Disusun Oleh
JIHAN NABILLA
P1337434318023
I. PERTEMUAN KE- 6
II. TUJUAN :
- Mengidentifikasi jamur Trychophyton sp., Epidermophyton sp., dan Microsporum
sp.
- Dapat melakukan kultur jamur Trychophyton sp., Epidermophyton sp., dan
Microsporum sp. pada media
- Untuk menemukan jamur Trychophyton sp., Epidermophyton sp., dan
Microsporum sp. di dalam bahan klinis baik dengan pemeriksaan langsung
maupun dengan biakan.
III. PRINSIP
Sampel diperiksa secara langsung (dengan KOH 10%) serta ditumbuhkan pada media
SDA (Sabouraud dextrose agar) dengan inkubasi 37 °C dalam inkubator.
Mikroorganisme yang tumbuh diambil koloni dengan skalpel lalu digoreskan dan
diamati pada mikroskop.
VIII. PEMBAHASAN :
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial yang terdiri dari
3 genus, yaitu Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton yang dikelompokkan
dalam kelas Deuteromycetes. Dermatofita bersifat keratinofilik mengenai stratum
korneum pada kulit, rambut dan kuku dengan cara transmisi melalui zoofilik,
antropofilik dan geofilik. Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan lokasi atau
ciri khusus tertentu, dan jenis struktur keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan
rambut. Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama, yaitu perlekatan, dengan
keratinosit, penetrasi melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Adanya
virulensi jamur, mekanisme penghindaran, kondisi imunitas pejamu yang lemah
memudahkan infeksi dermatofit. Diagnosis dermatofita pada praktikum ini ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10% dan kultur jamur.
Spesies Tricophyton salah satunya yaitu Tricophyton rubrum merupakan jamur
antropofilik yang dapat dikultur menggunakan Sabouraud dextorese agar (SDA).
Koloni yang tumbuh merupakan koloni dengan pertumbuhan lambat ( slow growing)
yaitu 10-15 hari, secara makroskopis memberikan gambaran yang bervariasi.
Terdapat gambaran bentukan downy, melanoid, granular, African, rodhainii dan
dysgenic. Bentukan melanoid berupa bulu halus menyerupai kapas berwarna putih
dan memproduksi pigmen melanoid coklat yang berdifusi ke dalam medium dan
menutupi pigmen merah yang ada di permukaan sebaliknya dari koloni.Pada
pemeriksaan mikroskopis didapatkan mikrokonidia bentuk tear drop tersusun pada
tepi lateral hifa.
Microsporum sp. umumnya ditemukan pada iklim lembab dan hangat. Gambaran
mikroskopis spesies ini memiliki makrokonidia multiseluller dengan dinding tebal,
kasar dan memiliki dinding berduri. Makrokonidia menyerupai tong dengan bagian
ujung yang tidak simetris dan memiliki panjang 10-50 µm yang terdiri dari 6-15 sel.
Mikrokonidia berbentuk seperti buah pir dan terkadang berbentuk oval (Ellis, 2013).
Pertumbuhan koloni pada media SGA setelah 5-10 hari akan membentuk kapas
putih di permukaan biakan dengan batas luar berwarna kuning tua hingga orange
(Descamps dkk., 2002).
Epidermophyton sp. memiliki dinding halus sekitar 1-1,5 mikrometer dengan kurang
dari 10 dinding bagian dalam macroconidia tersebut. Mempunyai makrokonidia
berbentuk tongkat, terdiri atas satu sampai lima sel. berdiniding tebal dan terdirin atas
2-4 sel dan tersusun pada satu konidiofora.beberapa makrokonidia ini tersusun pada
satu konidiofor mempunyai bentuk hifa yang lebarnya biasanya mikrokonidia tidak
ditemukan. Pada gambaran mikroskopis bentuk hifa lebar,dan tersusun pada satu
konidiofora. Koloni Epidermophyton salah satunya yaitu Epidermophyton floocosum
bewarna kuning kehijauan, Tekstur koloni datar , awalnya kasar dan menjadi radial
beralur , felty dan beludru dengan pematangan dan cepat menjadi berbulu halus dan
steril.
IX. SIMPULAN
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial yang terdiri dari
3 genus, yaitu Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton yang dikelompokkan
dalam kelas Deuteromycetes. Diagnosis dermatofita pada praktikum ini ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10% dan kultur jamur.
Media yang digunakan yaitu SDA, PCA, dan SGA untuk biakan dan pada
pemeriksaan langsung digunakan reagen KOH 10 %.
X. DAFTAR PUSTAKA :
- Ruhyadin, Ujang. 2016. Karya tulis ilmiah. IDENTIFIKASI JAMUR
Trychophyton rubrum PENYEBAB TINEA PEDIS PADA PEDAGANG IKAN
DI PASAR CIKURUBUK KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2016
- Kurniati, Cita. Etiopatogenesis Dermatofitosis. https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol
%252020%2520no%25203_des
%25202008_Acc_3.pdf&ved=2ahUKEwiQ1ZXV187sAhV8IbcAHUX2BwsQFj
AAegQIARAB&usg=AOvVaw1FTqq0nuquyLWimMS01jyF
- Paramita, Christiana dan IGAA Dwi. 2016. TRICOPHYTON RUBRUM
SEBAGAI AGEN PENYEBAB TINEA KAPITIS TIPE GRAY PATCH PADA
SEORANG ANAK
TEKNIK SWAB VAGINA DAN PENGKULTURAN Candida albicans
I. Pertemuan Ke-10
II. Tujuan : untuk mengetahui teknik swab vagina dan cara melakukan kultur Candida
albicans
III. Prinsip : Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non probability sampling
secara purposive sampling. Menurut Notoatmodjo (2012), pengambilan sampel secara
purposive sampling ini dilakukan dengan pertimbangan peneliti sendiri, berdasarkan
ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
IV. Metode :
- pemeriksaan langsung KOH 10%
-
V. Dasar Teori : Candida albicans merupakan penyebab utama infeksi jamur invasif dan
merupakan masalah kesehatan umum yang terjadi di masyarakat. Sekitar 50-75%
wanita pernah terinfeksi kandidiasis vulvovaginalis (KVV) semasa hidupnya. Sardi, et
al (2013) melaporkan bahwa 85- 90% C. albicans merupakan penyebab utama infeksi
KVV di dunia. C. albicans dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius oleh
karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas serta melibatkan biaya ekonomi yang
relatif tinggi disebabkan oleh lamanya waktu perawatan dan rawat inap (Lai et al.,
2012). Banyaknya kasus asimtomatis yang ditemukan pada genital wanita yang sehat
berkisar 20-50% (Chijioke et al., 2016). Sekitar 75% dari semua wanita sedikitnya
pernah mengalami satu episode KVV yang tidak menimbulkan keluhan (asimtomatis)
dan 50% dari mereka mengalami kekambuhan (Sobel et al., 2015). Selain itu,
diperkirakan 10-20% wanita yang tidak mendapatkan pengobatan dan tidak
terdiagnosis KVV secara dini akan mengalami komplikasi yang serius (CDC, 2015).
Pemahaman yang belum benar mengenai juga diperburuk dengan tidak terdiagnosisnya
dan tidak mendapat pengobatan yang tepat, sehingga menjadi masalah utama kesehatan
dan dampak bagi pasien, pasangan seksual maupun dokter. Apabila hal ini terjadi tanpa
pemberian intervensi yang tepat dapat mengakibatkan komplikasi yang serius.
Komplikasi yang tejadi dapat berupa mudahnya transmisi HIV/AIDS, kandidiasis
reccurent (berulang), infeksi kronis yang dapat menginvasi ke esophagus, usus halus,
usus besar dan anus serta infeksi sistemik lainnya berupa abses hati dan otak. Oleh
sebab itu, untuk menghindari terjadinya hal tesebut maka perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk mendeteksi penyebab infeksinya sehingga dapat diberikan pilihan
terapi yang tepat (Vorvick, 2011). Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam
mendiagnosis infeksi Candida sp. adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan secara makroskopis
dan mikroskopis. Kelebihan metode pemeriksaan mikroskopis adalah dapat melihat
bentuk atau morfologi dari organisme yang lebih kecil menggunakan mikroskop dan
kelebihan secara makroskopis adalah dapat mengamati bentuk organoleptik
menggunakan panca indra dengan mendeskripsikan bentuk, warna, bau kemudian
dikelompokkan berdasarkan jenis atau spesiesnya (Kemala et al., 2013). Diagnosis
infeksi Candida sp. berdasarkan biakan jamur atau kultur merupakan gold standar untuk
mendapatkan diagnosis dengan tepat karena memiliki tingkat sensitivitas dan Sekitar
75% dari semua wanita sedikitnya pernah mengalami satu episode KVV yang tidak
menimbulkan keluhan (asimtomatis) dan 50% dari mereka mengalami kekambuhan
(Sobel et al., 2015). Selain itu, diperkirakan 10-20% wanita yang tidak mendapatkan
pengobatan dan tidak terdiagnosis KVV secara dini akan mengalami komplikasi yang
serius (CDC, 2015). Pemahaman yang belum benar mengenai juga diperburuk dengan
tidak terdiagnosisnya dan tidak mendapat pengobatan yang tepat, sehingga menjadi
masalah utama kesehatan dan dampak bagi pasien, pasangan seksual maupun dokter.
Apabila hal ini terjadi tanpa pemberian intervensi yang tepat dapat mengakibatkan
komplikasi yang serius. Komplikasi yang spesifisitas yang cukup tinggi (Kemala et al.,
2013).
VI. Alat dan Bahan
Alat :
- Rak tabung
- Tissue
- Tempat Limbah infeksius
- Tempat non Limbah infeksius
- Kapas kering
- Label dan alat tulis
- APD
- Alat swab steril
Bahan :
- Alcohol 70%
- KOH 10%
- Sabouraud dextrose agar/SDA
- Sabouraud’s dextrose broth
- Nafis 9%
b. Lakukan inspeksi meatus eksterna dan vulva. Perhatikan apakah ada lesi kulit,
sekret atau perdarahan per vaginam, dan bekas luka
c. Memasukkan spekulum
d. Swab dinding vagina (jarak >2 cm dari introitus untuk HVS, dan jarak 1-2 cm
dari untuk LVS) menggunakan swab steril.
Pasca Analitik
VIII.Hasil
IX. Simpulan :
Struktur kemaluan perempuan bersifat khas. Saluran vagina senantiasa
terbuka dengan dunia luar. Kemungkinan dimasuki benda apapun, termasuk
oleh bibit penyakit, selalu ada. Hanya karena suasan masam yang tebentuk
dimulut saluran vagina, dan posisi saluran vagina yang senantiasa terkatup
mingkem, sehingga tidak sembarang barang atau bibit penyakit berhasil
memasukinya kecuali atas permintaan. Merawat vagina agar tetap bersih setiap
saat harus diperhatikan kaum wanita. Hal ini peting dilakukan untuk mencegah
terinfeksi segala macam penyakit kelamin, seperti kanker serviks atau kanker
leher rahim. Terdapat bakteri Neisseria gonorrhae pada kultur vagina yang dilakukan
berdasarkan pemeriksaan.
X. Daftar Pustaka :
- Hartati, Hartati, Maliftha Dwi Aini, and Yuliyanti Yasin. "Identifikasi
Candida albicans pada Wanita Dewasa di Kota Kendari secara
Makroskopis dan Mikroskopis." MEDULA 6.2 (2019).
- Med.unhas.ac.id. 2020. [online] Available at:
<https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2015/03/BUKU-
PANDUAN-KETERAMPILAN-KLINIK-VAGINAL-DISCHARGE.pdf>
[Accessed 26 October 2020].
- Docplayer.info. 2020. MAKALAH BIOLOGI DAN PERKEMBANGAN
TENTANG VAGINA SWAB - PDF Free Download. [online] Available
at: <https://docplayer.info/73007076-Makalah-biologi-dan-perkembangan-
tentang-vagina-swab.html> [Accessed 26 October 2020].
Lampiran
TEKNIK PEMERIKSAAN DAN MORFOLOGI JAMUR PADA KUKU
I. Pertemuan Ke-9
II. Tujuan : untuk mengetahui teknik swab vagina dan cara melakukan kultur Candida
albicans
III. Prinsip : Sampel diperiksa secara langsung (dengan KOH 10%) serta ditumbuhkan
pada media SDA (Sabouraud dextrose agar) dengan inkubasi 37 °C dalam inkubator.
Mikroorganisme yang tumbuh diambil koloni dengan skalpel lalu digoreskan dan
diamati pada mikroskop.
IV. Metode :
- pemeriksaan langsung KOH 10%
- Kultur media SDA (Sabouraud dextrose agar)
V. Dasar Teori :
Penyakit infeksi oleh jamur hingga saat ini masih cukup banyak terjadi di masyarakat.
Resiko infeksi jamur tersebut sangat dipengaruhi oleh iklim Indonesia yang memiliki
tingkat humiditas tinggi. Di samping itu kondisi sosial ekonomi yang belum merata
juga berpengaruh terhadap hygiene personal masyarakat yang berkorelasi terhadap
angka kejadian infeksi (Hermawan & Widyanto, 2000). Infeksi oleh jamur yang hingga
saat ini kurang disadari oleh masyarakat adalah infeksi yang terjadi pada kuku atau
dikenal dengan onychomycosis (Setianingsih et al., 2015). Penyakit ini dapat terjadi
pada beberapa bagian kuku seperti matriks, nail bed atau nail plate yang mengakibatkan
rasa nyeri, tidak nyaman dan tampilan kuku yang kurang baik (Rohmah & Bariyah,
2012). Onychomychosis dapat disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita,
nondermatofita serta yeast (Budimulja et al., 2007). Jamur dermatofita yang paling
banyak menimbulkan infeksi diantaranya Trichophyton rubrum (70%), Trichophyton
mentagrophytes (19,8%) dan Epidermophyton floccosum (2,2%). Adapun jamur
dermatofita lain yang pernah dilaporkan diantaranya Trichophyton tonsurans,
Trichophyton violaceum, Trichophyton verrucosum, Microsporum gypseum dan
Trichophyton soudanacea. Infeksi jamur kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatophyta tersebut diistilahkan dengan Tinea unguium. Adapun kelompok non-
dermatofita yang paling sering dilaporkan meliputi kelompok Aspergillus sp. dan
Candida albicans (Bintari et al., 2019; Putra, 2008). Infeksi jamur tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan warna pada kuku menjadi putih, kuning atau
kecoklatan, kuku mengalami onycholisis, pecah-pecah dan tidak rata Infeksi
onikomikosis menurut ahli tidak menyebabkan mortalitas, namun menimbulkan
gangguan klinis yang signifikan, mengurangi estetika, bersifat kronis dan sulit diobati.
Hal tersebut selanjutnya akan mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas
hidup penderita (Setianingsih et al., 2015). Pemeriksaan penunjang terhadap Tinea
unguium untuk penegakan diagnosis menurut Rizkya et al. (2015) dapat dilakukan
melalui pengamatan jamur langsung (direct microscopy) pada spesimen kerokan kuku
atau melalui kultur jamur. Pemeriksaan direct menggunakan larutan kalium hidroksida
(KOH) yang membantu melarutkan jaringan epitel (Wolff & Johnson, 2010).
Pemeriksaan mikroskopis langsung meskipun bukan baku standar dalam pemeriksaan
Tinea unguium namun menurut Noviandini et al. (2017) sangat baik digunakan untuk
pemeriksaan awal karena cepat, sederhana dan mudah dilakukan. Menurut Rohmah &
Bariyah (2012), pertambahan usia merupakan salah satu faktor resiko yang berkorelasi
terhadap angka kejadian onychomycosis. Pada tahap lansia seseorang akan mengalami
penurunan kemampuan kerja, imunitas dan fungsi organ-organ tubuh (Kurnianto,
2015). Hal tersebut menurut Ramadhan & Sabrina (2016) akan mengakibatkan
timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya khususnya kebutuhan
kebersihan diri. Padahal personal hygiene sangat penting dalam usaha mencegah
timbulnya penyakit mengingat sumber infeksi dapat muncul bila aspek kebersihan
kurang mendapat perhatian. Pemeriksaan awal atau screening terkait onychomycosis
pada lansia khususnya yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha sangat jarang
dilakukan. Padahal screening awal dapat mencegah infeksi serius dan mencegah
terjadinya kerusakan kuku secara permanen. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan infeksi onychomycosis pada
lansia di PSTW Wana Seraya melalui pemeriksaan jamur kuku dengan teknik
pengamatan langsung spesimen kerokan kuku.
VI. Alat dan Bahan
Alat :
- Rak tabung
- Tissue
- Tempat Limbah infeksius
- Tempat non Limbah infeksius
- Kapas kering
- Label dan alat tulis
- APD
- Alat swab steril
Bahan :
- Alcohol 70%
- KOH 10%
- Sabouraud dextrose agar/SDA
- Sabouraud’s dextrose broth
- Nafis 9%
Analitik
Cara pengamatan morfologi :
a. Disiapkan object glass, diberi nomor lab. dipinggirnya.
b. Diambil 1-2 Ose sampel kuku yang telah direndam dalam KOH Parker Blue
20% dan oleskan di atas object glass. Diusahakan agar mendapatkan kuku
yang berbentuk seperti bubur.
c. Ditutup dengan cover glass. Ditekan sedikit agar didapat preparat yang cukup
tipis.
d. Diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran lensa okuler 10x dan lensa
objektif 10x atau dengan lensa objektif 40x.
Cara melakukan Kultur
a) Sampel kuku yang telah dikerik masing-masing dimasukkan
kedalam plate SBRC Agar dan Dermatophyte Test Medium (DTM).
b) Dibungkus plate yang telah berisi isolat dari sampel kuku dengan
menggunakan kertas Non Woven Blue.
c) Disimpan pada suhu / temperatur ruangan (25 - 30 oC) selama 1 bulan. Diamati
perkembangan tiap 1 minggu.
Pasca Analitik
a) Membuat laporan pengamatan
b) Membuang limbah sesuai jenisnya
c) Membersihkan alat yang telah digunakan
VIII. Hasil
IX. Pembahasan
Pada praktikum kali ini Kuku kaki yang akan diambil sampelnya dibersihkan dengan
kapas alkohol 70%. Bagian kuku yang bergejala diambil sampelnya dengan cara
dikerok dengan menggunakan skalpel steril dan disposable dengan arah dari atas ke
bawah. Sampel ditampung pada kertas kering dan dimasukkan ke dalam pot steril untuk
selanjutnya dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Pemeriksaan sampel kerokan uku
dengan menggunakan direct microscopy menggunakan larutan KOH 10%. Sampel
diletakkan di atas object glass dan ditetesi KOH 10%, ditutup dengan cover glass dan
didiaman selama 30 menit. Preparat selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan
dilakukan pengamatan terhadap ada atau tidaknya hifa, konidia atau sel yeast/ ragi.
Data hasil identifikasi yang telah diperoleh selanjutnya dianalisa dan disajikan dalam
bentuk tabel. Metode pengamatan langsung di dalam prosedurnya menggunakan KOH
10% yang berfungsi dalam melisiskan jaringan kuku sehingga mempermudah
pengamatan keberadaan hifa atau konidia (Ruhimat et al., 2011). Penggunaan metode
langsung dalam identifikasi jamur kuku ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Metode langsung memiliki kelebihan yaitu pengerjaan yang singkat sehingga hasil
pemeriksaan diperoleh dengan cepat. Sebaliknya kelemahan metode pengamatan
langsung yaitu saat melakukan pengamatan terkadang hifa ataupun konidia jamur sulit
ditemukan sehingga mempengaruhi hasil penelitian (Adiguna, 2017). Identifikasi jamur
kuku selain melakukan pemeriksaan metode langsung juga disarankan untuk
melakukan kultur jamur. Pemeriksaan kultur jamur memerlukan waktu inkubasi yang
lama namun hasil positif dapat mudah diamati melalui pengamatan makroskopis koloni
jamur di media SDA (Sabouraud Dextrose Agar). Penyakit yang biasa menginfeksi
kuku kaki adalah onychomycosis , biasanya Onychomycosis disertai dengan infeksi
jamur yang lama pada kaki. Kuku menjadi tebal,rapuh, dan tidak mengkilat. Lempeng
kuku menjadi rusak dan berubah warna menjadi kehitaman, kekuningan atau suram.
Tinea unguium (onychomycosis, ringworm of the nail) adalah jamur dermatofitosis
yang paling sukar dan lama disembuhkan karena kuku terinfeksi menjadi rusak dan
rapuh dan bentuknya tidak normal. Di bagian bawah kuku akan menumpuk sisa
jaringaan kuku yang rapuh sehingga tampak seperti kotoran (Kurniati, 2008)
X. Simpulan
infeksi jamur kuku atau dalam bahasa medis tinea unguinum adalah kondisi umum
yang dimulai dengan bintik atau kuning dibawah ujung kuku tangan atau kuku jari kaki.
Infeksi jamur yang parah dapat menyebabkan kuku menghitam, menebal, dan hancur di
tepi. Infeksi ini dapat mempengaruhi beberapa kuku tetapi biasanya tidak semua kuku
terinfeksi. Jika terinfeksi jamur pada kuku masih tergolong ringan maka tidak
membutuhkan pengobatan. Namun terkadang infeksi jamur kuku dapat menyebabkan
nyeri dan penebalan kuku sehingga membutuhkan perawatan dan pengobatan.
XI. Daftar Pustaka :
- Aryasa, I. Nyoman, Ni Wayan Desi Bintari, and I. Dewa Agung Ketut Sudarsana.
"INFEKSI JAMUR KUKU (ONYCHOMYCOSIS) PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA WANA SERAYA." Bali Medika Jurnal 7.1 (2020): 116-124.
- http://sweetlecturer.blogspot.com/2018/09/pemeriksaan-jamur.html
Lampiran
TEKNIK MENGHITUNG JUMLAH SPORA DAN ANGKA KAPANG
PADA SAMPEL PANGAN
I. Pertemuan Ke-13
II. Hari/Tanggal :
III. Tujuan : untuk mengetahui teknik menghitung jumlah spora dan angka kapang pada
sampel pangan
IV. Prinsip :
pertumbuhan kapang dan khamir setelah cuplikan diinokulasikan pada media yang
sesuai dan diinkubasi pada suhu 20℃-25℃ selama 5 hari. Dilakukan inkubasi pada
suhu 25℃ karena kapang/khamir bersifat mesofilik atau dapat tumbuh pada suhu
ruangan 20℃-25℃, inkubasi dengan posisi terbalik supaya uap air yang terbentuk
selama masa inkubasi.
V. Metode : ALT (Angka Lempeng Total)
Lampiran
TEKNIK PENGUJIAN SENSITIVITAS OBAT TERHADAP Candida albicans
I. PERTEMUAN KE- 14
II. TUJUAN
Untuk mengisolasi Candida albicans dari spesimen klinis serta menentukan pola
kepekaannya terhadap berbagai obat antijamur.
III. PRINSIP
Menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada zona hambatan yang terlihat pada
daerah jernih di sekitar cakram kertas yang mengandung antifungi. Diameter zona
hambatan pertumbuhan jamur menunjukkan sensitifitas jamur terhadap obat antijamur
yang ditentukan dengan cara mengukur diameter zona hambat dalam satuan
millimeter (mm). Semakin besar diameter maka semakin terhambat pertumbuhan
jamur.
VII. HASIL :
VIII. PEMBAHASAN :
Tujuan uji kepekaan antimikroba adalah untuk memberikan data in vitro
mengenai ketepatan dan kemampuan antimikroba sehingga mendapatkan jaminan
pengobatan yang optimal. Prinsip uji kepekaan dengan metode difusi disk adalah
penggunaan paper disk yang telah diberi sejumlah sampel/antibiotik, antibiotik
tersebut akan berdifusi keluar dari disk membentuk gradient konsentrasi
dan mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang ada di
permukaan agar dan menghasilkan zona hambatan. Karena difusi disk
berdasarkan pada perubahan gradient konsentrasi, maka variasi densitas
inokulum sangat mempengaruhi ukuran zona hambatan yang dihasilkan dengan
tidakmemperhatikan kepekaan mikroorganisme uji (Wanger, 2009). Hasil pada
uji sensitivitas obat terhadap Candida albicans yaitu Fluconazole mulai memberikan
respon hambatan terhadap pertumbuhan Candida albicans pada konsentrasi
512 μg/mL. sedangkan nistatin mampu menghambat Candida albicans mulai
konsentrasi 350 μg/mL. Respon hambatan yang dihasilkan oleh Nistatin
memberikan efek resisten terhadap fungi Candida albicans, berbeda halnya
dengan Fluconazole yang mampu menghasilkan respon hambat dengan kategori
susceptible pada konsentrasi 2048 μg/mL.
IX. SIMPULAN :
Antibiotik yang peka dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans dan
memberikan respon hambat dengan kategori susceptible adalah fluconazole dengan
dosis uji efektif efektif yaitu 2048 μg/mL.
X. DAFTAR PUSTAKA :
- Paramita, N. L. P. V., Trisnadewi, I. G. A. A., Pratiwi, N. P. C., Dwijayanti,
N. M. P., Ardiyanti, N. L. P. P., Yustiantara, P. S., ... & Wirasuta, I. M. A. G.
Uji Kepekaan Antifungi Fluconazole Dan Nistatin Terhadap Candida Albicans
Atcc 10231 Dengan Metode Difusi Disk. Jurnal Farmasi Udayana, 5(1),
279715.
- Nirwati, Hera., Praseno., Mustofa, Muchammad. ISOLASI CANDIDA SP
DAN POLA KEPEKAANNYA TERHADAP BERBAGAI ANTIJAMUR DI
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UGM
XI. LAMPIRAN