Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM MIKOLOGI

TEKNIK SWAB VAGINA DAN PENGKULTURAN Candida


albicans
Diampu oleh : Dr. Sri Martina Wiraswati, SP, MSi

Disusun Oleh
JIHAN NABILLA
P1337434318023

PRODI SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
PENGKULTURAN DAN PENGAMATAN KELOMPOK JAMUR Trychophyton sp.,
Epidermophyton sp., dan Microsporum sp.

I. PERTEMUAN KE- 6
II. TUJUAN :
- Mengidentifikasi jamur Trychophyton sp., Epidermophyton sp., dan Microsporum
sp.
- Dapat melakukan kultur jamur Trychophyton sp., Epidermophyton sp., dan
Microsporum sp. pada media
- Untuk menemukan jamur Trychophyton sp., Epidermophyton sp., dan
Microsporum sp. di dalam bahan klinis baik dengan pemeriksaan langsung
maupun dengan biakan.

III. PRINSIP
Sampel diperiksa secara langsung (dengan KOH 10%) serta ditumbuhkan pada media
SDA (Sabouraud dextrose agar) dengan inkubasi 37 °C dalam inkubator.
Mikroorganisme yang tumbuh diambil koloni dengan skalpel lalu digoreskan dan
diamati pada mikroskop.

IV. DASAR TEORI :


Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh jamur dermatofita
yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai
sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin, seperti stratum korneum pada
epidermis, rambut dan kuku. Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit
superfisial yang terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum, Tricophyton, dan
Epidermophyton yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes. Dari ketiga
genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22
spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Spesies terbanyak yang menjadi
penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah: Trichophyton rubrum (T. rubrum).
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang
panas, higiene perseorangan, sumber penularan, penggunaan obat-obatan steroid,
antibiotik dan sitostatika, imunogenitas dan kemampuan invasi organisme, lokasi
infeksi serta respon imun dari pasien. Terjadinya penularan dermatofitosis adalah
melalui 3 cara yaitu:
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent “carrier”).
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di
pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing,
sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia
dan menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan
tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada
kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan
mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan
keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi
jaringan atau radang. Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan
respon pejamu.

V. ALAT DAN BAHAN :


- KOH 10%
- Media SDA
- Skalpel
- MIkroskop
- Objek glass
- Deck glass
- Bunsen

VI. PROSEDUR KERJA :


Pemeriksaan langsung (KOH 10%)
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengambil skuama dari bagian tepi lesi dengan menggunakan skapel
3. Skuama diletakkan pada objek glass
4. Meneteskan kalium hidroksida (KOH 10%) pada bagian atas skuama
5. Menutup dengan deck glass
6. Memeriksa dibawah mikroskop

Pemeriksaan dengan biakan


1. Menyiapkan alat dan bahan
2. mengambil sampel skuama dari bagian tepi lesi kemudian menanam pada media
SDA dan PDA
3. Menginkubasi selama 10-15 hari suhu 37°C
4. Biakan yang telah tumbuh diperiksa dibawah mikroskop
VII. HASIL :
Pemeriksaan dengan KOH 10% didapatkan arthrokonidia diluar batang rambut(ektrotriks)

(ciri dari Trichophyton rubrum)


Morfologi Microsporum sp.

VIII. PEMBAHASAN :
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial yang terdiri dari
3 genus, yaitu Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton yang dikelompokkan
dalam kelas Deuteromycetes. Dermatofita bersifat keratinofilik mengenai stratum
korneum pada kulit, rambut dan kuku dengan cara transmisi melalui zoofilik,
antropofilik dan geofilik. Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan lokasi atau
ciri khusus tertentu, dan jenis struktur keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan
rambut. Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama, yaitu perlekatan, dengan
keratinosit, penetrasi melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Adanya
virulensi jamur, mekanisme penghindaran, kondisi imunitas pejamu yang lemah
memudahkan infeksi dermatofit. Diagnosis dermatofita pada praktikum ini ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10% dan kultur jamur.
Spesies Tricophyton salah satunya yaitu Tricophyton rubrum merupakan jamur
antropofilik yang dapat dikultur menggunakan Sabouraud dextorese agar (SDA).
Koloni yang tumbuh merupakan koloni dengan pertumbuhan lambat ( slow growing)
yaitu 10-15 hari, secara makroskopis memberikan gambaran yang bervariasi.
Terdapat gambaran bentukan downy, melanoid, granular, African, rodhainii dan
dysgenic. Bentukan melanoid berupa bulu halus menyerupai kapas berwarna putih
dan memproduksi pigmen melanoid coklat yang berdifusi ke dalam medium dan
menutupi pigmen merah yang ada di permukaan sebaliknya dari koloni.Pada
pemeriksaan mikroskopis didapatkan mikrokonidia bentuk tear drop tersusun pada
tepi lateral hifa.
Microsporum sp. umumnya ditemukan pada iklim lembab dan hangat. Gambaran
mikroskopis spesies ini memiliki makrokonidia multiseluller dengan dinding tebal,
kasar dan memiliki dinding berduri. Makrokonidia menyerupai tong dengan bagian
ujung yang tidak simetris dan memiliki panjang 10-50 µm yang terdiri dari 6-15 sel.
Mikrokonidia berbentuk seperti buah pir dan terkadang berbentuk oval (Ellis, 2013).
Pertumbuhan koloni pada media SGA setelah 5-10 hari akan membentuk kapas
putih di permukaan biakan dengan batas luar berwarna kuning tua hingga orange
(Descamps dkk., 2002).
Epidermophyton sp. memiliki dinding halus sekitar 1-1,5 mikrometer dengan kurang
dari 10 dinding bagian dalam macroconidia tersebut. Mempunyai makrokonidia
berbentuk tongkat, terdiri atas satu sampai lima sel. berdiniding tebal dan terdirin atas
2-4 sel dan tersusun pada satu konidiofora.beberapa makrokonidia ini tersusun pada
satu konidiofor mempunyai bentuk hifa yang lebarnya biasanya mikrokonidia tidak
ditemukan. Pada gambaran mikroskopis bentuk hifa lebar,dan tersusun pada satu
konidiofora. Koloni Epidermophyton salah satunya yaitu Epidermophyton floocosum
bewarna kuning kehijauan, Tekstur koloni datar , awalnya kasar dan menjadi radial
beralur , felty dan beludru dengan pematangan dan cepat menjadi berbulu halus dan
steril.
IX. SIMPULAN
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial yang terdiri dari
3 genus, yaitu Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton yang dikelompokkan
dalam kelas Deuteromycetes. Diagnosis dermatofita pada praktikum ini ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10% dan kultur jamur.
Media yang digunakan yaitu SDA, PCA, dan SGA untuk biakan dan pada
pemeriksaan langsung digunakan reagen KOH 10 %.
X. DAFTAR PUSTAKA :
- Ruhyadin, Ujang. 2016. Karya tulis ilmiah. IDENTIFIKASI JAMUR
Trychophyton rubrum PENYEBAB TINEA PEDIS PADA PEDAGANG IKAN
DI PASAR CIKURUBUK KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2016
- Kurniati, Cita. Etiopatogenesis Dermatofitosis. https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol
%252020%2520no%25203_des
%25202008_Acc_3.pdf&ved=2ahUKEwiQ1ZXV187sAhV8IbcAHUX2BwsQFj
AAegQIARAB&usg=AOvVaw1FTqq0nuquyLWimMS01jyF
- Paramita, Christiana dan IGAA Dwi. 2016. TRICOPHYTON RUBRUM
SEBAGAI AGEN PENYEBAB TINEA KAPITIS TIPE GRAY PATCH PADA
SEORANG ANAK
TEKNIK SWAB VAGINA DAN PENGKULTURAN Candida albicans

I. Pertemuan Ke-10
II. Tujuan : untuk mengetahui teknik swab vagina dan cara melakukan kultur Candida
albicans
III. Prinsip : Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non probability sampling
secara purposive sampling. Menurut Notoatmodjo (2012), pengambilan sampel secara
purposive sampling ini dilakukan dengan pertimbangan peneliti sendiri, berdasarkan
ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
IV. Metode :
- pemeriksaan langsung KOH 10%
-

V. Dasar Teori : Candida albicans merupakan penyebab utama infeksi jamur invasif dan
merupakan masalah kesehatan umum yang terjadi di masyarakat. Sekitar 50-75%
wanita pernah terinfeksi kandidiasis vulvovaginalis (KVV) semasa hidupnya. Sardi, et
al (2013) melaporkan bahwa 85- 90% C. albicans merupakan penyebab utama infeksi
KVV di dunia. C. albicans dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius oleh
karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas serta melibatkan biaya ekonomi yang
relatif tinggi disebabkan oleh lamanya waktu perawatan dan rawat inap (Lai et al.,
2012). Banyaknya kasus asimtomatis yang ditemukan pada genital wanita yang sehat
berkisar 20-50% (Chijioke et al., 2016). Sekitar 75% dari semua wanita sedikitnya
pernah mengalami satu episode KVV yang tidak menimbulkan keluhan (asimtomatis)
dan 50% dari mereka mengalami kekambuhan (Sobel et al., 2015). Selain itu,
diperkirakan 10-20% wanita yang tidak mendapatkan pengobatan dan tidak
terdiagnosis KVV secara dini akan mengalami komplikasi yang serius (CDC, 2015).
Pemahaman yang belum benar mengenai juga diperburuk dengan tidak terdiagnosisnya
dan tidak mendapat pengobatan yang tepat, sehingga menjadi masalah utama kesehatan
dan dampak bagi pasien, pasangan seksual maupun dokter. Apabila hal ini terjadi tanpa
pemberian intervensi yang tepat dapat mengakibatkan komplikasi yang serius.
Komplikasi yang tejadi dapat berupa mudahnya transmisi HIV/AIDS, kandidiasis
reccurent (berulang), infeksi kronis yang dapat menginvasi ke esophagus, usus halus,
usus besar dan anus serta infeksi sistemik lainnya berupa abses hati dan otak. Oleh
sebab itu, untuk menghindari terjadinya hal tesebut maka perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk mendeteksi penyebab infeksinya sehingga dapat diberikan pilihan
terapi yang tepat (Vorvick, 2011). Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam
mendiagnosis infeksi Candida sp. adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan secara makroskopis
dan mikroskopis. Kelebihan metode pemeriksaan mikroskopis adalah dapat melihat
bentuk atau morfologi dari organisme yang lebih kecil menggunakan mikroskop dan
kelebihan secara makroskopis adalah dapat mengamati bentuk organoleptik
menggunakan panca indra dengan mendeskripsikan bentuk, warna, bau kemudian
dikelompokkan berdasarkan jenis atau spesiesnya (Kemala et al., 2013). Diagnosis
infeksi Candida sp. berdasarkan biakan jamur atau kultur merupakan gold standar untuk
mendapatkan diagnosis dengan tepat karena memiliki tingkat sensitivitas dan Sekitar
75% dari semua wanita sedikitnya pernah mengalami satu episode KVV yang tidak
menimbulkan keluhan (asimtomatis) dan 50% dari mereka mengalami kekambuhan
(Sobel et al., 2015). Selain itu, diperkirakan 10-20% wanita yang tidak mendapatkan
pengobatan dan tidak terdiagnosis KVV secara dini akan mengalami komplikasi yang
serius (CDC, 2015). Pemahaman yang belum benar mengenai juga diperburuk dengan
tidak terdiagnosisnya dan tidak mendapat pengobatan yang tepat, sehingga menjadi
masalah utama kesehatan dan dampak bagi pasien, pasangan seksual maupun dokter.
Apabila hal ini terjadi tanpa pemberian intervensi yang tepat dapat mengakibatkan
komplikasi yang serius. Komplikasi yang spesifisitas yang cukup tinggi (Kemala et al.,
2013).
VI. Alat dan Bahan
Alat :
- Rak tabung
- Tissue
- Tempat Limbah infeksius
- Tempat non Limbah infeksius
- Kapas kering
- Label dan alat tulis
- APD
- Alat swab steril
Bahan :
- Alcohol 70%
- KOH 10%
- Sabouraud dextrose agar/SDA
- Sabouraud’s dextrose broth
- Nafis 9%

VII. Prosedur Kerja


Pra Analitik
a. Menyiapkan alat dan bahan
Analitik
Teknik swab vagina

a. Buka kedua labia minora dengan tangan non-dominan

b. Lakukan inspeksi meatus eksterna dan vulva. Perhatikan apakah ada lesi kulit,
sekret atau perdarahan per vaginam, dan bekas luka
c. Memasukkan spekulum

d. Swab dinding vagina (jarak >2 cm dari introitus untuk HVS, dan jarak 1-2 cm
dari untuk LVS) menggunakan swab steril.

e. Apusan swab sebanyak 2-3 kali gulungan pada slide mikroskop tanpa terputus.


Tunggu hingga apusan mengering di udara terbuka, lalu tutup slide carrier.
Buang swab
f. Jika diperlukan pemeriksaan untuk kultur, gunakan swab transtube untuk
mengambil sampel sekret vagina.
g. Masukkan slide dan transtube dalam kantung spesimen, serta beri label identitas
pasien
Cara Kultur C.albicans
Menurut Siregar (2004), kultur jamur Candida albicans dapat dilakukan pada
media SDA dengan cara:
1. Digunakan APD yang lengkap, baik dan benar.
2. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
3. Dikeluarkan sampel dari media transport Stuart.
4. Dilakukan kultur dengan menggoreskan dengan 4 kuadran pada media SDA.
5. Dalam menanam sampel, pastikan bekerja dengan aseptis, agar tidak terjadi
kontaminasi.
6. Ditunggu hingga sampel sedikit kering, lalu diinkubasi pada suhu 37 derajat
Celcius selama 2-3 hari.
7. Dilakukan pengamatan makroskopis pada media yang telah diinkubasi, yaitu
diamati permukaan koloni halus dan licin, berwarna putih atau kekuning-
kuningan dan berbau ragi.
8. Selanjutnya koloni diamati dengan mikroskopis.

PEMERIKSAAN GERM TUBE


Menurut Aryal (2015) pemeriksaan germ tube dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Digunakan APD dengan baik, benar, dan lengkap.
2. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
3. Dimasukkan serum sebanyak 0,5 ml kedalam tabung eppendorf.
4. Tambahkan satu ose koloni jamur Candida dari media SDA.
5. Sebagai kontrol uji germ tube, ditambahkan satu ose koloni Candida albicans
ATCC 10231 pada 0,5 ml serum.
6. Inkubasi selama 2 jam pada suhu 37 0C.
7. Dibuat preparat dari serum yang telah diinkubasi.
8. Diamati pada mikroskop dengan pembesaran objektif 10× dan 40×.
9. Dilaporkan hasil pengamatan adanya germ tube.

Pasca Analitik
VIII.Hasil

Pembahasan : Pemeriksaan kultur swab vagina jarang digunakan untuk mendiagnosis


vaginosis bakterial. Kultur menggunakan media Nickerson atau Sabouraud
diindikasikan pada kasus kandidiasis vaginalis yang refrakter atau rekuren, sedangkan
kultur menggunakan media Diamond atau Trichosol broth direkomendasikan pada
kasus suspek trichomoniasis yang tidak dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
lainnya. Pada pasien usia prepubertas, kultur swab vagina disertai swab rektum dapat
dilakukan untuk kasus vulvovaginitis akibat Gonorrhea dan Chlamydia. Pada
kandidiasis vaginalis, saline wet mount test menunjukkan gambaran hifa dan budding
yeast. Whiff test umumnya negatif. Kultur tidak diperlukan kecuali pada kasus rekuren
Berdasarkan pemeriksaan kultur dengan media coklat agar terdapat koloni kecil dengan
ukuran sedang dengan diameter 1-4 mm, jernih, keeping , sedikit cembung, dan
smooth. Koloni yang besar biasanya tepinya bergelombang, kadang berwarna putih
kelabu. Sedangkan pada MCA Hidrogen Sulfida negative yang artinya tidka tumbuh
dan Media NA juga tidak tumbuh.

