TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian
indikasi serta infeksi ataupun sindrom yang timbul sebab rusaknya sistem
imunitas tubuh manusia akibat dari infeksi virus HIV. HIV merupakan virus
yang secara progresif mengganggu sel-sel darah putih yang disebut limfosit
(sel T CD4+) yang memiiliki fungsi melindungi sistem imunitas tubuh (Russel,
2011).
2.1.2 Epidemiologi
akibat belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, HIV/AIDS juga
memiliki “window period” serta fase asimptomatik (tidak ada gejala) yang
10
11
(Kemenkes RI, 2014). Semenjak awal ditemukan pada tahun 1987 hingga Desember
2016, HIV/AIDS sudah menyebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/kota di segala
Provinsi Bali, sedangkan provinsi yang terakhir melaporkan ialah Provinsi Sulawesi
Triwulan IV (Oktober hingga Desember) pada tahun 2016 yang bersumber dari
Sistem Informasi HIV/AIDS & IMS (SIHA), didapatkan bahwa jumlah infeksi HIV
Indonesia telah terjadi kenaikan jumlah ODHA untuk populasi tertentu di beberapa
wilayah yang memang memiliki prevalensi HIV lumayan tinggi. Kenaikan ini terjadi
kepada kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko besar terkena HIV
adalah para wanita pekerja seksual (WPS) dan pengguna narkoba suntik (Penasun).
Sebagian wilayah di Indonesia seperti DKI Jakarta, Papua, Bali, Riau, Jawa Barat
serta Jawa Timur termasuk sebagai fase epidemi terkonsentrasi (concentrated level
komprehensif serta parah (generalized epidemic) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).
Masalah infeksi HIV yang dikabarkan semenjak 1987 hingga September 2014 yang
tertinggi merupakan Provinsi DKI Jakarta (32.782 kasus). 10 besar kejadian HIV
paling banyak berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Jawa Barat, Papua,
Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, serta Sulawesi
Selatan. Sebaliknya hingga tahun 2016 dikabarkan jumlah kasus HIV paling tinggi
12
ialah DKI Jakarta (45.355 kasus), dan diikuti Jawa Timur (31.429 kasus), Papua
(24.725 kasus), Jawa Barat (20.045 kasus), dan Jawa Tengah (16.867 kasus) (Ditjen
Glikoprotein 120 adalah glikoprotein yang menjadi bagian dari virus yang tertutup
oleh molekul gula dengan fungsi melindungi dari pengenalan antibodi, serta
memiliki fungsi mengidentifikasi secara khusus reseptor dari permukaan sel tujuan
serta secara tidak langsung berkaitan dengan membran virus melalui membran
host serta membran virus, dan juga memindahkan virus HIV masuk ke dalam sel
virus yang menimbulkan penurunan daya imunitas tubuh. HIV tergolong genus
lentivirus memiliki ciri tertentu ditandai dengan karakter latennya yang cukup lama,
masa inkubasi yang cukup lama, replikasi virus yang persisten serta keterlibatan
dari susunan saraf pusat (SSP). Sebaliknya karakteristik untuk tipe retrovirus ialah:
dikelilingi oleh membran lipid, memiliki keahlian variasi genetik yang cepat,
memiliki cara yang cukup unik membuat replikasi dan bisa menginfeksi segala tipe
HIV secara khusus pengaruhi sistem imunitas tubuh, yakni sel CD4 ataupun sel-T.
HIV secara terus-menerus menghancurkan sel-sel tubuh yang tidak bisa melawan
infeksi dan penyakit yang menimbulkan AIDS (CDC, 2014). Sel-sel CD4 serta
serta kanker hingga menimbulkan penderita wafat (Douglas & Pinsky, 2009).
Prinsip utama patogenesis HIV merupakan kurangnya tipe limfosit T helper yang
memiliki marker CD4 (sel-T). Limfosit-T ialah pusat serta sel utama yang berperan
2004). HIV akan mengikat sel-sel tertentu dari sistem imun termasuk monosit,
makrofag dan sel T-limfosit (CD4, sel-T) (Dumond dan Kashuba, 2009).
Komponen virus HIV akan mengawali proses infeksi yang umumnya ada di dalam
darah, sperma ataupun cairan tubuh yang lain. Metode penularan yang paling sering
ialah transmisi seksual lewat mukosa genital, apabila virus menyebarkan kepada
host yang belum terinfeksi, maka akan menjadi viremia transien dengan kadar yang
banyak, virus akan tersebar luas di dalam tubuh host. Sel yang terkena infeksi
pertama kalinya tergantung pada bagian dimana yang terlebih awal terserang virus,
14
dapat CD4 serta monosit di dalam darah atau CD4 serta makrofag pada jaringan
replikasi berawal dari virus yang masuk ke sel tubuh hingga meluas ke bagian organ
tubuh lain melewati 7 tahap yaitu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006):
d) Reaksi dimulai saat Gp 120 HIV berinteraksi melalui CD4 dan co-reseptor.
2. RNA HIV hadapi transkripsi terbalik jadi DNA dengan dorongan enzim reverse
transcriptase.
4. Integrasi DNA virus ke dalam genom sel sasaran dengan dorongan enzim
integrase.
enzim protease.
Kontak intim merupakan salah satu tata cara primer transmisi HIV di berbagai
belahan dunia. Virus ini dapat ditemui pada cairan semen, cairan miss V, cairan
15
serviks. Transmisi penularan HIV melalui hubungan seksual melalui anus lebih
mudah karena hanya ada membrane mukosa rektum yang tipis dan mudah robek,
Transmisi dapat melalui hubungan seksual (sangat utama homoseksual) dan berasal
dari injeksi darah yang terinfeksi maupun produk darah. Diperkirakan jika 90
sampai 100 orang yang menjumpai transfusi darah yang terinfeksi HIV akan
terpaut resiko infeksi HIV melalui transfusi darah dari pendonor yang alami infeksi
HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000 (Nasronudin, 2007).
Transmisi secara vertikal dapat terjalin dari ibu yang alami infeksi HIV pada
janinnya saat hamil, persalinan dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu
Ibu (ASI). Angka penyebaran selama kehamilan berkisar 5 hingga 10%, serta saat
1) Keadaan Umum
a) Kehilangan berat tubuh lebih dari 10% dari berat tubuh bawah.
2) Kulit
Lapisan kulit kering yang lebar, adalah dugaan kokoh infeksi HIV. Sebagian
kelainan semacam kutil gential, folikulitis serta psoriasis kerap terjadi kepada
3) Infeksi
a) Infeksi jamur
berulang.
b) Infeksi Viral
4) Gangguan pernafasan
5) Gejala neurologis
Sakit kepala yang terus menjadi parah (terus menerus serta tidak jelas
buat dewasa ataupun anak yang lagi direvisi. Buat berusia dewasa ataupun anak,
Bila dilihat dari indikasi yang berlangsung pembagian stadium klinis HIV/AIDS
Asimptomatik 1
Gejala ringan 2
Gejala lanjut 3
Stadium klinis HIV/AIDS untuk berusia Dewasa serta pula Remaja yakni:
2) Stadium Klinis 1
3) Stadium Klinis 2
Berikut, berat tubuh menyusut yang penyebabnya tidak bisa di jelaskan, infeksi
ulang, Pruritic popular eruption (PPE), Dermatitis seboroika dan infeksi jamur
kuku.
4) Stadium Klinis 3
Berat tubuh menyusut yang tidak bisa dipaparkan karena ( > 10%), diare kronis
yang tidak bisa dipaparkan penyebabnya > 1 bulan, demam yang tidak dikenal
oral persisten, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis (TB) paru, infeksi bakteri
5) Stadium Klinis 4
berkurang lebih dari 10% dari Berat Badan awal, diiringi dari salah satu diare
penyusutan CD4 (baik jumlah absolute ataupun presentase CD4) sudah teruji bisa
penyusutannya dari masa ke masa memilki rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah CD4 lebih
ARV belum
I Terapi apabila CD4 <200 sel/ mm3
direkomendasikan
ARV belum
II Mulai terapi apabila CD4 <200 sel/mm3
direkomendasikan
III Mulai terapi ARV sel/mm3acd dan mulai ARV sebelum CD4
Tabel 2. 2 Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa menurut WHO (2006)
merupakan strategi yang secara klinis sangat sukses sampai dikala ini. Tujuan
optimal, tingkatkan CD4 serta memperbaiki mutu hidup pengidap yang pada
dikala nya nanti hendak bisa merendahkan mordibilitas serta mortalitas. Semacam
obat- obat antimikroba yang lain hingga kompleksitas antara penderita, patogen
serta obat hendak pengaruhi memilih obat serta dosis. Ciri penderita hendak
4) Menekan replikasi virus serendah serta selama mungkin sehingga kadar HIV
TARGET URAIAN
Klinis Mutu hidup pengidap ditingkatkan seoptimal bisa jadi serta dipertahankan
Imunologis Status imun yang tersendat diusahakan buat dipulihkan. Jumlah limfosit
Virologis Jumlah virus bisa ditekan sangat tidak di dasar 400 kopi per ml ataupun
mungkin.
Terapeutik Obat ARV bisa diterima oleh badan pengidap dengan dampak samping
Ada 3 golongan primer ARV (Ditjen Binfar dan Alkes 2006), yakni:
b) Non-nukleosida (NNRTI)
Nevirapin (NVP)
Efavirenz (EFV)
virus sehingga fusi virus ke sel sasaran sel dihambat. Salah satunya obat
NRTI diganti secara intraseluler dalam 3 sesi akumulasi 3 gugus fosfat serta
pergantian RNA jadi DNA terhambat. Tidak hanya itu NRTI pula
pematangan virus. Dampaknya virus yang tercipta tidak masuk serta tidak
Pemakaian obat dikatakan rasional bila penderita menerima obat cocok dengan
kebutuhannya buat periode waktu yang lumayan dengan harga yang cocok untuknya
serta warga( Ditjen Binfar serta Alkes, 2006). Pemerintah menetapkan panduan yang
digunakan dalam penyembuhan ARV bersumber pada 5 aspek ialah daya guna,
Prinsip dalam pemberian ARV yang hendak diresepkan oleh dokter kepada penderita
a. Panduan obat ARV wajib memakai 3 tipe obat yang terserap serta terletak dalam
dosis terapeutik. Prinsip tersebut buat menjamin daya guna pemakaian obat.
b. Menolong penderita supaya patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
2NRTI + 1 NNRTI
Keterangan :
(Zidovudine + Lamivudine +
AZT + 3TC + NVP ATAU
Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine +
AZT + 3TC + EFV ATAU
Efavirenz)
Tabel 2. 5 Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama (Kemenkes RI, 2011)
mempunyai tugas, guna, sumber energi manusia dan kompetensi yang disesuaikan
ODHA stadium 1 serta 2 yang tidak membutuhkan rawat inap ataupun keadaan
Puskemas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat ialah salah satu Puskemas referensi
Yang diartikan dengan layanan komprehensif merupakan upaya yang meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, serta rehabilitatif yang mencakup seluruh wujud layanan
HIV serta IMS, semacam aktivitas KIE (komunikasi, data serta bimbingan)
layanan Konseling serta Uji HIV, Perawatan, Sokongan, serta Penyembuhan (PDP),
Baik NAPZA. Penangkalan penularan lewat darah donor serta produk darah yang
Puskesmas Referensi serta Non‐Rujukan tercantum sarana kesehatan yang lain serta
Layanan yang berkesinambungan merupakan pemberian layanan HIV & IMS secara
kesehatan semacam puskesmas, klinik serta rumah sakit serta kembali ke rumah
terinfeksi hingga stadium terminal). Aktivitas ini wajib mengaitkan segala pihak
terpaut, baik pemerintah, swasta, ataupun warga. Dengan layanan komprehensif HIV
mutu hidup ODHA bisa bertambah secara maksimal. Tetapi dengan terus menjadi
25
1. Pencegahan 4. Dukungan
2. Perawatan 5. Konseling
3. Pengobatan (Kemenkes RI, 2012)
individu merasa nyaman, dihargai dan dicintai karena memberikan dukungan atau
sosial atau pendekatan dan pengawasan peer-to-peer adalah kunci untuk mengatasi
terdiri dari 2 individu bahkan lebih. Lebih dari 17 orang yang terinfeksi HIV
berkumpul untuk memberikan dukungan yang bertujuan untuk mencapai mutu hidup
Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997), tujuan diadakannya DKTS pada pengidap
HIV/AIDS ialah:
antiretroviral (ARV).
tertib serta tepat waktu dengan formula serta dosis yang diberikan oleh
dokter. DKTS wajib memantau jumlah obat penderita, mengisi kartu kontrol
seluruh kemungkinan yang terjalin akibat dampak obat yang diminum dan
obat yang baik serta benar, dampak samping obat, data tentang virus HIV
pujian pada penderita buat tingkatkan semangat dalam berobat dan tidak
penderita HIV
2015):
1. Ciri pertama memiliki motif yang sama untuk tujuan tertentu di antara anggota.
3. Memiliki interaksi yang berbeda dan interaksi dalam situasi sosial beberapa
Pitoyo, Wahyuni & Johan (2014) telah menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya
kesadaran tentang HIV-AIDS, bagaimana layanan HIV diberikan dan kami akan
Peran adalah merupakan seperangkat tingkatan yang diharapkan dipunyai oleh orang
yang berkedudukan dalam warga (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Posisi seorang
dalam warga dimana sikap yang diharapkan dari padanya tidak berdiri sendiri,
melainkan senantiasa terletak dalam kaitan dengan terdapatnya orang lain yang
berhubungan dengan orang ataupun aktor tersebut. Teori peran, (Sarwono, S.W,
2011). Teori kedudukan dipecah dalam 4 kalangan sebutan bagi Biddle serta
Thomas, ialah:
Orang yang lagi berperilaku menuruti sesuatu kedudukan tertentu diucap selaku
aktor ataupun pelakon, sebaliknya orang yang memiliki ikatan dengan aktor ataupun
pelakon serta perilakunya diucap selaku target (sasaran) ataupun orang lain (other).
Perihal ini terlihat misalnya pada hubungan remaja terhadap teman sebaya.
Kelompok yang terkecil namun yang sangat dekat dengan kehidupan orang yakni
keluarga yang berbentuk keluarga batih (nuclear family) ataupun keluarga luas
melalui teman sebaya (peer) bisa mendesak anak muda mempunyai pengetahuan
yang lebih baik. Menurut SKRRI tahun 2012, sekitar 29% remaja perempuan dan
teman sebaya. Tetapi, sebagian riset menampilkan kalau teman yang berperilaku
Supaya kehidupan dikelompok bisa berjalan dengan baik serta lancar hingga
dengan norma serta tuntutan kelompok. Salah satu aspek yang ikut memastikan sikap
orang yang bersifat pasif (tanpa tindakan) ataupun bersifat aktif (melaksanakan
Teman sebaya (peer group) merupakan anak muda yang atas pemahaman, atensi
tertentu menimpa area mereka secara terbuka ataupun tertutup (Widaningsih, 2008).
dalam kelompoknya karena satu sama lain akan saling meniru sesuatu yang
penelitian yang dilakukan di Ghana bahwa kelompok sebaya merupakan salah satu
pasangan seksual pertama kali pada remaja (Afenyadu dan Gofaraju, 2003).
Remaja biasanya berkiblat pada sikap dan perilaku orang terdekatnya. Penelitian Yati
(2013) pada remaja SMA di Kuningan bahwa remaja yang memperoleh pengaruh
66,5%. Bagi remaja, orang terdekatnya yang dalam hal ini adalah teman sebaya
terdapatnya pemahaman dari anggota tiap kelompok terhadap bagian dari kelompok
yang bersangkutan. Terdapat ikatan timbal balik antara satu anggota dengan yang
lain dan ada faktor umum seperti penderitaan yang sama, minat, dan tujuan.
Persyaratan lain adalah bahwa hal itu terstruktur, relevan dan memiliki pola perilaku.
31
2.2.8 Informasi Penting yang Perlu Dipahami Dukungan Kelompok Teman Sebaya
(DKTS)
Data penting yang butuh dimengerti DKTS buat di informasikan kepada penderita
1) Penyakit HIV ialah penyakit yang diakibatkan oleh virus, bukan penyakit
2) Penyakit HIV memanglah tidak bisa dipulihkan, namun bisa diatasi dengan
pencegahannya.
Sokongan dari keluarga (orangtua, suami serta kerabat) dalam riset ini merupakan
ARV. Hasil riset Payuk Irma (2012), menampilkan kalau ODHA yang mempunyai
sokongan keluarga serta lumayan mempunyai mutu hidup yang baik, berbanding
terbalik dengan ODHA yang memperoleh sokongan yang kurang. Sokongan dari
minum obat ARV untuk ODHA. Untuk ODHA yang telah dikenal statusnya oleh
keadaan mereka, hingga aspek berikut umumnya jadi pendukung utama. Umumnya
orang tua, suami/ istri, anak serta dukungan kelompok teman sebaya jadi orang-
Keluarga dalam perihal ini dapat berperan jadi DKTS untuk ODHA. Akan tetapi
diketahui oleh pasangannya selaku ODHA sehingga jadi menyudahi minum obat.
Dukungan dari teman lewat sms serta telepon buat menegaskan agenda minum obat
membagikan pengaruh dalam tingkatkan kepatuhan minum obat. Cocok dengan riset
pengobatan ARV. Hasil ini pula cocok dengan riset Payuk (2012), ODHA yang
memperoleh dukungan dari teman yang lumayan, mempunyai proporsi mutu hidup
baik dibanding dengan yang tidak memperoleh dukungan dari teman. Dukungan dari
petugas kesehatan serta DKTS merupakan penting sebab bagi ODHA, DKTS yang
sangat paham apa saja keluhan mereka sepanjang minum obat. Bersumber pada hasil
keluhan. DKTS bertanggung jawab secara langsung dan wajib konsultasi kepada
masalah sosial, petugas selaku DKTS wajib mencari pemecahan yang tepat.
HIV/AIDS. Pada dasarnya untuk bisa menempuh ARV dengan baik, hingga ODHA
sangat memerlukan dukungan psikososial dari segenap pihak, baik regu profesional
Kesehatan (dokter, perawat, apoteker, serta lain- lain). Pemerintah, LSM, dukungan
dalam rangka melindungi hak ODHA buat mendapatkan layanan kesehatan yang
baik serta maksimal, utamanya layanan ARV, sehingga bisa hidup sehat, merupakan
sebab mematuhi perintah dokter. Perihal ini berarti sebab diharapkan hendak lebih
senantiasa dipantau serta dievaluasi secara tertib pada tiap kunjungan. Kegagalan
pengobatan ARV yang sangat besar. Riset menampilkan kalau buat menggapai
tingkatan supresi virus yang maksimal, paling tidak 95% dari seluruh dosis tidak boleh
terlupakan. Efek kegagalan pengobatan mencuat bila penderita kerap kurang ingat
minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan penderita dan
Pengidap dikatakan lalai bila tidak hadir lebih dari 3 hari hingga 2 bulan dari waktu pada
perjanjian serta dikatakan DO (drop out) bila lebih dari 2 bulan berturut- turut penderita
tidak hadir berobat setelah didatangi petugas kesehatan (Depkes RI, 2000).
Menurut Cuneo serta Snider (1989), penyembuhan yang membutuhkan waktu yang
a) Ialah sesuatu tekanan psikologis untuk seorang pengidap tanpa keluhan ataupun
sekian lama.
penyembuhan 1 sampai 2 bulan ataupun lebih lama keluhan hendak lekas menurun
34
ataupun lenyap sama sekali, pengidap hendak merasa sembuh serta malas buat
c) Tiba ke tempat penyembuhan tidak hanya waktu yang tersisa pula merendahkan
penyembuhan.
d) Penyembuhan yang lama ialah beban dilihat dari segi biaya yang wajib dikeluarkan.
e) Dampak samping obat meski ringan senantiasa hendak membagikan rasa tidak
f) Sukar buat menyadarkan pengidap supaya terus komsumsi obat seumur hidup.
Sebab jangka waktu penyembuhan yang diresmikan lama hingga ada sebagian mungkin
pola kepatuhan ialah pengidap berobat secara tertib (defaulting), pengidap sama sekali
tidak patuh dalam penyembuhan ialah putus obat (drop out) (Partasasmita, 1996).
Oleh sebab itu bagi Cramer (1991), kepatuhan pengidap berbeda-beda serta bisa dipecah
jadi:
Pada kondisi ini pengidap tidak cuma berobat secara tertib cocok batasan waktu
yang diresmikan melainkan pula patuh mengenakan obat secara tertib sesuai
petunjuk.
Pengidap yang putus berobat ataupun tidak memakai obat sama sekali.
Menurut Sockett yang di kutip oleh Niven (2004) kalau kepatuhan penderita selaku
sepanjang mana sikap penderita cocok dengan syarat yang diberikan oleh profesional
kesehatan. Orang yang mematuhi perintah dari orang yang memiliki kekuasaan bukan
perihal yang mengherankan sebab ketidakpatuhan kerap kali di ikuti dengan sebagian
wujud hukuman. Walaupun demikian, yang menarik merupakan pengaruh dari orang
35
yang tidak memiliki kekuasaan dalam membuat orang mematuhi perintahnya serta
Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas
layanan kesehatan dengan gampang. Tercantum antara lain ruangan yang aman,
jaminan kerahasiaan serta penjadwalan yang baik, petugas yang ramah serta
menolong penderita.
b) Ciri Pasien
warga misal waria ataupun pekerja seks komersial) serta aspek psikososial
(kesehatan jiwa, pemakaian napza, area serta dukungan sosial, pengetahuan serta
Meliputi tipe obat yang digunakan dalam paduan, wujud paduan, jumlah kapsul yang
santapan), ciri obat serta dampak samping serta gampang tidaknya akses buat
memperoleh ARV.
36
Meliputi stadium klinis serta lamanya semenjak terdiagnosis HIV, tipe peradangan
kepuasan serta keyakinan penderita terhadap tenaga kesehatan serta staf klinik,
mengaitkan penderita dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari ikatan
tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) serta kesesuaian keahlian serta kapasitas
Menurut Chalker et al, (2009) pemantauan kepatuhan ODHA bisa dicoba bersumber pada
laporan ODHA sendiri dengan menghitung sisa obat ARV masing-masing bulan. Sisa
obat ARV tersebut dilaporkan kepada Apoteker penanggung jawab program HIV/AIDS.
Setelah itu Apoteker hendak melaksanakan pencatatan sisa obat tersebut di lembar kartu
follow up yang ada. Tata cara yang dicoba dalam riset ini merupakan lewat laporan
perhitungan jumlah obat dan laporan penderita pada catatan klinik. Perihal ini pula
didukung oleh tata cara yang di rekomendasikan oleh INRUD – IAA, kalau buat
mengukur kepatuhan terdapat sebagian tata cara, ialah: 1) Lewat laporan penderita sendiri
dikala wawancara (self reported by exit interview), 2) Jumlah hari yang dikala penderita
menerima obat, 3) Kunjungan penderita serta 4) Perhitungan jumlah obat beserta laporan
penderita pada catatan klinik. Ketiga tata cara awal dikira lumayan gampang buat dicoba
Karakteristik
Sosiodemografi
Terapi ARV
DKTS
Hubungan Dukungan
Skema Kelompok
2.1. Kerangka Teori Teman Sebaya
(DKTS) Terhadap Kepatuhan Terapi Antiretroviral
Pada Pasien HIV/AIDS