Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep HIV/AIDS


Berikut disajikan konsep HIV/AIDS yang meliputi definisi, etiologi,
epidemiologi, patofisiologi, respon tubuh terhadap perubahan fisiologis, dll.

2.1.1 Definisi HIV/AIDS


Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala
penyakit yang merusak sistem kekebalan tubuh; penyakit yang di akibatkan dari
penularan. Disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS adalah
sebutan untuk orang-orang yang mengidap atau didiagnosa positif HIV/AIDS
(Dewi et al., 2014). Dalam waktu yang singkat terjadi peningkatan jumlah pasien
pada kasus penyakit ini sehingga menjadi masalah internasional (Widoyono,
2011). Virus ini menyerang sel darah putih (limfosit) yang ada di dalam tubuh
manusia. Limfosit berfungsi membantu melawan bibit-bibit penyakit yang masuk
ke dalam tubuh (Elisanti, 2018).

HIV termasuk keluarga retro virus yaitu virus yang mampu


menggandakan, mencetak serta memasukkan materi genetik dirinya ke dalam sel
tuan rumah. Dengan cara yang berbeda (retro) virus ini melakukan proses infeksi,
yaitu dari RNA menjadi DNA, kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah
(manusia), membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi (tiruan). Sel
pada tubuh manusia yang diserang oleh virus HIV adalah set T helper/ T-limfosit/
T-sel/ CD4. Sel CD4 ini adalah sel dengan pangkat tertinggi dalam sistem
pertahanan tubuh manusia yang akan segera memberi perintah kepada sel-sel
pertahanan tubuh yang lain. Jika sel ini diserang dan dilumpuhkan oleh virus HIV,
maka imunitas tubuh manusia akan kacau dan rentan untuk di infeksi oleh virus-
virus yang lain (Elisanti, 2018).

7
8

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS yaitu sekumpulan


gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang
disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada
seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC,
kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan
kanker. Kondisi ini juga disebut ketika sel CD4 sudah benar-benar rusak sehingga
kekebalan tubuh seseorang sangat rentan sekali terjadi infeksi penyakit menular
lainnya (Keller Dwiyanti, 2019).

2.1.2 Etiologi
HIV disebabkan oleh virus yang dapat membentuk DNA dari RNA virus,
sebab mempunyai enzim transkiptase reverse. Enzim tersebut yang akan
menggunakan RNA virus untuk tempat membentuk DNA sehingga berinteraksi di
dalam kromosom inang kemudian menjadi dasar untuk replikasi HIV atau dapat
juga dikatakan mempunyai kemampuan untuk mengikuti atau menyerupai genetik
diri dalam genetik sel-sel yang ditumpanginya sehingga melalu proses ini HIV
dapat mematikan sel-sel T4. HIV dikenal sebagai kelompok retrovirus. Retrovirus
ditularkan oleh darah melalui kontak intim seksual dan mempunyai afinitas yang
kuat terhadap limfosit T (Desmawati, 2013).

Penyebab dari HIV/AIDS adalah golongan virus retro yang bisa disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri
dari lima fase :

a) Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b) Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1 - 2 minggu dengan gejala flu.
c) Infeksi asimtomatik. Lamanya 1 – 15 atau lebih setahun dengan gejala tidak
ada
d) Supresi imun simtomatik. Di atas 3 tahun dengan demam, keringat malam hari,
berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, ras, limfa denopati, lesi mulut.
e) AIDS, lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai
system tubuh, dan manifestasi neurologis (Wahyuny & Susanti, 2019).
9

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria


maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

a) Lelaki homoseksual atau biseks.


b) Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
c) Orang yang ketagihan obat intravena
d) Partner seks dari penderita AIDS
e) Penerima darah atau produk darah (transfusi) (Wahyuny & Susanti, 2019)

Bentuk HIV secara struktural morfologinya terdiri atas sebuah silinder


yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar dan melebar. Pusat lingkaran
terdapat untaian RNA. Pada HIV memiliki 3 gen yang merupakan komponen
fungsional dan struktural. Tiga gen itu yaitu gag, pol, dan anv. Gag yang artinya
group antigen, pol mewakili polymerase, dan env kepanjangan dari envelope. Gen
gag bertugas mengode protein inti. Gen pol bertugas mengode enzim reverse
transcriptase, protase, dan integrase. Gen env bertugas mengode komponen
struktural HIV yang dikenal dengan sebagai glikoprotein (Kurnia & Nursalam,
2015).

Siklus hidup HIV, pada siklus ini sel penjamu atau sel yang terinfeksi oleh
HIV memiliki jangka waktu hidup yang sangat pendek. Jadi dalam hal ini HIV
akan terus-menerus menggunakan sel penjamu yang baru ini untuk mereplikasi
diri, terdapat 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Pada saat serangan
pertama HIV lalu akan tertangkap oleh sel dendrit pada membrane mukosa dan
kulit selama 24 jam pertama setelah terpapar virus. Setelah itu sel yang terinfeksi
akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer
selama 5 hari setelah paparan, dan replica virus menjadi semakin cepat (Kurnia &
Nursalam, 2015). Siklus hidup HIV dibagi menjadi 5 fase, masuk dan mengikat,
reverse transcriptase, replikasi, budding, dan maturase.

2.1.3 Epidemiologi HIV/AIDS


Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di USA tahun 1981 dan dalam kurun
waktu 10 tahun telah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia. Indonesia
sendiri pertama kali dilaporkan kasus AIDS pada tahun 1987 dari seorang turis
10

asing di Bali. Sampai akhir tahun 2005 diperkirakan infeksi HIV dan AIDS telah
mencapai angka 90.000-130.000 kasus. Menurut Departemen Kesehatan RI,
melalui surveilans HIV dan AIDS, perilaku dan berbagai Hasil studi di lapangan
diperoleh kesimpulan bahwa potensi ancaman epidemik HIV dan AIDS
cenderung semakin besar.

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired


Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan di dunia. Di
seluruh dunia, 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta perempuan
dan 3,2 juta anak <15 tahun dan terdapat 19 juta orang tidak mengetahui status
HIV positif mereka. Infeksi tersebut diperkirakan 70% di Afrika dan 30% di Asia.
Meskipun jumlah infeksi terbanyak adalah di Afrika, peningkatan paling cepat
dalam infeksi HIV dalam decade /terakhir telah terjadi di negara-negara Asia
(Kakalang, Masloman, & Manoppo, 2016).

Indonesia menyumbang sebesar 620.000 dari 5,2 juta jiwa di Asia pasifik
yang terjangkit HIV dan AIDS. Jika dikelompokkan berdasarkan latar
belakangnya, penderita HIV/AIDS dating dari kalangan pekerja seks komersial
(5,3 persen), homoseksual (25,8 persen), penggunaan narkoba suntik (28,76
persen), transgender (24,8 persen), dan mereka yang ada di tahanan (2,6 persen)
(Data UNAIDS, 2018).

Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS dan IMS (Infeksi Menular


Seksual) di Indonesia jumlah Infeksi HIV dan AIDS tahun 2009 sampai dengan
2017 yang terinfeksi HIV berjumlah 280.623 sedangkan yang menderita AIDS
berjumlah 102.667 (Riskesdas, 2018). Menurut data dari WHO, epidemi
HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan
dan kemajuan sosial. Banyak negara-negara miskin yang sangat dipengaruhi
epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkan. Bagian
terbesar orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang dewasa yang
berada dalam usia kerja dan hampir separuhnya adalah wanita, yang akhir-akhir
ini terinfeksi lebih cepat daripada laki-laki (WHO, 2019).
11

Indonesia merupakan negara urutan ke 5 paling berisiko HIV/AIDS di


Asia. Di Indonesia pertama kali ditemukan di Provinsi Bali pada tahun 1987.
Sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai dengan Juni 2018,
HIV/AIDS telah dilaporkan oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia (Kakalang et al., 2016).

2.1.4 Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang berkerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4
(Ardhiyanti, Lusiana, & Megasari, 2015).

Gambar 2.1 Struktur HIV (Sumber : Nurul Hidayat et al., 2019)

Human Immunodeficiency Virus secara fisiologis merupakan virus yang


menyerang sistem kekebalan tubuh (Oliver, 2013). Dalam buku “Manajemen
HIV/AIDS”, HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk dari dua
protein utama envelope virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di
transmembrane. Gp120 ini mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4
sehingga bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target, sedangkan
12

gp41 ini bertanggung jawab dalam proses internalisasi. Termasuk retrovirus


karena memiliki enzim reverse transcriptase, HIV dapat mengubah informasi
genetic dari RNA menjadi DNA, yang membentuk provirus. Hasil dari transkrip
DNA intermediet atau provirus yang terbentuk kemudian dapat memasuki inti sel
target melalui enzim integrase dan berintegrasi di dalam kromosom dalam inti sel
target. HIV memiliki kemampuan untuk memanfaatkan mekanisme yang sudah
ada di dalam sel target untuk membuat salinan diri sehingga terbentuk virus baru
dan menetap yang memiliki karakter seperti HIV. Kemampuan virus HIV untuk
bergabung dengan DNA sel target, membuat seseorang dengan terinfeksi HIV
akan terus terinfeksi seumur hidupnya (Nurul Hidayat et al., 2019).

HIV dapat menyebabkan sistem imun mengalami beberapa kerusakan dan


kehancuran, dengan proses tersebut sistem kekebalan tubuh manusia menjadi
lemah atau tidak memiliki kekuatan pada tubuhnya, maka pada saat ini berbagai
penyakit yang dibawa oleh virus seperti kuman dan bakteri sangat mudah
menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Kemampuan virus ini untuk
tetap tersembunyi akan menyebabkannya tetap ada seumur hidup, bahkan dengan
pengobatan yang efektif (Oliver, 2013).

2.1.5 Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis


Menurut Zmeltser (2013) manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas
dan pada dasranya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkjaitan
dengan infeksai HIV dan AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek
langsung HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikut ini dibatasinpada
manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan

a. Respiratori
Pneumonia pneumocytis carini. Gejalah napas yang pendek, sesak
napas (dsipneu), batuk-batuk, nyeri dad dan demam akan menyertai
berbagai infeksi oportunistik seperti yang disebabkan oleh mycobacterium
avium intracelulare (MAI), sitomegalovirus (CMV) dan legionella.
Walaupun begitu, infeksi yang paling sering ditemukan pada penderita
AIDS adalah pneumonia pneumocyti carini (PPC) yang merupakan
13

penyakit oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan


AIDS.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak beguitu
akut biila dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena
keadaan lain. Periode waktu antara awitan gejala dan penegakan diagnosis
yang benar bisa beberapa minggu hingga beberapa bulan. Penderita AIDS
pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak
khas seperti demam, menggigil, batuk nonproduktif, napas pendek,
dispneu dan kadang-kadang nyeri dada. Kosentrasi oksigen dalam darah
arterial pada pada pasien yang bernapas dengan udara dalam ruangan
dapat mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukan
keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan berlanjut
dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan pada akhirnya
kegagalan pernapasan.
Penyakit kompleks kompleks mycobacteriium avium (MAC;
mycobakterium avium complex) yaitu suatu kelompok baksil tahan asam,
biasanya menyebabkan infeksi pernapasan kendati juga sering dijumpai
dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatik dan susmsum tulang.
Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas
ketika diagnosis ditegakan dan biasanya dengan keadaan umum yang
buruk.
Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkolosis
cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya
mendahului diagnosa AIDS. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut
penyakit TB disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner
seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium, lambung, peritonium, dan
skrotum.
b. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya selera
makan, mual,munta,vomitus, kandidiasis oral, serta esofagus, dan diare
kronis. Bagi pasien AIDS, diare dapat membawah akibat yang serius
sehubungan dengan terjadinya penurunan berat badan yang nyata (lebih
14

dari 10% berat badan), gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,


ekskoriasis kulit perinatal, kelemahan dan ketidak mampuan untuk
nmelaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari.
c. Kanker
Sarkoma kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang
paling sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan
endotel pembuluh darah dan limfe. Kaposi yang berhubungan dengan
AIDS memperlihatkan penyakit yang lebih agresif dan beragam yang
berkisar mulai dari lesi kutaneus stempat hingga kelainan yang menyebar
dan mengenai lebih dari satu organ. Lesi kutaneus yang dapat timbul pada
setiap tubuh biasanya berwarna merah mudah kecoklatan hingga ungu
gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh
eksimosis(bercak-bercak perdarahan) serta edema. Lokasi dan ukuran
beberapa lesi dapat menurunkan statis aliran vena, limfadema serta rasa
nyeri. Lesi ulseri akan merusak integrias kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanan terhadap infeksi. Limfoma sel-
B merupakan malignasi paling sering kedua yang terjadi diantara pasien-
pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjar limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada
otak, sumsum tulang dan gastrointestinal.
d. Neurologik
Enselopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. HIV
ditemukan denhan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan
serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak
yang teronfeksi HIV didominasi oleh sel-sl CD4+ yang berasal dari
monosit/magkrofag. Infeksi HIV diyakini akan memicu toksinatau
limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang mengganggu
fungsi neurotransmiter keetimbang menyebabkan kerusakan seluler.
Keadaan ini berupa sindrome klinis yang disertai oleh penurunan progresif
pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Tanda-tanda dan gejala yang
samar-samar serta sulit diobedakan dan kelealhan, depresi atau efek terapi
15

yang mrugikan terhadap infeksi dan malignasi. Manifestasi dini mencakup


gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi
progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjut
mencakup gangguan kognitif global kelambatan dalam respon verbal,
gangguan paraperesis spastik, psikologis, halusinasi, termor,
intenkontenensia, serangan kejang,mutisme dan kematian. Infeksi jamur
criptococus neoformans merupakan infeksi oportunistik paling sering
keempat yang terdapat diantara pasien- pasien AIDS dan penyebab paling
sering ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis
kriptokokus ditandai dengan gejala seperti demam/panas, sakit kepala,
keadaan tidak enak badan(melaise), kaku kuduk, mual, vormitus,
perubahan status mental, dan kejang-kejang. Kelemahan neurologik
lainnya berupa neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV
diperkirakan merupakan kelainan demilinisasi dengan disertai rasa nyeri
serta mati ras pada ekstremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang
dalam, hipotensi ortotastik dan impotensi.
e. Struktur integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta
malignasi yang mendampinginya, infeksi oportunistik seperti herpes zoster
dan herpes simplex akan disertai denga pembentukan vasikel nyeri yang
merusak integritas kulit. Moloskum kontagiosium merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. Dermatitis
seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang
mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat
memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai denga kulit yang
kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti eksema atau
proriasis. Hingga 60% penderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia
pneumocytis carini akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan
berupa preuritis yang disertai pembentukan papula serta makula berwarna
merah mudah. Terlepas dari penyebab ruam ini pasien akanmengalami
16

gangguan rasa nyaman dan menhadapi peningkata resiko untuk menderita


infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.

2.1.6 Stadium Gejala Klinis HIV/AIDS


Infeksi HIV ini tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
dapat melalui 3 fase klinis (Nurul Hidayat et al., 2019) :

1. Tahap 1 : Infeksi Akut


Dalam 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi HIV, seseorang mungkin
mengalami penyakit seperti flu, yang dapat berlangsung selama beberapa
minggu. Tahap ini adalah respons alami tubuh terhadap infeksi. Setelah
HIV menginfeksi sel target, yang terjadi adalah proses replikasi yang
menghasilkan berjuta-juta virus baru (virion), terjadi viremia yang memicu
sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu.
Gejala yang terjadi dapat berupa demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, nyeri otot, dan sendi atau batuk
2. Tahap 2 : Infeksi Laten
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa gejala), yang
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Pembentukan respons imun
spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di
pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat
dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. Meskipun pada
fase ini virion di plasma menurun, replika tetap terjadi di dalam kelenjar
limfe dan jumlah limfosit T-CD4 perlahan menurun walaupun belum
menunjukkan gejala (asimtomatis).
3. Tahap 3 : Infeksi Kronis
Sekelompok orang dapat menunjukkan perjalanan penyakit merambat
cepat 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progressor). Akibat
replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler
karena banyaknya virus dicurahkan ke dalam darah. Saat ini terjadim
respons imun sudah tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan
tersebut. Limfosit T-CD4 semakin tertekan oleh karena intervensi HIV
yang semakin banyak.
17

Stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi 4 stadium yaitu (Astuty , I.


& Arif, 2017):

Tabel 2.1 Stadium Gejala Klinis HIV/AIDS

Stadium Gejala Klinis


Tidak ada penurunan berat badan
I Tanpa gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten yaitu
kondisi dimana terjadi pembesaran kelenjar getah bening
Penurunan berat badan < 10%
ISPA berulang seperti : peradangan dinding sinus (sinusitis), infeksi
pada telinga bagian tengah (otitis media), radang amandel
(tonsilitis), dan peradangan faring (faringitis)
Herpes zoster atau cacar ular dalam waktu 5 thn terakhir
II Luka di sekitar bibir (Kelitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis seboroik atau gangguan kulit kepala yang tampak
berkerak dan bersisik
Infeksi jamur pada kuku
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari satu.
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Lekoplakia (OHL) merupakan lesi
plak putih asimtomatis sering ditemukan di tepi lateral lidah
TB Paru dalam waktu 1 thn terakhir
III
Limfadenitis TB merupakan proses peradangan pada kelenjar getah
bening akibat aktivitas MTBC
Infeksi bakterial yang berat : infeksi pada paru-pari (pneumonia),
Piomiosis Anemia (<8gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50109 per
liter)
Sindroma Wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocystis
Herpes Simpleks Ulseratif
Pneumonia bacterial yang berat berulang dalam waktu 6 bulan
Kandidiasis Esofagus
Limfoma
Sarcoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasive
IV
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
18

2.1.7 Diagnosis
Diagnosa HIV/AIDS dapat dilakukan melalui pemeriksaan antibody HIV
meliputi :

1. Enzyme Immunasorbent Assay (EIA). Tes ini digunakan untuk


mendeteksi antibodi IgM dan IgG HIV-1 dan HIV-2.
2. Rapid/simple assay. Tergantung jenisnya, tes ini dapat dilakukan dalam
waktu kurang dari 20 menit sampai 2 jam dan merupakan tes yang paling
banyak digunakan dengan fasilitas yang terbatas.
3. Western Bloting (WB). Pemeriksaan ini membutuhkan waktu lama dan
mahal, serta memerlukan waktu yang lama. Butuh keahlian khusus
sehingga digunakan untuk konfirmasi diagnostik.
4. ELISA (Enzyme-linked immunoassay). Pemeriksaan ini juga merupakan
pemeriksaan yang mahal dan memerlukan waktu yang lama (Nurul
Hidayat & Barakbah, 2018).

2.1.8 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh
host akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda
infeksi virus akut, keadaan asimtomatis berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS
berat. Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dibagi menjadi 4 tahap.

Pertama, tahap infeksi akut, muncul gejala tetapi tidak spesifik. tahap ini
muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih,
nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening. dapat
juga harga di sertai meningitis aseptik yang ditandai demam, nyeri kepala hebat,
kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak.

Kedua, tahap asimtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. tahap
ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi.
pada saat ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahap ini
aktivitas penderita masih normal.

Ketiga, tahap simptomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik
dengan gradasi sedang sampai berat. berat badan menurun tetapi tidak sampai
19

10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut
mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas namun
penderita dapat melakukan aktivitas meskipun terganggu. penderita lebih banyak
berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam per hari dalam bulan terakhir.

Keempat merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. pada tahap
ini terjadi penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari satu bulan,
panas yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral
hairy leukoplakia, tuberkulosis paru, dan pneumonia bakteri. penderita diserbu
berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia pneumokistik karinii,
toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo,
infeksi virus herpes, kandidiasis pada esofagus, trakea, bronkus atau paru serta
infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga
ditemukan beberapa jenis malignansi, termasuk keganasan kelenjar getah bening
dan sarkoma kaposi. Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamin.
Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme
di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV (Nasronudin, 2020).

2.1.9 Cara Penularan


Menurut Widoyono (2011) cara penularan HIV/ AIDS dapat melalui
berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti darah, ASI, dan cairan
genitalia. Virus ini juga terdapat di saliva, air mata dan urin namun sangat rendah
dan tidak dilaporkan terdapat di air mata dan keringat. Selain melalui cairan yang
ada di dalam tubuh, HIV juga dapat ditularkan melalui:

a. Ibu hamil
1. Secara intrauterin, intrapartum, dan postpartum (melalui ASI).
2. Angka transmisi mencapai 20-50%.
3. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.
4. Laporan lain menyatakan bahwa risiko penularan melalui cairan ASI
sebesar 11-29%.
b. Jarum suntik
1. Prevalensi 5-10%
20

2. Penularan HIV pada anak dan remaja dapat terjadi melalui jarum suntik
karena penggunaannya untuk menyalahgunakan obat.
3. Tahanan (terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna obat suntik di Jakarta
sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25%, dan di Bali 53%.
c. Transfusi darah
1. Risiko penularan melalui cara ini adalah 90%.
2. Prevalensi 3-5%.
d. Hubungan seksual
1. Prevalensi 70-80%.
2. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan inti.
3. Cara ini adalah yang tersering di dunia yang menyebabkan pesatnya
penularan virus ini. Menurut (Hutapea, 2014), cara penularan melalui
hubungan heteroseksual (51,3%), pengguna narkoba suntik/Penasun
(39,6%), Lelaki Seks Lelaki alias gay (3,1%), dan perinatal atau ibu yang
terinfeksi kepada bayinya (2,6%).
e. Perilaku seksual berisiko
Perilaku seksual berisiko di kalangan masyarakat Indonesia menjadi salah
satu faktor risiko penularan HIV yang sering terjadi. Partner seks yang
bergantiganti dan tidak menggunakan kondom dalam melakukan aktivitas
seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS
(Abrori & Qurbainah, 2017). Lebih mungkin terjadi penularan dari laki-laki ke
wanita, daripada sebaliknya saat berhubungan seks. Hal ini disebabkan karena
virus HIV lebih banyak ditemui di dalam cairan semen pada laki-laki daripada
cairan vagina pada wanita. Penyebab lainnya karena cairan mani yang
tercemar HIV ini dapat tinggal di dalam vagina selama beberapa hari setelah
berhubungan seks, sehingga dapat terjadi kemungkinan besar untuk dapat
menularkan (Hutapea, 2014).
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan pengidap tanpa
menggunakan perlindungan atau pengaman dapat menularkan HIV. Selama
hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat
mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang
terdapat di dalam cairan tersebut dapat dengan mudah masuk dalam peredaran
21

darah yang diakibatkan oleh lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut
(Widoyono, 2011).

2.1.10 Penatalaksanaan HIV/AIDS

2.1.10.1 Perawatan
Perawatan pada saat terinfeksi HIV menurut (Ardhiyanti et al., 2015):

a. Suportif dengan cara mengusahan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan
yang ada
c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim
RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi
DNA HIV
d. Mengatasi dampak psikososial
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,
dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal atau keseluruhan

2.1.10.2 Pengobatan
Tujuan pengobatan yaitu untuk mencegah sistem imun tubuh memburuk
ke titik di mana infeksi opportunistic akan bermunculan (Nurul Hidayat et al.,
2019). Pengobatan penting untuk HIV/AIDS dengan pemberian antiretrovirus
atau ARV. Riset mengenai obat ini terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang
mampu mengeradiasikan virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman
di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV/AIDS sekarang menggunakan
setidaknya 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada
homolog manusia. Pada tahun 1990, obat pertama ditemukan berupa
Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada
tahap penghambatan kerja enzim transkripate riversi. Bila obat ini digunakan
sendiri, dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau
22

tahun. Biasanya progresivitas penyakit HIV tidak diperngaruhi oleh pemakaian


AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang
resisten terhadap obat (Ardhiyanti et al., 2015).

Penatalaksanaan pada HIV/AIDS selama ini hanya dikonsentrasikan pada


terapi umum dan terapi khusus dengan mengandalkan antiretroviral therapy
(ART). Pengaruh radikal bebas dan mitokondria hingga kini belum mendapatkan
perhatian secara serius. Padahal pada tubuh penderita HIV/AIDS terdapat
peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang potensial mendorong
terjadinya penyakit yang lebih berat (Nasronudin, 2020). Untuk itu selain
pemberian ART dengan highly active antiretroviral therapy (HAART), dukungan
nutrisi berlandaskan konsep imunonutrien perlu diperhatikan di dalam
penatalaksanaan penderita HIV/AIDS. Penentuan stadium klinis WHO (2002)
maupun klasifikasi CDC (1993) sangat penting untuk menjadi landasan
pemberian antiretroviral therapy (ART) (Nasronudin, 2020). Terapi antiretroviral
berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan. Obat tersebut (yang disebut
ARV) tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat pertumbuhan virus,
waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV. Karena HIV
adalah retrovirus, obat-obat ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (ARV)
(Putri, 2016)

A. Rekomendasi Terapi Antiretroviral

Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada
penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan
bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai faktor: dokter telah memberikan
penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan
ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu
yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV.

Tabel 2.2 Klasifikasi infeksi HIV dengan gradasi klinis (WHO, 2006)
Klinis Infeksi HIV Stadium Klinis WHO
Asimtomatik I
Ringan II
Lanjut III
Berat IV
23

Tabel 2.3 Rekomendasi memulai terapi ARV penderita dewasa menurut


WHO (2006)

Pemeriksaan CD4 tidak Pemeriksaan CD4


Stadium Klinis WHO
dapat dilakukan dapat dilakukan
ARV belum Terapi bila CD4 <200
I
direkomendasi sel/𝑚𝑚3
ARV belum Mulai terapi bila CD4
II
direkomendasi <200 sel/𝑚𝑚3
Pertimbangkan terapi bila
CD4 <350 sel/𝑚𝑚3𝑎𝑐𝑑
III Mulai terapi ARV
dan mulai ARV sebelum
CD4 turun <200 sel/𝑚𝑚3
Terapi tanpa
IV Mulai terapi ARV mempertimbangkan
jumlah CD4

Keterangan:

1) CD4 perlu diperiksa segera terutama untuk penetapan terapi seperti


pada TB pulmoner dan infeksi bakteril berat
2) Total limfosit 1200/ mm3 atau kurang, dapat dipergunakan bila
CD4 tak dapat diperiksa dan infeksi HIV mulai manifes. Tidak
diberlakukan pada asimptomatis, stadium klinis 2.
3) Memulai ARV direkomendasikan pada infeksi HIV stadium 3
dengan kehamilan dan CD4 <350 sel/𝑚𝑚3 dengan TB Pulmoner
(Nasronudin, 2020).

B. Tujuan Terapi Antiretroviral

1) Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan menurunkan kematian akibat


AIDS
2) Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal
mungkin
3) Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal
4) Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV
dalam plasma <50 kopi/ml
24

Terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi dan dipantau secara


ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping, serta
kemungkinan timbul resisten (Nasronudin, 2020)

C. Sepuluh Prinsip Terapi

Antiretroviral Menurut Nasronudin (2020) terdapat sepuluh prinsip terapi


antiretroviral:

1) Indikasi
ARV harus ditetapkan pemberiannya atas indikasi pengobatan yang tepat.
2) Kombinasi
Antiretrovirus harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3
jenis obat untuk mendapatkan efek optimal serta memperkecil resistensi.
3) Pilihan obat
Pemilihan obat-obatan ini pertama diprioritaskan baru kemudian dipilih lini
kedua atau obat lain bila dipandang perlu guna meminimalkan munculnya
muatan yang resisten.
4) Kompleksitas
Terapi antiretrovirus sangat komplek karena beberapa obat dapat mengalami
interaksi dan efek samping termasuk potensi interaksi dengan obat non
ARV.
5) Resistensi
Perlu disadari adanya potensi terjadinya resistensi. Resistensi dapat terjadi
ARV lini yang sama dan atau resistensi silang yang terjadi antara NNRTIs
dan sebagian dari PIs dan NRTIs. Perlu dievaluasi secara genetic potensi
munculnya gen resisten.
6) Informasi
Memulai dan mempertahankan terapi antiretroviral secara efektif sangat
diperlukan adanya informasi dari dokter terhadap penderita. Sebelum
memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap maksud
dan tujuan terapi ARV. Informasi tentang efek samping segera, lambat atau
tertunda perlu disampaikan. Resistensi obat juga perlu diinformasikan
dengan jelas. Penderita juga diberikan informasi tentang kerugian bila
25

menghentikan ARV secara sepihak. Pentingnya informasi tentang


monitoring pemberian ARV secara klinis, laboratoris (biokimiawi, CD4,
beban virus), radiologis secara berkala.
7) Motivasi
Motivasi sangat diperlukan untuk mengkonsumsi ARV. Penderita
ditekankan untuk tidak terlarut dalam kesedihan, kecemasan, ketakutan
secara berlebihan setelah didiagnosa HIV. Penderita diingatkan, disadarkan
secara wajar bahwa di dalam tubuhnya terdapat virus yang perlu dieliminasi
dengan upaya mengkonsumsi ARV.
8) Monitoring
Efikasi pengobatan antivirus ditentukan dan dimonitor melalui pemeriksaan
klnis berkala, disertai pemeriksaan laboratoris guna menentukan HIV-RNA
virus dan hitung CD4 secara periodic dan teratur. Efek samping dan resisten
ARV juga perlu dimonitor secara cermat dan hati-hati.
9) Target pengobatan
Target pemberian antiretroviral adalah (a) target virologist, menekan RNA
virus hingga kurang dari 50 kopi/mm dalam plasma; (b) imunologis,
menaikan dan mempertahankan selama mungkin jumlah CD4 di atas 500
sel/mm³; (c) terapeutik, obat ARV dapat di terima dengan baik oleh tubuh
penderita, tanpa efek samping meminimalkan munculnya mutan resisten; (d)
klinis, meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin dengan sekor
Karnofski mendekati 100 dan di pertahankan selama mungkin. Kesakitan
karena HIV dan kematian karena AIDS dapat di tekan serendah mungkin;
(e) epidemiologis, transmisi di turunkan secara bermakna, termasuk
merubah jalannya epidemiologi infeksi HIV di Indonesia. Jalanya
epidemiologi HIV dapat di rubah melalui upaya (1) menurunkan infeksi hiv
baru dan meningkatkan layanan pendampingan, rawatan dan pengobatan;
(2) mempengaruhi dan intervensi prilaku seksual resiko tinggi dan penguna
narkoba suntik; (3) meningkatkan jangkauan hingga sebanyak mungkin
ODHA dan penguna narkotika suntik mendapatkan dukungan, perawatan
dan pengobatan dengan di sertai layanan konseling dan pemeriksaan
26

sukarela Voluntary Counselling and Testing (VCT) yang bermutu, ramah


dan manusiawi.
10) Efikasi
Pengobatan antiretroviral dilakukan secara berkesinambungan. Penderita
diharapkan memperoleh hasil maksimal dan efikasi klinis, virologis dan
imunologis yang nyata. Penderita perlu ikut berpartisipasi dalam mengikuti
perubahan klinis sehingga dapat membantu memperoleh efikasi terapi
secara optimal.

2.1.10.3 Cara Pencegahan HIV/AIDS


Pencegahan HIV/AIDS menurut (Keller Dwiyanti, 2019) yaitu :
1. Hindari perilaku berisiko, seperti hubungan seksual berisiko atau
menggunakan narkoba jarum suntik
2. Bila sudah melakukan perilaku berisiko tersebut, segera lakukan tes HIV
3. Bila tes HIV negative, lakukan perilaku aman untuk mencegah tertular
HIV
4. Bila tes HIV positif, jalani hubungan seksual yang aman, menggunakan
pengaman (kondom), serta menghindari penggunaan jarum suntik
bergantian adalah pilihan terbaik
5. Minum obat ARV sesuai dengan petunjuk dokter agar hidup tetap
produkktif.

Virus HIV dapat diisolasikan dari cairan semen, sekresi


serviks/vagina,limfosit, sel-sel dalam plasma bebas, cairan serebrospinal, air mata,
saliva, air seni dan air susu ibu. Namun tidak semua cairan tersebut dapat
menjalarkan infeksi karena konsentrasi virus dalam cairan-cairan tersebut sangat
bervariasi jenisnya. Sampai saat ini hanya darah dan air mani/cairan semen dan
sekresi serviks/vagina yang terbukti sebagai sumber penularan serta ASI yang
dapat menularkan HIV dari ibu ke bayinya. Karena itu HIV dapat tersebar melalui
hubungan seks baik homo maupun hetero seksual, penggunaan jarum yang
tercemar pada penyalahgunaan jarum yang tercemar pada penyalahgunaan
NAPZA, kecelakaan kerja pada sarana pelayanan kesehatan misalnya tertusuk
jarum atau alat tajam yang tercemar, transfuse darah, donor organ, tindakan medis
27

invasif. Virus ini tidak ada yang membuktikan bahwa dapat menularkan melalui
kontak social, alat makan, toilet, kolam renang, udara ruangan, maupun oleh
nyamuk/serangga (Wahyuny & Susanti, 2019).

