Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM

SITOHISTOTEKNOLOGI
FIKSASI JARINGAN

Dosen Pengampu :
Rizki Perdani, S.Tr.Kes.
Muhammad Ilham Farihi, S.Pd., M.Sc.

Disusun Oleh :
Nama : Marpuah
NIM : EAK10180083
Kelompok : III (TIGA)

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN


POLITEKNIK UNGGULAN KALIMANTAN
BANJARMASIN
2019
LAPORAN PRAKTIKUM SITOHISTOTEKNOLOGI
JUDUL : Fiksasi Jaringan
HARI/TANGGAL : Kamis/ 10 Oktober 2019
TUJUAN :
1. Untuk mengetahui efek fiksasi terhadap jaringan
2. Untuk mengetahui lama waktu yang diperlukan hingga
jaringan terfiksasi secara sempurna
PRINSIP : Sampel hati dimasukkan ke dalam larutan fiksasi
kemudian didiamkan selama waktu yang ditentukan.
Maka akan terlihat efek dari proses fiksasi terhadap
jaringan
TEMPAT : Laboratorium Klinik Terpadu Politeknik Unggulan
Kalimantan

I. DASAR TEORI
Histologi adalah bidang biologi yang mempelajari tentang struktur
jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang
dipotong tipis. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis.
Bidang biologi ini amat berguna dalam keakuratan diagnosis tumor dan berbagai
penyakit lain yang sampelnya memerlukan pemeriksaan histologis (Hastuti,
2011).

Rangkaian proses pembuatan sajian histologi terdiri atas (Key, 2006).:

a. Fiksasi (Fixation) f. Pemotongan jaringan


b. Dehidrasi (Dehydration) (Sectioning)
c. Pembeningan (Clearing) g. Pewarnaan (Staining)
d. Pembenaman h. Perekatan (Mounting)
(Impregnasi/Embedding) i. Pelabelan (Labelling)
e. Pengecoran (Blocking)
Fiksasi jaringan adalah proses mengawetkan jaringan agar awet dan
kondisinya sama seperti hidup. Dilakukan dengan merendam jaringan ke larutan
fiksasi selama 24 jam (Mikel, 2004).

Pengawetan (fiksasi) adalah stabilitasi unsur penting pada jaringan


sehingga unsur tersebut tidak terlarut, berpindah, atau terdistorsi selama prosedur
selanjutnya. Fiksasi yang benar adalah dasar dari semua preparat yang baik. Efek
fiksasi terhadap jaringan yang diproses adalah menghambat proses pembusukan
dan autolysis, pengawetan jaringan, pengerasan jaringan, pemadatan koloid,
diferesiansi optic, dan berpengaruh terhadap pewarnaan. Sejumlah faktor akan
mempengaruhi proses pengawetan yaitu dapar, penetrasi, volume pengawet,
konsentrasi, interval waktu, suhu, dan jenis larutan pengawet (Sipahutar, 2009).

Fiksasi terhadap jaringan harus dilakukan secepat mungkin, segera setelah


jaringan hewan atau manusia diambil dari tubuhnya dengan tujuan (Mikel, 2004) :

a. Mencegah terjadinya proses autolisis yaitu larutnya sel yang diakibatkan


oleh proses-proses yang dipengaruhi enzim dari dalam sel itu sendiri.
b. Mencegah proses pembusukan yaitu proses penghancuran jaringan yang
diakibatkan oleh aktifitas bakteri dan biasanya disertai dengan
pembentukan gas.
c. Memadatkan dan mengeraskan agar mudah untuk dipotong. Untuk
jaringan yang lunak seperti jaringan otak akan sulit dipotong jika tanpa
dilakukan oleh cairan fiksasi.
d. Memadatkan cairan koloid, mengubah konsistensi dari bahan seperti
cairan yang terdapat didalam jaringan menjadi konsistensi lebih padat.
e. Mencegah keruskan struktur jaringan. Dengan proses masuknya cairan
fiksasi kedalam sel lewat membran sel yang bersifat semipermeabel secara
osmosis atau penyerapan.

Cara melakukan pengawetan jaringan ada 3 macam, yaitu (Sipahutar,


2009) :

a. Supravital/intravital
b. Merendam dalam larutan fiksatif.
c. Fiksasi kering

Macam-macam larutan fiksasi dibedakan menjadi dua yaitu larutan fiksatif


sederhana dan larutan fiksatif majemuk atau campuran (Morgan et al., 2010):

a. Larutan Fiksatif Sederhana

Hanya mengandung satu macam zat saja. Contohnya, yaitu :

1) Etanol 70-100 %.

Fiksasi ini biasanya digunakan untuk sajian apusan dan tidak digunakan untuk
fiksasi jaringan, sebab larutan fiksatif ini mempunyai daya penetrasi yang lambat
ke dalam jaringan dan cenderung mengeraskan jaringan bila jaringan direndam
terlalu lama di dalam larutan fiksasi ini. Larutan ini memfiksasi jaringan dengan
cara mendenaturasi protein dan mempresipitasi glikogen.

2) Formaldehyde 4-10%

Larutan formalin merupakan cairan fiksasi yang paling umum digunakan. Larutan
formalin yang digunakan adalah formalin 10%. Formula yang digunakan adalah :

Formalin (Formaldehida 40%)..................................................... 10 ml

Air ................................................................................................ 90 ml

Larutan formalin yang paling mudah dan murah

- formalsaline

Larutan dapar formalin 10% yang sering digunakan adalah :

- Formal Calcium
- Neutral Buffered Formalin
- Buffered Formalin Sucrose

3) Asam asetat 0,3-5% ; Asam pikrat ; asam Chromiat 0,5-1 %.


Fiksasi ini digunakan untuk mendemonstrasikan glikogen. Larutan ini akan
mencegah karbohidrat menjadi larut sebelum unsur protein selesai difiksasi.
Formalin .......................................................................................... 5 ml

Asam asetat glasial .......................................................................... 5 ml

Alkohol 70% ................................................................................. 90 ml

b. Larutan Fiksatif Majemuk atau campuran.

Mengandung lebih dari satu macam zat. Contohnya yaitu :

1) Larutan Bouin (asam pikrat, formalin dan asam asetat glasial).

Cairan fiksasi ini mengandung larutan asam pikrat jenuh. Asam pikrat mudah
meledak dalam keadaan kering sehingga harus disimpan dalam keadaan lembab.
Asam pikrat jenuh dibuat dengan cara melarutkan serbuk asam pikrat dalam air
hingga jenuh (terdapat endapan serbuk pikrat di dasar larutan). Asam pikrat
mempresipitasikan protein dengan membentuk ikatan pikrat-protein. Asam pikrat
menyebabkan rusaknya eritrosit, karena menghilangkan fe3+ terutama bila
fe3+ berada dalam jumlah sedikit, namun dapat melindungi rna dari proses
perusakan oleh enzim ribonuklease.

2) Larutan Zenker (merkuri chlorida, potassium dichromate,


aquadest).

Larutan fiksatif Zenker mengandung merkuri klorida yang berfungsi untuk


mempresipitasi protein. Merkuri klorida akan mengikat gugus asam protein dan
gugus asam fosfat nukleoprotein, dan juga bereaksi secara khusus dengan gugus
tiol (−SH).

Cairan fiksasi dapat mempengaruhi reaksi histokimia karena mengikat


bagian reaktif jaringan. Ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi proses
pengawetan (Schichnes et al., 2007):

a. Dapar, Pengawetan sebaiknya dikerjakan pada pH yang mendekati netral,


6 – 8.
b. Penetrasi.
c. Volume Pengawet, Sebaiknya, volume pengawet adalah 10 x volume
jaringan yang difiksasi.
d. Konsentrasi, Konsentrasi formalin terbaik adalah 10%, sedangkan
glutaraldehida pada 0,25% - 4%.
e. Interval Waktu.
f. Suhu.
g. Jenis Larutan Pengawet.

II. ALAT DAN BAHAN


Alat:
1. Cawan petri
2. Beaker glass 100 ml
3. Pisau
4. Talenan
5. Spatula
6. Penggaris

Bahan:
1. Sampel (Hati Ayam)
2. Buffer formalin 10%
III. CARA KERJA
1. Siapkan sampel hati yang telah dibersihkan, potong dadu sebanayak 4
potong dengan masing-masing sisi ±0,5 mm
2. Masukkan larutan fiksasi (buffer formalin 10%) ke dalam beaker glass
sebanyak 50 ml
3. Masukkan sampel hati tadi ke dalam buffer formalin, kemudian tutup
dengan cawan petri
4. Amati perubahan bentuk, konsistensi, dan jarak jaringan terpenetrasi pada
setiap waktu yang telah ditentukan (1 jam, 2 jam, 4 jam & semalam).
IV. HASIL PENGAMATAN

Keterangan
Waktu Jarak
No Gambar Perubahan
Fiksasi Konsistensi Jaringan
Bentuk
Terpenetrasi

Ingin Sangat
1 - -
dimasukkan Lunak

Sangat
2 1 Jam Tetap 0,1 mm
Lunak

3 2 Jam Tetap Lunak 0,1 mm

Agak
4 4 Jam Tetap 0,3 mm
Keras

0,5 mm
Agak
5 Semalam Tetap (terpenetrasi
Keras
sempurna)
V. PEMBAHASAN
Fiksasi jaringan adalah proses mengawetkan jaringan agar awet dan
kondisinya sama seperti hidup. Dilakukan dengan merendam jaringan ke larutan
fiksasi selama 24 jam (Mikel, 2004).

Dalam praktikum ini pertama-tama sampel hati ayam di potong dadu


dengan masing-masing sisi 0,5 mm, lalu dimasukkan ke dalam 50 ml larutan
fiksasi buffer formalin 10%, kemudian diamati perubahan bentuk, konsistensi, dan
jarak jaringan terpenetrasi pada setiap waktu yang telah ditentukan.

Fungsi dari fiksasi sendiri adalah sebagai pencegahan autolisis,


mempertahankan morfologi sel dan jaringan agar dapat sama dengan saat terakhir
jaringan tersebut dari tubuh hewan atau manusia selama hidup, dan mengeraskan
jaringan agar dapat di proses lebih lanjut dengan mengubah konsistensi sel dari
semi cair menjadi semi padat (Miranti, 2010).

Pada praktikum ini digunakan cara merendam potongaan-potongan kecil


hati dalam larutan fiksasi, lalu di diamkan beberapa saat hingga bagian luar nya
terfiksasi, dan bagian dalam nya juga akan ikut terfiksasi dalam waktu yang cukup
lama, salah satu faktor yang sangat mempengaruhi fiksasi adalah waktu, semakin
lama jaringan menunggu untuk diawetkan, semakin banyak pula jaringan
kehilangan organel seldan pengerutan nukleus. Dan digunakan buffer formalin
10% sebagai larutan fiksasinya, karena memiliki pH=7 (pH yang sangat baik) dan
penggunaannya lebih mudah, tidak terbentuknya pigmen formalin di sediaan dan
dapat digunakan untuk mengawetkan jaringan dalam kurun waktu yang cukup
lama. Tetapi daya fiksasinya lebih lambat yakni sekitaar 12-24 jam. Serta
menggunakan sampel hati ayam, karena hati merupakan pusat metabolisme tubuh
dengan fungsi yang sangat kompleks sehingga lebih sering terdengar terjadi
kerusakan-kerusakan pada hati dibandingkan organ yaang lainnya. Hati juga
memiliki jaringan yang padat sehingga kurang mendukung difusi cairan fiksasi,
sehingga harus menggunakan metode dan larutan fiksasi yang tepat, karena jika
hasil fiksasi baik, maka hasil dari sediaan yang di buat juga akan baik.
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Diketahui efek fiksasi dengan larutan buffer formalin 10% terhadap
jaringan hati yaitu menghambat proses pembusukan & autolisis,
pengawetan jaringan, pengerasan jaringan (konsistensi) dan penetrasi
berdasarkan waktu yang telah ditentukan.
2. Diketahui waktu yang diperlukan larutan fiksasi buffer formalin 10%
untuk mempenetrasi jaringan hati secara sempurna adalah 1×24 jam.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Hastuti, N. 2011. Manfaat Pemeriksaan Imunohisto (sito) kimia. Jambi: Fakultas
Kedokteran Universitas Jambi.
Key, M. 2006. Immunohistochemical staining methods. 4th ed, California:
Carpinteria Dako.
Mikel, UV. 2004. Advanced laboratory methods in histologi and pathology.
Washington, DC: Armed Forces Institute of Pathology American Registry
of Pathology. Chapter 1,Immunohistochemistry; p 1-40.
Miranti, 2010. Pengolahan jaringan untuk penelitian hewan. (Online):
http://eprints.undip.ac.id/22187/1/01terkini-dr.Ika-01-04.Pdf. Diakses pada
tanggal 17 Oktober 2019.
Morgan,J,P. Y. K. Liu, and J. A. Smith. 2010. Semi-Microtechnique for the
Biochemical Characterization of Anaerobic Bacteria. Canada: University
of Toronto.315-318.
Schichnes, Denis, Nemson, Jeffrey A, and Ruzin, Teven A. 2007. Microwave
protocols for plant and animal paraffin microteqnique. California: The
University Of California at Barkeley, CNR Biologycal Imaging Facility,
51-53.
Sipahutar, H. 2009. Dasar-dasar teori mikroteknik teknik pembuatan sediaan
histology. Medan : FMIPA UNIMED.
VIII. LAMPIRAN

Ingin dimasukkan 1 Jam 2 Jam

4 Jam Semalam

Dosen Pengampu Banjarmasin, 20 Oktober 2019


Praktikan

Rizki Perdani, S.Tr.Kes.


Marpuah

Muhammad Ilham Farihi, S.Pd., M.Sc.

Anda mungkin juga menyukai