Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menginfeksi sel-

sel sistem imunitas tubuh, merusak dan menghancurkan fungsinya. Infeksi

HIV menyebabkan kerusakan progresif imunitas tubuh, sehingga

menimbulkan AIDS (World Health Organization, 2015).

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan sekumpulan

indikasi serta infeksi ataupun sindrom yang timbul sebab rusaknya sistem

imunitas tubuh manusia akibat dari infeksi virus HIV. HIV merupakan virus

yang secara progresif mengganggu sel-sel darah putih yang disebut limfosit

(sel T CD4+) yang memiiliki fungsi melindungi sistem imunitas tubuh (Russel,

2011).

2.1.2 Epidemiologi

HIV/AIDS merupakan pandemik yang dikhawatirkan oleh masyarakat dunia,

akibat belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, HIV/AIDS juga

memiliki “window period” serta fase asimptomatik (tidak ada gejala) yang

relatif lama dalam perjalanan penyakitnya.

10
11

Hal tersebut menimbulkan pola perkembangannya semacam fenomena gunung es

(Kemenkes RI, 2014). Semenjak awal ditemukan pada tahun 1987 hingga Desember

2016, HIV/AIDS sudah menyebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/kota di segala

provinsi di Indonesia. Lokasi provinsi pertama ditemukannya HIV/AIDS merupakan

Provinsi Bali, sedangkan provinsi yang terakhir melaporkan ialah Provinsi Sulawesi

Barat pada tahun 2012. Berdasarkan laporan keadaan permasalahan HIV/AIDS

Triwulan IV (Oktober hingga Desember) pada tahun 2016 yang bersumber dari

Sistem Informasi HIV/AIDS & IMS (SIHA), didapatkan bahwa jumlah infeksi HIV

dilaporkan sebanyak 13.287 kasus, sedangkan jumlah kasus AIDS mencapai

sebanyak 3.812 kasus (Ditjen P2PL Kemenkes RI, 2016).

Penderita HIV/AIDS di Indonesia terus bertambah. Semenjak tahun 1999 di

Indonesia telah terjadi kenaikan jumlah ODHA untuk populasi tertentu di beberapa

wilayah yang memang memiliki prevalensi HIV lumayan tinggi. Kenaikan ini terjadi

kepada kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko besar terkena HIV

adalah para wanita pekerja seksual (WPS) dan pengguna narkoba suntik (Penasun).

Sebagian wilayah di Indonesia seperti DKI Jakarta, Papua, Bali, Riau, Jawa Barat

serta Jawa Timur termasuk sebagai fase epidemi terkonsentrasi (concentrated level

of epidemic), apabila permasalahan ini tidak segera ditangani oleh negara,

kemungkinan peluang besar epidemi akan beranjak menjadi epidemi yang

komprehensif serta parah (generalized epidemic) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).

Masalah infeksi HIV yang dikabarkan semenjak 1987 hingga September 2014 yang

tertinggi merupakan Provinsi DKI Jakarta (32.782 kasus). 10 besar kejadian HIV

paling banyak berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Jawa Barat, Papua,

Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, serta Sulawesi

Selatan. Sebaliknya hingga tahun 2016 dikabarkan jumlah kasus HIV paling tinggi
12

ialah DKI Jakarta (45.355 kasus), dan diikuti Jawa Timur (31.429 kasus), Papua

(24.725 kasus), Jawa Barat (20.045 kasus), dan Jawa Tengah (16.867 kasus) (Ditjen

P2PL, Kemenkes RI, 2016).

2.1.3 Dasar Virologi dan Infeksi HIV

2.1.3.1 Struktur HIV

Gambar 2. 1 Struktur HIV

Glikoprotein 120 adalah glikoprotein yang menjadi bagian dari virus yang tertutup

oleh molekul gula dengan fungsi melindungi dari pengenalan antibodi, serta

memiliki fungsi mengidentifikasi secara khusus reseptor dari permukaan sel tujuan

serta secara tidak langsung berkaitan dengan membran virus melalui membran

glikoprotein. Glikoprotein 41 adalah transmembran glikoprotein yang memiliki

fungsi mengerjakan trans membran virus, memperlancar fusion (peleburan) dari

host serta membran virus, dan juga memindahkan virus HIV masuk ke dalam sel

host (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).

2.1.3.2 Etiologi AIDS

Pemicu penyakit AIDS merupakan HIV (Human Immunodeficiency Virus), yakni

virus yang menimbulkan penurunan daya imunitas tubuh. HIV tergolong genus

retrovirus dan termasuk di dalam keluarga lentivirus. Infeksi dari keluarga


13

lentivirus memiliki ciri tertentu ditandai dengan karakter latennya yang cukup lama,

masa inkubasi yang cukup lama, replikasi virus yang persisten serta keterlibatan

dari susunan saraf pusat (SSP). Sebaliknya karakteristik untuk tipe retrovirus ialah:

dikelilingi oleh membran lipid, memiliki keahlian variasi genetik yang cepat,

memiliki cara yang cukup unik membuat replikasi dan bisa menginfeksi segala tipe

vertebrata (Depkes, 2006).

2.1.3.3 Patogenesis HIV/AIDS

HIV secara khusus pengaruhi sistem imunitas tubuh, yakni sel CD4 ataupun sel-T.

HIV secara terus-menerus menghancurkan sel-sel tubuh yang tidak bisa melawan

infeksi dan penyakit yang menimbulkan AIDS (CDC, 2014). Sel-sel CD4 serta

monosit/makrofag mempunyai fungsi khusus dalam sistem imunitas tubuh. Sistem

imunitas tubuh yang melemah inilah yang memungkinkan pertumbuhan infeksi

serta kanker hingga menimbulkan penderita wafat (Douglas & Pinsky, 2009).

Prinsip utama patogenesis HIV merupakan kurangnya tipe limfosit T helper yang

memiliki marker CD4 (sel-T). Limfosit-T ialah pusat serta sel utama yang berperan

langsung ataupun tidak langsung untuk menginduksi peran imunologik (Siregar,

2004). HIV akan mengikat sel-sel tertentu dari sistem imun termasuk monosit,

makrofag dan sel T-limfosit (CD4, sel-T) (Dumond dan Kashuba, 2009).

Komponen virus HIV akan mengawali proses infeksi yang umumnya ada di dalam

darah, sperma ataupun cairan tubuh yang lain. Metode penularan yang paling sering

ialah transmisi seksual lewat mukosa genital, apabila virus menyebarkan kepada

host yang belum terinfeksi, maka akan menjadi viremia transien dengan kadar yang

banyak, virus akan tersebar luas di dalam tubuh host. Sel yang terkena infeksi

pertama kalinya tergantung pada bagian dimana yang terlebih awal terserang virus,
14

dapat CD4 serta monosit di dalam darah atau CD4 serta makrofag pada jaringan

mukosa (Suhaimi dkk, 2003).

2.1.3.4 Perkembangan Virus HIV

Virus hanya bisa bereplikasi menggunakan / memanfaatkan sel host-nya. Siklus

replikasi berawal dari virus yang masuk ke sel tubuh hingga meluas ke bagian organ

tubuh lain melewati 7 tahap yaitu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006):

1. Sel target mengidentifikasi serta mengikat HIV.

a) HIV berfusi / melebur serta memasuki sel target.

b) Gp 41 membran HIV adalah mediator proses fusi.

c) Virus RNA masuk ke dalam sitoplasma.

d) Reaksi dimulai saat Gp 120 HIV berinteraksi melalui CD4 dan co-reseptor.

2. RNA HIV hadapi transkripsi terbalik jadi DNA dengan dorongan enzim reverse

transcriptase.

3. Penetrasi HIV DNA ke dalam membran inti sel sasaran.

4. Integrasi DNA virus ke dalam genom sel sasaran dengan dorongan enzim

integrase.

5. Ekspresi gen-gen virus.

6. Pembuatan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan dorongan

enzim protease.

7. Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion.

2.1.4 Transmisi Infeksi HIV

2.1.4.1 Transmisi melalui kontak seksual

Kontak intim merupakan salah satu tata cara primer transmisi HIV di berbagai

belahan dunia. Virus ini dapat ditemui pada cairan semen, cairan miss V, cairan
15

serviks. Transmisi penularan HIV melalui hubungan seksual melalui anus lebih

mudah karena hanya ada membrane mukosa rektum yang tipis dan mudah robek,

anus sering terjadi lesi.

2.1.4.2 Transmisi melalui darah atau produk darah

Transmisi dapat melalui hubungan seksual (sangat utama homoseksual) dan berasal

dari injeksi darah yang terinfeksi maupun produk darah. Diperkirakan jika 90

sampai 100 orang yang menjumpai transfusi darah yang terinfeksi HIV akan

mengalami infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat memberikan laporan

terpaut resiko infeksi HIV melalui transfusi darah dari pendonor yang alami infeksi

HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000 (Nasronudin, 2007).

2.1.4.3 Transmisi secara vertikal

Transmisi secara vertikal dapat terjalin dari ibu yang alami infeksi HIV pada

janinnya saat hamil, persalinan dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu

Ibu (ASI). Angka penyebaran selama kehamilan berkisar 5 hingga 10%, serta saat

waktu persalinan 10 hingga 20% (Nasronudin, 2007).

2.1.5 Gejala dan Tanda Klinis

2.1.5.1 Gejala dan Tanda Infeksi HIV

1) Keadaan Umum

a) Kehilangan berat tubuh lebih dari 10% dari berat tubuh bawah.

b) Demam (secara terus menerus ataupun intermiten, temperature oral

>37,5°C) yang > 1 bulan.

c) Diare (selalu ataupun intermiten) yang > 1 bulan


16

2) Kulit

Lapisan kulit kering yang lebar, adalah dugaan kokoh infeksi HIV. Sebagian

kelainan semacam kutil gential, folikulitis serta psoriasis kerap terjadi kepada

ODHA tetapi tidak senantiasa terpaut dengan HIV.

3) Infeksi

a) Infeksi jamur

Semacam Kandiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis miss V

berulang.

b) Infeksi Viral

Semacam Herpes Zoster & genital, moluskum kontsgiosum, kondiloma.

4) Gangguan pernafasan

Batuk > 1 bulan, sesak napas, tuberkulosis, pneumonia berulang, sinusitis

kronis ataupun berulang.

5) Gejala neurologis

Sakit kepala yang terus menjadi parah (terus menerus serta tidak jelas

penyebabnya), kejang demam, menyusutnya fungsi kognitif (WHO, 2007)

2.1.5.2 Stadium Klinis HIV/AIDS

World Health Organization (WHO) sudah menentukan Stadium Klinis HIV/AIDS

buat dewasa ataupun anak yang lagi direvisi. Buat berusia dewasa ataupun anak,

stadium klinis HIV/AIDS tiap-tiap terdiri atas 4 stadium.

Bila dilihat dari indikasi yang berlangsung pembagian stadium klinis HIV/AIDS

adalah sebagai berikut :


17

Gejala Terkait HIV Stadium Klinis

Asimptomatik 1

Gejala ringan 2

Gejala lanjut 3

Gejala berat/ sangat lanjut 4

Tabel 2.1. Stadium Klinik HIV/AIDS

Stadium klinis HIV/AIDS untuk berusia Dewasa serta pula Remaja yakni:

1) Infeksi primer HIV

Asimptomatik, sindroma retroviral akut

2) Stadium Klinis 1

Asimptomatik, limfadenopati menyebar persisten

3) Stadium Klinis 2

Berikut, berat tubuh menyusut yang penyebabnya tidak bisa di jelaskan, infeksi

saluran pernafasan berulang-ulang (sinusitis, tonsillitis, bronchitis, otitis

media, faringitis), Herpes Zoster, Chelitis angularis, Ulkus mulut berulang-

ulang, Pruritic popular eruption (PPE), Dermatitis seboroika dan infeksi jamur

kuku.

4) Stadium Klinis 3

Berat tubuh menyusut yang tidak bisa dipaparkan karena ( > 10%), diare kronis

yang tidak bisa dipaparkan penyebabnya > 1 bulan, demam yang tidak dikenal

penyebabnya (intermiten ataupun senantiasa sepanjang > 1 bulan), kandidiasis

oral persisten, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis (TB) paru, infeksi bakteri

yang cukup berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang ataupun sendi,

meningitis, bekteriemi selain pneumonia). Stomatitis, gingivitis ataupun

periodontitis ulseratif nekrotikans yang kronis, anemia (Hb<8 gram/dL),


18

neutropeni (<500/mm3), serta ataupun trombositopeni kronis (<50.000/mm3)

yang tidak bisa dipaparkan penyebabnya.

5) Stadium Klinis 4

HIV (human immunodeficiency virus) wasting syndrome (berat tubuh

berkurang lebih dari 10% dari Berat Badan awal, diiringi dari salah satu diare

kronik tanpa pemicu yang cukup jelas), pneumonia pneumocystis, pneumonia

kuman berat yang berulang-ulang, infeksi herpes simpleks kronis (orolabial,

anorektal ataupun genital > 1 bulan ataupun visceral dimanapun), kandidiasis

eusophagus (atau berada di trakea, bronkus maupun paru), tuberkulosis ekstra

paru, Sarkoma Kaposi, infeksi cytomegalovirus (retinistis ataupun infeksi pada

organ lainnya), toksoplasmosis lapisan saraf pusat, ensefalopati HIV,

kriptokokus ekstra paru tergolong meningitis, infeksi mikobakterium non-

tuberkulosis yang meluas (diseminata), progressive multifocal

leucoencephalopathy, dan priptosporodosis kronis.

2.1.6 Penanda Jumlah CD4

Jumlah CD4 merupakan metode buat memperhitungkan status imunitas ODHA.

Pengecekan CD4 memenuhi pengecekan klinis buat memastikan penderita yang

membutuhkan penyembuhan profilaksis IO serta pengobatan ARV. Kecepatan

penyusutan CD4 (baik jumlah absolute ataupun presentase CD4) sudah teruji bisa

digunakan untuk petunjuk pertumbuhan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menyusut

secara bertahap-tahap sepanjang perjalanan penyakit tersebut. Kecepatan

penyusutannya dari masa ke masa memilki rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah CD4 lebih

mengilustrasikan progresifitas AIDS.


19

Stadium Klinis Pemeriksaan CD4 Pemeriksaan

WHO tidak dapat dilakukan CD4 dapat dilakukan

ARV belum
I Terapi apabila CD4 <200 sel/ mm3
direkomendasikan

ARV belum
II Mulai terapi apabila CD4 <200 sel/mm3
direkomendasikan

Pertimbangkan terapi apabila CD4 <350

III Mulai terapi ARV sel/mm3acd dan mulai ARV sebelum CD4

turun <200 sel/mm3

Terapi tanpa mempertimbangkan jumlah


IV Mulai terapi ARV
CD4

Tabel 2. 2 Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa menurut WHO (2006)

2.1.6.1 Definisi dan Farmakologi ARV

Antiretroviral( ARV) merupakan obat yang membatasi replikasi Human

Immunodeficidiency Virus (HIV). Pengobatan dengan menggunakan ARV

merupakan strategi yang secara klinis sangat sukses sampai dikala ini. Tujuan

terapi menggunakan ARV merupakan untuk menurukan replikasi HIV dengan

optimal, tingkatkan CD4 serta memperbaiki mutu hidup pengidap yang pada

dikala nya nanti hendak bisa merendahkan mordibilitas serta mortalitas. Semacam

obat- obat antimikroba yang lain hingga kompleksitas antara penderita, patogen

serta obat hendak pengaruhi memilih obat serta dosis. Ciri penderita hendak

pengaruhi farmakokinetik obat. Ciri mikroba meliputi mekanisme kerja, pola

kepekaan serta resistensi. Farmakodinamik obat ialah integrasi ikatan antara

kepekaan mikroba dengan farmakokinetik penderita. Dalam menjamin

tercapainya sasaran pengobatan, interaksi farmakodinamik antara mikroba serta

sasaran mikroba wajib tercapai (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).

Dalam Nasronudin (2007) disebutkan tujuan dari pengobatan ARV yaitu:


20

1) Merendahkan angka keparahan akibat HIV sera merendahkan angka

kematian diakibatkan oleh AIDS.

2) Memperbaiki serta tingkatkan mutu hidup pengidap seoptimal mungkin.

3) Mempertahankan serta mengembalikan status imun ke fungsi normal.

4) Menekan replikasi virus serendah serta selama mungkin sehingga kadar HIV

dalam plasma <50 kopi/ml.

TARGET URAIAN

Klinis Mutu hidup pengidap ditingkatkan seoptimal bisa jadi serta dipertahankan

senantiasa maksimal sepanjang bisa jadi. Usia harapan hidup pengidap

diharapkan bisa diperpanjang sepanjang bisa jadi sepanjang diupayakan

oleh manusia secara normal, rasional, serta manusiawi.

Imunologis Status imun yang tersendat diusahakan buat dipulihkan. Jumlah limfosit

total diusahakan serta dipertahankan lebih dari 1200 ataupun CD4

ditingkatkan serta dipertahankan lebih dari 500sel/mm3.

Virologis Jumlah virus bisa ditekan sangat tidak di dasar 400 kopi per ml ataupun

idealnya di dasar 50 kopi/ml serta dipertahankan senantiasa rendah selama

mungkin.

Terapeutik Obat ARV bisa diterima oleh badan pengidap dengan dampak samping

serta resistensi seminimal mungkin.

Epidemiologis Transmisi peradangan HIV menyusut bermakna. Ekspedisi epidemiologi

HIV wajib bisa diganti.

Tabel 2. 3 Target Terapi ARV (Sumber : Nasronudin, 2007)

2.1.6.2 Penggolongan ARV

Ada 3 golongan primer ARV (Ditjen Binfar dan Alkes 2006), yakni:

1. Penghambat masuknya virus : enfuvirtid

2. Penghambat reverse transcriptase enzyme

a) Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)


21

 Analog thymin : zidovudin (AZT) dan stavudin (d4T)

 Analog cytosine : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)

 Analog adenine : didanosine (ddI)

 Analog guanine : abacavir (ABC)

 Analog nukleotida analog adenosine monofosfat : tenofovir

b) Non-nukleosida (NNRTI)

 Nevirapin (NVP)

 Efavirenz (EFV)

c) Penghambat enzim protease (PI): ritonavir (RTV), saquinavir (SQV),

indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV).

2.1.6.3 Mekanisme Kerja ARV

1. Penghambat masuknya virus ke dalam sel

Bekerja dengan metode berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein

virus sehingga fusi virus ke sel sasaran sel dihambat. Salah satunya obat

penghambat fusi merupakan enfuvirtid.

2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)

a) Analog Nukleosida (NRTI)

NRTI diganti secara intraseluler dalam 3 sesi akumulasi 3 gugus fosfat serta

berikutnya berkompetisi dengan alami nukleotida membatasi RT sehingga

pergantian RNA jadi DNA terhambat. Tidak hanya itu NRTI pula

menghentikan pemanjangan DNA.

b) Analog Nukleotida (NtRTI)

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan

NRTI namun cuma membutuhkan 2 tahapan proses fosforilasi.

c) Non Nukleosida (NNRTI)


22

Bekerjanya tidak lewat fosforilasi intraseluler namun berikatan langsung

dengan reseptor pada RT serta tidak berkompetisi dengan nukleotida alami.

Kegiatan antiviral terhadap HIV tidak kokoh.

3. Protease inhibitor (PI)

Protease inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang

mengkatalisa pembuatan protein yang diperlukan buat proses akhir

pematangan virus. Dampaknya virus yang tercipta tidak masuk serta tidak

sanggup menginfeksi sel lain. PI merupakan ARV yang potensial. (Ditjen

Binfar dan Alkes, 2006).

2.1.6.4 Efek Samping Umum Terapi ARV

Golongan Efek Samping

NRTI Laktat Asidosis dan hepatotosik.

NtRTI Toksisitas Ginjal.

NNRTI Hepatotoksisitas dan rash.

PI Gangguan metabolik ganda (insulin resistensi, hiperlipidemia,

lipodistropi), hepatotosisitas gangguan tulang, peningkatan

perdrahan pada penderita hemofilia.

Tabel 2. 4 Efek samping umum terapi ARV

2.1.7 Regimen Terapi Antiretroviral

Pemakaian obat dikatakan rasional bila penderita menerima obat cocok dengan

kebutuhannya buat periode waktu yang lumayan dengan harga yang cocok untuknya

serta warga( Ditjen Binfar serta Alkes, 2006). Pemerintah menetapkan panduan yang

digunakan dalam penyembuhan ARV bersumber pada 5 aspek ialah daya guna,

dampak samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan serta harga obat.


23

Prinsip dalam pemberian ARV yang hendak diresepkan oleh dokter kepada penderita

merupakan (Kemenkes RI, 2011) :

a. Panduan obat ARV wajib memakai 3 tipe obat yang terserap serta terletak dalam

dosis terapeutik. Prinsip tersebut buat menjamin daya guna pemakaian obat.

b. Menolong penderita supaya patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan

akses pelayanan ARV.

c. Melindungi kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan mempraktikkan

manajemen logistik yang baik.

Panduan yang diresmikan oleh pemerintah buat lini pertama merupakan:

2NRTI + 1 NNRTI

Keterangan :

2NRTI = 2 Obat ARV Golongan Reverse Transcriptase Inhibitor Analog Nukleosida.

1NNRTI = 1 Obat ARV Golongan Reverse Transcriptase Inhibitor Non Nukleosida.

(Zidovudine + Lamivudine +
AZT + 3TC + NVP ATAU
Nevirapine)

(Zidovudine + Lamivudine +
AZT + 3TC + EFV ATAU
Efavirenz)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau


ATAU
NVP Emtricitabine) + Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau

NVP Emtricitabine) + Efavirenz)

Tabel 2. 5 Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama (Kemenkes RI, 2011)

2.1.8 Puskesmas Sebagai Pelayanan Pengobatan ARV

Puskesmas selaku layanan kesehatan primer dalam sistem layanan kesehatan di

Indonesia digolongkan dalam strata I. Selaku provider pemberi layananan kesehatan

primer dalam perawatan, sokongan serta penyembuhan HIV/ AIDS, puskesmas


24

mempunyai tugas, guna, sumber energi manusia dan kompetensi yang disesuaikan

dengan kalangan strata satu. Secara universal puskesmas membagikan pelayanan

ODHA stadium 1 serta 2 yang tidak membutuhkan rawat inap ataupun keadaan

ODHA sudah normal (Kemenkes RI, 2012).

Puskemas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat ialah salah satu Puskemas referensi

melaksanakan program layanan komprehensif HIV serta IMS berkesinambungan.

Yang diartikan dengan layanan komprehensif merupakan upaya yang meliputi upaya

promotif, preventif, kuratif, serta rehabilitatif yang mencakup seluruh wujud layanan

HIV serta IMS, semacam aktivitas KIE (komunikasi, data serta bimbingan)

pengetahuan komprehensif, promosi pemakaian kondom, pengendalian aspek resiko,

layanan Konseling serta Uji HIV, Perawatan, Sokongan, serta Penyembuhan (PDP),

Penangkalan Penularan dari Bunda ke Anak (PPIA), Pengurangan Akibat Kurang

Baik NAPZA. Penangkalan penularan lewat darah donor serta produk darah yang

lain, dan aktivitas monitoring serta penilaian dan surveilan epidemiologi di

Puskesmas Referensi serta Non‐Rujukan tercantum sarana kesehatan yang lain serta

Rumah Sakit Referensi Kabupaten/ Kota.

Layanan yang berkesinambungan merupakan pemberian layanan HIV & IMS secara

paripurna, ialah semenjak dari rumah ataupun komunitas, ke sarana layanan

kesehatan semacam puskesmas, klinik serta rumah sakit serta kembali ke rumah

ataupun komunitas; pula sepanjang perjalanan peradangan HIV (sejak belum

terinfeksi hingga stadium terminal). Aktivitas ini wajib mengaitkan segala pihak

terpaut, baik pemerintah, swasta, ataupun warga. Dengan layanan komprehensif HIV

serta AIDS berkesinambungan diharapkan kepatuhan pada pengobatan ARV serta

mutu hidup ODHA bisa bertambah secara maksimal. Tetapi dengan terus menjadi
25

banyaknya orang yang terinfeksi HlV di lndonesia hingga diperlukan upaya

pengobatan serta sokongan pada saat dilaksanakan (Kemenkes RI, 2012).

Komponen LKB (layanan komprehensif dan berkesinambungan) terdiri atas lima

komponen utama di dalam pengendalian HIV di Indonesia ialah:

1. Pencegahan 4. Dukungan
2. Perawatan 5. Konseling
3. Pengobatan (Kemenkes RI, 2012)

2.2 Konsep Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

2.2.1 Pengertian Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

Kelompok teman sebaya merupakan kumpulan orang yang berkumpul dalam

ketergantungan serta mempunyai kriteria untuk menggapai tujuan. Proses kelompok

ialah aksi ataupun intervensi keperawatan komunitas yang dilakukan secara

bersama- sama untuk membentuk sesuatu sokongan sosial (Widyanto, 2014).

Menurut Widyanto (2014) juga berpendapat bahwa dukungan sosial membuat

individu merasa nyaman, dihargai dan dicintai karena memberikan dukungan atau

bantuan kepada individu, keluarga, atau individu melalui kelompok. Dukungan

sosial atau pendekatan dan pengawasan peer-to-peer adalah kunci untuk mengatasi

masalah yang saling mendukung.

Menurut Mardhiyati dan Handayani (2018), DKTS merupakan kelompok yang

terdiri dari 2 individu bahkan lebih. Lebih dari 17 orang yang terinfeksi HIV

berkumpul untuk memberikan dukungan yang bertujuan untuk mencapai mutu hidup

yang lebih berkualitas.


26

2.2.2 Tujuan Adanya Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997), tujuan diadakannya DKTS pada pengidap

HIV/AIDS ialah:

1) Buat menjamin intensitas serta keteraturan penyembuhan jadwal agenda yang

sudah disepakati pada waktu awal penyembuhan.

2) Buat menjauhi pengidap dari putus berobat saat sebelum waktunya.

3) Kurangi mungkin kegagalan penyembuhan serta imunitas terhadap obat

antiretroviral (ARV).

a. Tugas & Peran Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS) Pengawasan

minum obat pada pasien HIV

DKTS mengawasi secara langsung penderita HIV menelan obat secara

tertib serta tepat waktu dengan formula serta dosis yang diberikan oleh

dokter. DKTS wajib memantau jumlah obat penderita, mengisi kartu kontrol

penyembuhan tiap dikala penderita berakhir meminum obat serta memantau

seluruh kemungkinan yang terjalin akibat dampak obat yang diminum dan

mendampingi penderita sepanjang masa penyembuhan.

b. Melakukan komunikasi interpersonal pada pasien HIV

DKTS wajib melaksanakan komunikasi interpersonal kepada penderita HIV

buat menjamin kepatuhan penderita dalam berobat. Komunikasi

interpersonal bisa dicoba lewat pemberian uraian mengenai metode menelan

obat yang baik serta benar, dampak samping obat, data tentang virus HIV

serta penyakit AIDS, menanyakan hambatan serta mencermati keluhan

penderita sepanjang menempuh penyembuhan, membagikan empati serta

pujian pada penderita buat tingkatkan semangat dalam berobat dan tidak

menampilkan ekspresi yang tidak mengasyikkan penderita dikala berbicara.


27

c. Memberikan motivasi pada pasien HIV

DKTS pula wajib membagikan motivasi kepada penderita supaya ingin

berobat secara tertib, berikan sokongan kepada penderita, mendampingi

penderita dikala kontrol berobat, melibatkan penderita dalam pengambilan

keputusan supaya penderita tidak merasa terkucilkan dan membagikan

petunjuk serta arahan dikala penderita merasakan keluhan.

d. Membagikan penyuluhan kesehatan kepada penderita serta keluarga

penderita HIV

DKTS bisa membagikan penyuluhan kesehatan kepada penderita serta

keluarga penderita khususnya penyuluhan tentang penyakit HIV/AIDS,

metode menghindari penularan penyakit HIV/AIDS ke orang lain, hal-hal

yang bisa memperparah kondisi penderita serta mengidentifikasi tanda-

tanda HIV pada keluarga penderita serta menganjurkan supaya lekas

periksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penyuluhan kesehatan bisa

dicoba secara langsung ataupun memakai media cetak semacam brosur,

pamflet, poster serta buku- buku kesehatan.

2.2.3 Karakteristik Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

Ciri-ciri kelompok dukungan sebaya harus diperhatikan sebagai berikut (Sunaryo,

2015):

1. Ciri pertama memiliki motif yang sama untuk tujuan tertentu di antara anggota.

2. Ada standar dalam kelompok, terutama pemahaman caranya.

3. Memiliki interaksi yang berbeda dan interaksi dalam situasi sosial beberapa

anggota kelompok memiliki rangsangan yang berbeda.


28

4. Stabilitas dalam struktur kelompok, artinya mempererat hubungan antar anggota

kelompok sesuai dengan peran dan sifat pembagian kelompok.

2.2.4 Anggota Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

Pitoyo, Wahyuni & Johan (2014) telah menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya

berperan dalam meningkatkan kehidupan ODHA, mempengaruhi harga diri dan

kesadaran tentang HIV-AIDS, bagaimana layanan HIV diberikan dan kami akan

mencegah penularan HIV dan melakukan kegiatan-kegiatan positif. DKTS

membantu ODHA mengurangi stigma dan diskriminasi di masyarakat dengan

memberikan informasi kepada pelaku stigma dan diskriminasi. Manfaat kelompok

teman sebaya termasuk mengurangi isolasi, meningkatkan dukungan sosial,

mengurangi stigma dan diskriminasi, dan mendukung pengalaman yang beragam.

Meningkatkan kualitas hidup ODHA (Pitoyo, Wahyuni dan Johan, 2014).

2.2.5 Peran Teman Sebaya

Peran adalah merupakan seperangkat tingkatan yang diharapkan dipunyai oleh orang

yang berkedudukan dalam warga (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Posisi seorang

dalam warga dimana sikap yang diharapkan dari padanya tidak berdiri sendiri,

melainkan senantiasa terletak dalam kaitan dengan terdapatnya orang lain yang

berhubungan dengan orang ataupun aktor tersebut. Teori peran, (Sarwono, S.W,

2011). Teori kedudukan dipecah dalam 4 kalangan sebutan bagi Biddle serta

Thomas, ialah:

1. Orang- orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial

2. Sikap yang timbul dalam interaksi tersebut

3. Peran orang- orang dalam perilaku


29

4. Kaitan antara orang serta perilaku

Orang yang lagi berperilaku menuruti sesuatu kedudukan tertentu diucap selaku

aktor ataupun pelakon, sebaliknya orang yang memiliki ikatan dengan aktor ataupun

pelakon serta perilakunya diucap selaku target (sasaran) ataupun orang lain (other).

Dengan demikian sasaran berfungsi selaku pendamping (partner) untuk aktor.

Perihal ini terlihat misalnya pada hubungan remaja terhadap teman sebaya.

Buat mempertahankan eksistensinya selaku mahluk sosial, manusia butuh terletak

bersama orang lain serta mengadakan interaksi sosial di dalam kelompoknya.

Kelompok yang terkecil namun yang sangat dekat dengan kehidupan orang yakni

keluarga yang berbentuk keluarga batih (nuclear family) ataupun keluarga luas

(extended family) yang ialah gabungan dari sebagian keluarga batih.

Teman sebaya mempunyai kedudukan berarti dalam kehidupan sosial serta

pertumbuhan anak muda. Data mengenai kesehatan reproduksi yang diperoleh

melalui teman sebaya (peer) bisa mendesak anak muda mempunyai pengetahuan

yang lebih baik. Menurut SKRRI tahun 2012, sekitar 29% remaja perempuan dan

48% remaja laki–laki mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi dari

teman sebaya. Tetapi, sebagian riset menampilkan kalau teman yang berperilaku

negatif cenderung hendak membagikan pengaruh negatif untuk remaja.

Supaya kehidupan dikelompok bisa berjalan dengan baik serta lancar hingga

kerapkali individu harus mengubah ataupun membiasakan kemauan pribadinya

dengan norma serta tuntutan kelompok. Salah satu aspek yang ikut memastikan sikap

orang yang bersifat pasif (tanpa tindakan) ataupun bersifat aktif (melaksanakan

tindakan) (Anderson Foster, 1986).


30

2.2.6 Pengaruh Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

Teman sebaya (peer group) merupakan anak muda yang atas pemahaman, atensi

serta kepentingan bersama secara terencana maupun tidak terencana membentuk

kelompok dimana mereka mempunyai serta meningkatkan sendiri konsep-konsep

tertentu menimpa area mereka secara terbuka ataupun tertutup (Widaningsih, 2008).

Kelompok sebaya merupakan kelompok yang berpengaruh terhadap pola perilaku

dalam kelompoknya karena satu sama lain akan saling meniru sesuatu yang

dilakukan oleh kelompoknya. Bahaya dari pengaruh kelompok sebaya terhadap

kecenderungan perilaku seksual beresiko dinilai cukup tinggi. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan di Ghana bahwa kelompok sebaya merupakan salah satu

pasangan seksual pertama kali pada remaja (Afenyadu dan Gofaraju, 2003).

Remaja biasanya berkiblat pada sikap dan perilaku orang terdekatnya. Penelitian Yati

(2013) pada remaja SMA di Kuningan bahwa remaja yang memperoleh pengaruh

buruk dari teman-temannya dan berperilaku seksual beresiko yaitu sebannyak

66,5%. Bagi remaja, orang terdekatnya yang dalam hal ini adalah teman sebaya

merupakan tempat untuk mencurahkan permasalahan dan memungkinkan untuk

saling mengadopsi perilaku (Sukarsih, 2013).

2.2.7 Kondisi untuk Pembentukan Dukungan Kelompok Teman Sebaya (DKTS)

Menurut Sunaryo (2015) ketentuan terjadinya kelompok teman sebaya merupakan

terdapatnya pemahaman dari anggota tiap kelompok terhadap bagian dari kelompok

yang bersangkutan. Terdapat ikatan timbal balik antara satu anggota dengan yang

lain dan ada faktor umum seperti penderitaan yang sama, minat, dan tujuan.

Persyaratan lain adalah bahwa hal itu terstruktur, relevan dan memiliki pola perilaku.
31

2.2.8 Informasi Penting yang Perlu Dipahami Dukungan Kelompok Teman Sebaya

(DKTS)

Data penting yang butuh dimengerti DKTS buat di informasikan kepada penderita

serta keluarga penderita HIV, yakni:

1) Penyakit HIV ialah penyakit yang diakibatkan oleh virus, bukan penyakit

generasi ataupun kutukan.

2) Penyakit HIV memanglah tidak bisa dipulihkan, namun bisa diatasi dengan

metode komsumsi obat ARV secara tertib.

3) Metode penularan HIV, indikasi yang mencurigakan serta metode

pencegahannya.

4) Metode penyembuhan penderita serta metode kerja obat ARV.

5) Berartinya pengawasan agar penderita berobat secara tertib.

6) Mungkin terbentuknya dampak efek samping obat serta perlunya segera

memohon pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Sokongan dari keluarga (orangtua, suami serta kerabat) dalam riset ini merupakan

membagikan motivasi kepada ODHA serta menghindari terbentuknya putus obat

ARV. Hasil riset Payuk Irma (2012), menampilkan kalau ODHA yang mempunyai

sokongan keluarga serta lumayan mempunyai mutu hidup yang baik, berbanding

terbalik dengan ODHA yang memperoleh sokongan yang kurang. Sokongan dari

kelompok dukungan sebaya, orangtua serta keluarga bisa tingkatkan kepatuhan

minum obat ARV untuk ODHA. Untuk ODHA yang telah dikenal statusnya oleh

keluarga, dukungan kelompok sahabat sebaya serta keluarganya bisa menerima

keadaan mereka, hingga aspek berikut umumnya jadi pendukung utama. Umumnya

orang tua, suami/ istri, anak serta dukungan kelompok teman sebaya jadi orang-

orang terdekat yang menegaskan agar meminum obat.


32

Keluarga dalam perihal ini dapat berperan jadi DKTS untuk ODHA. Akan tetapi

terdapat keadaan keluarga yang malah membatasi kepatuhan contohnya khawatir

diketahui oleh pasangannya selaku ODHA sehingga jadi menyudahi minum obat.

Dukungan dari teman lewat sms serta telepon buat menegaskan agenda minum obat

membagikan pengaruh dalam tingkatkan kepatuhan minum obat. Cocok dengan riset

Yuniar Y, kalau SMS reminder sanggup tingkatkan kepatuhan penderita terhadap

pengobatan ARV. Hasil ini pula cocok dengan riset Payuk (2012), ODHA yang

memperoleh dukungan dari teman yang lumayan, mempunyai proporsi mutu hidup

baik dibanding dengan yang tidak memperoleh dukungan dari teman. Dukungan dari

petugas kesehatan serta DKTS merupakan penting sebab bagi ODHA, DKTS yang

sangat paham apa saja keluhan mereka sepanjang minum obat. Bersumber pada hasil

riset yang dilakukan oleh Purwaningtyas A (2007), manajer permasalahan bertugas

mengkoordinasi regu pelayanan HIV/AIDS bila secara klinis penderita memiliki

keluhan. DKTS bertanggung jawab secara langsung dan wajib konsultasi kepada

dokter, regu dokter, ataupun psikolog. Apabila penderita mengalami masalah-

masalah sosial, petugas selaku DKTS wajib mencari pemecahan yang tepat.

DKTS dibutuhkan untuk menunjang pelayanan yang komprehensif untuk penderita

HIV/AIDS. Pada dasarnya untuk bisa menempuh ARV dengan baik, hingga ODHA

sangat memerlukan dukungan psikososial dari segenap pihak, baik regu profesional

Kesehatan (dokter, perawat, apoteker, serta lain- lain). Pemerintah, LSM, dukungan

sebaya, keluarga ODHA ataupun segenap warga berkewajiban ikut berkontribusi

dalam rangka melindungi hak ODHA buat mendapatkan layanan kesehatan yang

baik serta maksimal, utamanya layanan ARV, sehingga bisa hidup sehat, merupakan

bagian dari hak asasi manusia itu sendiri.


33

2.3 Konsep Kepatuhan

Kepatuhan ataupun adherens pada pengobatan merupakan suatu kondisi dimana

penderita mematuhi penyembuhannya atas bawah pemahaman sendiri, bukan cuma

sebab mematuhi perintah dokter. Perihal ini berarti sebab diharapkan hendak lebih

tingkatkan tingkatan kepatuhan minum obat. Adherence ataupun kepatuhan wajib

senantiasa dipantau serta dievaluasi secara tertib pada tiap kunjungan. Kegagalan

pengobatan ARV kerap disebabkan oleh ketidak-patuhan penderita komsumsi ARV

(Kemenkes RI, 2011).

Untuk menggapai supresi virologis yang baik dibutuhkan tingkatan kepatuhan

pengobatan ARV yang sangat besar. Riset menampilkan kalau buat menggapai

tingkatan supresi virus yang maksimal, paling tidak 95% dari seluruh dosis tidak boleh

terlupakan. Efek kegagalan pengobatan mencuat bila penderita kerap kurang ingat

minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan penderita dan

komunikasi serta atmosfer penyembuhan yang konstruktif hendak menolong penderita

buat patuh minum obat (Kemenkes RI, 2011).

Pengidap dikatakan lalai bila tidak hadir lebih dari 3 hari hingga 2 bulan dari waktu pada

perjanjian serta dikatakan DO (drop out) bila lebih dari 2 bulan berturut- turut penderita

tidak hadir berobat setelah didatangi petugas kesehatan (Depkes RI, 2000).

Menurut Cuneo serta Snider (1989), penyembuhan yang membutuhkan waktu yang

panjang hendak memberikan pengaruh-pengaruh pada pengidap semacam:

a) Ialah sesuatu tekanan psikologis untuk seorang pengidap tanpa keluhan ataupun

indikasi penyakit dikala dinyatakan sakit serta wajib menempuh penyembuhan

sekian lama.

b) Untuk pengidap dengan keluhan ataupun indikasi penyakit sehabis menempuh

penyembuhan 1 sampai 2 bulan ataupun lebih lama keluhan hendak lekas menurun
34

ataupun lenyap sama sekali, pengidap hendak merasa sembuh serta malas buat

meneruskan penyembuhan kembali.

c) Tiba ke tempat penyembuhan tidak hanya waktu yang tersisa pula merendahkan

motivasi yang hendak terus menjadi menyusut dengan lamanya waktu

penyembuhan.

d) Penyembuhan yang lama ialah beban dilihat dari segi biaya yang wajib dikeluarkan.

e) Dampak samping obat meski ringan senantiasa hendak membagikan rasa tidak

nyaman terhadap pengidap.

f) Sukar buat menyadarkan pengidap supaya terus komsumsi obat seumur hidup.

Sebab jangka waktu penyembuhan yang diresmikan lama hingga ada sebagian mungkin

pola kepatuhan ialah pengidap berobat secara tertib (defaulting), pengidap sama sekali

tidak patuh dalam penyembuhan ialah putus obat (drop out) (Partasasmita, 1996).

Oleh sebab itu bagi Cramer (1991), kepatuhan pengidap berbeda-beda serta bisa dipecah

jadi:

a) Kepatuhan penuh (total compliance)

Pada kondisi ini pengidap tidak cuma berobat secara tertib cocok batasan waktu

yang diresmikan melainkan pula patuh mengenakan obat secara tertib sesuai

petunjuk.

b) Sama sekali tidak patuh (non compliance)

Pengidap yang putus berobat ataupun tidak memakai obat sama sekali.

Menurut Sockett yang di kutip oleh Niven (2004) kalau kepatuhan penderita selaku

sepanjang mana sikap penderita cocok dengan syarat yang diberikan oleh profesional

kesehatan. Orang yang mematuhi perintah dari orang yang memiliki kekuasaan bukan

perihal yang mengherankan sebab ketidakpatuhan kerap kali di ikuti dengan sebagian

wujud hukuman. Walaupun demikian, yang menarik merupakan pengaruh dari orang
35

yang tidak memiliki kekuasaan dalam membuat orang mematuhi perintahnya serta

hingga sepanjang mana kesediaan orang buat mematuhinya. Derajat kepatuhan

bermacam-macam cocok dengan apakah penyembuhan tersebut kuratif ataupun

preventif, jangka panjang ataupun jangka pendek.

Faktor- faktor yang pengaruhi ataupun aspek prediksi kepatuhan:

a) Sarana Layanan Kesehatan

Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas

serta birokratik merupakan penghambat yang berfungsi sangat signifikan terhadap

kepatuhan, sebab perihal tersebut menimbulkan penderita tidak bisa mengakses

layanan kesehatan dengan gampang. Tercantum antara lain ruangan yang aman,

jaminan kerahasiaan serta penjadwalan yang baik, petugas yang ramah serta

menolong penderita.

b) Ciri Pasien

Meliputi aspek sosiodemografi (usia, tipe kelamin, ras/etnis, pemasukan,

pembelajaran, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, serta asal kelompok dalam

warga misal waria ataupun pekerja seks komersial) serta aspek psikososial

(kesehatan jiwa, pemakaian napza, area serta dukungan sosial, pengetahuan serta

sikap terhadap HIV serta terapinya).

c) Paduan Terapi ARV

Meliputi tipe obat yang digunakan dalam paduan, wujud paduan, jumlah kapsul yang

wajib diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum serta pengaruh dengan

santapan), ciri obat serta dampak samping serta gampang tidaknya akses buat

memperoleh ARV.
36

d) Ciri Penyakit Penyerta

Meliputi stadium klinis serta lamanya semenjak terdiagnosis HIV, tipe peradangan

oportunistik penyerta, serta indikasi yang berhubungan dengan HIV. Terdapatnya

peradangan oportunistik ataupun penyakit lain menimbulkan akumulasi jumlah obat

yang wajib diminum.

e) Hubungan Pasien-Tenaga Kesehatan

Ciri ikatan pasien-tenaga kesehatan yang bisa pengaruhi kepatuhan meliputi:

kepuasan serta keyakinan penderita terhadap tenaga kesehatan serta staf klinik,

pemikiran penderita terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang

mengaitkan penderita dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari ikatan

tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) serta kesesuaian keahlian serta kapasitas

tempat layanan dengan kebutuhan penderita (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Chalker et al, (2009) pemantauan kepatuhan ODHA bisa dicoba bersumber pada

laporan ODHA sendiri dengan menghitung sisa obat ARV masing-masing bulan. Sisa

obat ARV tersebut dilaporkan kepada Apoteker penanggung jawab program HIV/AIDS.

Setelah itu Apoteker hendak melaksanakan pencatatan sisa obat tersebut di lembar kartu

follow up yang ada. Tata cara yang dicoba dalam riset ini merupakan lewat laporan

penderita sendiri dikala melaksanakan konseling dengan petugas kesehatan serta

perhitungan jumlah obat dan laporan penderita pada catatan klinik. Perihal ini pula

didukung oleh tata cara yang di rekomendasikan oleh INRUD – IAA, kalau buat

mengukur kepatuhan terdapat sebagian tata cara, ialah: 1) Lewat laporan penderita sendiri

dikala wawancara (self reported by exit interview), 2) Jumlah hari yang dikala penderita

menerima obat, 3) Kunjungan penderita serta 4) Perhitungan jumlah obat beserta laporan

penderita pada catatan klinik. Ketiga tata cara awal dikira lumayan gampang buat dicoba

di wilayah yang kurang terjangkau ataupun miskin.


37

2.4 Kerangka Teori

Pasien Rawat Jalan


HIV/AIDS

Karakteristik
Sosiodemografi

Terapi ARV

DKTS

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan:


1. Karakteristik Pasien
 Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, & Pekerjaan
2. Paduan Terapi ARV
 Bentuk Paduan ARV
 Adanya Efek Samping
3. Karakteristik Penyakit Penyerta
 Adanya Infeksi Oportunistik
4. Adanya Dukungan Kelompok Teman Sebaya
(DKTS)

Dukungan Kelompok Kepatuhan Konsumsi Terapi


Teman Sebaya (DKTS) ARV

Hubungan Dukungan Kelompok Teman


Sebaya (DKTS) Terhadap Kepatuhan Terapi
Antiretroviral Pada Pasien HIV/AIDS di
Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta
Pusat Tahun 2022

Hubungan Dukungan
Skema Kelompok
2.1. Kerangka Teori Teman Sebaya
(DKTS) Terhadap Kepatuhan Terapi Antiretroviral
Pada Pasien HIV/AIDS

Skema 2. 4 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai