Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi Human Immundeficiency Virus (HIV) anak ditemukan pertama kali tahun
1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada
orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, riwayat perjalanan dan penyebaran
penyakit, faktor risiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral. Dampak Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat. Saat ini menjadi penyebab
kematian pertama di Afrika dan peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia.
Saat ini WHO memperkirakan sekitar 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS.
Kasus pertama AIDS di Indonesi ditemukan pada tahun 1987 di Bali, yaitu seorang
warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember
1985 yang secara klinis sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang
dinyatakan positif, tetapi hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat dinyatakan
negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia semakin
meningkat termasuk juga penderita AIDS. Pada tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan
infeksi HIV di Indonesia telah meluas ke rumah tangga, di mana penderita HIV/AIDS meluas
ke anak-anak dan remaja serta juga terjadi peningkatan transmisi perinatal (dari ibu ke anak).
Transmisi HIV secara vertikan dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering
infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar
83% antara tahuun 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi
terjadi hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal dapat terjadi in-utero,
selama periode peripARVum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan melalui transfusi
darah atau komponen darah relatif lebih jarang.
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada
anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirana mengidap infeksi HIV. Gejala dan tanda yang
mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri berulang, demam, diare, sariawan yang sulit sembuh,
parotitis kronis, pneumonia berulang, limfadenopati generalisata, gangguan perkembangan
yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis berulang. Dengan demikian bisa
menjadi peringatan untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala dan infeksi
pada manusia akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan
oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus).

II.2. Epidemiologi
Berdasarkan data dari UNAID (The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS),
sampai akhir 2003 didapatkan sekitar 2,5 juta anak-anak usia di bawah 15 tahun di seluruh
dunia mengidap HIV/AIDS dan sekitar 500.000 anak-anak di antaranya meninggal karena
penyakit ini. Menurut WHO di tahun yang sama, didapatkan 700.000 anak-anak tahun yang
baru terinfeksi HIV, 13% di antaranya merupakan anak usia di bawah 15 tahun. Angka
kejadian tertinggi terdapat pada negara berkembang yaitu mencapai 95%. Di negara Afrika
angka kejadian bahkan kematian karena HIV/AIDS semakin meningkat sampai dengan 20-
40% setiap tahunnya. UNAID memprediksikan antara tahun 2000-2020, angka kematian
karena AIDS bisa mencapai 68 juta di seluruh dunia.
1
Di Indonesia, data di RSCM menunjukkan hingga tahun 2006 terdapat 150 pasien
terinfeksi HIV/AIDS pada anak < 15 tahun, dan 100 anak yang terpapar HIV tetapi tidak
tertulari. Pada orang dewasa sampai dengan September 2005 terdapat 8,169 pengidap infeksi
HIV. Penderita pria lebih banyak 3 kali lipat dari wanita. Sebagian besar pengidap usia
dewasa ini adalah pada usia subur. Dengan kemampuan reproduksi penderita dewasa, akan
lahir anak-anak yang mungkin tertular HIV. Bila tidak dilakukan intervensi, dari setiap 100
wanita dewasa pengidap HIV yang hamil dan melahirkan, sebanyak 40-45 anak-anak ini akan
tertulari.
2
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Sampai Dengan Maret 2012
2
Golongan Umur AIDS
<1 273
3

1 4 419
5 14 200
15 19 1077
20 29 13223
30 39 9026
40 49 2926
49 59 923
>60 236
Tak Diketahui 1005

II.3. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi dari HIV yang merupakan virus RNA dari
genus Lentivirus dan keluarga Retroviridae. Dinamakan retrovirus karena virus ini
mempunyai kemampuan membentuk DNA dari RNA sebab mempunyai enzim traskriptase
reversi yang digunakan sebagai template untuk membentuk DNA yang kemudian
berintegrasi ke dalam kromosom pejamu dan selanjutnya berkerja dalam proses replikasi
HIV.
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Montagnier dari Perancis pada tahun 1983 dan
oleh Gallo dari Amerika pada tahun 1984. Terdapat 2 tipe HIV yang sangat mirip, yaitu HIV-
1 dan HIV-2 yang walaupun berbeda struktur genomik dan antigenesitasnya, tetapi
manifestasi klinis tidak dapat dibedakan. Secara epidemiologis, HIV-1 merupakan penyebab
tersering infeksi HIV di Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Infeksi HIV-2 prevalensinya lebih
rendah dan progresivitas penyakitnya lebih lambat, virus ini endemis di Afrika Barat.
3,4
II.3.1. Struktur HIV
4

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar, yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung 2 (dua)
rangkaian genom RNA diploid dengan masing-masing rangkaian memiliki enzim
transkriptase reversi (RT) dan integrase. Selain itu dalam inti juga terdapat enzim protease
yang tidak melekat pada rangkaian RNA. Partikel yang membentuk inti silindris ini adalah
protein kapsid (p24) yang menutupi komponen nukleoid tersebut sehingga membentuk
struktur nukleokapsid.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp120 akan
berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T
helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-
sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp41 atau disebut protein transmembran
dapat bekerja sebagai protein fusi, yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain
yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut membentuk sinsitium. Karena
bagian luar tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari, dan mudah dimatikan dengan
desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, yodium hipoklorit, dll, tetapi relatif resisten terhadap
radiasi dan sinar ultraviolet. Virus HIV dapat hidup dalam darah, saliva, semen, air mata, dan
mudah mati di luar tubuh. Pada membran permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas
molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang
keduanya dbentuk oleh virus.
II.3.2 Siklus Hidup HIV
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu.
Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp120 dengan molekul CD4 sel pejamu.
Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120
kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin
(CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan
konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion) untuk
mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu dan kemudian
menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV
dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.
Di dalam sel pejamu bagian inti mukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks
nukleoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim
5

transkriptase reversi. DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu
melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu
bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang
sudah berintegrasi ke dalam sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini dapat
dorman atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun tanpa
adanya protein baru atau virion.
3
II.4. Cara Penularan
Cara penularan HIV yang penting pada anak adalah penularan secara vertikal, yaitu
dari ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi
terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung HIV selama proses
kehamilan dan post partum melalui ASI. Transmisi dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani maka penularan ini akan semakin meningkat. Sejumlah faktor
dapat dapat mempengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya).
5

Faktor predisposisi lain penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit T CD4
dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular
seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya, dan tidak
minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan
transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan pervaginam, dan melakukan prosedur
invasif pada bayi. Selain itu, prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada
bayi. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV.
Hingga kini belum diketahui dengan pasti mengapa demikian, tetapi diduga IgA yang terlarut
berperan dalam proses pengurangan antigen.
Selain transmisi secara vertikal dari ibu ke anak, terdapat beberapa cara penularan
yang memungkinkan seseorang terkena infeksi HIV. Di antaranya yaitu transfusi darah,
jarum suntik yang tercemar HIV, hubungan seksual dengan pengidap HIV. Namun hal-hal
tersebut lebih jarang menjadi jalur transmisi pada anak-anak.
5
II.5. Patogenesis
6

Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem
imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel T helper
yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi
penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi
pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi,
sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah
terinfeksi.
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel
dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut
ke sel-sel limfoid. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang
sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang
peka terhadap infeksi HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid
akan tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut. Sel dendrit di epitel tempat
masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel
dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga
sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid,
sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4

melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus
menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan
sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun
adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol
sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12
minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten
mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV,
sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah
virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian,
penghancuran sel T CD4 dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4

7

yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 10
12
terdapat
dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 10
9
sel T CD4 per hari.
Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4 yang hancur dengan yang baru.
Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan
terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4 di jaringan limfoid dan
sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai
respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat
sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem
imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS di mana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4 dalam darah kurang dari 200
sel/mm
3
, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik,
neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi
susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
Pada anak-anak ditemukan 3 (tiga) pola penyakit. Terdapat 15-25% bayi baru lahir
yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat,
dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu
ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru
lahir akan mengalami perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi
intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang
normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan
penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin.
Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang mengakibatkan
gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan hasil tes PCR
yang positif pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi
inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan dan menurun secara perlahan.
Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2
tahun pertama.
8


Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami
pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat,
dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki
tes kultur yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai
pasien bayi yang terinfeksi intrapARTum. Pada pasien muatan virus akan meningkat dengan
cepat dalam 2-3 bulan pertama kehidupan dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini
berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi
primer. Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil
dan infeksi virus yang cacat (adanya defek pada gen virus).

Perubahan sistem imun anak-anak karena infeksi HIV akan menyerupai infeksi HIV
pada orang dewasa. Penurunan sel T akan kurang dramatis disebabkan karena pada bayi
terjadi limfositosis relatif. Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak
sebagai bukti hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi.
Respon ini memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis antibodi sel B
dan peningkatan jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel limfosit B. Disregulasi dari sel B
mendahului berkurangnya CD4 pada kebanyaka anak, dan dapat berguna sebagai alat bantu
diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes diagnosis spesific (PCR, kultur) tidak ada atau
terlalu mahal. Meskipun peningkatan kadar imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi
spesifik tidak muncul pada beberapa anak. Hipogamaglobulinemia sangat jarang.

Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting dalam dalam
neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat berpengaruh. Meskipun
mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas, dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus
itu sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel otak secara langsung ,atau secara
tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1, IL-1b, TNF- , IL-2) atau oksigen
reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.
4,6

II.6. Stadium dan Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit
berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena
sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima
9

puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur < 3 tahun. Meskipun
demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala
AIDS pada umur 10 tahun.

Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada
di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik
berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan
hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya
infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya
tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun,
terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme
tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara
lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis
carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak
terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas
pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.

Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada
jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan
limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,
terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum. Manifestasi klinis yang lebih berat
yaitu ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran
ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik.
Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan
pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada
jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.

Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC tahun 1994 dan
WHO tahun 2006. Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis,
tatalaksana dan prognosis. Klasifikasi klinis yang mengarahkan ke pengambilan keputusan
dilakukannya pemeriksaan laboratorium dikenal dengan nama AIDS Defining Illness.
Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status klinis dan
derajat gangguan imunologis

10

Klasifikasi HIV menurut CDC
DEFINISI STATUS
IMUNOLOGIS
KATEGORI IMUNOLOGIS
JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT
TERHADAP USIA
< 1 tahun 1-5 tahun 6-12 tahun
L % L % L %
1. Nonsuppressed 1500 25 1000 25 500 25
2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24
3. Severe suppression <750 <15 <500 <15 <20 <15

DEFINISI STATUS
IMUNOLOGIS
Klasifikasi Secara Klinis
N : Tanpa
Gejala dan
Tanda
A : Gejala
dan Tanda
Ringan
B : Gejala
dan Tanda
Sedang
C : Gejala
dan Tanda
Berat
1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1
2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2
3. Severe suppression A3 C3 B3 C3

Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.
Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang
menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk
kelainan berdasarkan kategori A.
Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk
kategori B atau C :
o Lymphadenopathy ( 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral
dianggap sebagai satu kesatuan).
o Hepatomegali
o Splenomegali
o Dermatitis
o Parotitis
o URTI berulang atau persisten
11

Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak
termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-gejala yang
terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV
o Anemia
o Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).
o Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam
bulan atau kurang.
o Kardiomiopati.
o Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan.
o Diare
o Hepatitis
o Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu
tahun).
o Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum
usia satu bulan.
o Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom.
o Leiomyosarcoma
o Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks.
o Nefropati.
o Nocardiosis.
o Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.
o Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.
o Varicella diseminata atau dengan komplikasi.
Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada
pasien AIDS.
o Kandidiasis bronki, trakea, dan paru
o Kandidiasis esofagus
o Kanker leher rahim invasif
o Coccidiomycosis menyebar atau di paru
o Kriptokokus di luar paru
o Retinitis virus sitomegalo
o Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
o Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan
o Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia
12

o Histoplasmosis menyebar atau di luar paru
o Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan
o Sarkoma Kaposi
o Limfoma Burkitt
o Limfoma imunoblastik
o Limfoma primer di otak
o Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru
o M. Tuberculosis dimana saja
o Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru
o Pneumonia Pneumoncystitis carinii
o Pneumonia berulang
o Leukoensefalopati multifokal progresif
o Septikemia salmonella yang berulang
o Toksoplasmosis di otak
7

Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV
Klasifikasi Stadium klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV
a, b

Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
13

Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
a

Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wART luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap
terapi standar
a

Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
a

Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5
o
C intermiten atau
konstan, > 1 bulan)
a

Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm
3
) atau
trombositopenia (<50 000/ mm
3
)
Stadium klinis 4
b

14

Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespons terhadap terapi standar
a

Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang
dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di
lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan
onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:a. Tidak dapat dijelaskan berARTi kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh sebab
yang lain
1. b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada kategori
ini
8


II.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dibantu dengan
pemeriksaan penunjang. Untuk anamnesis perlu diperhatikan, seperti:
1. Lahir dari ibu berisiko tinggi
15

2. Lahir dari ibu dengan pasangan berisiko tinggi
3. Penerima transfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang kali dan tanpa uji
tapis HIV
4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkoba)
5. Kebiasaan seksual yang keliru, termasuk homoseksual atau biseksual
4


Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular
seksual, infeksi berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang
menetap atau progresif, penyakit paru interstisial, keganasan sekunder, kardiomiopati, dll.
Selain itu untuk gejala klinis lain dapat dinilai berdasarkan stadium-stadium yang telah
dijelaskan di atas.
Untuk diagnosis pasti bisa dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tes untuk
mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir 40% bayi
dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV
mempunyai perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif
pula. Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama,
beberapa pendapat mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14
untuk memaksimalkan deteksi dari virus ini.

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan, yaitu:
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV, tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat
dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada
anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi
HIV. Uji tapis yang bisa dilakukan untuk mendeteksi antibodi anti-HIV yaitu dengan
ELISA (enzyme linked immunosorbant assay) dan uji yang lebih pasti seperti Western
blot assay. Uji Western blot merupakan uji yang lebih spesifik karena menentukan
adanya bagian-bagian protein yang dikandung oleh HIV, yaitu p24, gp41, dan
gp120/160. Dikatakan positif apabila ditemukan 2 atau 3 protein.
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara
berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan
saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya.
Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat
dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium
16

harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara
tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji
DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih
terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat
digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan
pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI
sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah
antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan. Pada
anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test)
dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.
Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam
penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat
dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat
disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi
terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel
T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat
pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan
hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal.
Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap
antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B
menurun.

Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV
jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak
termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu);
baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel
mononuklear (peripheral blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk
DNA atau RNA polymerase chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur
PMBC HIV. Pemeriksaan-pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang
17

berlainan pada bayi-bayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya. Seorang bayi yang
terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-
tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi
tidak mendapat ASI.

II.8. Penatalaksanaan
II.8.1 Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupresi virus
untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis.
Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis.
Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :
1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau
persentasenya.
2. Usia < 1 tahun
3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2
pilihan :
a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.
b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah
atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan,
keamanan dan kepatuhan.
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :
1. Peningkatan viral load
2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun
3. Timbulnya gejala klinis

Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV
secara dini.
2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ARV) selama
sedikitnya 1 tahun
3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ARV,
pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.
18

4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta
untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ARV
5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.
6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik
akibat HIV
7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan
sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.
9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan
informasi dan pedoman baru.
10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.

Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ARV pada anak adalah serupa
dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi,
balita, dan anak yang terinfeksi HIV. Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak.
Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak.
Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri.

Keputusan untuk memulai terapi ARV pada bayi dan anak bergantung pada penilaian
klinis dan imunologis, serta penilaian situasi sosial seperti siapa yang akan menjadi pemberi
obat, asupan nutrisi, dan kelompok pendukung keluarga, bila seandainya si pemberi obat
yang bertanggung jawab lalai. Dalam hal penilaian klinis memungkinkan ARV diberikan
pada anak yang didiagnosis secara presumtif melalui gejala klinis. Bila mungkin digunakan
parameter nilai hitung CD4 sebelum mempertimbangkan pengobatan, terutama pada anak
yang sakitnya lebih ringan. Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah
pengobatan ARV diperlukan:
Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL
Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang defisiensi
imun berat
Munculnya gejala klinis
Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian ARV

19

Berdasarkan penilaian klinis
Stadium klinis ditetapkan setelah infeksi ditegakkan melalui bukti serologis atau
virologis. Penggunaan stadium ini berguna sebagai data dasar dan untuk digunakan sebagai
penuntun apakah obat profilaksis infeksi oportunistik perlu diberikan pada anak yang
berumur lebih dari 1 tahun. Sedangkan pada anak kurang dari 1 tahun yang terinfeksi atau
terpapar HIV harus mendapatkan profilaksis ini. Bila digunakan sebagai dasar untuk memulai
pengobatan ARV, prinsip umum yang bisa digunakan sebagai patokan adalah:
1. Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang memiliki gejala infeksi
HIV(klasifikasi A, B, C menurut CDC atau II, III dan IV menurut WHO), tanpa
melihat stadium klinis, jumlah virus maupun nilai CD4
2. Terapi ARV juga direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang tergolong stadium
klinis N atau I yang memiliki kadar CD4 < 25%
Terapi ARV dipertimbangkan untuk bayi < 12 bulan yang asimtomatik dan memiliki kadar
CD4 > 25%.
Berdasarkan penilaian imunologis anak yang terinfeksi HI V
Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, untuk memulai
pemberian ARV, dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian klinis. Hitung
absolut CD4 dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dan
menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun. Tetapi persentase CD4
hampir tidak berubah pada usia berapapun, dan hal ini digunakan sebagai dasar penilaian
imunologis pada anak yang kurang dari 5 tahun
Rekomendasi untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak HIV positif sesuai
stadium klinis dan ketersediaan pemeriksaan imunologis
Stadium
klinis
pediatrik
Ada tidaknya
pengukuran
hitung CD4
Rekomendasi terapi menurut umur [A (II)]*
<12 bulan 12 bulan
4
a

CD4
Semua diobati
Tanpa CD4
b

20

3
a

CD4
Semua diobati
Semua diobati,
bergantung nilai CD4
pada anak yang
terinfeksi TB
c
, LIP,
OHL, trombositopenia
Tanpa CD4
b
Semua diobati
c

2
CD4
Bergantung nilai CD4
d

Tanpa CD4
b
Bergantung nilai limfosit total
d

1
CD4
Bergantung nilai CD4
d

Tanpa CD4
b

Jangan diobati
LIP lymphocytic interstitial pneumonia; OHL- Oral hairy leukoplakia; TB tuberculosis*
Kekuatan rekomendasi/Tingkat kepercayaan
Catatan:
1. Obati infeksi oportunistik sebelum mulai memberi ARV.
2. Data awal CD4 berguna untuk memantau ARV meskipun tidak diperlukan untuk
membuat keputusan memulai terapi ARV.
3. Pada anak yang terinfeksi TB paru atau kelenjar, CD4 dan status klinis digunakan
untuk memantau dan memulai terapi klinis sesuai panduan terapi TB
4. Nilai CD4 dan limfosit total dilihat di tabel terpisah

Berdasarkan diagnosis klinis presumtif infeksi HI V berat.
Penegakan diagnosis presumtif hanya dilakukan oleh dokter yang sudah terlatih dalam
penanganan HIV.
Diagnosis presumtif infeksi HIV:
21

Pemeriksaan antibodi menunjukkan hasil positif DAN
Ditegakkan diagnosis penyakit klinis yang memenuhi kriteria AIDS, ATAU
Bayi memiliki dua gejala baik itu kandidiasis oral, pneumonia berat atau sepsis berat.
Faktor lain yang mendukung ditegakkannya diagnosis presumtif adalah apabila terdapat
kematian ibu karena HIV atau ibu menderita AIDS dengan hitung CD4 < 20%. Diagnosis
klinis presumtif infeksi HIV memungkinkan diberikannya tata laksana penyakit akut secara
memadai, merawat pasien yang diduga HIV, dan menjadi dasar memulai pemberian ARV.
Penggunaan cara ini pada anak usia < 18 bulan harus disertai upaya menegakkan diagnosis
HIV, dan dilakukan pemantauan dengan ketat. Bila terdapat bukti baru bahwa ternyata bayi
atau anak ini terbukti negatif, maka ARV harus dihentikan.
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ARV yang tersedia di Indonesia:
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog
nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini
diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine
(AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir
(ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI
walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan
ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong
rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini
termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV),
Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :
Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari
Kolom B
Kolom A Kolom B
Nevirapine (NVP) AZT + ddl
Nelfinavir (NVF) ddl+3TC

d4T + ddl

AZT + 3TC
22


d4T + 3TC

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease
inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan
didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir.
Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen
antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama dengan 2NRTIs. Nonnucleoside
reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih
dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease
inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet,
regimen nonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian
regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.
9

Pemantauan pengobatan
Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat :
1. Kepatuhan minum obat.
2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu
sendiri.
Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya
setiap 3 bulan sekali.
Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ARV:
1. Secara klinis
a. Berat badan meningkat
b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat
c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu,
demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah,
kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan
perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang
digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan
profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai
hitung limfosit total.

23


Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ARV
Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau
lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan
toksisitas. Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk
penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat
dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau
penghentian dilakukan apabila:
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya
monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor
(NRTI)
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi
terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa
minggu
4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan
kembali kekebalan.
4,9


II.8.2 Asuhan Gizi
Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi
HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini
berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia,
gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare
dan muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi
yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap
AIDS.
Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang
mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat
infeksi oportunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat
ARV dimakan ketika saat lambung kosong.


Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan
secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian,
24

pemberian stimulan nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth
hormone dapat memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan.


Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang
sangat drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya
cadangan protein dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine
dan methionine.

Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi
diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian
PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat
diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66
O
C untuk
membunuh virus HIV.


Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :
1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi
atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.
2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya
memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.
3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan
kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.

II.9. Pencegahan
Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25
hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun
terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada
intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di
Indonesia. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar:
a. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif
Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi transplasenta
dan Intra partum. Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi
selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu : Infeksi primer
( HSV/Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/
Cyto Megalo Virus), atau InfeksiKronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat
adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses
kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan
untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan
25

keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan
pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya
tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak
terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml),dan menggunakan ARV secara teratur
b. Menurunkan viral load serendah-rendahnya
Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk
menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus
dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam
upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus.
c. Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif
Persalinan dengan seksio sesarea berencana (elective) sebelum saat persalinan tiba
merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar
darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan
darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi).
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66%. Apabila seksio sesarea tidak
bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang
memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin,
ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). HIV
teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang
serius pada bayi dan anak. Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat
konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula
ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa
memberikan susu formula kepada bayinya. Risiko penularan HIV melalui
pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis,
abses, lecet/luka puting susu).
d. Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.
Melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan
keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan
mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup
olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan
kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila
pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha.
10
26

II.10. Prognosis
Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko
perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal
berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih
awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30%
bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat atau kematian dalam 1 tahun
kehidupan. Dengan terapi yang optimal dan edukasi kepada orang tua maka angka mortalitas
dan morbiditas dapat diturunkan.

















27

BAB III
KESIMPULAN

HIV dapat ditularkan kepada anak selama kehamilan, waktu melahirkan dan saat
menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak
akan melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun pertama kehidupannya,
bila tidak diberi ARV. Namun pada sebagian besar anak dengan HIV, perkembangan
penyakit akan lebih pelan, dan ada harapan mereka dapat tahan hidup tanpa ART selama 8-9
tahun atau lebih.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya
bersifat mensupresi virus dan tidak dapat mengeradikasi virus. Pentingnya pencegahan, terapi
adekuat, dan pantuan terhadap asupan gizi dapat bermanfaat bagi penderita HIV/AIDS
sehingga berpengaruh kepada angka morbiditas dan mortalitas karena virus tersebut.





















28

DAFTAR PUSTAKA


1. U.S Department of Health and Human Services. HIV Infection in Infants and
Children. 2008. Available at:
http://www.niaid.nih.gov/topics/hivaids/understanding/population%20specific%20in
formation/Pages/children.aspx . [diakses: 8 Mei 2014].
2. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Perkembangan HIV AIDS di Indonesia tahun
2013. Available at:
http://aidsindonesia.or.id/ck_uploads/files/Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%201
%202013%20FINAL.pdf .[diakses: 8 Mei 2014].
3. Luzuriaga K., Sullivan J. Human Immunodeficiency Virus. In: Long:Principles and
Practice of Pediactric Infectious Disease. 3rd ed. Churchill Livingstone:An Imprint
of Elsevier;2008.
4. Soedarmo S., Garna H., Hadinegoro S., Hindra I. Human Immunodeficiency Virus.
In:Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed 2. Jakarta:Badan Penerbit
IDAI;2008.p.243-57.
5. Rivera D. Pediatric HIV Infection. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/965086-overview#a0101 .[diakses: 8 Mei
2014].
6. Yogev R., Chadwick E. Acquired Immunodeficiency Syndrome (Human
Immunodeficiency Virus). In: Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Saunders: An
Imprint of Elseiver;2007.
7. Nursalam, Kurniawati N. Kriteria Diagnosis Hiv. In:Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:Penerbit Salemba Medika;2007.p.63-7.
8. Stadium WHO untuk HIV/AIDS Pada Anak. Available at:
http://www.spiritia.or.id/cst/dok/stadiumanak.pdf [diakses : 9 Mei 2014].
9. Prosedur Lengkap Pengobatan HIV AIDS Pada Anak. 2013. Available at
http://hivaidsclinic.wordpress.com/2012/08/13/prosedur-lengkap-pengobatan-hiv-
aids-pada-anak/ [ diaskes: 8 Mei 2014].
10. Gondo H. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi. 2011. Available at:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/vol1.no2.Juli2011/PENCEGAHAN%2
0PENULARAN%20HIV%20DARI%20IBU%20KE%20BAYI.pdf [diakses: 9 Mei
2014].

Anda mungkin juga menyukai