Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“Trematoda Parasit Pada Darah Manusia”


Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Parasitologi
Dosen Pengampu : Azrini Khaerah, S.Si, M.Sc

Oleh Kelompok : VI

KARMILA (2016310304)

SINAR (2016310312)

SRI INDRIANI (2016310318)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BULUKUMBA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,


karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas tentang “Trematoda Parasit Pada
Darah Manusia”. Makalah ini kami buat untuk mengetahui apa itu Trematoda
Parasit Pada Darah Manusia. Selain itu semoga setelah membaca makalah ini, kita
semua dapat mengetahui tentang Trematoda Parasit Pada Darah Manusia.
Tentunya dalam penulisan makalah ini masih ada kekurangan dan kesalahan
dalam penulisan kalimat maupun kata-kata yang kami paparkan sehingga itu
kami sangat membutuhkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa
terima kasih, kami sampaikan kepada Ibu Azrini Khaerah, S.Si, M.Sc selaku
Dosen mata kuliah Parasitologi.

Demikian makalah ini kami buat semoga dapat manfaat bagi kita semua.

Bulukumba, 8 Juni 2019

Kelompok VI
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Pengertian Trematoda Darah ........................................................... 3


B. Schistosoma japonicum ..................................................................... 3
C. Schistosoma mansoni ......................................................................... 8
D. Schistosoma haematobium ................................................................ 12

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 19

A. Kesimpulan ......................................................................................... 19
B. Saran ................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Trematoda atau cacing daun adalah cacing yang termasuk kelas Trematoda

Filum Platyhelminthes dan hidup sebagai parasit. Pada umumnya cacing ini

bersifat hermafrodit kecuali cacing Schistosoma. Spesies yang merupakan parasit

pada manusia termasuk sub kelas Digenea, yang hidup sebagai endoparasit.

Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitive cacing

trematoda, antara lain kucing,anjing, kambing, sapi, tikus, burung, musang, harimau, dan

manusia.

Ada tiga spesies trematoda darah yang penting bagi manusia yaitu

Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma hematobium.

Tiga spesies Schistosoma tersebut berparasit pada manusia, dimana ketiganya

struktur bentuknya sama, tetapi beberapa hal seperti morfologinya sedikit berbeda

dan juga lokasi berparasitnya pada tubuh hospes definitif. S. hematobium dan S.

mansoni, banyak dilaporkan menginfeksi orang di Mesir, Eropa dan Timur

Tengah, sedangkan S. japonicum,banyak menginfeksi orang di daerah Jepang,

China, Taiwan, Filippina, Sulawesi, Laos, Kambojadan Thailand. (Widyastuti,

2002).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian trematoda darah?

2. Bagaimana taksonomi dari golongan trematoda darah?

3. Bagaimana epidemiologi dan distribusi geografis dari trematoda darah?

4. Bagaimana morfologi dari golongan trematoda darah?


5. Bagaimana siklus hidup dari trematoda darah?

6. Bagaimana patologi dari trematoda darah?

7. Bagaimana diagnosis, pencegahan dan pengobatan infeksi trematoda

darah?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian trematoda darah

2. Mengetahui taksonomi dari golongan trematoda darah

3. Mengetahui epidemiologi dan distribusi geografis dari trematoda darah

4. Mengetahui morfologi dari golongan trematoda darah

5. Mengetahui siklus hidup dari trematoda darah

6. Mengetahui patologi dari trematoda darah

7. Mengetahui diagnosis, pencegahan dan pengobatan infeksi trematoda

darah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Trematoda Darah

Cacing trematoda darah (schitosomiasis) adalah cacing yang berbentuk

pipih dan tinggal di berbagai aliran darah. Biasanya cacing ini masuk ke tubuh

manusia melalui makanan atau minuman yang mengandung parasit cacing ini dan

mandi pada air yang kotor. Hospes definitifnya adalah manusia, berbagai macam

binatang dapat berperan sebagai hospes reservoir. Pada manusia cacing ini

menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis(Unggowaluyo, 2002).