2.1.11 Konsep asuhan keperawatan pada kasus HIV/AIDS


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit HIV AIDS merupakan
tantangan yang besar bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk
menjadi sasran infeksi ataupun kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit
oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan etika. Rencana keperawatan bagi
penderita AIDS harus disusun secara individual untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing pasien (Brunner dan suddarth, 2013). Pengkajian pada pasien HIV
AIDS meliputi:

2.1.12.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
2. Keluhan utama.
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui
keluahn utama sesak nafas. Keluahn utama lainnya dirtemui pada pasien
penyakit HIV AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 3
bulan), diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus,
penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan,
infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur candida
albikans,pembekakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, munculnya
herpes zooster berulang dan bercak-0bercak gatal diesluruh tubuh.
3. Riwayat kesehatan sekarang.
Dapat ditemukan keluhan yang baisanuya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyreri dada, dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.
4. Riwayat kesehatan dahulu
28

Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya


riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang
terinfeksi HIV. Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat
pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat hiburan malam,
bekerja sebagai PSK (pekerja seks komersial).
6. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :
a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat.
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS akan mengalami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien
kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.
b. Pola nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV / AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis dalam jangka waktu singkat
(terkadang lebih dari 10% BB).
c. Pola eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, feses encer, disertai mucus berdarah
d. Pola istrihat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/ AIDS pola istrirahat dan tidur
mengalami gangguan karena adanya gejala seperti demam daan
keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga didukung oleh
perasaan cemas dan depresi terhadap penyakit.
e. Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS aktifitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya
29

seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka menarik diri dari


lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi
terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
f. Pola prespsi dan kosep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan mara, cemas,
depresi dan stres.
g. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan
dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan
daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal.
Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami
halusinasi.
h. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpesonal yaitu pasien merasa malu
atau harga diri rendah.
i. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisa
dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu
perawtan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain,
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif dan adaptif.
j. Pola reproduksi skesual
Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitasnya terganggu
karean penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan
seksual.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awalnya akan
berubah, karena mereka menganggap hal yang menimpa mereka
sebagai balasan perbuatan mereka. Adanya status perubahan kesehatan
30

dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai kepercayaan pasien


dalam kehidupan mereka dan agama merupakan hal penting dalam
hidup pasien.
7. Pemeriksaan fisik
a. Gambaran umum : ditemukan pasien tampak lemah
b. Kesdaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan
tingkat kesadaran, apatis, somnolen, stupor bahkan koma.
c. Vital sign : TD; biasanya ditemukan dalam batas normal, nadi;
terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat, pernapasan :
biasanya ditemukn frekuensi pernapasan meningkat, suhu; suhu
biasanya ditemukan meningkat krena demam, BB ; biasanya
mengalami penrunan(bahkan hingga 10% BB), TB; Biasanya tidak
mengalami peningkatan (tinggi badan tetap).
d. Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
e. Mata : biasnay konjungtifa anemis , sce;era tidak ikterik, pupil
isokor,refleks pupil terganggu
f. Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung
g. Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur criptococus neofarmns)
h. Gigi dan mulutr : biasany ditemukan ulserasi dan adanya bercak-
bercak putih seperti krim yang menunjukan kandidiasis
i. Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan
j. Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS yang
disertai dengan TB napas pendek (cusmaul)
k. Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
l. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya
tandatanda lesi (lesi sarkoma kaposi)
m. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun,
akral dingin
31

2.1.12.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita HIV AIDS
yaitu:

1. Intoleransi aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan,


efek samping pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran
gas (sekunder terhadap infeksi paru atau keganasan).
2. Bersihan jalan napas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan
penurunan energi, kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial,
keganasan paru, dan pneumotoraks.
3. Kecemasan, adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas,
persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.
4. Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis,
alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
5. Ketegangan peran pemberi perawatan (aktual atau risiko) berhubungan
dengan keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang
tidak dapat diprediksi atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan
penerima perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan
fisik yang tidak adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya
waktu santai dan rekreasi bagi pemberi perawatan, serta kompleksitas
dan jumlah tugas perawatan
6. Konfusi (akut atau kronis) berhubungan dengan infeksi susunan saraf
pusat (misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma, dan
perkembangan HIV.
7. Koping keluarga berkaitan dengan ketidakmampuan untuk berhubungan
dengan informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat
tentang penyakit kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara
kronis.
8. Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam
situasi krisis (misalnya penyakit terminal).
9. Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi.
32

10. Kurangnya aktivitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau


lamanya pengobatan medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu
yang lama, bed rest yang lama
11. Kelelahan, berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan
psikologis dan emosional yang sangat banyak.
12. Takut, berhubungan dengan ketidakberdayaan, ancaman yang nyata
terhadap kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, dan
kemungkinan kematian.
13. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat sekunder terhadap lesi oral dan diare.
14. Berduka disfungsional/diantisipasi, berhubungan dengan kematian atau
perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh
perubahan penampilan, dan ditinggal mati oleh orang yang berarti orang
terdekat).
15. Perubahan pemeliharaan rumah, berhubungan dengan sistem
pendukung yang tidak adekua, kurang pengetahuan, dan kurang akrab
dengan sumber-sumber komunitas
16. Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan
prognosis yang buruk.
17. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi seluler.
18. Risiko penyebaran infeksi (bukan diagnosis NANDA) faktor risiko:
sifat cairan tubuh yang menular.
19. Risiko injuri (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan,
perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
20. Pengelolaan pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan
kompleksitas bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang
penyakit, obat, dan sumber komunitas, depresi, sakit, atau malaise.
21. Ketidakseimbangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan
dengan kesulitan mengunyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan
esofagus, malabsorbsi gastrointestinal, dan infeksi oportunistik
(kandidiasis dan herpes).
33

22. Nyeri akut, berhubungan dengan: perkembangan penyakit, efek


samping pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap
infeksi SSP (Sistem Saraf Pusat). neuropati perifer, dan mialgia parah.
23. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan
pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
24. Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental,
makan/ minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan
dan ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/kronis.
25. Harga diri rendah (kronis dan situasional), berhubungan dengan
penyakit kronis dan krisis situasional.
26. Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan
dengan kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan
penglihatan akibat infeksi CMV.
27. Pola seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang
lebih aman. takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan
seks, impoten sekunder akibat efek obat.
28. Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan
jaringan sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi perineum
sekunder akibat diare dan lesi (kandidiasis dan herpes), dan kerusakan
mobilitas fisik.
29. Perubahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam
hari. obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, dan purus
obat heroin kokain).
30. Isolasi sosial, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain
terhadap penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran
HIV, moral. budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri
dan gambaran diri
31. Distres spiritual, berhubungan dengan tantangan sistem keyakinan dan
nilai dan tes keyakinan spiritual
32. Adanya risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti
adanya ide bunuh diri akibat rasa keputusasaan. (Nursalam dan
Kurniawati, 2013)
34

2.1.12.3 Implementasi Keperawatan


Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan atau
intervensi.

2.1.12.4 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan dilakukan sesusai dengan kriteria hasil yang
ditetapkan.

2.2 Konsep Emfisema


Berikut disajikan konsep emfisema yang meliputi definisi, klasifikasi,
patogenesis, patofisiologi, penilaian radiologis pada emfisema, hubungan HIV
dengan terjadinya emfisema.

2.2.1 Definisi
Emfisema berasal dari bahasa Yunani, emphysaein yang berarti
mengembang dan didefinisikan menjadi pelebaran abnormal menetap ruang
udara (alveoli distal terhadap bronkiolus terminal) disertai kerusakan
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata (Macnee W, Vestbo J, Agusti A., 2016).
Pelebaran menetap disertai kerusakan alveoli dapat mengurangi aliran udara
ekspirasi maksimal akibat daya rekoil elastik paru berkurang. Pelebaran ruang
udara tanpa disertai kerusakan disebut sebagai overinflation (Wright JL,
Churg A., 2011).

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru


dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal
bronkhiolus terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli Kondisi
ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat
selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami gejala
emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen
(irreversible) yang disertai dengan bronkhitis obstruksi kronis. Kondisi ini
merupakan penyebab utama kecacatan (Muttaqin, 2012).

2.2.2 Patologi
Pada emfisema paru, terdapat pelebaran secara abnormal saluran udara
sebelah distal bronkus terminal yang disertai kerusakan dinding alveolus.
35

Tabel 2.4. Patologi Emfisema

Pembagian Klinis
Paracicatricial Terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan
dinding alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru
Lobular Pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding
alveolus dia sinus atau lobulus sekunder
Pembagian menurut lokasi tempat proses
Sentrolobular Kerusakan terjadi di daerah Sentral asinus. Daerah
distalnya tetap normal.
Panlobular Kerusakan terjadi diseluruh asinus.
Tak dapat ditentukan Kerusakan terdapat diseluruh asinus, tetapi tidak dapat
ditentukan dari mana mulainya.
(Muttaqin, 2021)

2.2.3 Etiologi
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan
yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa
(FEV) (Nowak, 2004).
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak
pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan
secara autosom resesif Orang yang sering menderita emfisema
paru adalah penderita yang memiliki gen S atau 2 Emfisema paru akan
lebih cepat timbul bila
penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan
atas pada seorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu
menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan
paru bertambah. Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering
36

diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi


sekunder oleh bakteri
4. Hipotesis Elastase-Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada
jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah
emfisema
Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel PMN, dan
makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage—PAM).
Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi
menyebabkan elastase bertambah banyak Aktivitas sistem antielastase,
yaitu sistem enzim alfa 1 protease-inhibitor terutama enzim alfa l-
antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak
ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan
menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema.
(Muttaqin, 2012)

2.2.4 Patogenesis
Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada klien
emfisema, yaitu sebagai berikut

1. Hilangnya elastisitas paru


Protease (enzim paru) mengubah alveoli dan saluran napas kecil dengan cara
merusakkan serabut elastin, sebagai akibatnya adalah kantong alveolar
kehilangan elastisitasnya dan jalan napas kecil menjadi kolaps atau
menyempit Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi
membesar
2. Hiperinflasi paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru kembali kepada posisi istirahat
normal selama ekspirasi
3. Terbentuknya bullae
37

Dinding alveolar membengkak dan sebagai kompensasinya membentuk


suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan
sinar-X
4. Kolaps jalan napas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak
akan menyebabkan kolapsnya jalan napas (alveoli). (Somantri, 2012)

2.2.5 Tipe Emfisema


Terdapat tiga tipe dari emfisema yaitu sebagai berikut.
a. Emfisema Centriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus,
biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus
tetapi biasanya kantong alveolar tetap bersisa.
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada
paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema,
sangat sering timbul pada seorang perokok.
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari
blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab
dari pneumotorak spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien
dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi
peningkatan dispnea dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul
korpulmonal (CHF bagian kanan). (Somantri, 2012)

2.2.6 Manifestasi Klinik


a. Penampilan Umum
 Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
 Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium
akhir
b. Usia 65-75 tahun.
c. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
38

Pada klien emfisema paru akan ditemukan tanda dan gejala seperti berikut
ini.
 Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea.
 Infeksi sistem respirasi.
 Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan
napas dalam
 Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
 Produksi sputum dan batuk jarang
 Hematokrit < 60%.
d. Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung. Kor pulmonal timbul pada stadium
akhir
e. Riwayat merokok
Biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat merokok. (Somantri,
2012)

2.2.7 Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding
alveolar. Dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan
udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara
alveoli, kolaps jalan napas sebagian dan kehilangan elastisitas rekoil Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolar (blebs dan
di antara parenkim paru (bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan
ventilatori pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau
darah (Somantri, 2012).

Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru


untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan
perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema
dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal
39

kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis dan


merokok (Somantri, 2012).

Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang


berlebihan, kehilangan rekoil alastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta
penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien
dengan emfisema (Muttaqin, 2012).

Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik


jaringan paru ke luar disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)
dengan tekanan yang menarik (yang jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).
Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk
disebut sebagai functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas
paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih
besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal
sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup
(Muttaqin, 2012).

Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan


lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan
menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi
yang tidak seimbang. Namun, semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin
saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang tidak ada, tetapi perfusinya baik
sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama
dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi
dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama) (Muttaqin, 2012).

Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami


kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam
darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding
alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaring kapiler pulmonal berkurang.
Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal. Dengan
40

demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen),
distensi vena jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung (Nowak, 2004).

Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu


melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis
menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah.
Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh
peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru.
Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan


negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini
membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yang berdampak pada kekakuan
dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada
perubahan bentuk dada di mana rasio diameter AP:Transversal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena
adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang,

Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang
belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung.
Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-
otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi
mengakibatkan bahu melengkung ke depan.

Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat
inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi
normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memungkinkan terjadi. Kapasitas
vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dari volume ekspirasi kuat dalam 1
detik dengan kapasitas vital (FEV, VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas
alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi klien untuk
41

menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang
menyempit meningkatkan upaya pernapasan (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.1.12 Konsep asuhan keperawatan pada kasus Emfisema


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit Emfisema dimulai dari
pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi:

1. Anamnesis
Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan (onset)
yang membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk
kronis yang lama, mengi, serta napas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-
gejala diperburuk oleh infeksi pernapasan. Perawat perlu mengkaji obat obat
yang biasa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih
relevan untuk digunakan kembali.
2. Pemeriksaan Fisik Fokus
- Inspeksi: Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha
dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada
inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest
(akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektif dan
penggunaan otot-otot bantu napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan
sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama
infeksi pernapasan
- Palpasi: Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun
- Perkusi: Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menurun
- Auskultasi: Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon
dioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada
42

waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun seperti membungkuk untuk


mengikatkan tali sepatu mengakibatkan dispnea dan keletihan dispnea
eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontrak saat
ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi
yang dihasilkannya. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi
akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjado kelemahan
merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami
distensi selama ekspirasi.
3. Pemeriksaan Diagnostik
- Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri) : Pengukuran fungsi paru biasanya
menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan volume residual
(RV), Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi
paksa (FEV Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien
dalam mendorong udara ke luar den paru.
- Pemeriksaan Laboratorium: Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal
pada tahap awal penyakit. Dengan berkembangnya penyakit pemeriksaan
gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan
hiperkapnea
- Pemeriksaan Radiologis: Rontgen thoraks menunjukkan adanya
hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran margin interkosta. dan
jantung sering ditemukan bagai tergantung (heart till drop).

Gambar 2.2. Perubahan dalam struktur thoraks pada pasien emfisema


43

4. Penatalaksanaan Medis

Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati
pada awal timbulnya ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum
menyebabkan infeksi tersebut adalah S. pneumonia, H.influenzae, dan
Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, amficilin,
amoxicilin atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan.
Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernapasan seperti
yang dibuktikan dengan adanya sputum purulen baruk meningkat dan demam.

- Kortikosteroid : Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam


pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan
bronkhiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak
menunjukkan hasil Prednison biasanya diresepkan. Dosis disesuaikan
untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping
jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu
makan Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak
- Oksigenasi: Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada
klien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan Pao, hingga antara 65 dan 80 mmHg
Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari dengan
24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien
dan memperbaiki kualitas hidup klien.
5. Diagnosis Keperawatan
a.) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan
menurunnya kemampuan batuk efektif.
b.) Risiko tinggi infeksi pernapasan yang berhubungan dengan akumulasi
sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
c.) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan peningkatan kerja
pernapasan, hipoksemia secara reversible/menetap.
44

d.) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
e.) Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum,
keletihan.
f.) Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas).
g.) Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

3. Hubungan HIV Dengan Terjadinya Emfisema


Pasien dengan HIV/AIDS rentan mengalami berbagai penyakit
oportunistik pada paru, terutama infeksi dan keganasan. Gangguan sistem
pernapasan pada pasien HIV/AIDS merupakan salah satu penyebab morbiditas
dan mortalitas yang penting, bahkan pada pasien-pasien yang rutin mendapat
terapi antivirus (P.A. Fishman , et al., 2018). Berbagai macam kelainan paru
oportunisitik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS dapat dideteksi dengan
pemeriksaan foto toraks.

Orang dengan HIV/AIDS seringkali menderita penyakit oportunistik paru


seperti emfisema. Emfisema adalah suatu penyakit obstruktif paru yang bersifat
kronis dan progresif, ditandai dengan adanya kelainan anatomis berupa pelebaran
rongga udara distal pada bronkiolus terminal dan kerusakan parenkim paru
(Jonathan S., et al., 2019). Hal ini disebabkan karena adanya infeksi virus HIV
yang menyerang saluran pernafasan sehingga terjadi infeksi pada saluran
pernafasan dan obstruksi organ pernafasan yaitu bronkus maupun alveolus.
Kemudian mengakibatkan kapasitas ventilasi menjadi menurun, suplai oksigen
menurun dan kerja nafas meningkat sehingga pasien merasa sesak nafas. Selain
itu, emfisema paru merupakan masalah kesehatan global saat ini, sehingga
keterlambatan diagnosis dan pengobatan dapat berimplikasi pada kesehatan
masyarakat secara umum (Gold JA, et. al., 2018).
45

Pada populasi umum, PPOK yang dominan emfisema dikaitkan dengan


gangguan status kesehatan dan peningkatan risiko keganasan paru (Wilson DO, et
al, 2018). Infeksi HIV dikaitkan dengan peradangan kronis, disfungsi endotel,
koagulasi yang berubah, dan aktivasi kekebalan, yang dikaitkan erat dengan
komorbiditas dan kematian dini, bahkan pada pasien HIV dengan pengobatan
ARV (Neuhaus J, et al., 2019). Jumlah CD4 yang rendah dapat menyebabkan
kerusakan fungsi kekebalan yang tidak dapat diperbaiki sepenuhnya dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor risiko emfisema karena disfungsi kekebalan,
infeksi paru sebelumnya, atau perancu lain yang tidak terukur (Siddique MA, et
al., 2016). Jumlah CD14 merupakan penanda penting dari hasil radiografi
emfisema pada orang dengan infeksi HIV dan mendukung hipotesis bahwa
translokasi mikroba dan aktivasi monosit mungkin terlibat dalam patogenesis
emfisema pada HIV (Siddique MA, et al., 2016). Tingkat keparahan emfisema
pasien HIV lebih cenderung pada paru-paru bagian bawah dan emfisema difus.
Hal ini karena aliran darah cenderung lebih besar di segmen paru basal dan
dependen, disfungsi endotel dalam pengaturan aktivasi kekebalan terkait HIV
kronis dapat menyebabkan keterlibatan paru-paru bagian bawah yang lebih besar
dan emfisema difus (Murray JF, Nadel JA., 2016).

Sebagai kesimpulan, dalam penelitian Engi F. Attia, et. al., (2014)


menemukan bahwa infeksi HIV merupakan faktor risiko independen untuk
emfisema di era ARV saat ini. Keparahan emfisema radiografi secara keseluruhan
secara signifikan lebih besar di antara orang dengan infeksi HIV. Hubungan HIV
dengan emfisema muncul dimediasi oleh jumlah CD4, menunjukkan peran
penting untuk aktivasi kekebalan pada patogenesis emfisema pada HIV. Selain
itu, di antara mereka dengan HIV, jumlah CD4 200 sel/mL dan peningkatan CD4
cenderung ke arah peningkatan zona paru-paru bagian bawah dan emfisema difus
pada individu dengan infeksi HIV lebih lanjut menunjukkan bahwa mekanisme
terkait vaskular mungkin penting (Engi F. Attia, et. al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai