Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOSEROLOGI

PEMERIKSAAN HIV

DISUSUN OLEH

NAMA : CHINDI OLYVIA MANIHIYA

NPM : 85AK17004

KELAS : A

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA MANDIRI
GORONTALO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan dengan judul pratikum

“Pemeriksaan HIV".

Penyusunan laporan ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas dari

mata kuliah Imunoserologi. Dalam penyusunan laporan ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada pihak yang telah membantu atau membimbing dalam

penyusunan laporan ini.

Penulis mengharapkan semoga laporan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi

kemajuan ilmu pada umumnya dan kemajuan bidang pendidikan pada khususnya.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, dimohonkan kritik dan saran dari pembaca.

Gorontalo, 17 Mei 2019

Penulis

7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sexual Transmitted Disease (STD) atau yang lebih dikenal dengan

penyakit menular seksual (PMS) adalah penyakit infeksi yang ditularkan

melalui hubungan seksual. Sebagian besar PMS dapat ditularkan melalui

hubungan seksual antara penis, vagina, anus dan atau mulut. Contoh penyakit

ini adalah sifilis, herpes, gonorrhea, AIDS, dan lainnya. STD disebabkan oleh

berbagai jenis agen infeksi, seperti bakteri, virus (baik virus yang memiliki

asam nukleat DNA atau RNA), jamur dan parasit. Penyakit ini dapat

menimbulkan akibat yang cukup serius bahkan dapat menyebabkan kematian.

Salah satu penyakit menular tersebut yaitu AIDS (Acquired Immuno-

Deficiency Syndrome), AIDS adalah suatu keadaan akibat menurunnya sistem

kekebalan tubuh secara bertahap disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai

HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau lebih tepat yaitu Human T-Cell

Lymphdenopathy Associated Virus (LAV). Infeksi HIV bisa terjadi bila virus

tersebut atau sel-sel yang terinfeksi virus masuk ke dalam aliran darah.

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, penderita yang telah terinfeksi HIV,

akan terinfeksi lebih lanjut dengan bakteri, virus, atau protozoa yang

menyebabkan multiplikasi AIDS virus pada penderita tersebut (Ratih W,U.

2012).

HIV terbagi atas dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Penderita AIDS pada

umumnya terinfeksi oleh HIV-1. HIV-2. HIV-1 dan HIV-2 serupa dari segi

8
morfologi dan tipe infeksinya. Perbedaan yang mencolok dari kedua tipe HIV

ini adalah HIV-1 lebih reaktif dari HIV-2. Selain itu, antigen yang reaktif

terhadap core protein HIV-1 tidak reaktif terhadap core protein HIV-2, begitu

pun sebaliknya. Perbedaan lainnya adalah HIV-1 merupakan tipe yang lebih

virulen dan merupakan penginfeksi yang umum pada penderita AIDS seluruh

dunia dibandingkan dengan HIV-2 (Ratih W,U. 2012).

Adanya infeksi HIV dapat dideteksi secara kualitatif dengan metode

Imunokromatography Rapid Test sebagai screening test untuk membantu

diagnosa AIDS dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk

penegakkan diagnose penyakit HIV yang lebih akurat (Ratih W,U. 2012).

Berdasarkan penjelasan diatas maka dilakukan pemeriksaan HIV dengan

metode immunochromatogrphy menggunakan rapid diagnostic test HIV,

kelebihan dan kekurangannya serta factor yang mempengaruhi pemeriksaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana prosedur pemeriksaan HIV menggunakan rapid diagnostic test

HIV dengan metode immunochromatogaphy ?

2. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan HIV ?

1.3 Tujuan Praktikum

1. Mengetahui prosedur pemeriksaan HIV menggunakan rapid diagnostic test

HIV dengan metode immunochromatogaphy ?

2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pemeriksaan HIV ?

9
1.4 Manfaat

Agar mahasiswa terampil dalam melakukan pemeriksaan HIV berdasarkan

metode yang digunakan.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV dan AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan suatu keadaan akibat

menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap. Virus HIV

diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus

ini adalah RNA yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse

transcriptase untuk menginfeksisel mamalia (Maryam S, 2010).

Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan

hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain

yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan

monosit juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4 dal

am tubuh manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih

yang berperandalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga ini

meningkatkan probabilitas seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik

(Maryam S, 2010).

2.2 Struktur HIV

Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut,

dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti

virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid

p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse

transcriptase dan integrase. Protein p24 adalah antigen virus yang cepat

11
terdeteksi dan merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus

dikelilingi oleh matriks protein dinamakan p17, yang merupakan lapisan di

bawah selubung lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung dua

glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV dalam sel yaitu

gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen gag, pol, dan env yang akan

mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein prekursor yang besar

dan harus dipotong oleh protease menjadi protein mature (Wibowo H, 2011).

2.3 Jenis Virus HIV

Terdapat 2 jenis virus HIV penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.

Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling

banyak ditemukan diseluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika

Barat (Ratih W,U. 2012).

Berdasarkan susuanan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok

utama, yaitu, M (main), N (New atau non-M, non-O), dan O (Outlier).

Kelompok M yang dominan terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K).

Sementara pada kelompok N dan O belum diketahui secara jelas jumlah

subtipe virus yang tergabung di dalamnya. Namun, kedua kelompok tersebut

memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse. HIV-2 memiliki 2 jenis

subtype tipe A-F (Ratih W,U. 2012).

2.4 Mekanisme HIV Menginfeksi Tubuh

Virus memasuki tubuh terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul

protein CD4. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah

limfosit T. Sel target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrite, sel

12
langerhans dan sel microglia. Ketika HIV masuk tubuh, glycoprotein (gp 120)

terluar pada virus melekatkan diri pada reseptor CD4 (cluster of

differentiation 4), protein pada limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel

dendritik dan mikroglia otak. Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan

gp41. Sub unit 120 mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 dan

bertanggung jawab untuk ikatan awal virus pada sel. Perlekatan ini

menginduksi perubahan konformasi yang memicu perlekatan kedua pada

koreseptor. Dua reseptor kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah

CCR5 dan CXCR4. Ikatan dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan

konformasi pada sub unit glikoprotein 41 (gp41) yang mendorong masuknya

sekuens peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus

(Wibowo H, dkk. 2011).

Setelah terjadinya fusi, virus tidak berselubung mempersiapkan untuk

mengadakan replikasi. Material genetik virus adalah RNA single stand-sense

positif (ssRNA), virus harus mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara

optimal pada replikasi sel manusia (transkripsi normal terjadi dari DNA ke

RNA, HIV bekerja mundur sehingga diberi nama retrovirus). Untuk

melakukannya HIV dilengkapi dengan enzim unik RNA-dependent DNA

polymerase (reverse transcriptase). Reverse transcriptase pertama membentuk

rantai DNA komplementer, menggunakan RNA virus sebagai templet. Hasil

sintesa lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA) dipindahkan ke dalam

inti dan berintegrasi ke dalam kromoson sel tuan rumah oleh enzim integrase.

Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah, pertama HIV dapat

13
menyebabkan infeksi kronik dan persisten, umumnya dalam sel sistem imun

yang berumur panjang seperti T limfosit memori. Kedua, pengintegrasian

acak menyebabkan kesulitan target. Selanjutnya integrasi acak pada HIV ini

menyebabkan kelainan seluler dan mempengaruhi apoptosis (Wibowo H,

dkk. 2011).

Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami replikasi,

transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi

provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan pada mRNA sehingga terjadi

pembentukan protein virus. Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan

dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai protein virus seperti Tat, Nef

dan Rev. Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV, mengikat pada

bagian DNA spesifik yang memulai dan menstabilkan perpanjangan

transkripsi. Belum ada fungsi yang jelas dari protein Nef. Protein Rev

mengatur aktivitas post transkripsional dan sangat dibutuhkan untuk reflikasi

HIV (Wibowo H, 2011).

Perakitan partikel virion baru dimulai dengan penyatuan protein HIV

dalam sel inang. Nukleokapsid yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus

disusun dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini kemudian

dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu

melalui proses ”budding” (Wibowo H, 2011).

2.5 Patogenesis

Sel T yang telah diinfeksi oleh HIV akan berada di kelenjar getah bening

sehingga mencapai ambang replikasi yang akan dicapai dalam 2-6 minggu.

14
Seterusnya berlaku pengeluaran plasma viremia. Proses ini dikatakan infeksi

HIV primer. Virus akan mula menyebar ke seluruh tubuh. Puncak viremia

akan menurun secara spontan selepas 2-4 minggu disebabkan respon imun

primer terhadap HIV. Walaupun plasma viremia ditekan setelah serokonversi,

virus HIV masih terdapat dalam tubuh dan genom HIV dapat ditemukan

dalam sel T. Setelah puncak viremia berkurang, sel CD4 akan kembali ke

tingkat dasar, tetapi tetap lebih rendah dari yang terlihat pada saat pre-infeksi

ini tahap dikatakan infeksi HIV kronik asimptomatik. Masa laten infeksi ini

berlaku selama 10 tahun (Ratih W,U. 2012).

Penurunan CD4 pada tahap kronik asimptomatik, membuktikan bahwa virus

HIV membunuh sel CD4 melalui cara lisis. Kematian sel yang telah diinfeksi

oleh HIV juga disebabkan oleh limfosit CD8 sitotoksik. Efektivitas sel T

sitotoksik ini terbatas karena protein virus yaitu tat dan nef akan

mengurangkan sintesa protein MHC kelas I. Hipotesa lain yang menerangkan

tentang kematian sel T helper adalah HIV berfungsi sebagai superantigen. Ini

akan mengaktivasikan sel T helper lain dan sehingga sel yang diinfeksi oleh

HIV mati. Infeksi sel limfosit dan produksi HIV berlaku secara berterusan.

Maka, apabila sel CD4 kurang dari 200 x 109/l, ini menyebabkan

imunosupresi yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik (Ratih W,U.

2012).

2.6 Penularan

HIV dapat ditemukan di darah dan cairan tubuh manusia seperti semen dan

cairan vagina. Virus ini tidak dapat hidup lama di luar tubuh, maka untuk

15
transmisi HIV perlu ada penukaran cairan tubuh dari orang yang telah

terinfeksi HIV (Yanti, dkk. 2015).

Menurut Yanti, dkk. 2015 Cara penularan HIV dan cara HI tidak dapat

ditularkan yaitu :

2.6.1 Cara menular virus ini paling banyak adalah melalui kontak seksual,

jarum suntik, dan dari ibu keanak.

a. Hubungan seksual

Secara global, penularan virus HIV paling banyak berlaku melalui

heteroseksual.

b. Pengguna narkoba jarum suntik

Pengguna narkoba jarum suntik adalah kelompok risiko tinggi

untuk mendapat HIV. Bertukaran penggunaan jarum suntik secara

bergantia adalah cara yang efisien untuk transmisi virus yang

menular melalui darah seperti HIV dan Hepatitis C. Cara ini akan

meningkatkan risiko tiga kali lebih besar dari pada transmisi HIV

melalui hubungan seksual.

c. Penularan dari ibu ke anak

Wanita hamil yang mempunyai HIV boleh mentransmisi virus ini

saat hamil, partus dan saat menyusui. Penularan selama menyusui

biasanya terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran.

d. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah terinfeksi

dengan virus HIV.

16
e. Infeksi di tempat kesehatan

Hospital dan klinik harus berhati-hati dalam pencegahan

penyebaran infeksi melalui darah.

2.6.2 Terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain.

a. Bekerja atau berada di sekeliling penderita HIV/AIDS.

b. Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau

melalui hal-hal sehari-hari seperti berbagi makanan.

c. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

2.7 Gejala Klinis

Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan,

ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai

dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi

oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum

(terutama sarcoma Kaposi) (Suseno C, dkk. 2015).

Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh

gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan,

malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah

(kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran

pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama

kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan

timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang,

rata-rata sekitar 10 tahun (Suseno C, dkk. 2015).

17
Menurut Suseno C, dkk. 2015. Terdapat empat stadium klinik pada pasien

yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut :

Tabel 2.7 Stadium klinik HIV (Suseno C, dkk. 2015).

Stadium 1 : Asimtomatik

Tidak ada penurunan berat badan.

Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten.

Stadium 2 : Sakit ringan

Penurunan berat badan 5-10%.

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis.

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir.

Luka disekitar bibir (keilitis angularis).

Ulkus mulut berulang.

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular

eruption)).

Dermatitis seboroik.

Infeksi jamur kuku.

Stadium 3 : Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%.

Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan.

Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia.

TB Paru dalam 1 tahun terakhir.

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll).

TB limfadenopati.

18
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut.

Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis

(<50.000/ml).

Stadium 4 : Sakit berat

Sindroma wasting HIV.

Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang.

Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal.

TB Extraparu.

Sarcoma Kaposi.

Retinitis CMV (Cytomegalovirus).

Abses otak Toksoplasmosis.

Encefalopati HIV.

Meningitis Kriptokokus.

Infeksi mikobakteria non-TB meluas.

Lekoensefalopati multifocal progresif (PML).

Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas,

histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis).

Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis

dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV).

Kanker serviks invasive.

Leismaniasis atipik meluas.

Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV.

19
2.8 Respon Imun Tubuh Terhadap Virus HIV
Respon imun merupakan hasil kerjasama antara sel-sel yang berperan

dalam respon imun itu sendiri. Sel-sel tersebut terdapat pada organ limfoid

seperti kelenjar limfe, sumsum tulang, kelenjar timus, dan limpa. Respon

imun ini akan mendeteksi keberadaan moleku-molekul asing dimana molekul

tersebut memiliki bentuk yang berbeda dengan molekul normal (Maryam S,

2010).

Menurut Maryam S, 2010. Respon imun terdiri dari respon imun spesifik

dan non spesifik.

2.8.1 Respon imun spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas

didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap

satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis

lain.

2.8.2 Respon imun non spesifik disebut juga komponen non adaptif atau

innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak

ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam

antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak individu dilahirkan dan

terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Perbedaanya dengan

pertahanan tubuh non spesifik adalah pertahanan tubuh spesifik harus

kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia

akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada

sebelum ia kontak dengan antigen. Bila respon imum non spesifik tidak

dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan

20
terangsang. Mekanisme pertahanan (respon imun) spesifik adalah

mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau

tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag.

Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik

disebut juga respons imun didapat (adaptive immunity).

Satu sampai tiga minggu pasca infeksi, ditemukan respon imun spesifik

HIV berupa antibodi terhadap protein gp 120 dan p24, juga ditemukan sel T

sitotoksik HIV yang spesifik. Dengan adanya respon imun yang adaptif

tersebut, viremia menurun dan tidak disertai gejala klinis. Hal ini berlangsung

2-12 tahun, dengan menurunnya jumlah CD4+ akan menunjukkan gejala

klinis. Dalam 3-6 minggu pascainfeksi ditemukan kadar antigen HIV p24

dalam plasma yang tinggi. Antibodi HIV spesifik dan sel T sitotoksik

menurun, sedangkan p24 meningkat. Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh

beberapa fase yang berakhir dengan defisiensi imun. Jumlah sel CD4+ dalam

darah mulai menurun di bawah normal 1500 sel/mm3 dan penderita menjadi

rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS (Maryam S, 2010).

Penderita AIDS membentuk antibodi dan menunjukkan respon Cytotoxic

T Lymphocyte (CTL) terhadap antigen virus. Namun respon tersebut tidak

mencegah progres penyakit. CTL juga tidak efektif membunuh virus karena

virus mencegah sel yang terinfeksi untuk mengekspresikan Mayor

Histompatibility Complex (MHC-1). Antibodi terhadap glikoprotein envelope

seperti gp 120 dapat inefektif, karena virus dengan cepat memutasi regio gp

120 yang merupakan sasaran antibodi. Respon imun HIV justru dapat

21
meningkatkan penyebaran penyakit. Virus yang dilapisi antibodi dapat

berikatan dengan (Fragmen crystalizable Receptor) Fc-R pada makrofag dan

sel dendritik di kelenjar limfoid, sehingga meningkatkan virus masuk ke

dalam sel-sel tersebut dan menciptakan reservoir baru. Bila CTL berhasil

menghancurkan sel terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih

banyak sel (Maryam S, 2010).

2.9 Pemeriksaan Laboratorium

Menurut Yanti, dkk. 2015. Pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:

2.9.1 Tes antibodi HIV dengan Rapid Test HIV

Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes

antibodi HIV yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV

akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut.

Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah,

saliva (liur), dan urin.

Digunakan rapid test untuk mendeteksi antibody HIV dari tetesan darah

ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel dari tubuh pasien tersebut

akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji test

strip dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan

muncul dua pita berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji

ini mencapai 99.6% namun semua hasil positif harus dikonfirmasi

kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibody HIV lain yang

dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Westren blot.

a. Kelebihan dari rapid test antibodi HIV ini yaitu

22
1. Hasil dapat diketahui dengan cepat.

2. Proses pengenceran sederhana dan mudah.

3. Pasien tidak memerlukan persiapan khusus.

b. Kelemahan dari rapid test antibodi HIV ini yaitu

1. Penyimpanan tes harus berada dalam suhu dingin.

2. Hanya merupakan uji skrining sehingga diperlukan pengujian

lanjutan terhadap pemeriksaan HIV.

2.9.2 Wester blot

Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi

rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot

menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik

(struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai

konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil

negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau

rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak

mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan

keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18

bulan.

2.9.3 Metode ELISA

Semua orang yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi

terhadap virus ini. Adanya antibodi ini dapat dideteksi dalam waktu 30

hari dengan metode ELISA. Tetapi sebagian besar akan terdeteksi

dalam waktu 3 bulan. Pada saat antibodi ini belum terbentuk pada

23
seseorang yang sudah terinfeksi, maka disebut periode jendela. Pada

periode ini, penularan sudah bisa terjadi. Untuk mengetahui ada

tidaknya antibodi ini maka dilakuakan pemeriksaan anti HIV. Selain

pemeriksaan anti HIV, parameter lain yang bisa dilakukan adalah

pemeriksaan CD4 dan viral load yang bertujuan untuk pemantauan

terapi.

2.10 Pencegahan Penularan HIV

Menurut Maryam S, 2010. Pencegahan penularan HIV yaitu :

2.10.1 Menggunakan kondom saat berhubungan seks.

2.10.2 Hindari penggunaan jarum suntik secara bergantian.

2.10.3 Hindari obat-obatan terlarang.

2.10.4 Jika positive HIV saat hamil, dapatkan perawatan.

2.11 Pengobatan HIV/AIDS

Menurut Maryam S, 2010. Pengobatan HIV/AIDS yaitu :

2.11.1 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Mematikan protein yang dbutuhkan oleh HIV untuk membuat

salinan dari dirinya sendiri. Contohnya termasuk efavireanz

(Sustiva), etravirine (Intelence) dan nevirapine (Viramune).

2.11.2 Nucleoside atau Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors

(NRTIs)

2.11.3 Protease Inhibotor (PI)

Menonaktifkan protease HIV, protein lain yang HIV perlu

membuat salinan dirinya sendiri. Contohnya termasuk atazanavir

24
(Reyataz), darunavir (Prezista), fosamprenavir (Lexiva) dan

indinavir (Crixivan).

2.11.4 Masuk atau inhibitor fusi

T block entri HIV kedalam sel T CD4. Contohnya termasuk

enfuvirtide (Fuzeon) dan maraviroc (Selzentry).

2.11.5 Integrasi inhibitor

Bekerja dengan melumpuhkan protein yang disebut integrasi,

yang digunakan HIV untuk memasukkan materi genetiknya ke sel T

CD4. Contohnya termasuk raltegravir (Isentress) dan dolutegravir

(Tivicay).

2.12 Definisi CD4

Pemeriksaan terhadap CD4 adalah sebuah pemeriksaan terhadap sel

darah putih atau limfosit pada seseorang. Letak CD4 berada dipermukaan

sel-sel darah putih manusia terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang

dengan sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena

berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangya

sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi

infeksi yang masuk ke tubuh manusia (Wibowo H, dkk. 2011).

Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik atau normal, nilai CD4

berkisar antara 500-1600. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan

terganggu (missal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama

semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol). Jumlah

25
CD4 pada penderit HIV yaitu <500. Dan jumlah CD4 yang dibolehkan

hamil pada wanita yang menderita HIV yaitu >350 (Wibowo H, dkk. 2011).

2.13 Faktor yang Mempengaruhi Pemeriksaan

Menurut Kandun N. 2008. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan HIV

yaitu :

2.11.1 Serum yang dicelupkan pada strip harus 10µl jika kurang dari itu

dikhawatirkan serum tidak dapat sampai pada bantalan garis control

sehingga tidak terbentuk garis pada line control.

2.11.2 Serum yang lisis, berlemak, ikterik (kuning pekat),

2.11.3 Waktu pembacaan yang lebih atau kurang dari 15 menit sehingga

dapat menyebabkan positif atau negative palsu.

26
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum yang berjudul “Pemeriksaan HIV” dilaksanakan pada tanggal 08

April 2019 di Laboratorium Farmakologi Stikes Bina Mandiri Gorontalo.

3.2 Metode

Metode Immunokromatography

3.3 Prinsip

Immunokromatography dimana membrane dilapisi oleh Ag-HIV

rekombinan pada garis tes. Pada saat serum diteteskan pada salah satu ruang

membrane, sampel akan bereaksi dengan partikel yang telah dilapisi dengan

protein A yang terdapat pada bantalan specimen. Selanjutnya campuran ini

akan bergerak secara kromatografi ke ujung lain membrane dan bereaksi

dengan Ag-HIV rekombinan yang terdapat pada garis tes. Jika serum atau

plasma mengandung Ab HIV-1/HIV-2 maka akan timbul garis warna pada

garis tes.

3.4 Pra Analitik

1. Konfirmasi jenis pemeriksaan.

a. Nama pasien lengkap.

b. Jenis kelamin, Usia.

c. Alamat, No telp, No Hp.

d. Tanggal / Jam pengambilan.

e. Jenis tes.

27
f. Nama pengambil bahan.

g. No MR.

h. Ruang.

2. Persiapan pasien.

Pasien dalam keadaan tenang, rilek dan kooperatif dan motivasi : sakit

sedikit, proses cepat dan diberi penjelasan perlu atau tidak untuk puasa.

3. Strategi Komunikasi

a. Mengucapkan salam.

b. Melakukan pendekatan secara professional

c. Melakukan wawancara utk konfirmasi data pasien secara singkat dan

lengkap.

d. Memberi penjelasan tentang tujuan dan proses pengambilan bahan

pemeriksaan.

e. Memberi penyuluhan kesehatan.

f. Mengucapkan terimakasih.

g. Persiapan alat dan bahan yang digunakan pada praktikum yaitu tabung

tutup merah, rapid test HIV, centrifuge, holder, disposible, tourniquet,

buffer HIV, kapas alkohol dan kering.

3.5 Analitik

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Mengambil darah vena dengan menggunakan holder dan disposable

kemudian dimasukkan darahnya pada tabung tutup merah.

3. Masukkan kedalam centrifuge dan diputar selama 15 menit.

28
4. Keluarkan dari dalam centrifuge.

5. Teteskan sebanyak 10 µl serum dan tambahkan 3 tetes buffer malaria pada

rapid dan ditunggu selama 10 menit.

6. Baca hasilnya setelah 10 menit.

3.6 Pasca Analitik

1. Reaktif (+) : Jika terdapat garis merah pada line control dan test.

2. Non-reaktif (-) : Jika terdapat garis merah pada line control (C).

3. Invalid : Jika tidak terdapat garis merah pada line control dan test

atau hanya terdapat garis pada line test.

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Adapun hasil yang didapat pada praktikum kali ini yaitu :

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan HIV


Sampel Perlakuan Hasil Keterangan

Serum Rapid Test Non Reaktif : Reaktif :

darah HIV Line control = 1 Line control = Terbentuk 1 garis

garis Line test = Terbentuk 1 garis

Line test = Tidak Non Reaktif :

terbentuk garis Line control = Terbentuk 1 garis

Line test = Tidak terbentuk garis

Invalid :

Line control = Tidak terbentuk

garis

Line test = Tidak terbentuk garis

atau timbul 1 garis

4.2 Pembahasan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan suatu keadaan akibat

menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap. Virus ini akan

membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan hilangnya imunitas

yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain yang mempunyai

30
protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan monosit juga dapat

diinfeksi oleh virus ini.

Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan HIV dengan metode

immunokromatography menggunakan rapid test HIV dan didapatkan hasil

non reaktif yang ditandai dengan timbul satu garis pada control line dan pada

test line tidak timbul garis merah. Dengan prinsip immunokromatography

dimana membrane dilapisi oleh Ag-HIV rekombinan pada garis tes. Pada saat

serum diteteskan pada salah satu ruang membrane, sampel akan bereaksi

dengan partikel yang telah dilapisi dengan protein A yang terdapat pada

bantalan specimen. Selanjutnya campuran ini akan bergerak secara

kromatografi ke ujung lain membrane dan bereaksi dengan Ag-HIV

rekombinan yang terdapat pada garis tes. Jika serum atau plasma

mengandung Ab HIV-1/HIV-2 maka akan timbul garis warna pada garis tes.

Infeksi HIV bisa terjadi bila virus tersebut atau sel-sel yang terinfeksi

virus masuk ke dalam aliran darah. Berdasarkan pemeriksaan

laboratorium, penderita yang telah terinfeksi HIV, akan terinfeksi lebih

lanjut dengan bakteri, virus, atau protozoa yang menyebabkan

multiplikasi AIDS virus pada penderita tersebut. Pemeriksaan HIV

menggunakan serum 10µl dengan buffer 3 tetes, penggunaan buffer pada

pemeriksaan dilakukan agar serum dapat sampai pada titik akhir bantalan

serta untuk mencegah adanya reaksi lain yang timbul selain reaksi antara

antibody dan antigen spesifik. Penggunaan serum dalam pemeriksaan

dilakukan karena memiliki zat antigen dan antibodi lebih banyak dari pada

31
plasma atau sel darah lainnya dan tidak memiliki kandungan fibrinogen

sehingga tidak mudah mengalami pembekuan. Sedangkan plasma darah

memiliki kandungan fibrinogen sehingga darah cepat mengalami pembekuan

yang bisa membuat reaksi kimia rusak dalam darah sehingga tidak efektif

digunakan untuk pemeriksaan. Serum yang baik untuk pemeriksaan yaitu

tidak lisis (rusaknya sel darah merah), tidak ikterik (kuning pekat dikarenakan

bilirubin yang tinggi), tidak ipemik (berlemak). Kelebihan RDT yaitu tes

diagnosis cepat (rapid diagnostic test) adalah alat yang mendeteksi antigen

HIV pada sampel darah yang sedikit dengan tes imunokromatografi,

sensitifitas dan spesifisitas tes diagnosis cepat (rapid diagnostic test) sangat

baik yaitu 99,6%, pasien tidak memerlukan persiapan khusus serta mudah

dibawah terutama untuk petugas lapangan. Sedangkan kekurangan

kekurangan RDT yaitu penyimpanan alat test harus berada dalam suhu

ruangan dingi, hanya merupakan uji skrining sehingga diperlukan pengujian

lanjutan terhadap pemeriksaan HIV. Factor yang mempengaruhi hasil

pemeriksaan yaitu serum yang ditetesi pada rapid harus 10µl dan buffer 3

tetes jika kurang dari itu dikhawatirkan larutan tidak dapat sampai pada

bantalan garis control sehingga tidak terbentuk garis pada line control, serum

yang lisis, berlemak, ikterik (kuning pekat), serta waktu pembacaan yang

lebih atau kurang dari 15 menit sehingga dapat menyebabkan positif atau

negative palsu, alat tes dan bahan yang expare.

32
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pemeriksaan HIV dengan rapid test HIV menggunakan metode

immunokromatography yang ditandai dengan timbulnya garis pada control

line dan test line, dimana membrane dilapisi oleh Ag-HIV rekombinan pada

garis tes akan bereksi dengan antibody dalam serum. Hasil yang didapat yaitu

non reaktif yang ditandai dengan timbul satu garis pada control line dan pada

test line tidak timbul garis merah. Factor yang mempengaruhi hasil

pemeriksaan yaitu serum yang ditetesi pada rapid harus 10µl dan buffer 3

tetes jika kurang dari itu dikhawatirkan larutan tidak dapat sampai pada

bantalan garis control sehingga tidak terbentuk garis pada line control, serum

yang lisis, berlemak, ikterik (kuning pekat), serta waktu pembacaan yang

lebih atau kurang dari 15 menit sehingga dapat menyebabkan positif atau

negative palsu, alat tes dan bahan yang expare.

5.2 Saran

Untuk praktikum selanjutnya sebaiknya menggunakan alat test yang masih

layak digunakan atau tidak expare agar kesalahan saat interpretasi hasil dapat

dicegah.

33
DAFTAR PUSTAKA

Kandun N. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus HIV di Indonesia. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Maryam S, 2010. Respon Imun Tubuh Terhadap Infeksi HIV. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Ratih W,U. 2012. Trategi Pemeriksaan Laboratorium Anti-HIV. Yogyakarta:


Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas.

Suseno C. Azali C, P. Putra R, R. Meinapuri M. 2015. Diagnosa Dini pada Infeksi


Hiv Tipe 1 dengan Menggunakan Tes Double-Detect Protein. Padang:
Universitas Andalas.

Wibowo H, A. Setiawaty V. Salwati E. 2011. Epidemology Molekuler Genotype


HIV-1 pada Orang dengan AIDS. Jakarta: Buku Penelit Kasehatan.

Yanti. Parwati I. Indrati A, R. Alam A. 2015. Validitas Pemeriksaan Antigen P24


HIV Metode Rapid Immunochromatography Terhadap Viral Load
RNAHIVMetode PCR. Bandung: Universitas Padjajaran.

34
LAMPIRAN

Gambar 1. Hasil Gambar 2. Sampel Gambar 3. Pelabelan


pemeriksaan HIV setelah dicentrifuge. sampel.

35

Anda mungkin juga menyukai