IX. Simpulan :
Struktur kemaluan perempuan bersifat khas. Saluran vagina senantiasa
terbuka dengan dunia luar. Kemungkinan dimasuki benda apapun, termasuk
oleh bibit penyakit, selalu ada. Hanya karena suasan masam yang tebentuk
dimulut saluran vagina, dan posisi saluran vagina yang senantiasa terkatup
mingkem, sehingga tidak sembarang barang atau bibit penyakit berhasil
memasukinya kecuali atas permintaan. Merawat vagina agar tetap bersih setiap
saat harus diperhatikan kaum wanita. Hal ini peting dilakukan untuk mencegah
terinfeksi segala macam penyakit kelamin, seperti kanker serviks atau kanker
leher rahim. Terdapat bakteri Neisseria gonorrhae pada kultur vagina yang dilakukan
berdasarkan pemeriksaan.
X. Daftar Pustaka :
- Hartati, Hartati, Maliftha Dwi Aini, and Yuliyanti Yasin. "Identifikasi
Candida albicans pada Wanita Dewasa di Kota Kendari secara
Makroskopis dan Mikroskopis." MEDULA 6.2 (2019).
- Med.unhas.ac.id. 2020. [online] Available at:
<https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2015/03/BUKU-
PANDUAN-KETERAMPILAN-KLINIK-VAGINAL-DISCHARGE.pdf>
[Accessed 26 October 2020].
- Docplayer.info. 2020. MAKALAH BIOLOGI DAN PERKEMBANGAN
TENTANG VAGINA SWAB - PDF Free Download. [online] Available
at: <https://docplayer.info/73007076-Makalah-biologi-dan-perkembangan-
tentang-vagina-swab.html> [Accessed 26 October 2020].
Lampiran
TEKNIK PEMERIKSAAN DAN MORFOLOGI JAMUR PADA KUKU

I. Pertemuan Ke-9
II. Tujuan : untuk mengetahui teknik swab vagina dan cara melakukan kultur Candida
albicans
III. Prinsip : Sampel diperiksa secara langsung (dengan KOH 10%) serta ditumbuhkan
pada media SDA (Sabouraud dextrose agar) dengan inkubasi 37 °C dalam inkubator.
Mikroorganisme yang tumbuh diambil koloni dengan skalpel lalu digoreskan dan
diamati pada mikroskop.
IV. Metode :
- pemeriksaan langsung KOH 10%
- Kultur media SDA (Sabouraud dextrose agar)

V. Dasar Teori :
Penyakit infeksi oleh jamur hingga saat ini masih cukup banyak terjadi di masyarakat.
Resiko infeksi jamur tersebut sangat dipengaruhi oleh iklim Indonesia yang memiliki
tingkat humiditas tinggi. Di samping itu kondisi sosial ekonomi yang belum merata
juga berpengaruh terhadap hygiene personal masyarakat yang berkorelasi terhadap
angka kejadian infeksi (Hermawan & Widyanto, 2000). Infeksi oleh jamur yang hingga
saat ini kurang disadari oleh masyarakat adalah infeksi yang terjadi pada kuku atau
dikenal dengan onychomycosis (Setianingsih et al., 2015). Penyakit ini dapat terjadi
pada beberapa bagian kuku seperti matriks, nail bed atau nail plate yang mengakibatkan
rasa nyeri, tidak nyaman dan tampilan kuku yang kurang baik (Rohmah & Bariyah,
2012). Onychomychosis dapat disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita,
nondermatofita serta yeast (Budimulja et al., 2007). Jamur dermatofita yang paling
banyak menimbulkan infeksi diantaranya Trichophyton rubrum (70%), Trichophyton
mentagrophytes (19,8%) dan Epidermophyton floccosum (2,2%). Adapun jamur
dermatofita lain yang pernah dilaporkan diantaranya Trichophyton tonsurans,
Trichophyton violaceum, Trichophyton verrucosum, Microsporum gypseum dan
Trichophyton soudanacea. Infeksi jamur kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatophyta tersebut diistilahkan dengan Tinea unguium. Adapun kelompok non-
dermatofita yang paling sering dilaporkan meliputi kelompok Aspergillus sp. dan
Candida albicans (Bintari et al., 2019; Putra, 2008). Infeksi jamur tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan warna pada kuku menjadi putih, kuning atau
kecoklatan, kuku mengalami onycholisis, pecah-pecah dan tidak rata Infeksi
onikomikosis menurut ahli tidak menyebabkan mortalitas, namun menimbulkan
gangguan klinis yang signifikan, mengurangi estetika, bersifat kronis dan sulit diobati.
Hal tersebut selanjutnya akan mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas
hidup penderita (Setianingsih et al., 2015). Pemeriksaan penunjang terhadap Tinea
unguium untuk penegakan diagnosis menurut Rizkya et al. (2015) dapat dilakukan
melalui pengamatan jamur langsung (direct microscopy) pada spesimen kerokan kuku
atau melalui kultur jamur. Pemeriksaan direct menggunakan larutan kalium hidroksida
(KOH) yang membantu melarutkan jaringan epitel (Wolff & Johnson, 2010).
Pemeriksaan mikroskopis langsung meskipun bukan baku standar dalam pemeriksaan
Tinea unguium namun menurut Noviandini et al. (2017) sangat baik digunakan untuk
pemeriksaan awal karena cepat, sederhana dan mudah dilakukan. Menurut Rohmah &
Bariyah (2012), pertambahan usia merupakan salah satu faktor resiko yang berkorelasi
terhadap angka kejadian onychomycosis. Pada tahap lansia seseorang akan mengalami
penurunan kemampuan kerja, imunitas dan fungsi organ-organ tubuh (Kurnianto,
2015). Hal tersebut menurut Ramadhan & Sabrina (2016) akan mengakibatkan
timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya khususnya kebutuhan
kebersihan diri. Padahal personal hygiene sangat penting dalam usaha mencegah
timbulnya penyakit mengingat sumber infeksi dapat muncul bila aspek kebersihan
kurang mendapat perhatian. Pemeriksaan awal atau screening terkait onychomycosis
pada lansia khususnya yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha sangat jarang
dilakukan. Padahal screening awal dapat mencegah infeksi serius dan mencegah
terjadinya kerusakan kuku secara permanen. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan infeksi onychomycosis pada
lansia di PSTW Wana Seraya melalui pemeriksaan jamur kuku dengan teknik
pengamatan langsung spesimen kerokan kuku.
VI. Alat dan Bahan
Alat :
- Rak tabung
- Tissue
- Tempat Limbah infeksius
- Tempat non Limbah infeksius
- Kapas kering
- Label dan alat tulis
- APD
- Alat swab steril
Bahan :
- Alcohol 70%
- KOH 10%
- Sabouraud dextrose agar/SDA
- Sabouraud’s dextrose broth
- Nafis 9%

VII. Prosedur Kerja


Pra Analitik
Pengambilan sampel
a) Disiapkan pisau scalpel dan gunting kuku steril.
b) Dibersihkan kuku dengan kapas beralkohol, dibiarkan kering.
c) Sementara kuku mengering, disiapkan media yang digunakan.
d) Ditulis no.lab., nama pasien, dan tanggal pengambilan sampel.
e) Digunakan cawan petri steril untuk menampung potongan dan kerokan kuku.
f) Dipotong kuku dengan gunting kuku. Diusahakan potongan kuku agak besar,
untuk direndam dalam KOH  Parker Blue 20%.
g) Sisa potongan kuku dikerok dengan pisau scalpel untuk ditanam dalam media
yang sudah disiapkan.

Analitik
Cara pengamatan morfologi :
a. Disiapkan object glass, diberi nomor lab. dipinggirnya.
b. Diambil 1-2 Ose sampel kuku yang telah direndam dalam KOH Parker Blue
20% dan oleskan di atas object glass. Diusahakan agar mendapatkan kuku
yang berbentuk seperti bubur.
c. Ditutup dengan cover glass. Ditekan sedikit agar didapat preparat yang cukup
tipis.
d. Diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran lensa okuler 10x dan lensa
objektif 10x  atau dengan lensa objektif 40x.
Cara melakukan Kultur
a) Sampel kuku yang telah dikerik masing-masing dimasukkan
kedalam plate SBRC Agar dan Dermatophyte Test Medium (DTM).
b) Dibungkus plate yang telah berisi isolat dari sampel  kuku dengan
menggunakan kertas Non Woven Blue.
c) Disimpan pada suhu / temperatur ruangan (25 - 30 oC) selama 1 bulan. Diamati
perkembangan tiap 1 minggu.
Pasca Analitik
a) Membuat laporan pengamatan
b) Membuang limbah sesuai jenisnya
c) Membersihkan alat yang telah digunakan
VIII. Hasil

IX. Pembahasan
Pada praktikum kali ini Kuku kaki yang akan diambil sampelnya dibersihkan dengan
kapas alkohol 70%. Bagian kuku yang bergejala diambil sampelnya dengan cara
dikerok dengan menggunakan skalpel steril dan disposable dengan arah dari atas ke
bawah. Sampel ditampung pada kertas kering dan dimasukkan ke dalam pot steril untuk
selanjutnya dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Pemeriksaan sampel kerokan uku
dengan menggunakan direct microscopy menggunakan larutan KOH 10%. Sampel
diletakkan di atas object glass dan ditetesi KOH 10%, ditutup dengan cover glass dan
didiaman selama 30 menit. Preparat selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan
dilakukan pengamatan terhadap ada atau tidaknya hifa, konidia atau sel yeast/ ragi.
Data hasil identifikasi yang telah diperoleh selanjutnya dianalisa dan disajikan dalam
bentuk tabel. Metode pengamatan langsung di dalam prosedurnya menggunakan KOH
10% yang berfungsi dalam melisiskan jaringan kuku sehingga mempermudah
pengamatan keberadaan hifa atau konidia (Ruhimat et al., 2011). Penggunaan metode
langsung dalam identifikasi jamur kuku ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Metode langsung memiliki kelebihan yaitu pengerjaan yang singkat sehingga hasil
pemeriksaan diperoleh dengan cepat. Sebaliknya kelemahan metode pengamatan
langsung yaitu saat melakukan pengamatan terkadang hifa ataupun konidia jamur sulit
ditemukan sehingga mempengaruhi hasil penelitian (Adiguna, 2017). Identifikasi jamur
kuku selain melakukan pemeriksaan metode langsung juga disarankan untuk
melakukan kultur jamur. Pemeriksaan kultur jamur memerlukan waktu inkubasi yang
lama namun hasil positif dapat mudah diamati melalui pengamatan makroskopis koloni
jamur di media SDA (Sabouraud Dextrose Agar). Penyakit yang biasa menginfeksi
kuku kaki adalah onychomycosis , biasanya Onychomycosis disertai dengan infeksi
jamur yang lama pada kaki. Kuku menjadi tebal,rapuh, dan tidak mengkilat. Lempeng
kuku menjadi rusak dan berubah warna menjadi kehitaman, kekuningan atau suram.
Tinea unguium (onychomycosis, ringworm of the nail) adalah jamur dermatofitosis
yang paling sukar dan lama disembuhkan karena kuku terinfeksi menjadi rusak dan
rapuh dan bentuknya tidak normal. Di bagian bawah kuku akan menumpuk sisa
jaringaan kuku yang rapuh sehingga tampak seperti kotoran (Kurniati, 2008)
X. Simpulan
infeksi jamur kuku atau dalam bahasa medis tinea unguinum adalah kondisi umum
yang dimulai dengan bintik atau kuning dibawah ujung kuku tangan atau kuku jari kaki.
Infeksi jamur yang parah dapat menyebabkan kuku menghitam, menebal, dan hancur di
tepi. Infeksi ini dapat mempengaruhi beberapa kuku tetapi biasanya tidak semua kuku
terinfeksi. Jika terinfeksi jamur pada kuku masih tergolong ringan maka tidak
membutuhkan pengobatan. Namun terkadang infeksi jamur kuku dapat menyebabkan
nyeri dan penebalan kuku sehingga membutuhkan perawatan dan pengobatan.
XI. Daftar Pustaka :
- Aryasa, I. Nyoman, Ni Wayan Desi Bintari, and I. Dewa Agung Ketut Sudarsana.
"INFEKSI JAMUR KUKU (ONYCHOMYCOSIS) PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA WANA SERAYA." Bali Medika Jurnal 7.1 (2020): 116-124.
- http://sweetlecturer.blogspot.com/2018/09/pemeriksaan-jamur.html
Lampiran
TEKNIK MENGHITUNG JUMLAH SPORA DAN ANGKA KAPANG
PADA SAMPEL PANGAN

I. Pertemuan Ke-13
II. Hari/Tanggal :
III. Tujuan : untuk mengetahui teknik menghitung jumlah spora dan angka kapang pada
sampel pangan
IV. Prinsip :
pertumbuhan kapang dan khamir setelah cuplikan diinokulasikan pada media yang
sesuai dan diinkubasi pada suhu 20℃-25℃ selama 5 hari. Dilakukan inkubasi pada
suhu 25℃ karena kapang/khamir bersifat mesofilik atau dapat tumbuh pada suhu
ruangan 20℃-25℃, inkubasi dengan posisi terbalik supaya uap air yang terbentuk
selama masa inkubasi.
V. Metode : ALT (Angka Lempeng Total)

VI. Dasar Teori :


Penyimpangan mutu mikrobiologi mengakibatkan produk pangan tidak layak
dipasarkan dan dikonsumsi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa konsumsi pangan
yang nilai mikrobiologinya menyimpang atau melewati standar dapat menyebabkan
diare, pusing, muntah, mual dan demam. Bahkan beberapa bakteri tertentu dapat
menyebabkan pingsan, kerusakan sel saraf hingga kematian (Ray, 2000). Produk yang
standar mikrobiologinya menyimpang akan lebih mudah rusak sehingga umur
simpannya menjadi lebih singkat. Selain itu, mutu mikrobiologi juga dijadikan sebagai
indikator kebersihan dan higienitas proses produksi (Shewfelt, 2014). Pemerintah
melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Standar Nasional Nasional
(SNI) telah mempersyaratkan kriteria mikrobiologi untuk sebagian besar bahan dan
produk pangan. Kriteria mikrobiologi pangan bervariasi tergantung dari jenis
pangannya. Pada umumnya kriteria analisis produk pangan yaitu nilai total mikroba
atau angka lempeng total, total kapang dan khamir, dan bakteri koliform. Pada produk
tertentu ada juga yang mempersyaratkan analisis keberadaan bakteri pathogen. Produk
pangan yang dipersyaratkan kriteria mikrobiologinya meliputi produk segar, produk
olahan siap konsumsi, produk setengah jadi seperti tepung-tepungan dan bahan
tambahan pangan (BPOM, 2008). Proses produksi yang masih sangat sederhana,
pengetahuan mengenai higienitas dan kebersihan yang masih sangat terbatas, dan tidak
terdapatnya sistem manajemen produksi yang berstandar menjadikan makanan olahan
posdaya rentan terhadap resiko keamanan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis
tingkat keamanannya terutama aspek mikrobiologi. Pemilihan metode analisis
mikrobiologi perlu disesuaikan dan disederhanakan dengan kebutuhan dan
kesanggupan industri secara finansial. Karena untuk analisis kriteria mikrobiologi
tertentu membutuhkan peralatan dan bahan yang mahal dan modern yang tidak
mungkin saat ini dapat disanggupi oleh industri skala rumah tangga. Usaha pembuatan
makanan olahan posdaya merupakan industri skala rumah tangga yang memiliki
beberapa kelemahan dan keterbatasan dibandingkan industri makro diantaranya seperti
fasilitas pengujian dan keuangan (Atma, et al. 2015). Akan tetapi, persyaratan yang
telah ditetapkan mesti diikuti demi kenyamanan dan keamanan konsumen (Antara,
2014). Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk menentukan mutu mikrobiologi
pangan olahan posdaya dengan analisis metode konvensional yang telah banyak
digunakan pada berbagai macam produk. Analisis yang dilakukan antara lain: 1)
penentuan jumlah mikroba untuk menetapkan kebersihan proses produksi, 2) analisis
koliform untuk menentukan indikator sanitasi dan 3) total kapang khamir untuk
mengetahui kerusakan produk kadar air rendah oleh mikroorganisme.
VII. Alat dan Bahan
Alat :
- Rak tabung - BSL
- Tissue - Incubator
- Tempat Limbah - Kertas
infeksius - Pinset
- Tempat Limbah non - Mikroipet
infeksius - Timbangan
- Kapas kering - Tabung reaksi
- Label dan alat tulis - korek api
- APD - erlenmeyer
- Cawan petri
Bahan :
- Alcohol 70%
- Dichloran 18% glycerol (DG 18)
- Peptone Water 0,1% 225 ml

VIII. Prosedur Kerja


Pra Analitik
Pengenceran sampel
a. untuk sampel <1kg di ambil 100gr
1-4,5 kg diambil sebanyak 300 gr
>4,5kg diambil 500 gr secara aseptis
b. diencerkan menggunakan Peptone Water 0,1% 225ml lalu
Homogenkan selama 2 menit , homogenate ini merupakan
pengenceran 10-1
c. lalu ambil 1 ml dari pengenceran 10-1 lalu masukan ke dalam larutan
Peptone Water 0,1% untuk mendapatkan pengenceran 10-2 ,
d. lalu siapkan pengenceran selanjutnya dengan mengambil 1ml dari
pengenceran 10-2 untuk mendapatkan pengenceran 10-3
e. lalkukan pengenceran sesuai dengan kebutuhan
Analitik
a. pipet sebanyak 1 ml setiap pengenceran lalu masukkan kedalam cawan petri steril
b. lakukan secara triplo untuk setiap pengenceran
c. setelah sampel dimasukan tambahkan media agar DG 18 sebanyak 20-25ml ke dalam
masing-masing cawan yang sudah berisikan sampel
d. lalu lakukan pemutaran cawan ke depan kebelakang dank e kiri ke kanan
e. lalukan control terhadap pepton water 0,1% dan media agar DG 18
f. bungkus cawan dengan kertas lalu beri identitas
g. inkubasi ke dalam 25 ℃ selama 5 hari
Pasca Analitik
a. lakukan pengamatan
b. catat hasil pengamatan
IX. Hasil dan Perhitungan
Contoh
Pengenceran 10-1 : 34 kapang
Pengenceran 10-2 :4
Pengenceran 10-3 : 0
Pengenceran 10-4 : 0
Pengenceran 10-5 : 0
Yang memenuhi untuk dihitung hanya pada pengenceran 1 , karena kriteria cawan
yang bisa dihitung apabila jumlah kapang yang tumbuh 10-150 per cawan .
Maka perhitungan sebagai berikut :
1
Jumlah koloni ×
faktor pengenceran
1
34 × = 3,4 ×102 CFU
10−1
X. Pembahasan
Setelah diinkubasi selama 5 hari semua cawan dikeluarkan dari dalam inkubator
untuk melihat bentuk kapang dan menghitung jumlah koloni kapang yang tumbuh
pada setiap cawan petri. Dicatat hasil yang diperoleh dan disesuaikan denga rukujan
standar baku mutu yang telah ditentukan oleh SNI. Angka Lempeng Total dan Angka
Kapang/Khamir digunakan sebagai parameter keamanan produksi obat tradisional.
Semakin kecil Angka Kapang/Khamir dan Angka Lempeng Total dalam sebuah
sediaan jamu maka semakin aman jamu tersebut dan sudah sesuai dengan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (Warsito, 2011). (Zainuddin, 2017)
menyatakan bahwa kelembaban dan suhu merupakan faktor yang dapat
mengkontaminasi kapang pada lingkungan. Menurut Gunawan (2000) memaparkan
dalam penelitiannya bahwa tingkat keasaman (pH) juga sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan jamur. Nilai pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan
mengakibatkan pertumbuhan miselium jamur akan terhambat.
XI. Simpulan
Uji Angka Kapang/Khamir Uji Kapang/Khamir merupakan salah satu parameter penjaminan
mutu sebuah obat tradisional yang dilakukan dengan menghitung berapa banyak koloni
kapang/khamir yang tumbuh dalam media.

XII. Daftar Pustaka :


- Atma, Yoni. "Angka lempeng total (ALT), angka paling mungkin (APM) dan total
kapang khamir sebagai metode analisis sederhana untuk menentukan standar
mikrobiologi pangan olahan posdaya." Jurnal Teknologi 8.2 (2016): 77-83.
- GENDONG, DIPRODUKSI OLEH PENJUAL JAMU. "UJI ANGKA
KAPANG/KHAMIR (AKK) DAN IDENTIFIKASI."
- Maulidina, Lisa. Uji Total Cemaran Angka Kapang Pada Emping Melinjo (Gnetum
Gnemon. L) Di Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Pidie. Diss. UIN Ar-Raniry Banda
Aceh, 2020.
- https://www.youtube.com/watch?v=YvC-veAnIco

Lampiran
TEKNIK PENGUJIAN SENSITIVITAS OBAT TERHADAP Candida albicans

I. PERTEMUAN KE- 14

II. TUJUAN
Untuk mengisolasi Candida albicans dari spesimen klinis serta menentukan pola
kepekaannya terhadap berbagai obat antijamur.

III. PRINSIP
Menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada zona hambatan yang terlihat pada
daerah jernih di sekitar cakram kertas yang mengandung antifungi. Diameter zona
hambatan pertumbuhan jamur menunjukkan sensitifitas jamur terhadap obat antijamur
yang ditentukan dengan cara mengukur diameter zona hambat dalam satuan
millimeter (mm). Semakin besar diameter maka semakin terhambat pertumbuhan
jamur.

IV. DASAR TEORI


Species Candida salah satunya Candida albicans merupakan flora normal yang hidup
pada mukosa oral, saluran pencernaan, dan vagina (Sardi, et al 2013). Pada orang
yang sehat, Candida sp. bersifat komensal, tetapi pada orang yang sistem imunnya
tertekan, Candida sp. dapat tumbuh berlebihan di daerah mukokutaneus bahkan
masuk ke aliran darah dan menyebabkan infeksi sitemik yang sering mengancam
jiwa.Infeksi vagina dan oral candidiasis diperkirakan terjadi sebanyak 40 juta infeksi
pertahunnya (Naglik, et al, 2014). Infeksi oleh Candida sp. dapat bersifat superfisial
atau invasif. Infeksi superfisial sering menyerang kulit atau selaput lendir dan
biasanya bisa diobati dengan obat antijamur topikal. Sebaliknya, infeksi Candida sp.
yang invasif sering mengancam jiwa dan memerlukan terapi antijamur sistemik.
Jamur C.albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh
sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan
kecambah yang akan membentuk hifa semu (Pseudohifa). Blastospora (sel ragi)
berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 µ x 3-6 µ hingga 2-5 µ
x 5-2µ. Jamur C.albicans dapat tumbuh didalam media Sabaroud Glukosa Agar
dengan membentuk koloni ragi dengan sifat-sifat khas, yaitu menonjol dari
permukaan medium, koloni halus dan licin, berwarna putih kekuning kuningan, dan
berbau seperti ragi. Sejumlah agen antifungi banyak digunakan dalam pengobatan
infeksi candida.Di Indonesia, laporan mengenai pola kepekaan Candida sp. terhadap
berbagai antijamur masih terbatas karena kultur jamur masih jarang dilakukan.
Karena pola kepekaan Candida sp. terhadap antijamur dapat bervariasi dari satu isolat
dengan isolat yang lain, maka penting untuk dilakukan uji kepekaan antijamur. Terapi
kandidiasis sistemik atau invasif, seharusnya didasarkan pada hasil uji kepekaan,
sehingga dapat dipilih anti jamur yang paling sesuai.

V. ALAT DAN BAHAN


- Jamur Candida albicans
- Media Sabourad Dextrose Broth (SDB) Agar
- Fluconazole (Kimia Farma®), Nistatin (Candistin®)
- kontrol negatif (CMC-Na 0,5% b/v)
- Cawan petri
- Kertas cakram (paper disk)
- Inkubator

VI. PROSEDUR KERJA :


a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Sampel Uji Fluconazole dan Nistatin masing-masing dibuat sebanyak 6 variasi
konsentrasi,
- Sampel uji Fluconazole pertama dibuat dengan konsentrasi 2048 µg/mL
kemudian diencerkan sebanyak dua kalinya sampai memperoleh 6 variasi
konsentrasi.
- Sampel uji Nistatin dengan cara melakukan pengenceran sampel Candistin
sebesar 100 kali, kemudian dari sampel tersebut dibuat larutan stok kerja
dengan konsentrasi 600 µg/mL. Sebanyak 6 variasi konsentrasi nistatin
c. Suspensi jamur C. albicans 0.5 Mc Farlanddisebar merata pada media Sabourad
Dextrose Agar (SDB) dengan teknik swab sebanyak 3 putaran dengan masing-
masing putaran berjarak 60°C
d. kertas cakram(paper disk) ditetesi dengan masing masing sampel uji. 6 paper disk
fluconazole, 6 paper disk nistatin, kontrol negatif (CMC-Na 0,5% b/v)
ditempelkan pada cawan petri.
e. Cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam
f. mengukur diameter zona hambat pada cawan petri dan mengkategorikan nilai
rata-rata diameter zona hambat sampel uji berdasarkan tabel kategori kekuatan
antifungi yang dapat dilihat pada Tabel berdasarkan Clinical And Laboratory
Standart Institute (CLSI).

Kode Keterangan Diameter Zona Hambat


(mm)
+++ Susceptible / sensitif ≥ 20
++ Intermediate 15 – 19
+ Resisten ≤ 14

VII. HASIL :

Konsentrasi sampel (μg/mL) Nilai diameter zona hambat (mm)


Fluconazole
64 Nd
128 Nd
256 Nd
512 8,7
1024 16, 9
2048 23,5
Nistatin
200 Nd
250 Nd
300 Nd
350 6,1
400 6,7
450 8,1
Kontrol negatif Nd
Ket : nd = tidak terdeteksi
Fluconazole mulai memberikan respon hambatan terhadap
pertumbuhan Candida albicans pada konsentrasi 512 μg/mL. sedangkan nistatin
mampu menghambat Candida albicans mulai konsentrasi 350 μg/mL. Respon
hambatan yang dihasilkan oleh Nistatin memberikan efek resisten
terhadap fungi Candida albicans, berbeda halnya dengan Fluconazole yang
mampu menghasilkan respon hambat dengan kategori susceptible pada konsentrasi
2048 μg/mL.

VIII. PEMBAHASAN :
Tujuan uji kepekaan antimikroba adalah untuk memberikan data in vitro
mengenai ketepatan dan kemampuan antimikroba sehingga mendapatkan jaminan
pengobatan yang optimal. Prinsip uji kepekaan dengan metode difusi disk adalah
penggunaan paper disk yang telah diberi sejumlah sampel/antibiotik, antibiotik
tersebut akan berdifusi keluar dari disk membentuk gradient konsentrasi
dan mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang ada di
permukaan agar dan menghasilkan zona hambatan. Karena difusi disk
berdasarkan pada perubahan gradient konsentrasi, maka variasi densitas
inokulum sangat mempengaruhi ukuran zona hambatan yang dihasilkan dengan
tidakmemperhatikan kepekaan mikroorganisme uji (Wanger, 2009). Hasil pada
uji sensitivitas obat terhadap Candida albicans yaitu Fluconazole mulai memberikan
respon hambatan terhadap pertumbuhan Candida albicans pada konsentrasi
512 μg/mL. sedangkan nistatin mampu menghambat Candida albicans mulai
konsentrasi 350 μg/mL. Respon hambatan yang dihasilkan oleh Nistatin
memberikan efek resisten terhadap fungi Candida albicans, berbeda halnya
dengan Fluconazole yang mampu menghasilkan respon hambat dengan kategori
susceptible pada konsentrasi 2048 μg/mL.

IX. SIMPULAN :
Antibiotik yang peka dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans dan
memberikan respon hambat dengan kategori susceptible adalah fluconazole dengan
dosis uji efektif efektif yaitu 2048 μg/mL.

X. DAFTAR PUSTAKA :
- Paramita, N. L. P. V., Trisnadewi, I. G. A. A., Pratiwi, N. P. C., Dwijayanti,
N. M. P., Ardiyanti, N. L. P. P., Yustiantara, P. S., ... & Wirasuta, I. M. A. G.
Uji Kepekaan Antifungi Fluconazole Dan Nistatin Terhadap Candida Albicans
Atcc 10231 Dengan Metode Difusi Disk. Jurnal Farmasi Udayana, 5(1),
279715.
- Nirwati, Hera., Praseno., Mustofa, Muchammad. ISOLASI CANDIDA SP
DAN POLA KEPEKAANNYA TERHADAP BERBAGAI ANTIJAMUR DI
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UGM

XI. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai