(IDENTIFIKASI JAMUR)
OLEH:
TAHUN 2018
I. JUDUL PRAKTIKUM : Identifikasi Jamur
II. TUJUAN
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui jenis-jenis jamur
B. Tujuan Khusus
1. Mampu mengidentifikasi jamur M.canis, Penisillium sp, M. gypseum, dan
Histoplasma capsulatum
2. Mampu mempelajari macam-macam jenis jamur
III.METODE
Pemeriksaan secara mikroskopis
IV. PRINSIP
Pengenalan struktur jamur dilakukan dengan identifikasi mikroskopis dari
preparat jadi yang didapat dari Universitas Indonesia. Sediaan apus kemudian
diamati di bawah mikroskop dengan pembesara 40x. Kemudian dilaporkan jenis
jamur apa yang didapatkan.
V. DASAR TEORI
Fungi atau jamur ada yang berbentuk uniseluler, tetapi umumnya berbentuk
filamen atau serat yang disebut hifa atau miselia. Beberapa jenis dapat
membentuk tubuh buah, yaitu kumpulan massa hifa menyerupai jaringan. Tidak
berklorofil, karena hidupnya secara saprofitik, beberapa parasitik, hidup bebas
atau bersimbiosi dengan jasad lain baik dengan alga (lichenes) ataupun dengan
tanaman tinggi (mikoriza) pada anggrek. Hidup tersebar secara luas, kadang
kadang kosmopolitan baik di udara, di dalam tanah, di dalam air dan pada bahan
bahan lainnya. (Hakiki 2016)
Fungi dibedakan menjadi dua golongan yakni kapang dan khamir. Kapang
(Mold) merupakan fungi yang berfilamen dan multiseluler, sedangkan khamir
(yeast) merupakan fungi bersel tunggal dan tidak berfilamen. Bagian tubuh
kapang berupa thallus yang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu miselium
dan spora. Miselium merupakan kumpulan beberapa filamen yang disebut hifa.
Bagian dari hifa yang berfungsi untuk mendapatkan nutrisi disebut hifa vegetatif.
Sedangkan bagian hifa yang berfungsi sebagai alat reproduksi disebut hifa
reproduksi atau hifa udara (aerialhypha), karena pemanjangannya mencapai
bagian atas permukaan media tempat fungi ditumbuhkan. (Hakiki 2016)
A. Penicillium sp
Penicillium sp. adalah genus fungi dari ordo Hypomycetes, filum Ascomycota.
Penicillium sp. memiliki ciri hifa bersepta dan membentuk badan spora yang
disebut konidium. Konidium berbeda dengan sporangim, karena tidak memiliki
selubung pelindung seperti sporangium. (Crystovel 2018)
Klasifikasi (Crystovel 2018)
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Ordo : Eurotiales
Family : Trichomaceae
Genus : Penicillium sp
Tangkai konidium disebut konidiofor, dan spora yang dihasilkannya disebut
konidia. Konidium ini memiliki cabangcabang yang disebut phialides sehingga
tampak membentuk gerumbul. Lapisan dari phialides yang merupakan tempat
pembentukan dan pematangan spora disebut sterigma. Beberapa jenis Penicillium
sp. yang terkenal antara lain P. notatum yang digunakan sebagai produsen
antibiotik dan P. camembertii yang digunakan untuk membuat keju biru
(Crystovel 2018)
Beberapa spesies Penicillium memproduksi
racun pada makanan/pakan ternak yang
menyebabkan keracunan pada manusia dan
binatang. Konidia Penicillium menyerupai
manik-manik kaca jika dilihat dengan
mikroskop. Banyaknya konidia yang berwarna
hijau, biru, atau kuning sangat berpengaruh
pada warna dari berbagai spesies Penicillium.
(Crystovel 2018)
Penicillium sp. merupakan jamur yang berkembang biak secara aseksual
dengan membentuk konidium yang berada di ujung hifa. Setiap konidium akan
tumbuh menjadi jamur baru. Konidium berwarna kehijauan dan dapat hidup di
makanan, roti, buahbuahan busuk, kain, atau kulit. Penicillin juga banyak tersebar
di alam secara alami dan penting dalam mikrobiologi pangan. Kapang ini sering
menyebabkan kerusakan pada sayuran, buah-buahan dan serealia. Penicillium
juga digunakan dalam industri untuk memproduksi antibiotik. (Crystovel 2018)
Mikroba penicillium banyak memiliki peran dalam kehidupan terutama pada
pembuatan atau sebagai penghasil zat antibiotik yang dikenal dengan nama
penisillin, dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas keju. Penisilin tidak akan
bertahan cukup lama di dalam tubuh manusia ( in vivo), untuk membunuh bakteri
secara efektif. Banyaknya penelitian yang tidak bisa di simpulkan, mungkin
karena penisilin lebih banyak digunakan sebagai antiseptik. Mikroba penicillium
memiliki peran dibidan industri yaitu untuk memproduksi susu, dan bisa juga
untuk pengawetan jus buah. Penicillin memiliki keunggulan yang sangat menonjol
dalam mengeluarkan tindakan mematikan pada organisme yang rentan dengan
menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel mikroorganisme sehingga dinding
sel bakteri yang terbentuk akan melemah yang akhirnya dapat mematikan bakteri
tersebut. Mikroba penicillium cylopium dalam kehidupan menyebabkan
kerusakan pada bahan bakar dan mesin. (Crystovel 2018)
B. Histoplasma capsulatum
C. Microsporum canis
Infeksi mikotik manusia dikelompokkan dalam infeksi jamur superfisial (pada
kuku, kulit, dan rambut), subkutan, dan profunda (sistemik). Mikosis superfisial
disebabkan oleh jamur yang hanya menyerang jaringan keratin tetapi tidak
menyerang jaringan yang lebih dalam. Jamur yang sering menimbulkan mikosis
superfisial adalah golongan dermatofita. Salah satu spesies yang termasuk di
dalamnya adalah Microsporum (Soedarmanto Indarjulianto, Yanuartono & Puspa
Wikansari, 2014).
Microsporum canis memiliki konidia yang besar, berdinding kasar,
multiseluler, berbentuk kumparan, dan terbentuk pada ujung - ujung hifa. Konidia
yang seperti ini disebut makrokonidia. Spesies ini membentuk banyak
makrokonidia yang terdiri dari 5-18 sel, berdinding tebal dan sering mempunyai
ujung - ujung yang melengkung atau kail berduri. Pigmen kuning - jingga
biasanya terbentuk pada sisi berlawanan dari koloni (Soedarmanto Indarjulianto,
Yanuartono & Puspa Wikansari, 2014)
D. Microsporum Gypseum
Microsporum gypseum adalah jamur geofilik dengan distribusi di seluruh
dunia yang dapat menyebabkan infeksi pada hewan dan manusia, terutama anak-
anak dan pekerja pedesaan selama cuaca lembab dan hangat. Gejala awal yang
muncul adalah inflamasi atau peradangan pada kulit dan lesi pada kulit kepala.
Pada rambut yang terinfeksi menunjukkan infeksi ectothrix tetapi apabila diuji
dibawah ultra-violet lampu Wood, tidak terjadi perpendaran. Microsporum
gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau
deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual. Aspek
fisiologis penting dari M. gypseum adalah dinding selnya yang mengandung kitin
bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, dan mengeksresikan
enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungannya (KURNIA 2015).
Morfologi secara makroskopis, koloni M. gypseum terlihat datar, tumbuh
cepat, menyebar dan berwarna cream seperti cokelat-buff pucat sampai
kemerahan dan berbutir. Selain itu, koloni juga berbulu halus putih pada bagian
permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Secara
mikroskopis, ditemukan makrokonidia berbentuk kesimetrisan, elips, berdinding
tipis, dan multiseluler terdiri dari 4 -6 sel. Mikrokonidia dapat diamati, meskipun
jarang dihasilkan. Makrokonidia berdinding kasar dan tipis, dan pada ujung-ujung
hifa terbentuk kumparan. Pada ujung distal dari sebagian makrokonidia berbentuk
agak bulat sedangkan ujung proksimal berbentuk agak memotong (KURNIA
2015).
X. PEMBAHASAN
Pada praktikum mikologi kali ini juga mengenai pengamatan preparat jadi
yang berasal dari FKUI (Fakultas kedokteran Universitas Indonesia) preparat ini
diamati dibawah mikroskop mula-mula pada pembesaran 10 kali kemudian
dilanjutkan kepembesaran 40 kali kemudian diidentifikasi jenis jamur yang
ditemukan. Pada praktikum tersebut kami mengamati 4 preparat jadi yaitu
preparat jamur M. Gypseum, penicillium Sp, M.canis dan juga Histoplasma
capsulatum.
1. Microsporum Canis
Pratikum pengamatan Microsporum canis dengan menggunakan preparat
jadi. Dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis dimulai pada pembesaran 10x
untuk mencari lapang pandang. Selanjutnya dilakukan mikroskop pembesaran
100x yang sebelumnya preparat jadi diberi oil imersi. Dimikroskop didapat hasil
berupa hifa hialin tidak bersekat dengan ujung mitokondria runcing jelas,memiliki
inti mikrokonidia sejumlah 5-7 dengan dinding tebal dan berinti jelas.
- Rontoknya rambut.
- Timbul bintik atau titik hitam – rontoknya rambut pada daerah
permukaan kulit kepala yang bersisik
- Timbul kerion, seperti abses dan sangat meradang (inflamasi).
- Timbul favus, seperti kerak berwarna kuning pada kulit kepala.
Pengobatan :
2. Penisilium
1. Substrat
2. Kelembaban
Penicillium sp. dapat hidup pada kelembaban yang rendah yaitu
80%
3. Suhu
Suhu yang optimum untuk pertumbuhannya adalah 25oC
4. pH
pH optimum yang dihasilan oleh 25oC berkisar 3,15-4,34(Arif
Syaifurrisal, 2014).
Microsporum gypseum
Seperti dermatofita yang lain, M. gypseum memiliki kemampuan untuk
menginfeksi jaringan manusia dan binatang yang berkeratin. Konidia dari M.
gypseum diletakkan dan disimpan di suatu lokasi di kulit dimana mereka dapat
tumbuh. Konidia tumbuh secara berangsur-angsur, berkembang membentuk suatu
lingkaran (Moschella dan hurley, 1992). Ia memproduksi keratofilik proteinase
yang efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam faktor virulensinya
(Warnock, 2004).
Koloni dari M. gypseum tumbuh dengan cepat, menyebar dengan
permukaan yang mendatar dan sedikit berserbuk merah coklat hingga kehitam-
hitaman (Brookset al, 2005) terkadang dengan warna ungu. Serbuk yang berada di
permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon,1974).
Makrokonidia dihasilkan dalam jumlah yang besar. Dindingnya tipis
dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, kasar dan memiliki 4-6 septa, dan berbentuk oval.
Makrokonidia terdiri dari 4-6 sel. Mikrokonidia juga dapat nampak, meskipun
jarang dihasilkan, terkadang pula mudah tumbuh pada subkultur setelah bebrapa
kali berganti media pada laboratorium. Mikrokonidianya memiliki ciri-ciri antara
lain: berukuran 2,5-3,0 X 4-6 μ (Rippon,1974)
Microsporum gypseum merupakan cendawan keratophilik geofilik.
Kelembapan, pH, dan kontaminasi faeces menjadi faktor yang mempengaruhi
pertumbuhannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat isolasi fungus
M.gypseum pada binatang-binatang domestik (Emmons et al,1977).
Jamur Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung. Penularan
langsung dapat secara melalui epitel kulit, rambut yang mengandung jamur baik
dari manusia, binatang atau dari tanah. Disamping cara penularan tersebut diatas,
untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor :
1. Faktor virulensi dari dermatofita
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela
jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah,
penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi
yang lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-
anak dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan
infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan
dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain
seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya), faktor
transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilon, dapat mempermudah
penyakit jamur ini. (Wicaksana,2008)
Jamur Microsporum gypseum ini menyerang kulit tubuh, dan lebih sering
dialami oleh anak-anak. Infeksi kulit yang disebabkan terlihat membengkak
seperti sarang lebah. Jenis jamur ini diketahui cepat menular, karena berpindah
secara mudah melalui sentuhan. Microsporum gypseum biasanya ditularkan
dengan gejala bercak-bercak meradang yang tidak berambut yang lama kelamaan
dapat menjadi alopesia (kebotakan) permanen (El-Tahir., et al 2006).
Isolasi dan identifikasi jamur dilakukan menggunakan media DSA. Media
DSA merupakan media berbentuk padat berfungsi sebagai media selektif untuk
pertumbuhan jamur dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan adanya
antibiotik cycloheximide, chloramphenicol, dan gentamicin. Secara makroskopis,
koloni terlihat datar, menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Warna koloni
terlihat pada kultur adalah putih kecoklatan dengan adanya permukaan halus putih
di pusat (dome) (Gambar 6). Aspek kultur M.gypseum menunjukkan adanya
koloni bersifat “cotton-like” yang berwarna putih dengan bagian tengah berwarna
coklat kekuningan dan puncak radial, serta kebalikkan koloni berwarna kuning
sesuai dengan literatur oleh Mihali (2012), Rippon (1988), dan Brooks et al.
(2001).
Microsporum gypseum di media DSA memiliki fase pertumbuhan koloni
antara 6-10 hari, sifat menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Penampakan
makroskopis berupa koloni datar yang menyebar dan berwarna krem sampai
cokelat-buff pucat dengan kebalikkan kuning hingga kemerahan pada beberapa
strain (Gambar 6). Pada biakan yang matang, koloni terlihat berserbuk halus putih
pada bagian permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Serbuk
yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974).
Morfologi secara mikroskopis akan lebih jelas apabila dibiakkan dengan
menggunakan metode slide culture menurut Riddle dan diamati secara natif dan
selotipe. Genus Microsporum menghasilkan makrokonidia dan mikrokonidia,
Mica (2007) menyatakan bahwa jumlah makrokonidia yang dihasilkan jamur M.
gypseum lebih banyak apabila dibandingkan dengan M. canis serta jumlah
makrokonidia yang dihasilkan adalah jauh lebih banyak daripada mikrokonidia.
Sesuai dengan penyataan tersebut, pengamatan mikroskopis menemukan
makrokonidia dalam jumlah yang besar dimana hal ini juga sesuai dengan
penyataan Mihali (2012) yang menyatakan pada preparat natif M. gypseum dapat
ditemukan sejumlah besar makrokonidia serta mikrokonidia pada talus yang
panjang (Brooks et al, 2012).
Setelah dilakukan pengamatan, diperoleh gambaran morfologi konidia
ataupun hifa secara mikroskopis yaitu makrokonidia berbentuk elips simetris,
berdinding kasar dan tipis, dan multiseluler terdiri dari 4-6 sel (Gambar 7). Hasil
pengamatan dimana makrokonidia mempunyai dinding tipis yang kasar sesuai
dengan literatur oleh Rippon (1974) dan Jawetz et al. (2001). Pewarnaan dengan
LPCB membantu dalam peneguhan identifikasi dengan memberi gambaran
morfologi yang jelas dimana ditemukan ada sekat pada bagian ujung
makrokonidia, seperti yang dinyatakan oleh Mihali (2012) bahwa pada ujung
distal dari makrokonidia M.gypseum berbentuk tajam dan mempunyai sekat pada
bagian ujung. Gambaran ini menjadi perbedaan jelas dalam perbandingan dengan
morfologi M.canis dimana sekat menjadi ciri khas dari M.gypseum (Brooks et al,
2012).
Histoplasma Capsulatum
H. capsulatum adalah jamur dimorfik yang tumbuh sebagai koloni filamen
pada agar Sabouraud suhu kamar dan tumbuh sebagai yeast pada suhu 37oC.
Bentuk di dalam jaringan hospes umumnya yeast. Infeksi H. capsulatum dijumpai
di banyak tempat di dunia, tetapi lebih sering dijumpai di daerah tertentu yang
memungkinkan kondisi sempurna untuk pertumbuhan jamur, yaitu pada
permukaan tanah yang lembab dan banyak mengandung tinja burung, kelelawar,
ataupun hewan unggas. Infeksi terjadi dengan inhalasi spora, terutama
mikrokonidia, spora yang cukup kecil untuk mencapai alveoli pada inhalasi, yang
kemudian berlanjut dengan bentuk budding. Dengan berlanjutnya waktu, reaksi
granuloma terjadi. Nekrosis perkijuan atau kalsifikasi dapat menyerupai
tuberkulosis. Diseminasi transien dapat meninggalkan granuloma kalsifikasi pada
limpa. Pada orang dewasa, massa bulat atau jaringan parut dengan atau tanpa
kalsifikasi sentral dapat menetap pada paru, yang disebut histoplasmoma. Dapat
pula terbentuk infiltrat paru dan pembesaran kelenjar hilus. Bila infeksi terjadi
dengan jumlah spora yang besar maka terdapat gambaran yang mirip dengan
tuberkulosis miliaris. Infeksi ini biasanya sembuh dengan atau tanpa
meninggalkan perkapuran dalam paru. Pada beberapa keadaan, dapat berlangsung
progresif hingga mengenai sebagian atau seluruh paru, deseminata, dengan atau
tanpa riwayat histoplasmosis primer akut paru, potensial fatal hingga dapat
menyebabkan kematian. Infeksi kedua kali dapat menimbulkan reaksi jaringan
yang lebih kuat sehingga menimbulkan rongga atau kaverna dengan gejala batuk
darah (Sukamto, 2011).
Jamur Histoplasma capsulatum merupakan jamur yang bersifat dimorfik
bergantung suhu. Pada suhu 35 – 37oC jamur ini membentuk koloni ragi
sedangkan pada suhu lebih rendah/suhu kamar (25 – 30 oC) membentuk koloni
filamen (kapang) berwarna coklat tetapi gambarannya bervariasi. Banyak isolat
tumbuh lambat dan spesimen memerlukan inkubasi selama 4 - 12 minggu
sebelum terbentuk koloni. Hialin hifa bersepta menghasilkan mikrokonidia (2 –
5 µm) dan makrokonidia berdinding tebal berbentuk sferis yang besar dengan
penonjolan materi dinding sel pada daerah perifer (8 – 16 µm) (Brooks et al,
2012).
Dalam jaringan atau in vitro pada medium kaya pada suhu 37 oC, hifa dan
konidia berubah menjadi sel ragi kecil, oval (2 x 4 µm). Dalam jaringan,
merupakan parasit intraseluler fakultatif. Di laboratorium, dengan strain
perkawinan yang tepat, siklus seksual dapat diperlihatkan, menghasilkan
Ajellomyces capsulatus, suatu telomorf yang menghasilkan askospora (Kayser,
F.H., et al 2004).
Fungi ini termasuk fungi dimorfik. Fungi dimorfik adalah fungi yang
dapat memiliki dua bentuk, yaitu kapang dan yeast. Fungi ini termasuk kedalam
Ascomycota parasit yang dapat menghasilkan spora askus (spora hasil reproduksi
seksual). Jamur ini berkembang biak secara seksual dengan hifa yang bercabang-
cabang ada yang berkembang menjadi askogonium (alat reproduksi betina) dan
anteridium (alat reproduksi jantan), dari askegonium akan tumbuh saluran untuk
menghubungkan keduanya yang disebut saluran trikogin. Dari saluran inilah inti
sel dari anteridium berpindah ke askogonium dan berpasangan. Kemudian masuk
ke askogonium dan membelah secara mitosis sambil terus tumbuh cabang yang
dibungkus oleh miselium dimana terdapat 2 inti pada ujung-ujung hifa. Dua inti
itu akan membelah secara meiosis membentuk 8 spora dan disebut spora askus
yang akan menyebar, jika jatuh di tempat yang sesuai maka akan tumbuh menjadi
benang hifa yang baru (Kayser, F.H., et al 2004).
O
Pada suhu dibawah 37 C, isolat primer H. Capsulatum sering
memunculkan koloni kapang yang berwarna coklat dengan tampilan bervariasi.
Kebanyakan isolat mengalami pertumbuhan yang lambat dengan waktu inkubasi 4
–12 minggu untuk memunculkan koloni. Hifa hialin bersepta menghasilkan
mikrokonidia dengan ukuran 2 – 5 mikrometer dan makrokonidia yang berdinding
tebal, bulat, dan besar yang disertai penonjolan materi dinding sel dibagian
perifer. Di dalam jaringan pada medium yang kaya pada suhu 37 OC, hifa dan
konidianya akan berubah warna menjadi sel ragi yang berukuran kecil (2-4
mikrometer) dan berbentuk oval (Brooks et al, 2012).
Isolat jamur yang telah dimurnikan diamati secara makroskopis dan
mikroskopis.Pengamatan makroskopis koloni khamir dilakukan berdasarkan
pengamatan warna, tekstur, tepi, permukaan, dan profil koloni.Sedangkan
pengamatan secara mikroskopis yaitu dengan melihat bentuk sel, susunan sel, tipe
pertunasan, dan ukuran sel. Koloni khamir pada cawan petri diidentifikasi
menggunakan pendekatan morfologi.Identifikasi dilakukan merujuk pada pustaka
Kurtzman and Fell (1998) dan pustaka lainnya.
Histoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
Histoplasma capsulatum. H. capsulatum merupakan saprofit tanah yang
dimorfik.H. Capsulatum tumbuh sebagai kapang bersama dengan habitat tanah.
Histoplasmosis adalah infeksi mikotik paru yang paling banyak dijumpai pada
manusia dan hewan. Kasus histoplasmosis ditemukan diseluruh dunia dengan
insidensi beragam dan kebanyakan kasus terjadi di Amerika Serikat (Brooks et al,
2012).
Proses histoplasmosis dimulai dengan inhalasi dari spora jamur
Histoplasma capsulatum. Jamur dimorfik ini banyak ditemukan pada kotoran
kelelawar dan burung. Sebagian besar pasien yang mengalami infeksi H.
capsulatum tidak merasakan gejala apapun, dan sering tidak sadar bahwa dirinya
mengidap sakit, hal ini dikarenakan manifestasi klinis infeksi seringkali serupa
dengan manifestasi infeksi influenza ataupun pneumonia ringan. Infeksi ini dapat
sembuh tanpa pengobatan (self limited) dan kerap tidak terdiagnosis oleh tenaga
kesehatan. Pada beberapa penderita, infeksi dapat berkembang menjadi kronik dan
progresif sehingga muncul gejala berupa demam, menggigil, sakit kepala, nyeri
otot, batuk non produktif, juga nyeri dada bersifat pleuritik dan sentral
(Djojodibroto, 2014).
Pada histoplasmosis progresif akut dapat muncul gejala berupa tubuh yang
makin kurus, demam, anemi, leukopeni, hepatosplenomegali serta granuloma
mukokutan. Gejala –gejala tersebut dapat menyembuh dengan cepat, namun dapat
pula bertahan berbulan-bulan sehingga menyerupai gambaran bronkitis,
pneumoni, atau TB kronik. Histoplasmosis progresif kronik memiliki gambaran
klinis dan radiologi yang sangat mirip dengan TB paru kronis. Hal ini
menyebabkan penderita histoplasmosis sering salah didiagnosis sebagai penderita
TB paru. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya organisme H. capsulatum
didalam sputum secara pulasan langsung yang dikonfirmasi dengan kultur
(Sukamto, 2011).
Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui kecurigaan yang
tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru, pemeriksaan diagnostik
radiologi, berupa foto toraks postero-anterior dan lateral,CT Scan toraks, dan
pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemeriksaan
mikroskopis jamur secara langsung dan kultur. Bronkoskopi dapat dilakukan
untuk mengambil spesimen untuk diperiksa berupa sekret bronkus, untuk bilasan
bronkus, dan transbronkial lung biopsi. Aspirasi paru dengan jarum juga dapat
dilakukan (Zwolska, 2005).
Pada pemeriksaan fisis, mikosis paru sulit dibedakan dengan penyakit paru
lain. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membantu
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis mikosis paru
antara lain pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium klinik tertentu, serta
pemeriksaan mikologi (PDPI, 2011).
Gambaran foto toraks pada sebagian besar mikosis paru tidak menunjukkan ciri
khas. Pada foto toraks dapat ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul
multipel, kavitas, dan efusi pleura. Untuk gambaran yang khas, dapat terlihat pada
infeksi Aspergillus yang membentuk aspergiloma, yaitu ditemukan fungus ball
pada pemeriksaan foto toraks. Hasil yang lebih baik didapat dari pemeriksaan CT-
scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin berkaitan dengan mikosis
paru adalah ditemukannya peningkatan sel eosinofil (PDPI,2011).
Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya fungi
penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun melalui biakan.
Baku emas diagnosis mikosis jamur adalah dengan biakan spesimen atau dengan
biopsi jaringan. Pemeriksaan mikroskopik specimen klinik baik secara langsung
maupun dengan pewarnaan harus selalu dilakukan, karena metode ini dapat
mendiagnosis kemungkinan infeksi jamur secara cepat, mudah, dan murah
meskipun nilai diagnosisnya sangat bervariasi (10 sampai >90%) tergantung
spesies jamur yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India (PDPI, 2011).
XI. KESIMPULAN
Pada praktikum mikologi kali ini mengenai pengamatan preparat jadi yang
berasal dari FKUI (Fakultas kedokteran Universitas Indonesia) preparat ini
diamati dibawah mikroskop mula-mula pada pembesaran 10 kali kemudian
dilanjutkan kepembesaran 40 kali kemudian diidentifikasi jenis jamur yang
ditemukan. Pada praktikum tersebut kami mengamati 4 preparat jadi yaitu
preparat jamur M. Gypseum, penicillium Sp, M.canis dan juga Histoplasma
capsulatum. Pada hasil pengamatan morfologi makroskopis Microsporum canis
ciri ciri yang kami dapatkan yaitu memiliki hifa bersepta, makrokonidia, dan
mikrokonidia. Makrokonidianya berbentuk gelendong dengan kenop apikal yang
asimetris. Terdiri dari 6 sampai 5 sel, panjang, kasar, dan memiliki dinding sel
bagian luar yang tebal. Dinding septalnya tipis. Meskipun memliki mikrokonidia,
namun pada Microsporum canis , mikrokonidianya merupakan hialin, jarang dan
uniseluler. Hifa hialin tidak bersekat, Konidia kasar, Ujung makrokonidia runcing,
Pada makrokonidia terdapat sel (sekat), Makrokonidia berdinding tebal ,
Mikrokonidia berbentuk lonjong, tidak khas. Pada penicillium secara
makroskopis, ciri-ciri yang dapat dilihat adalah koloni tumbuh sekitar 4 hari pada
suhu 25oC pada medium saboroud dextrose agar dan koloni mula-mula berwarna
putih kemudian akan berwarna kehijauan, sedang secara mikroskopis dengan ciri-
ciri yang sapat dilihat adalah hifa bersepta dan konidiofor mempunyai cabang
yang disebut dengan metula, di atas metula terdapat fialid. Kemudian pada
M.gypseum setelah dilakukan pengamatan, diperoleh gambaran morfologi konidia
ataupun hifa secara mikroskopis yaitu makrokonidia berbentuk elips simetris,
berdinding kasar dan tipis, dan multiseluler terdiri dari 4-6 sel.
DAFTAR PUSTAKA
Annisa G.H. (2012) ‘Karakteristik Klinis dan Laboratorium Mikologi pada Pasien
Tersangka Paru di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, [document on the
internet]. Available at: httplib.ui.ac.id/file?file=digital/20314666-S-Gisela
%20Haza%20Anissa.pdf (Accessed: 12 Mei 2018).
Anonim, 1993, Dasar-Dasar Pemeriksaan Mikrobiologi, 100-103, Fakultas
Kedokteran UGM bagian Mikorbiologi, Yogyakarta
Arif Syaifurrisal, A. (2014). Pengaruh Penyimpanan Pakan Udang Komersial
Dengan Penambahan Volume Air Berbedaterhadap Pertumbuhan Jamur Dan
Kandungan Protein Kasar.
Ariyothai, N., Podhipak, A., Akarasewi, P., Tornee, S., Smithtikarn, S. and
Thongprathum, P. (2004) ‘Cigarette smoking and its relation to pulmonary
tuberculosis in adults’, The Southeast Asian journal of tropical medicine and
public health., 35(1), pp. 219–27.
Brooks, F., Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S. and Morse, S. (2012) Jawetz
Melnick&Adelbergs medical microbiology 25/E. 25th edn. Jakarta: EGC.
Crystovel, Josua. 2018. “MIKOLOGI TANAMAN Penicillium Paecilomyces
Aspergillus.” (March 2017).
Dahlan, M. Sopiyudin. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. 2008. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
El-Tahir, Kamal El-Din, Backeet, Dana M. 2006. The Black Seed Nigella sativa
Linnaeus-A Mine for multi Cures : A Plea For Urgent Clinical Evalution of
Its Volatile Oil.J TUMed Sc. 1 (1): 1-19.
Hakiki, Intan. 2016. “JENIS KAPANG PADA SUBSTRAT SERASAH DAUN
TUMBUHAN DI HUTAN KOTA JANTHO SEBAGAI REFERENSI
MATAKULIAH MIKOLOGI.”
Kayser, F.H., Bienz, K., Eckert, J., Kayser, F. and Zinkernagel, R. (2004) Medical
microbiology. New York, NY: Thieme Publishing Group.
Kharismadiyanti, Rizky. 2014. “HISTOPLASMOSIS Dan MIKOTOKSIKOSIS.”
(21): 84978696.
Kurnia, K. I. (2015). AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP
Microsporum gypseum SEBAGAI PENYEBAB DERMATOFITOSIS
PADA KUDA.
KURNIA, KARTINI IZREEN. 2015. “AKTIVITAS BEBERAPA
ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum Gypseum SEBAGAI
PENYEBAB DERMATOFITOSIS PADA KUDA.”
Maya, P. (n.d.). Microsporum canis.
Quintana, O. B., & Garza-guajardo, R. (2007). Pseudomycetoma for Microsporum
canis, (January). https://doi.org/10.1159/000325759
Savitri, Faradillah Rahmy. 2010. “Efek Antifungi Ekstrak Biji Jinten Hitam
(Nigella Sativa) Terhadap Pertumbuhan Microsporum Gypseum Secara In
Vitro.” : 1–64.
Soedarmanto Indarjulianto1, Yanuartono1, Hary Purnamaningsih1, and Gerson
Yohanes Imanuel Sakan3 Puspa Wikansari2. 2014. “Isolasi Dan Identifikasi
Microsporum Canis Dari Anjing Penderita Dermatofitosis Di Yogyakarta
(ISOLATION AND IDENTIFICATION OF Microsporum Canis FROM
DERMATOPHYTOSIS DOGS IN YOGYAKARTA).” 15(2): 212–16.
Sukamto. Pemeriksaan Jamur bilasan bronkus pada penderita bekas tuberkulosis
paru. [document on the internet]. USU digital library 1004 [updated 2010
August 1; cited 2015 November 28].
Widjaja, M. (n.d.). Microsporum canis.
LAMPIRAN GAMBAR
(
H
i
s
t
o
(Microsporum gypseum
plasma capsulatum)
(Microsporum canis )
LEMBAR PENGESAHAN