dalam plastik lalu masukkan ke dalam
spesimen carrier
11. Kemudian tutup spesimen carrier dengan menggunakan cellotape
12. Menghubungi dinas kesehatan kabupaten bahwa sampel telah
selesai dilakukan pengepakan sampel dan siap dikirim.
F. Hal yang harus diperhatikan
 Suhu di dalam spesimen carrier harus terjaga antara 2° - 8° C
 Diusahakan agar sampel tidak mengalami guncangan
 Pastikan identitas pasien benar pada label

Lembar Kasus Skrenario 1:


Bila dari laporan Puskesmas saudara dari laporan tahun 2019 didapatkan 3 kasus
AFP dan semua kasusnya sudah dinvestigasi dan specimen fesesnya sudah dikirim
spesimennya ke laboratorium rujukan.
Penugasan Diskusi
a. Apakah kinerja surveilans AFP tersebut di Puskesmas pada tahun 2019
sudah baik? Apa indikatornya?
Jawaban :
Kinerja surveilans AFP di puskesmas sudah baik. Indikatornya dimana 3
kasus AFP sudah diinvestigasi dan sudah didapatkan specimen fesesnya.
Indikator variable AFP adalah ≥ 2/100.000 penduduk.

b. Apakah semua kasus AFP tersebut merupakan kasus Polio pada tahun
tersebut? jelaskan?
Jawaban :
Belum tentu, karena belum ada hasil positif polio dari laboratorium.

c. Bila anda tidak menemukan kasus AFP pada bulan April tahun 2020 di
wilayah kerja Puskesmas anda, apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Jawaban :
Tetap melakukan surveilans AFP aktif, meningkatkan kinerja surveilans
aktif Rumah Sakit, dan Community Based Surveilance (CBS). Tetap
melakukan perencanaan program bulanan. Melakukan advokasi ke klinik
swasta dan masyarakat. Sosialisasi pada lintas sectoral jika menemukan
suspek polio. Memberikan informasi pada linsek agar meningkatkan
surveilans berbasis masyarakat dan surveilans fasyankes.

d. Bagaimana kita meyakinkan Puskesmas kita aman dari kemungkinan ada


kasus Polio?
Jawaban:
Menemukan kasus AFP sebanyak-banyaknya dengan hasil laboratorium
negative. Perlunya surveilans lingkungan dan surveilans balita gizi buruk
untuk Kerjasama melakukan penemuan kasus AFP. Meningkatkan
pelayanan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit).

Lembar Kasus Skrenario 2:


Bila saudara menjadi petugas surveilans di Puskesmas A, mendapatkan laporan dari
seseorang yang berasal dari desa B bahwa tetangganya anak yang masih
bersekolah di PAUD mengalami kelumpuhan
Pertanyaan Diskusi :
Diskusikan, informasi apa saja yang harus digali dari orang tersebut agar kasus
kelumpuhan tersebut menjadi kasus yang masuk surveilans AFP?
a. Tentukan kisaran umur kasus, umur berapa kasus AFP seharusnya?
Jawaban :
Kisaran umur kasus yaitu 5 sampai dengan 6 tahun, Umur kasus AFP
seharusnya semua anak kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang
sifatnya flaccid (layuh), proses terjadi kelumpuhan secara akut (<14 hari),
serta bukan disebabkan oleh ruda paksa.
b. Tentukan apa kasus lumpuh tersebut Akut dan Flasid? Apa kriterianya?
Jawaban :
Kriteria untuk lumpuh flasid yaitu kelumpuhan yang bersifat lunglai lemas
atau layuh bukan kaku atau terjadi penurunan tonus otot. Sedangkan
kelumpuhan akut adalah perkembangan kelumpuhan yang berlangsung
cepat (rapid progressive) antara 1 — 14 hari sejak terjadinya gejala awal
(rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal
c. Informasi apa saja yang harus digali pada kasus tersebut agar kasus itu
dapat dilaporkan dengan lengkap?
Jawaban :
Petugas surveilans menanyakan identitas dan menanyakan Riwayat
imunisasi melalui buku Pink/Kia. Setelah itu petugas mengecek kondisi fisik
pasien yang lumpuh, setelah mengumpulkan data yang diperoleh
dilapangan kemudian petugas surveilans melaporkan ke Pemegang Progam
imunisasi dan kepala Puskesmas kemudian petugas surveilans melaporkan
kasus tersebut ke Dinas Kesehatan
d. Specimen apa yang harus dikumpulkan dari kasus tersebut? Bagaimana
kriteria specimen yang baik?
Jawaban :
Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas surveilans beserta petugas
laboratorium, feses pasien diambil 8 gram / sebesar ibu jari orang dewasa
atau 1 sendok makan setelah itu sampel dimasukan di pot tinja diberi
identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, No. EPID, tanggal
pengambilan specimen dan segel spesimen menggunakan plester agar tidak
tumpah. Lengkapi Form FP1 Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali
dengan jarak waktu 1x24 jam.

Lembar Kasus Skrenario 3:


Bila dari laporan Puskesmas anda dari surveilans AFP dari 3 kasus AFP dari hasil
laboratorium tinja yang dikirim ke laboratorium rujukan didapatkan 1 kasus Polio?
Pertanyaan Diskusi
1. Bila anda mendapatkan hasil seperti di atas dari laboratorium diatas maka
apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Jawaban :
Setiap kasus AFP yang ditemukan harus segera dilacak dan dilaporkan
ke unit pelaporan yang lebih tinggi selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam
setelah laporan diterima.
Dilakukan pelacakan epidemiologi kontak erat, pengambilan sampel
pada kontak erat untuk menentukan status konfirmasi positif, jika kontak erat
menolak dengan alasan apapun maka kontak erat dinyatakan terkonfirmasi
positif dan tidak dilakukan follow up 60 hari. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium pada sampel kontak erat untuk mengkonformasi jenis virus polio
yang menyebabkan kasus polio positif. Virus polio yang ditemukan dapat
berupa virus polio vaksin/sabin, Virus polio liar/WPV (Wild Poliovirus) dan
VDPV (Vaccine Derived Poliovirus). VDVP merupakan virus polio vaksin/sabin
yang mengalami mutasi dan dapat menyebabkan kelumpuhan.

2. Bila kasus polio yang dilaporkan tersebut adalah kasus Polio liar, apa yang
terjadi dan apa yang harus dilakukan?
Jawaban :
Jika kasus tersebut merupakan virus polio liar positif kasus/ hot case
kontak positif maka kasus tersebut masuk ke dalam kasus positif polio. Dan
harus segera dilacak dan dilaporkan ke unit pelaporan yang lebih tinggi
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Virus polio liar negative jika
specimen tidak adekuat lakukan kunjungan ulang atau follow up selama 60
hari, jika terdapat paralysis residual positif termasuk kasus polio compatible.
Jika specimen adekuat pada virus polio liar negative maka bukan kasus polio.
Polio menyebar melalui kontak orang ke orang.
Ketika seorang anak terinfeksi virus polio liar, virus masuk ke dalam
tubuh melalui mulut dan berkembang biak di usus. Ini kemudian dibuang ke
lingkungan melalui faeces di mana ia dapat menyebar dengan cepat melalui
komunitas, terutama dalam situasi kebersihan dan sanitasi yang buruk.
Dilakukan investigasi lapangan meliputi pencarian kontak erat, pencarian
kasus baru dan pengumpulan factor resiko lingkungan dan status gizi, status
imunisasi dan mengobati gejala symtomatisnya.
Kemudian dilakukan Analisa dan pengolah data untuk menentukan apakah
termasuk kasus outbreak/KLB atau transmisi polio potensial. Lakukan
koordinasi lintas program dan lintas sectoral untuk mencari kriteria resiko dan
menentukan wilayah ORI.

3. Bila kasus polio yang dilaporkan adalah kasus VDVP, apa yang terjadi dan
apa yang harus dilakukan?
Jawaban :
Jika ada kasus VDVP untuk menentukan diagnose dilakukan
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dilakukan surveilans lingkungan

4. Bila kasus polio yang dilaporkan adalah kasus VAVP, apa yang terjadi dan
apa yang harus dilakukan?
Jawaban :
Jika ada kasus VAVP untuk menentukan diagnose dilakukan dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan dilakukan surveilans lingkungan

Anda mungkin juga menyukai