Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM SITOHISTOTEKNOLOGI

PEMERIKSAAN SAMPEL SITOLOGIK (URINE, SPUTUM,


CAIRAN PLEURA DAN PAP SMEAR) DAN CARA FIKSASI

Dosen Pengampu : dr. Desy Armalina, M. Si. Med

Disusun Oleh
JIHAN NABILLA P1337434318023

PRODI SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI


LABORATORIUM MEDIS
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2021
I. JUDUL : PEMERIKSAAN SAMPEL SITOLOGIK (URINE) DAN CARA
FIKSASI
II. PRAKTIKUM KE -4
III. HARI/TANGGAL : Sabtu, 20 Februari 2021
IV. TUJUAN :
- Untuk mengetahui cara melakukan pemeriksaan sampel sitologik ( urine) dan cara
fiksasi
- Untuk mengetahui ada tidaknya morfologi sel abnormal dalam sampel
V. DASAR TEORI :
Fiksasi adalah usaha manusia untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan
agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran.
Bahan/larutan fiksatif yang sering digunakan dalam sitologi antara lain Alkohol ( Etanol )
dan Metanol ( Methyl Alkohol ).Layaknya spesimen jaringan, spesimen sel pun harus
melalui yang namanya fiksasi. Fiksasi spesimen sitologi yang sempurna adalah prasyarat
untuk diagnosis sitologi dengan benar. Jika fiksasi jaringan seperti yang disebutkan pada
topik di atas hanya dilakukan dengan tahap perendaman, berbeda dengan fiksasi pada
sediaan sitologik terbagi menjadi beberapa bagian yaitu fiksasi kering, fiksasi lembab dan
fiksasi basah. Pada jenis fiksasi basah, sediaan sitologik harus direndam dalam larutan
fiksasi terpilih segera setelah pengambilan spesimen sitologi masih dalam kondisi yang
lembab. Fiksasi spesimen sitologi yang dilakukan dengan segera dilakukan guna
mencegah pengeringan dan perubahan bentuk sel akibat faktor luar. Hasil dari fiksasi
tersebut akan memungkinkan pewarnaan menjadi jelas dan tentunya menghasilkan
diagnosis yang benar. Lain halnya ketika fiksasi sitologi dilakukan dengan teknik
pengeringan, metode ini dilakukan untuk sel-sel yang relatif kuat dari faktor lingkungan
dan digunakan untuk jenis pewarnaan yang memiliki prinsip sederhana. Idealnya fiksasi
yang dilakukan pada sediaan sitologik hampir sama kriteria dengan fiksasi yang
dilakukan pada sediaan jaringan. Kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam fiksasi
sediaan sitologik adalah :
a. Mempenetrasi sel dengan cepat
b. Minimal menjaga sel dari kerusakan atau kehilangan komponen sel
layaknya ketika sel masih dalam kondisi hidup.
c. Menjaga secara struktur sel maupun komponen sel (kimiawi, enzimatik,
imunologi)
d. Menghentikan proses metabolisme autolisis
e. Menghentikan pertumbuhan selular dan mikroorganisme.
f. Meningkatkan diferensiasi optik dan meningkatkan pewarnaan struktur
dan komponen sel.
VI. ALAT BAHAN :
- Pot urin tutup ulir
- Centrifuge
- Tabung centrifuge
- Pipet
- Rak tabung
- Objek glass
- alkohol (Lakukan fiksasi sesuai dengan prosedur pewarnaan
yang dikehendaki (Papanicolaou dan Giemsa ) )
VII. CARA KERJA :
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Memasukan urine dan alkohol dengan perbandingan 1:1 ke dalam
tabung centrifuge
3. Lalu , melakukan centrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
2500 rpm
4. Setelah itu buang supernatannya dan sisakan urang lebih setengah
ml
5. Lalu homogenkan menggunakan pipet , dan mulai membuat
preparat .
VIII. PEMBAHASAN :

Pemeriksaan sitologi urin merupakan pemeriksaan standar yang dilakukan sebelum


sistoskopi pada pasien dengan kecurigaan menderita tumor buli. Sitologi urin secara
mikroskopik mengidentifikasi adanya sel ganas dan abnormal yang terdapat pada urin.
Urine biasanya mengandung sel epitel yang dilepaskan dari saluran kemih, dan sitologi
urin mengevaluasi sedimen urin ini untuk mengetahui keberadaan sel kanker. Fiksasi
spesimen sitologi yang sempurna adalah prasyarat untuk diagnosis sitologi dengan benar,
pada sediaan sitologik terbagi menjadi beberapa bagian yaitu fiksasi kering, fiksasi
lembab dan fiksasi basah. Pada jenis fiksasi basah, sediaan sitologik harus direndam
dalam larutan fiksasi terpilih segera setelah pengambilan spesimen sitologi masih dalam
kondisi yang lembab. Fiksasi spesimen sitologi yang dilakukan dengan segera dilakukan
guna mencegah pengeringan dan perubahan bentuk sel akibat faktor luar. Hasil dari
fiksasi tersebut akan memungkinkan pewarnaan menjadi jelas dan tentunya menghasilkan
diagnosis yang benar. Lain halnya ketika fiksasi sitologi dilakukan dengan teknik
pengeringan, metode ini dilakukan untuk sel-sel yang relatif kuat dari faktor lingkungan
dan digunakan untuk jenis pewarnaan yang memiliki prinsip sederhana. Sitologi urin
adalah tes yang mencari sel abnormal dalam urin di bawah mikroskop. Tes ini biasanya
memeriksa infeksi, penyakit inflamasi pada saluran kemih, kanker , atau kondisi
prakanker yang dapat dideteksi melalui urin . Jika kondisi kanker terdeteksi, tes dan
prosedur lain biasanya direkomendasikan untuk mendiagnosis kanker, termasuk kanker
kandung kemih, kanker ureter, dan kanker uretra.
Fiksasi dari sediaan sitologik terbagi menjadi beberapa bagian yaitu
1. Fiksasi basah
Fiksasi basah merupakan tindakan fiksasi dimana sediaan sitologik masih dalam
kondisi asah atau lembab. Metode ini adalah metode yang ideal untuk menjaga suatu
sediaan sitologik baik sitologi ginekologi ataupun sitologi non-ginekologi. Larutan
fiksasi basah dapat terdiri dari :
a) Alkohol 95-96%. Larutan ini merupakan lariutan fiksatif yang ideal yang
dianjurkan di sebagian besar laboratorium sitologi. Hasil dari fiksasi ini
menghasilkan karakteristik inti yang ideal. Alkohol 95-96 ini adalah larutan
dehidrasi dan dapat menyebabkan penyusutan sel karena akan menggantikan air di
dalam sel. Penggunaan ethanol absolutpun sebenarnya dapat dilakukan, namun
biaya yang dikeluarkan relatif lebih besar. Dalam teori lain menyebutkan bahwa
dengan pemberian alkohol 95- 96% ini akan membuat sel menjadi lebih kuat
merekat dengan kaca sediaan dibandingkan ketika sediaan basah dimasukkan ke
dalam konsentrasi yang lebih rendah.
b) Methanol absolut. Methanol absolut ini merupakan larutan fiksasi yang digunakan
untuk sediaan berbasis cairan seperti Thin prep, Sure prep dan lain sebagainya.
Penggunaan larutan ini sebenarnya baik karena menghasilkan sediaan yang tidak
begitu menyusut jika dibanding dengan alkohol 95-96%.
c) Eter: alkohol 95% Fiksasi basah menggunakan campuran eter : alkohol 95% = 1:1
merupakan fiksasi awal yang digunakan untuk fiksasi sediaan pap smear. Hasil
dari fiksasi menggunakan campuran ini menghasilkan sediaan yang lebih baik
dibanding dengan alkohol 95-96%. Namun eter yang digunakan memiliki sifat
yang berbahaya, berbau dan mudah mengikat air di sekitar (higroskopis).
d) Propanol dan isopropanol 80% Propanol dan isopropanol menyebabkan
penyusutan sel lebih sedikit dari eteretanol atau metanol. Dengan menggunakan
persentase lebih rendah dari alkohol ini penyusutan diseimbangi oleh efek
pembengkakan akibat air yang ada dalam laritan fiksasi. Oleh karena itu 80%
propanol atau isopropanol merupakan pengganti etanol 95-96% yang
direkomendasikan.
e) Denaturasi alkohol Denaturasi alkohol ini merupakan etanol yang telah diubah
dengan penambahan aditif sehingga tidak cocok untuk dikonsumsi oleh manusia.
Ada banyak formula yang berbeda untuk denaturasi alkohol. Namun dari semua
denaturasi alkohol, pada dasarnya semua mengandung etanol sebagai bahan
utama, dan karenanya ini dapat digunakan pada konsentrasi 95% atau 100%.
Salah satu formulasi yang telah digunakan adalah campuran dari 90 bagian etanol
95% + 5 bagian 100% methanol + 5 bagian 100% isopropanol.
f) Formalin Based Formalin Based yang digunakan untuk sediaan sitologik yang
ditargetkan pada pemeriksaan imunologi
2. Fiksasi “Coating“
Fiksatif Coating merupakan fiksasi yang dilakukan untuk pengganti fiksatif basah.
Fiksasi ini dilakukan dengan memberikan aerosol (penyemprotan) pada spesimen
sitologi yang dibuat secara konvensional maupun dengan metode berbasis cairan.
Fiksasi ini terdiri dari alkohol dan polietilen glicol yang berfungsi sebagai pelapis
dari sediaan sitologik. Fiksasi dengan menyemprotkan lapisan diaphine (Hairspray)
dengan kandungan alkohol yang tinggi dan minimal lanolin atau minyak dapat juga
menjadikannya fiksatif yang efektif. Sebagian besar agen-agen ini memiliki aksi
ganda
dalam fungsinya yaitu dengan menjaga sel dari kerusakan (fiksasi) dan pada saat
kering akan membentuk lapisan tipis sebagai pelindung di atas sediaan sitologik itu.
Fiksatif ini sangatlah praktis untuk situasi di mana sediaan sitologik harus dikirim ke
laboratorium sitologi yang berjarak jauh dari tempat pengambilan spesimen. Namun
metode ini tidak dianjurkan untuk sediaan berbasis cairan dan jika tempat
pengambilan spesimen tidak berjarak jauh dengan laboratorium sitologi. Jarak
semprot antara sediaan dengan larutan fiksatif aerosol akan mempengaruhi hasil dari
sediaan sitologik. Jarak yang ideal dalam penyemprotan adalah 10 sampai 12 inci
(25-30 cm). Fiksasi “coating” ini tidak dianjurkan untuk sediaan sitologik yang
banyak mengandung darah, hal ini dikarenakan akan terjadi penggumpalan eritrosit.
Lilin dan minyak dari larutan fiksasi itu harus dibuang ketika hendak diwarnai
dengan dengan cara perendaman di larutan alkohol 95% selama semalam.
3. Fiksasi Kering
Fiksasi kering merupakan fiksasi yang dilakukan pada sediaan sitologik yang
dilakukan dengan mengeringkan sediaan tersebut di udara terbuka (udara kering) atau
dengan bantuan pemanasan hingga kering (penggunaan hotplate dengan suhu
maksimum 50OC). Sediaan sitologik harus diproses dan dikeringkan dengan segera
untuk menghindari munculnya artefak. Salah satu keuntungan dari fiksasi ini adalah
pembuatan dan pewarnaan yang cepat (2-3 menit). Pewarnaan cepat berguna dalam
penilaian awal dari kelayakan spesimen sebelum pasien diperkenankan untuk
meninggalkan ruang pengambilan spesimen. Untuk sediaanyang menargetkan koloid,
mucin, butiran sitoplasma endokrin dan lain-lain akan lebih baik jika dilakukan
fiksasi kering. Hal ini juga berguna pada pasien dengan indikasi keganasan
hematologi seperti limfoma atau leukemia.
4. Fiksasi Khusus
a. Fiksasi Carnoy
Fiksasi ini adalah fiksasi yang dikhususnya untuk spesimen yang hemoragik.
Asam asetat dalam larutan fiksatif ini akan melisiskan sel darah merah.
Fiksasi ini sangat baik untuk melihat detai dari inti serta pengawet untuk
glikogen. Namun fiksasi ini akan menghasilkan penyusutan pada sel dan
cenderung menghasilkan pewarnaan yang lebih di hematoxylin. Kelebihan
waktu dalam
fiksasi inipun akan menyebabkan kerusakan pada materi kromatin. Ketika
fiksasi ini digunakan, sediaan yang dibuat harus dalam kondisi segar dan
segera dibuang ketika selesai pengamatan. Hal ini dikarenakan nilai
efektivitasnya akan berkurang dan dapat menyebabkan negatif palsu dan
selain itu dapat pula menghasilkan reaksi pembentukan asam hidroklorit dari
khloroform yang digunakan.
b. Fiksasi Cair (FAA)
Fiksasi ini merupakan fiksasi yang baik ketika akan membuat “cell block”
ataupun dalam pengamatan sel dalam kondisi segar (penggunaan di parasit,
mikologi dan lain sebagainya).
IX. KESIMPULAN :
Teknik fiksasi pada sediaan sitologik pada dasarnya hampir sama dengan sediaan
jaringan. Tahap inipun sangatlah penting diketahui oleh seorang teknisi laboratorium
patologi anatomi. Pemilihan larutan fiksasi tentu tergantung dari target diagnosis, jarak
tempuh dari tempat pengambilan spesimen dengan laboratorium sitologi hingga waktu
yang diperlukan untuk mempercepat penentuan diagnosis. Adapun jenis-jenis fiksasi
yang umum digunakan di laboratorium sitologi adalah fiksasi basah yang digunakan
untuk pewarnaan papanicolaou dan fiksasi kering untuk pewarnaan Giemsa. Namun jika
jarak pengambilan spesimen jauh dengan laboratorium sitologi (tenpat pewarnaan dan
pengamatan) maka fiksasi yang digunakan adalah fiksasi “coating” menggunakan
“spray”.
X. DAFTAR PUSTAKA :

- https://www.youtube.com/watch?v=Jt5asGXnSVg , Lab Patologi Anatomi -


Pemeriksaan Sitologi
- Bancroft, JD. Gamble, M, (2013) Teory and practice of histological
technique,Philadelphia:Elseiver
- Carson, F.L., Hadik, C., (2009)Histotechnology : A self-instructional text. 3rd
Edition. Hongkong:
- American Society for Clinical Pathology Press. Rupinder, Shubra and Kanwal.
(2013). Rehydration of Air-Dried Smears versus Wet Fixation: A CrossSectional
Study.Acta Cytol. 57(4):364-8
- Scientia, 101 Steps to better Histology. Leica Microsystems’ Education Series
XI. LAMPIRAN :
I. JUDUL : PEMERIKSAAN SAMPEL SITOLOGIK (SPUTUM) DAN CARA
FIKSASI
II. PRAKTIKUM KE -5
III. HARI/TANGGAL : Sabtu, 20 Februari 2021
IV. TUJUAN :
- Untuk mengetahui cara melakukan pemeriksaan sampel sitologik ( Sputum)
dan cara fiksasi
- Untuk mengetahui ada tidaknya morfologi sel abnormal dalam sampel
V. DASAR TEORI :
Fiksasi adalah usaha manusia untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau
jaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk
maupun ukuran. Bahan/larutan fiksatif yang sering digunakan dalam sitologi
antara lain Alkohol ( Etanol ) dan Metanol ( Methyl Alkohol ).Layaknya spesimen
jaringan, spesimen sel pun harus melalui yang namanya fiksasi. Fiksasi spesimen
sitologi yang sempurna adalah prasyarat untuk diagnosis sitologi dengan benar.
Jika fiksasi jaringan seperti yang disebutkan pada topik di atas hanya dilakukan
dengan tahap perendaman, berbeda dengan fiksasi pada sediaan sitologik terbagi
menjadi beberapa bagian yaitu fiksasi kering, fiksasi lembab dan fiksasi basah.
Pada jenis fiksasi basah, sediaan sitologik harus direndam dalam larutan fiksasi
terpilih segera setelah pengambilan spesimen sitologi masih dalam kondisi yang
lembab. Fiksasi spesimen sitologi yang dilakukan dengan segera dilakukan guna
mencegah pengeringan dan perubahan bentuk sel akibat faktor luar. Hasil dari
fiksasi tersebut akan memungkinkan pewarnaan menjadi jelas dan tentunya
menghasilkan diagnosis yang benar. Lain halnya ketika fiksasi sitologi dilakukan
dengan teknik pengeringan, metode ini dilakukan untuk sel-sel yang relatif kuat
dari faktor lingkungan dan digunakan untuk jenis pewarnaan yang memiliki
prinsip sederhana. Idealnya fiksasi yang dilakukan pada sediaan sitologik hampir
sama kriteria dengan fiksasi yang dilakukan pada sediaan jaringan. Kriteria-
kriteria yang harus diperhatikan dalam fiksasi sediaan sitologik adalah :
a. Mempenetrasi sel dengan cepat
b. Minimal menjaga sel dari kerusakan atau kehilangan komponen sel
layaknya ketika sel masih dalam kondisi hidup.
c. Menjaga secara struktur sel maupun komponen sel (kimiawi, enzimatik,
imunologi)
d. Menghentikan proses metabolisme autolisis
e. Menghentikan pertumbuhan selular dan mikroorganisme.
g. Meningkatkan diferensiasi optik dan meningkatkan pewarnaan struktur
dan komponen sel.
VI. ALAT BAHAN :
- Pot Sputum tutup ulir
- Centrifuge
- Tabung centrifuge
- Pipet
- Rak tabung
- Objek glass
- alkohol (Lakukan fiksasi sesuai dengan prosedur pewarnaan yang
dikehendaki (Papanicolaou dan Giemsa ) )
- spesimen sputum

VII. CARA KERJA:


1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menambahkan larutan fiksasi (alkohol 70%) pada sampel sputum sampai
tercelup, mengaduk sampai larut
3. Mencentrifuge 1000 rpm selama 10 menit
4. Setelah centrifugasi selesai, buang supernatan dan homogenkan
5. Pembuatan sediaan sputum tanpa pewarnaan:
- Pipet sediaan 20 mikron ke object glass
- Melakukan squash smear
- Mengeringkan, lalu fiksasi dengan alkohol 96% selama 15-30 menit
- Pengamatan mikroskopis 10 x lensa objektif
6. Pembuatan sediaan sputum dengan pewarnaan:
- Pipet sediaan 20 mikron ke object glass
- Melakukan squash smear, kemudian keringkan
- Fiksasi dengan methanol selama 5 menit
- Buang sisa methanol, kemudian genangi dengan giemsa 15 menit
- Dicuci dengan air mengalir
- Mengamati di mikroskop perbesaran 10x dan 40x lensa objektif

VIII. PEMBAHASAN :
Bahan sputum yang baik adalah sputum yang berasal dari saluran napas bawah
dengan cara membatukkan yang dalam.Bahan yang didapat dari batuk spontan
diperhatikan kualitinya dan hal ini tergantung pada letak lesi, teknik
pengeluaran sputum, waktu pengeluaran dan banyaknya bahan yang
dikeluarkan. Waktu yang
optimal untuk mengeluarkan sputum adalah pagi hari setelah bangun tidur,
penderita berkumur terlebih dulu untuk mengurangi kontaminasi oleh sisa
makanan maupun bakteri dan tidak sikat gigi. Bila sputum minimal dan setelah
diulangi tidak didapatkan spesimen adekuat dapat dibantu dengan induksi.
Bahan yang digunakan untuk induksi antara lain sulfur dioksida, larutan garam
hipertonik dan propilenglikol dengan memakai teknik inhalasi. Efek samping
prosedur inhalasi minimal antara lain pusing akibat hiperventilasi atau mual
akibat larutan garam hipertonik. Sampel sputum dapat diperoleh dengan cara
diinduksi maupun dengan dikumpulkan secara spontan. Pengumpulan sputum
tiga hari berturut-turut meningkatkan kemungkinan deteksi kanker paru.
Fiksasi cara Saccomano (50% etil alkohol dan 2% karbowax)
direkomendasikan untuk pengumpulan, trasport dan fiksasi. Sampel sputum
representatif jika terdapat makrofag alveoli maupun epitel bronkus, sebab hal
itu menunjukkan bahwa sampel didapat dari paru. Sputum adalah sekret
abnormal yang berasaldiekspektorasikan dari sistem bronkopulmoner. Sputum
bukanlah air liur saliva dan bukan pula berasal dari nasofaring. Sputum yang
dibatukkan oleh seorang pasien mengindikasikan adanya suatu proses patologis
pada sistem bronkopulmoner yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari
material seluler, non seluler, dan non pulmoner tergantung dari proses
patologis yang mendasarinya. Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi
atau sel darah merah dari Universitas Sumatera Utara saluran nafas, sel-sel
bronkial dan alveolar yang dieksfoliasikan, atau sel-sel keganasan dari tumor
paru. Sel-sel non pulmoner seperti sel-sel skuamosa orofaring atau sisa-sisa
makanan yang dapat menjadi bagian dari sputum apabila mengalami aspirasi
ke paru dan kemudian dibatukkan. Air merupakan komponen utama dari
sputum 90, selebihnya terdiri dari protein, enzim, karbohidrat, lemak, dan
glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum adalah karakteristik fisiknya,
mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan, proses inflamasi, dan
perubahan patologis dari mukosa bronkus. Sputum dapat diperoleh secara
langsung dibatukkan atau dirangsang dengan inhalasi. Pemeriksaan sitologi
sputum merupakan satu-satunya metode non invasif yang dapat mendeteksi
keganasan paru dini yaitu lesi premaligna atau karsinoma. Inhalasi uap dapat
menggunakan beberapa cairan antara lain NaCl 3% pada suhu 37 o C. Sputum
diperiksa secara langsung dengan fiksasi alkohol 95% maupun secara
dikumpulkan dan difiksasi dengan larutan Saccomano. Pemeriksaan sputum
dengan cara invasif bisa dikerjakan dengan bilasan bronkus. rinsip pemeriksaan
sitologi sputum ialah untuk melihat perangai sel-sel yang terlepas dari suatu
lesi, baik secara spontan maupun buatan. Sputum dapat diperoleh secara
langsung dibatukkan atau dirangsang dengan inhalasi. Inhalasi uap dapat
menggunakan beberapa cairan antara lain NaCl 3% pada suhu 37o C.Sputum
bisa diperiksa secara langsung dengan fiksasi alkohol 95% maupun
dikumpulkan dan difiksasi dengan larutan Saccomano. Keuntungan
pemeriksaan langsung adalah bahan yang digunakan segar sehingga
didapatkan karakteristik morfologi sel yang lebih baik untuk
diagnostik. Kerugiannya, apusan dan fiksasi harus segera dilakukan untuk
mencegah sel mengalami lisis. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan satu-
satunya metode non invasif yang dapat mendeteksi keganasan paru dini yaitu
lesi premaligna atau karsinoma.5 Sampel sputum dapat diperoleh dengan cara
diinduksi maupun dengan cara dikumpulkan. Pengumpulan sputum selama tiga
hari (three days pooled sputum) dapat meningkatkan kemungkinan deteksi
kanker paru. Fiksasi cara Saccomano (50% alkohol dan 2% polietilen glikol)
merupakan cara yang direkomendasikan dalam pengumpulan dan fiksasi
sampel. Keuntungan metoda Saccomano, sputum yang dikumpulkan dapat
digunakan sebagai bahan pemeriksaan penderita rawat jalan dan prosesnya
sederhana memungkinkan bahan yang diperoleh tetap segar.

IX. KESIMPULAN :
Teknik fiksasi pada sediaan sitologik pada dasarnya hampir sama dengan
sediaan jaringan. Tahap inipun sangatlah penting diketahui oleh seorang teknisi
laboratorium patologi anatomi. Pemilihan larutan fiksasi tentu tergantung dari
target diagnosis, jarak tempuh dari tempat pengambilan spesimen dengan
laboratorium sitologi hingga waktu yang diperlukan untuk mempercepat
penentuan diagnosis. Adapun jenis-jenis fiksasi yang umum digunakan di
laboratorium sitologi adalah fiksasi basah yang digunakan untuk pewarnaan
papanicolaou dan fiksasi kering untuk pewarnaan Giemsa. Namun jika jarak
pengambilan spesimen jauh dengan laboratorium sitologi (tenpat pewarnaan
dan pengamatan) maka fiksasi yang digunakan adalah fiksasi “coating”
menggunakan “spray”.
X. DAFTAR PUSTAKA :

- https://www.youtube.com/watch?v=Jt5asGXnSVg , Lab Patologi Anatomi -


Pemeriksaan Sitologi
- Bancroft, JD. Gamble, M, (2013) Teory and practice of histological
technique,Philadelphia:Elseiver
- Carson, F.L., Hadik, C., (2009)Histotechnology : A self-instructional text.
3rd Edition. Hongkong:
- American Society for Clinical Pathology Press. Rupinder, Shubra and
Kanwal. (2013). Rehydration of Air-Dried Smears versus Wet Fixation: A
CrossSectional Study.Acta Cytol. 57(4):364-8
- Scientia, 101 Steps to better Histology. Leica Microsystems’ Education
Series
- https://text-id.123dok.com/document/wyegv71z7-sitologi-sputum-
diagnosis-kanker-paru.html diakses pada 24/02/2021 17.02 WIB
- Modul Sitohistotenologi PPSDM KEMENKES

XI. LAMPIRAN :
I. JUDUL : PEMERIKSAAN SAMPEL SITOLOGIK (CAIRAN PLEURA DAN
PAP SMEAR) DAN CARA FIKSASI
II. PRAKTIKUM KE -6
III. HARI/TANGGAL : Sabtu, 20 Februari 2021
IV. TUJUAN :
- Untuk mengetahui cara melakukan pemeriksaan sampel sitologik ( Sputum) dan
cara fiksasi
- Untuk Membantu memperkirakan keberadaan sel-sel ganas dalam spesimen
cairan sputum
V. DASAR TEORI :
Fiksasi adalah usaha manusia untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau
jaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk
maupun ukuran. Bahan/larutan fiksatif yang sering digunakan dalam sitologi
antara lain Alkohol ( Etanol ) dan Metanol ( Methyl Alkohol ).Layaknya spesimen
jaringan, spesimen sel pun harus melalui yang namanya fiksasi. Fiksasi spesimen
sitologi yang sempurna adalah prasyarat untuk diagnosis sitologi dengan benar.
Jika fiksasi jaringan seperti yang disebutkan pada topik di atas hanya dilakukan
dengan tahap perendaman, berbeda dengan fiksasi pada sediaan sitologik terbagi
menjadi beberapa bagian yaitu fiksasi kering, fiksasi lembab dan fiksasi basah.
Pada jenis fiksasi basah, sediaan sitologik harus direndam dalam larutan fiksasi
terpilih segera setelah pengambilan spesimen sitologi masih dalam kondisi yang
lembab. Fiksasi spesimen sitologi yang dilakukan dengan segera dilakukan guna
mencegah pengeringan dan perubahan bentuk sel akibat faktor luar. Hasil dari
fiksasi tersebut akan memungkinkan pewarnaan menjadi jelas dan tentunya
menghasilkan diagnosis yang benar. Lain halnya ketika fiksasi sitologi dilakukan
dengan teknik pengeringan, metode ini dilakukan untuk sel-sel yang relatif kuat
dari faktor lingkungan dan digunakan untuk jenis pewarnaan yang memiliki
prinsip sederhana. Idealnya fiksasi yang dilakukan pada sediaan sitologik hampir
sama kriteria dengan fiksasi yang dilakukan pada sediaan jaringan. Kriteria-
kriteria yang harus diperhatikan dalam fiksasi sediaan sitologik adalah :
a. Mempenetrasi sel dengan cepat
b. Minimal menjaga sel dari kerusakan atau kehilangan komponen sel
layaknya ketika sel masih dalam kondisi hidup.
c. Menjaga secara struktur sel maupun komponen sel (kimiawi, enzimatik,
imunologi)
d. Menghentikan proses metabolisme autolisis
e. Menghentikan pertumbuhan selular dan mikroorganisme.
f. Meningkatkan diferensiasi optik dan meningkatkan pewarnaan
struktur dan komponen sel.

VI. ALAT BAHAN :


- Pot tutup ulir
- Centrifuge
- Tabung centrifuge
- Pipet
- Rak tabung
- Objek glass
- alkohol (Lakukan fiksasi sesuai dengan prosedur pewarnaan yang
dikehendaki (Papanicolaou dan Giemsa ) )
- spesimen pleura
VII. CARA KERJA :
Sentrifugasi
1. Perhatikan tampilan dari spesimen cair dan deskripsikan dalam formulir permintaan.
2. Tuangkan spesimen ke dalam 15-50 ml (tergantung dari perkiraan jumlah sel
berdasarkan kekeruhan). Tabung sentrifus diputar selama sepuluh (10) menit dengan
kecepatan berkisar 1.800-2.500 rpm.
3. Saat melakukan sentrifugasi, siapkan dua slide yang telah diberi label.
4. Tuang cairan supernatan (posisi yang di atas) kembali ke wadah spesimen asal.
Ketika spesimen memiliki endapan yang tebal sisakan supernatan kurang lebih 1/3
bagian dari sedimen atau ketika sedimen sangat tipis bahkan hampir tidak terlihat
maka supernatan diusahakan terbuang hingga tidak ada tetesan kurang lebih 2-3
detik.
5. Homogenkan kembali hasil no 4 dengan mengetukkan tabung atau dapat
menggunakan vortex hingga terlihat lagi larutan yang bercampur.
6. Ambil larutan pada tabung no 5 dan teteskan satu atau dua tetes pada sisi objek gelas
(kurang lebih 2 cm dari tepi luar)
7. Pada poin 7 dapat dipilih salah satu (a atau b)
a. Lakukan metode "pull-apart" (tarik dan dorong), hingga sedimen menyebar
merata pada permukaan.
b. Tekan tetesan spesimen dengan kaca objek dan putar kedua objek hingga
menjadi sejajar dan tarik perlahan dengan arah yang berlawanan atau yang
disebut dengan “sliding smear”.
8. Simpan sisa sedimen di tabung sentrifugal hingga diagnosisnya terlaporkan.
9. Lanjutkan dengan tahap fiksasi (kering atau basah) tergantung dari formulir
permintaan.(Khristian dan Inderiati, 2017), menggunakan larutan eter dan etil
alkohol 95% dalam volume yang sama.
VIII. PEMBAHASAN:
Cairan pleura merupakan ultrafitrat plasma, jumlahnya kurang dari 10 ml dalam masing
masing cavum pleura. Kelebihan cairan pleura terjadi oleh karena adanya
ketidakseimbangan antara proses pembentukan dengan proses pengeluaran cairan pleura
dari cavum pleura. Peningkatan produksi cairan pleura terjadi oleh karena: peningkatan
hydrostatic pressure gradient (pada keadaan gagal jantung kongestif, hipertensi portal),
penurunan tekanan osmotic koloid ( pada keadaan hipoproteinemia) dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler (seperti pada keadaan infeksi, keganasan dan
inflamasi).Penurunan pembuangan cairan pleura terjadi pada keadaan gangguan
drainase aliran darah limpa (misalnya pada beberapa keganasan), penurunan tekanan
pada cavum pleura (seperti pada obstruksi bronkus, atelectasis). Darah, pus dan chyle
dapat menjadi akumulasi dalam cavum pleura. (Tarn and Lapworth, 2001). Pengolahan
preparat apus diawali dengan proses sentrifuge, yaitu bahan yang diambil untuk preparat
apus yang dipakai adalah cairan pleura oleh karena cairan pleura itu encer serta
mengandung sedikit sel, maka dilakukan sentrifuge (pemusingan) dalam waktu tertentu
sehingga tampak endapan dengan cairan yang jernih. Kemudian cairan pleura tersebut
secara hati-hati dibuang. endapannya dipisahkan ke objek gelas dengan pipet atau alat
yang serupa kemudian dilakukan apusan dengan menggunakan salah satu objek gelas
yang lain. Untuk memeriksa struktur sel dengan jelas dan dengan perubahan yang
minimal perlu suatu proses yang disebut sebagai fiksasi. Sebelum difiksasi sediaan tidak
boleh kering karena dapat menyebakan kerusakan sel dan hilangnya afinitas untuk
pewarnaan. Bahan fiksasi ini akan mengeraskan sel sehingga tahan terhadap berbagai
reagen yang akan diberikan dan merubah susunan protein degenerasi yang disebabkan
oleh aktivitas bakteri. Metode ini efektif karena penetrasi yang cepat dari sel oleh fiksasi
yaitu larutan eter dan etil alkohol 95% dalam volume yang sama. Jika bahan yang segar
segera difiksasi dengan segera maka perubahan sel akan minimal. Selanjutnya
komposisi bahan fiksasi ini digunakan untuk pengecatan papanicolaou (Astuti, 2017).
Prinsip kerja sito blok adalah pengambilan fragmen jaringan dari spesimen sitologi
untuk dibentuk ke dalam blok parafin yang meliputi proses fiksasi, Penjernihan
(clearing), impregnasi, Pengeblokan (embedding), pemotongan, pengecatan, dan
diperiksa dibawah mikroskop (Jain, 2014). Sito blok merupakan biopsi yang dicetak
dalam parafin sehingga dapat memperbesar nilai diagnosis dari spesimen sitologi dan
merupakan pelengkap preparat sitologi. Peran sito blok berfungsi untuk menilai struktur
histologis dan melakukan pemeriksaan tambahan. Bagian yang paling menantang dari
pembuatan sito blok adalah pemindahan endapan sel ke dalam cetakan parafin (Jain,
2014). Tahap pengolahan diawali dengan proses fiksasi, yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya autolisis dan pengaruh bakteri, mempertahankan bentuk dan isi
jaringan mendekati kondisi sebelum fiksasi, memungkinkan proses pengolahan jaringan
selanjutnya berjalan dengan baik, mempertahankan komponen jaringan.
IX. KESIMPULAN:
Teknik fiksasi pada sediaan sitologik pada dasarnya hampir sama dengan sediaan
jaringan. Tahap inipun sangatlah penting diketahui oleh seorang teknisi laboratorium
patologi anatomi. Pemilihan larutan fiksasi tentu tergantung dari target diagnosis, jarak
tempuh dari tempat pengambilan spesimen dengan laboratorium sitologi hingga waktu
yang diperlukan untuk mempercepat penentuan diagnosis. Adapun jenis-jenis fiksasi
yang umum digunakan di laboratorium sitologi adalah fiksasi basah yang digunakan
untuk pewarnaan papanicolaou dan fiksasi kering untuk pewarnaan Giemsa. Namun jika
jarak pengambilan spesimen jauh dengan laboratorium sitologi (tenpat pewarnaan dan
pengamatan) maka fiksasi yang digunakan adalah fiksasi “coating” menggunakan
“spray”.
X. DAFTAR PUSTAKA:
- https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/2fede49e89793830a8833f6
e64f64d81.pdf diakses pada 24/02/2021 18.11 WIB
- http://repository.unimus.ac.id/3133/2/BAB%20II.pdf diakses pada 24/02/2021
18.17 wib
- Nasution, S. A. (2019). SKRINING MAKROSKOPIS CAIRAN PLEURA DARI
EFUSI PLEURA DI UNIT LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI RUMAH
SAKIT UMUM PENDIDIKAN HAJI ADAM MALIK MEDAN. Jurnal
AnLabMed
Analis Laboratorium Medis, 1(1), 23-32.
-
XI. LAMPIRAN :

Anda mungkin juga menyukai