Schistosoma dikenal sebagi Blood fluke yang menyebabkan penyakit

skistomiasis atau bilharziasis. Jenis cacing yang menyerang hewan dan manusia

adalah Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, S. intercalatum dan

S. mekongi. S. haematobium menyebabkan schistosomiasis kemih. Skistomiasis

menyerang beberapa negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Selatan,

Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia (Iskandar, 2006).

Menurut Gandahusada (2006), diantaranya trematoda darah terdapat

sejumlah spesies yang penting bagi manusia karena dapat menularkan penyakit,

yaitu :

B. Schistosoma japonicum

1. Pengertian Schistosoma japonicum

Schistosoma japonicum adalah salah satu spesies trematoda darah yang

bersifat anhermaprodit yang dapat menimbulkan penyakit Schistosomiasis

japonicum. Hospes definit yaitu manusia, binatang domestik dan rodentia. Hospes

intermedier yaitu keong air.


2. Klasifikasi Schistosoma japonicum

Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda

Order : Strigeatoidea

Family : Schistosomatoidae

Genus : Schistosoma

Species : Schistosoma japonicum

3. Epidemologi dan Distribusi geografis

S. japonicum ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai,

Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Hospesnya adalah manusia dan berbagai

macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, babi rusa,

dan lain-lain (Gandahusada, 2006). Cacing ini membutuhkan hospes perantara

siput air tawar spesies oncomelania nosophora, O. Hupenis, O. Formosana, O.

Hupensis lindonensis di danau Lindu (Sulawesi Tengah), dan O. Quadrasi. Telah

diketahui ada 2 strain yang bersifat geograpichal yaitu strain Thailand-Malaysia

dan strain Sulawesi. Terdapat perbedaan pada kedua strain yaitu tuan rumah siput

yang sesuai (Natadisastra dkk, 2009).

Skistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di daerah yang sangat

terpencil di Sulawesi Tengah, yaitu di lembah Napu, Besoa dan dataran tinggi

Lindu. Hewan yang biasa menjadi inang reservoar yaitu sapi, babi,anjing, kucing,

kerbau, domba, rusa, kuda, tikus dan celurut. Sedangkan pada manusia pertama
kali dilaporkan di Desa Tomado oleh Tesch pada tahun 1937 Penelitian

selanjutnya telah menemukan penyebabnya, yaitu cacing Schistosoma japonicum.

Inang perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971 oleh Davis and Carney di

daerah pesawahan Paku yaitu siput (snail) yang diidentifikasi sebagai subspesies

dari Oncomelania hupensis dan diberi nama Oncomelania lindoensis.

Habitatnya ada dua macam:

1. Fokus pada daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi,

atau di pinggir parit antar sawah.

2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.

4. Morfologi

Gambar 2.1 Morfologi S. japonicum (a). Dewasa (b). Telur

Cacing dewasa menyerupai S. haematobium dan S. mansoni akan tetapi

tidak memiliki intergumentary tuberculation. Cacing jantan berukuran panjang

12-20 mm, diameter 0,5-0,55 mm, dan kanalis ginekoporik dan memiliki 6-8 buah

testis. Betina panjang kurang lebih 26 mm dengan diameter 0,3 mm. Ovarium

dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitelaria terbatas di daerah lateral


pada ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran yang panjang dan lurus

berisi 50-100 butir telur.

Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat lateral, dekat salah satu kutub

terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimeter. Telur berukuran

70-100 x 50-65 µ. Khas sekali, telur diletakan dengan memusatkanya pada vena

kecil pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan (Natadisastra dkk,

2009).

5. Siklus hidup

Gambar 2.2 siklus hidup dari Schistosoma japonicum

Cacing dewasa hidup di vena mesenterica inferior disekitar intestinum

tenue, telur menembus jaringan submukosa intestinum, masuk ke dalam lumen

usus dan keluar dari tubuh bersama tinja, didalam air telur menetas, keluar

mirasidium, masuk ke hospes perantara, berkembang menjadi sporokista, keluar

dari hospes perantara, menjadi cercaria, penetrasi ke kulit manusia, kemudian


serkaria memutus ekor menjadi skistosomula ikut sirkulasi darah menuju jantung,

paru-paru, kembali ke jantung, masuk sirkulasi darah arteri menjadi dewasa di

vena mesenterica. Cacing dewasa dapat berumur 5-6 tahun

6. Patologi

Penyakitnya disebut Oriental schistosomiasis, katamaya atau demam

keong. Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan

diantaranya adalah gatal- gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam,

hematopegali dan eosinofilia tinggi..

7. Diagnosis, Pengobatan dan pencegahan

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau

jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk

membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT

(Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT

(Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme

linked immuno sorbent assay).

Praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal untuk pengobatan ternak cukup

efektif. Sedangkan untuk manusia dosis 60 mg/kg BB, dibagi dalam 2 dosis dan

diberikan selama 1 hari, cukup efektif. Pemberantasan multiintervensi dengan

pengobatan penderita, pemberantasan siput dengan mulluscide dan perbaikan

kebersihan lingkungan serta penyuluhan kesehatan berhasil menurunkan angka

infeksi skistosomiasi (Iskandar, 2004).

Pencegahan yang dilakukan yaitu hindari berenang disungai atau danau air

tawar terutama di daerah yang banyak terjadi kasus Schistosomiasis. Berenang


dilaut atau dikolam renang yang sudah diberi kaporit atau klorin aman dari

Schistosomiasis. Tidak buang air besar sembarangan terutama di sungai.

Memasak air sampai matang sebelum diminum

C. Schistosoma mansoni

1. Pengertian Schistosoma mansoni

Schistosoma mansoni adalah salah satu spesies trematoda darah yang

bersifat anhermaprodit yang dapat menimbulkan penyakit Schistosomiasis

mansoni. Hospes definit yaitu manusia, kera dan rodentia. Hospes intermedier

yaitu keong air.

2. Klasifikasi Schistosoma mansoni

Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda

Order : Strigeatoidea

Family : Schistosomatoidae

Genus : Schistosoma

Species : Schistosoma mansoni

3. Epidemologi dan distribusi geografis

Daerah penyebaran S. mansoni di Afrika meliputi Mesir, Sudan, Libia,

Uganda, Tanzania, Mozambique, Rhodesia, Zambia, Congo, Senegal, Gambia,

Nigeria, Gabon, Togo, Ghana, Pantai Gading, Liberia dan Sierra Lione.

Sedangkan di Amerika Selatan ditemukan endemik di Venezuela, Brazil,


Suriname, Republik Dominika, Pueterico, Guadelope, St. Marten, St. Lucia, St.

Kitts dan Antiqua (Iskandar, 2006). Cacing ini mempunyai hospes perantara

berupa siput/keong air tawar dari genus Biomphalaria (keluarga Planorbidae). S.

mansoni ditemukan pada hewan pengerat dan primata tetapi target utama infeksi

adalah manusia.

4. Morfologi

a b

Gambar 2.3 Morfologi S. mansoni (a). Dewasa (b). Telur

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira

1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila

dibandingkan dengan S.hematobium dan S.japonicum. Badan S.japonicum

mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tempat hidupnya di vena, kolon dan

rektum. Telur berukuran 140 x 60 µ atau lebih besar dari S. japonicum. Telur juga

tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru dan otak. Berbentuk oval dengan salah satu

kutubnya membulat dan yang lain lebih meruncing, spina terletak lateral dekat dengan

bagian yang membulat, besar dan berbentuk segitiga. Kulit sangat tipis dan halus, warna

kuning pucat dan berisi embrio besar bersilia, diliputi membran (kulit dalam)
5. Siklus hidup

Gambar 2.4 siklus hidup dari Schistosoma mansoni

Telur berisi embrio menembus keluar dinding pembuluh darah,masuk ke

rongga usus atau kandung kemih dan dikeluarkan melalui tinja. Masuk ke dalam

air dan menetas menjadi mirasidium ( larva ) mirasidium berenang aktif dalam air,

mencari hospes perantaranya yaitu keong. Mirasidiun menembus masuk tubuh

keong, dalam keong air mirasidium berkembang menjadi sporokista I dan

sporokista II dan membentuk banyak serkaria. Serkaria adalah bentuk infektif

cacing Schistosoma. Serkaria keluar dari keong air, berenang aktif di dalam air,

serkaria menembus kulit manusia pada waktu manusia masuk ke dalam air yang

mengandung serkaria, waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit.

Setelah serkaria menembus kulit, kemudian masuk ke dalam kapiler darah,

mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke

jantung kiri kemudian masuk ke dalam sistem peredaran darah besar, ke cabang-

cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setalah dewasa cacing ini
kembali ke vena portae dan vena usus kemudian cacing betina bertelur setelah

berkopulasi.

6. Patologi

Kelainan tergantung dari beratnya infeksi, kelainan yang di temukan pada

stadiun I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam,

hepatomegali dan eosinifilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula sindrom

disentri. Pada stadium III ditemukan sirosis hati splenomegalia yang biasanya si

penderita menjadi lemah, mungkin terdapat gejala syaraf, gejala paru dan lain-

lain.

7. Diagnosis, Pengobatan dan pencegahan

Diagnosis dan pengobatan sama dengan S. japonicum. Diagnosis

ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi hati dan

biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin

test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT

(Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).

Praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal untuk pengobatan ternak cukup

efektif. Sedangkan untuk manusia dosis 60 mg/kg BB, dibagi dalam 2 dosis dan

diberikan selama 1 hari, cukup efektif. Pemberantasan multiintervensi dengan

pengobatan penderita, pemberantasan siput dengan mulluscide dan perbaikan

kebersihan lingkungan serta penyuluhan kesehatan berhasil menurunkan angka

infeksi skistosomiasi (Iskandar, 2004).


Pencegahan yang dilakukan yaitu hindari berenang disungai atau danau air

tawar terutama di daerah yang banyak terjadi kasus Schistosomiasis. Berenang

dilaut atau dikolam renang yang sudah diberi kaporit atau klorin aman dari

Schistosomiasis. Tidak buang air besar sembarangan terutama di sungai.

Memasak air sampai matang sebelum diminum

D. Schistosoma haematobium

1. Pengertian Schistosoma haematobium

Schistosoma haematobium adalah salah satu spesies trematoda darah yang

bersifat anhermaprodit yang dapat menimbulkan penyakit Schistosomiasis

haematobium. Hospes definit yaitu manusia. Hospes intermedier yaitu keong air.

2. Klasifikasi Schistosoma haematobium

Domain : Eukaryota

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda

Order : Strigeatoidea

Family : Schistosomatoidae

Genus : Schistosoma

Species : Schistosoma hematobium

3. Epidemologi dan distribusi geografis

Cacing ini mempunyai hospes perantara berupa keong dari genus bulinus.

Hospes deinitif adalah manusia, sedangkan baboon dan beberapa jenis kera
dilaporkan menjadi hospes reservoir. Cacing ini menyebabkan penyakit

schistosomiasis urinary (kandung kemih).

Schistosomiasis haematobium endemik di lebih dari 50 negara di Afrika

dan Timur Tengah. Hal ini juga kadang-kadang terlihat di Asia Barat. S.

haematobium di temukan di Timur Tengah antara lain di Yaman,, Aden, Saudi

Arabia, Libanon, Syria, Turki, Irak dan Iran. S. interculatum di temukan di

Libanon, Uganda, Kenya, dan Madagaskar (Iskandar, 2006).

WHO memperkirakan bahwa di seluruh dunia, 180 juta orang tinggal di

daerah endemik dan 90 juta terinfeksi dengan parasit. Sebagian besar hidup di

Sub-Sahara Afrika. Sekitar 70 juta orang menderita hematuria schistosomal (darah

dalam urin), 18 juta orang terkait gangguan dari dinding kandung kemih, dan 10

juta dari hidronefrosis (akumulasi urin terkait di ginjal akibat obstruksi ureter).

Diperkirakan 150.000 orang meninggal setiap tahun akibat gagal ginjal resultan

dan sejumlah tapi signifikan dari kandung kemih dan kanker genitourinari

lainnya. Angka kematian keseluruhan diperkirakan minimal 2 per 1.000 pasien

yang terinfeksi per tahun.

Di banyak tempat, ada insiden yang lebih tinggi infeksi pada anak laki-laki

dan perempuan. Hal ini terjadi karena kontak dengan air meningkat dibandingkan

dengan kelompok masyarakat lainnya dalam budaya di mana perempuan biasanya

mengambil air untuk keperluan rumah tangga dan anak laki-laki sering bermain di

atau dekat air. Di beberapa daerah di mana pria terutama nelayan air tawar atau

petani menggunakan irigasi, mereka memiliki tingkat lebih tinggi terkena

schistosomiasis (www.stanford.edu, 2004).


4. Morfologi

Gambar 2. 5 Morfologi cacing S. hematobium

Cacing jantan dewasa berukuran 10-15 mm. Mereka memiliki alur yang

mendalam yang disebut canal gynecophoral dimana cacing betina dewasa

biasanya melekat. Cacing jantan memiliki nodul kecil (tuberkel) pada permukaan

dorsal dan banyak duri kecil pada alat hisap dan gynecorphoral calanya. Cacing

betina lebih panjang yaitu sekitar 16-22 mm, halus dan lebih ramping. Kedua jenis

kelamin ini memiliki dua alat hisap, satu di anterior ventral dan satu lagi

digunakan sebagai peganangan pada dinding venula.

Gambar 2. 5 Telur S. hematobium

Telur dapat ditemukan dalam urin dari hospes yang terinfeksi. Ukuranya

110-170 µ panjang sampai 70 µ. Bentuknya memanjang dengan tulang belakang


terminal yang khas dan terlihat seperti bola rugby dengan tonjolan tajam pada

salah satu ujungnya (www.stanford.edu, 2004).

5. Siklus hidup

Gambar 2.6 siklus hidup dari Schistosoma mansoni

Mirasidium masuk kedalam tubuh keong air dan berkembang menjadi

sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan serkaria yang banyak.

Serkaria merupakan bentuk infektif dari cacing ini. Cara infeksinya yaitu serkaria

menembus kulit pada waktu manusia masuk kedalam air yang mengandung

serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria

menembus kulit larva ini memutus ekor menjadi skistosomula kemudian masuk

ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan,
lalu ke paru dan kembali ke jantung kiri, kemudian masuk ke sistem peredaran

darah besar, ke cabang-cabang vena porta dan menjadi dewasa di hati. Setelah

dewasa cacing ini meninggalkan hati dan bermigrasi, pada akhirnya berakhir di

pembuluh darah disekitar kandung kemih (vena kandung kemih) kemudian cacing

betina bertelur setelah bekopulasi. Telur dilepaskan pada dinding kandung kemih,

kemudian masuk kedalam dan keluar bersama urin untuk memulai siklus lagi

(IARC, 1994).

6. Patologi

Kelainan terutama ditemukan di dinding-dinding kandung kemih. Gejala

yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistisis. Syndrome

disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rectum. Gatal-gatal atau ruam kulit atau

disebut “swimmer itch” dan pembengkakan lokal sering terjadi 24 jam setelah

infeksi awal dan berlangsung selama 4 hari. Pada satu atau dua bulan, mungkin

muncul gejala berupa demam, hepatitis, pembesaran hati, limpha dan kelenjar

getah bening. Gejala ini berlangsung selama 2-3 minggu. Tidak emua orang

mengalami manifestasi klinik pada tahap awal ini.

Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, individu yang terinfeksi dapat

mengalami buang air kecil sakit atau sulit (disuria), darah di urin (hematuria),

obstruksi uretra, kerusakan ginjal dari obstruksi air seni (nefropati obstruktif),

tidak buang air kecil (disuria), dan / atau kaki gajah penis. 50-70% orang dengan

infeksi jangka panjang memiliki semacam gejala saluran kemih pada

pemeriksaan.
Infeksi saluran kencing kronis oleh bakteri adalah komplikasi yang sering terjadi

dari disfungsi saluran kemih yang disebabkan oleh parasit. Kandung kemih juga

dapat mengembangkan tuberkel, polip, tukak, patch berpasir, sistitis cystica, dan /

atau leukoplakia yang terlihat pada pemeriksaan endoskopi. Kanker kandung

kemih (karsinoma sel skuamosa) dikaitkan dengan jangka panjang schistosomiasis

kemih, tetapi kejadian ini tidak diketahui (www.stanford.edu, 2004).

7. Diagnosis, Pengobatan dan pencegahan

Cara yang paling umum untuk mendiagnosis infeksi S. haematobium

adalah dengan identifikasi ova (telur) dalam urin atau di biopsi kandung kemih,

rektum, atau dinding vagina. Urinalisis juga dapat mengungkapkan darah dalam

urin. Orang yang terinfeksi sering mengalami anemia, eosinofil tinggi tingkat, dan

/ atau trombosit rendah dalam darah mereka. Tes antibodi juga dapat digunakan

untuk mendiagnostik, meskipun jarang dilakukan.

Praziquantel (20 mg / kg secara oral 3 kali selama 1 hari) atau metrifonate

(10mg/kg 1x seminggu setiap minggu, dengan total 3 dosis) adalah obat pilihan.

Kortikosteroid juga dapat diberikan dengan infeksi akut. Sementara terapi obat

yang efektif untuk membunuh parasit sudah dalam tubuh, tidak mencegah infeksi

baru. Pasien harus didorong untuk mengembangkan strategi pencegahan serta

memiliki perawatan ulangi jika perlu

Pencegahan dapat dilakukan dengan mengobati penderita untuk

menghilangkan sumber infeksi. Menyediakan air bersih untuk memasak, minum,

dan mandi memberi alternatif lain untuk melakukan kontak dengan air yang

terdapat serkaria. Menyediakan sistem pembuangan kotoran yang sehat sehingga


penularan bisa dicegah. Pemberantasan siput dengan bahan kimia maupun secara

biologis menggunakan predator alami siput (www.stanford.edu, 2004).


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Cacing trematoda darah (schitosomiasis) adalah cacing yang berbentuk

pipih dan tinggal di berbagai aliran darah. Biasanya cacing ini masuk ke tubuh

manusia melalui makanan atau minuman yang mengandung parasite cacing ini

dan mandi pada air yang kotor. Pada manusia ditemukan 3 spesies penting yaitu S.

Japonicum, S. Mansoni, S. Haematobium. Hospes definitifnya adalah manusia,

berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoir. Pada manusia

cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis.

B. Saran

Semoga makalah yang kami buat secara sederhana ini dapat membantu
pengetahuan teman-teman dalam memahami materi tentang “Trematoda Parasit
Pada Darah Manusia”. Kritik dan saran sangat kami perlukan untuk
kesempurnaan makalah kami. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Schistosoma haematobium (blood flukes).


http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2004/Schisto/website.
html. diakses tanggal 30 Maret 2012.

Gandahusada, Sriasi. Illaude, Henry D. Pribadi, Wita. 2006, Parasitologi


Kedokteran Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

IARC. 1994. Schistosoma Haematobium. IARC Working Group in 1994


Monograph Vol 100 B .
http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/vol100B/mono100B-14.pdf.
diakses tanggal 30 Maret 2012.

Iskandar. 2006. Tinjauan Skistosomiasis Pada Hewan Dan Manusia Di Lembah


Napu, Lembah Besoa Dan Lembah Danau Lindu Kabupaten Poso
Sulawesi Tengah. Nakah Loka Karya Nasional Penyakit Zoonosis

Natadisastra, Djaenudin dan Agoes, Ridhad. 2009. Parasitologi Kedikteran :


Ditinjau dari Organ yang Diserang. Edisi I. EGC. Jakarta

Unggowaluyo, J.S. 2002. Parasitologi Medik I. Penerbit Buku Kedokteran,


Jakarta

Widyastuti, Retno, 2002, Parasitologi, Pusat Penerbit Universitas Terbuka,


Jakarta

Anda mungkin juga menyukai