Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

BLOK 7.3 INFECTIOUS DISEASE & TROPICAL MEDICINE


“Identifikasi Telur Cacing pada Feses”

Oleh :
Kelompok 9

Revania Radina Thirza


G1A015090

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan, kesehatan dan kekuatan, sehingga kami bisa menyelesaikan
penyusunan laporan praktikum parasit dengan judul Pemeriksaan Jentik Nyamuk.
Laporan praktikum disusun untuk memenuhi syarat kelulusan Blok 7.3 Infectious
Disease & Tropical Medicine di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal
Soedirman.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, laboran, dosen
pembimbing, dan teman-teman angkatan 2015, dan pihak lain yang tidak dapat
disebutkan semuanya yang telah menyukseskan proses penyusunan laporan
praktikum ini sehingga dapat selesai tepat waktu. Semoga laporan praktikum ini
bermanfaat bagi mahasiswa dalam memperdalam materi tentang penelitian dalam
bidang kedokteran.
Kami sangat menyadari bahwa penyusunan laporan praktikum ini tidak luput
dari kesalahan, baik berupa kesalahan ejaan, pengetikan, tata bahasa, dan
sebagainya. Dalam hal ini, penyusun memohon maaf kepada pembaca atas
kekurangan laporan praktikum ini. Kritik dan saran tetap kami harapkan agar kami
dapat menyusun laporan praktikum yang lebih baik di masa yang akan datang.

Purwokerto, Oktober 2018

Revania Radina Thirza


G1A015090

ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Tempat dan Waktu Praktikum ..................................................................... 3
C. Tujuan Praktikum ......................................................................................... 3
D. Manfaat Praktikum ....................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4


A. Ascaris lumbricoides .......................................................................................... 4
1. Klasifikasi ................................................................................................. 4
2. Morfologi .................................................................................................. 4
3. Habitat dan Siklus Hidup ......................................................................... 5
4. Manifestasi Klinis..................................................................................... 6
5. Tatalaksana ............................................................................................... 6
B. Trichuris trichiura ........................................................................................... 7
1. Klasifikasi ................................................................................................. 7
2. Morfologi .................................................................................................. 7
3. Habitat dan Siklus Hidup ......................................................................... 8
4. Manifestasi Klinis..................................................................................... 9
5. Tatalaksana ............................................................................................... 9
C. Cacing Tambang ........................................................................................... 10
1. Klasifikasi ............................................................................................... 10
2. Morfologi ................................................................................................ 10
3. Habitat dan Siklus Hidup ....................................................................... 12
4. Manifestasi Klinis................................................................................... 14
5. Pengobatan ............................................................................................. 14
E. Cacing Pita (Cestoda) ................................................................................. 15
1. Hymenolepis sp ....................................................................................... 15
2. Taenia sp ................................................................................................ 19

III. METODE PRAKTIKUM ........................................................................ 23

iii
A. Alat dan Bahan ........................................................................................... 23
B. Cara Kerja .................................................................................................. 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 24


A. Hasil ........................................................................................................... 24
B. Pembahasan ................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Morfologi cacing dewasa Ascaris lumbricoides……………………4

Gambar 2.2 Morfologi telur Ascaris lumbricoides ……………………………...5

Gambar 2.3 Siklus hidup Ascaris lumbricoides ………………………………....5

Gambar 2.4 Morfologi telur cacing Trichuris trichiur ………………………….8

Gambar 2.5 Siklus hidup Trichuris trichiura …………………………………... 9

Gambar 2.6 Morfologi cacing dewasa Ancylostoma duodenale………………. 11

Gambar 2.7 Morfologi cacing dewasa dan anterior end Necator americanus ... 11

Gambar 2.8 Morfologi telur cacing tambang …………………………………..12

Gambar 2.9 Siklus hidup cacing tambang A.duodenale dan N.americanus…… 13

Gambar 2.10 Morfologi telur Hymenolepis diminuta dan Hymenolepis nana…16


Gambar 2.11 Siklus hidup Hymenolepis nana………………………………… 17
Gambar 2.12 Siklus hidup Hymenolepis diminuta………….………………… 18
Gambar 2.13 Morfologi telur Taenia sp……………………………………….. 20
Gambar 2.14 Siklus Hidup Taenia sp…………………………………………...21

v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar informed consent…………………………………………28
Lampiran 2. Kuesioner Pemeriksaan Feses……………………………………. 32

vi
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi kecacingan adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


satu atau lebih cacing parasit usus dari golongan nematoda usus. Salah satu
penyakit karena infeksi cacing adalah penyakit cacing usus yang ditularkan
melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted Helminths (STH)
(Azizaturridha et al., 2016). Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing
golongan nematoda yang penularannya melalui perantara tanah. STH yang
paling banyak menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Handayani et al., 2015).
Infeksi kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak
ditemukan di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization
(WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi
STH. Angka kecacingan di Indonesia tahun 2012 adalah 22,6% sedangkan
target Kementrian Kesehatan pada tahun 2015 angka kecacingan di Indonesia
< 20%. Terdapat 10 kabupaten di Indonesia yang prevalensi kecacingannya di
atas 20%. Prevalensi kecacingan seluruh Indonesia tertinggi berada di
Kabupaten Gunung Mas (76,67%) dan Kabupaten Lebak (62%) sedangkan
kabupaten terendah adalah kota Yogyakarta (0%) (Kementrian Kesehatan RI,
2013).
Faktor faktor yang menyebabkan masih tingginya infeksi kecacingan
adalah rendahnya tingkat sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih sehat) seperti
kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB),

1
2

kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat yang kebersihannya tidak


dapat dikontrol, perilaku BAB tidak di WC yang menyebabkan pencemaran
tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing serta
ketersediaan sumber air bersih (Winita et al., 2010).
Infeksi kecacingan tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi
yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan
gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam
jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan
gangguan kognitif pada anak (Kurniawan et al., 2010). Kecacingan termasuk
dalam 11 dari 20 jenis Neglected Tropical Disease (NTD)/penyakit tropis
terabaikan yang terdapat di Indonesia (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Diagnosis infeksi STH dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur
cacing pada pemeriksaan feses. Infeksi kecacingan dapat terjadi apabila telur
yang infektif masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara tertelannya telur atau
masuknya larva menembus kulit. Cacing akan dewasa di usus dan bertelur di
usus manusia, kemudian telur akan keluar bersamaan dengan feses dan
berkembang di tanah. Pemeriksaan feses merupakan pemeriksaan gold
standard yang dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi STH, namun
berdasarkan pada beberapa penelitian, pada kotoran kuku juga dapat terdeteksi
telur cacing (Kurniawan et al., 2018).
Pemeriksaan feses metode apung merupakan salah satu metode
pemeriksaan feses secara kualitatif untuk mengidentifikasi adanya telur cacing
dan jenis parasit yang menginfeksi. Pemeriksaan metode pengapungan ini
3

menggunakan NaCl jenuh yang didasarkan pada berat jenis telur, sehingga
telur akan mengapung dan mudah diamati(Regina et al., 2018).

B. Tempat dan Waktu Praktikum

Tempat : Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas


Jenderal Soedirman
Waktu : Jumat, 26 Oktober 2018 pukul 09.00-10.00 WIB

C. Tujuan Praktikum

1. Tujuan Umum
Mengetahui jenis telur cacing yang ditemukan pada hasil
pemeriksaan telur cacing dengan metode apung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui adanya telur cacing yang terdeteksi pada hasil
pemeriksaan telur cacing dengan metode apung.
b. Mengetahui jenis telur cacing yang ditemukan pada hasil pemeriksaan
telur cacing dengan metode apung.
.

D. Manfaat Praktikum

1. Bagi Peneliti
Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan, terutama mengenai jenis dan morfologi telur cacing.
2. Bagi Praktikan
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi
mengenai pemeriksaan telur cacing dengan metode apung untuk praktikum
selanjutnya.
3. Bagi Subyek Praktikum
Diharapkan praktikum ini bisa memberikan informasi mengenai ada
tidaknya telur cacing dan jenis telur cacing yang ditemukan pada
pemeriksaan telur cacing dengan metode apung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ascaris lumbricoides

1. Klasifikasi
Subkingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub Kelas : Scernentea (Phasmidia)
Ordo : Ascaridia Superfamili : Ascaridoidea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides (Utari, 2002)
2. Morfologi
Cacing jantan Ascaris lumbricoides mempunyai panjang 10-31 cm,
memiliki ujung posterior tubuh yang melengkung ke ventral dan papil
dengan dua buah spikulum . Cacing betina mempunyai panjang 22-35 cm
dan memiliki sepasang alat kelamin pada dua pertiga bagian posterior
(Padmasutra, 2007).

Gambar 2.1 Morfologi cacing dewasa Ascaris lumbricoides (Yamaguchi,


1981)
Telur Ascaris lumbricoides memiliki ukuran yang bervariasi dan
terdapat dua bentuk, yiatu telur fertile dan infertile. Telur fertile berwarna
coklat keemasan, oval, dengan cangkang luar irregular yang tebal, cangkang
dalam regular dan transles. Lapisan external mammilated yang tebal kadang
hilang sehingga memberi gambaran dekortikasi. Telur infertile berukuran
lebih besar dan memanjang (Gillespie & Pearson, 2001).

4
5

Gambar 2.2 Morfologi telur Ascaris lumbricoides (Gillespie & Pearson,


2001)
Keterangan : A. Telur fertile; B. Telur infertile
3. Habitat dan Siklus Hidup
Cacing dewasa Ascaris lumbricoides biasanya hidup di dalam rongga
usus halus. Cacing ini memperoleh makanan dari makanan hospes yang
setengah dicernakan atau dari sel mukosa usus (Utari, 2002).

Gambar 2.3 Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2018)


Telur infektif yang dikeluarkan oleh cacing betina bila ditelan
manusia akan menetas di bagian atas usus muda dan mengeluarkan larva
rabditiform (Seltzer et al., 2006). Larva ini akan menembus dinding usus
yang masuk vena kecil atau pembuluh limfe, selanjutnya melalui sirkulasi
6

portal larva masuk ke hepar, kemudian jantung, dan paru-paru. Di dalam


paru, larva akan mengalami perubahan kedua dan ketiga. Selanjutnya, larva
akan bermigrasi ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva
ini menuju faring, yang akan menyebabkan faring terangsang dan timbul
reflek batuk. Ketika penderita batuk, larva akan tertelan dan menuju
oesophagus. Selanjutnya larva akan menuju usus muda. Di usus, larva
mengalami pembesaran kelima (Utari, 2002).
4. Manifestasi Klinis
Askariasis, yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides, seringkali tidak menujukkan gejala. Infeksi biasa yang
mengandung 10 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui
hospes dan baru diketahui setelah ditemukan telur pada pemeriksaan tinja
rutin atau cacing keluar sendiri tanpa tinja (Widoyono, 2008).
Keluhan yang biasanya dirasakan oleh penderita adalah sakit perut
yang tidak jelas. Selama migrasi larva ke paru, larva dapat menimbulkan
manifestasi alergi seperti infiltrasi paru, asma, dan sembam pada bibir. Pada
pemeriksaan darah tepi sering menunjukkan peningkatan eosinofil. Selain
itu, migrasi larva ke paru juga dapat menyebabkan sindroma Loeffler yang
pada foto rontgen thorak akan nampak sebagai infiltrat yang tidak hilang
selama 3 minggu (Sakai et al., 2006).
5. Tatalaksana
Obat askariasis lini pertama adalah pirantel pamoate dan mebendazol
(Katzung, 2004). Mebendazol dapat menyebabkan kerusakan struktur
subseluler, menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing, serta
menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi deplesi
glikogen pada cacing (Syarif & Elysabeth, 2007) . Mebendazol diberikan
dengan dosis 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari (Ganiswara 2007).
Obat askariasis lini kedua diantaranya adalah piperazin sitrat. Obat ini
merupakan agonis GABA dan bekerja dengan cara menganggu
permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam
mempertahankan potensial istirahat. Hal ini akan menyebabkan
7

hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan disertai paralisis otot cacing


(Katzung, 2004).
B. Trichuris trichiura

1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Sub famili : Trichinelloides
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura (Margono, 2008)
2. Morfologi
Trichuris trichiura seperti cambuk berwarna merah muda. Bagian
anterior tubuh adalah langsing panjangnya 3/5 dari panjang seluruh tubuh
berisi esophagus yang sempit dan bagian posterior tebal gemuk dengan
panjang 2/5 panjang seluruh tubuh berisi usus dan seperangkat alat
reproduksi. Cacing Trichuris trichiura betina memiliki panjang kira-kira 5
cm, sedangkan yang jantan memiliki panjang kira-kira 4 cm. Bagian
anterior langsing seperti cambuk, dengan panjang kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan bentuknya melingkar dan
terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum
dengan bagian anterior seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus
(Sutanto et al., 2011)..
Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari
antara 3000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan seperti
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalam berwarna jernih. Panjang telur
Trichuris trichiura adalah 50-55 µm dan lebar 22-24 µm (Sutanto et al,
2011). Telur Trichuris trichiura akan matang dalam 3-6 minggu pada suhu
optimum kira-kira 30˚C (Gandahusada, 2002). Telur matang spesies ini
8

tidak menetas dalam tanah dan dapat hidup selama beberapa tahun (Sutanto
et al., 2011).

Gambar 2.4 Morfologi telur cacing Trichuris trichiura (Jodjana &


Majawati, 2017)
3. Habitat dan Siklus Hidup
Trichuris trichiura atau yang dikenal dengan cacing cambuk adalah
salah satu STH yang banyak ditemukan di daerah yang lembab, tropis dan
subtropis dan daerah dengan sanitasi yang buruk (Bianucci et al, 2015). Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 2,2 juta orang terinfeksi Trichuris
trichiura. Infeksi cacing ini ini lebih banyak di negara-negara berkembang.
Infeksi cacing ini lebih banyak pada anak-anak daripada dewasa karena
kebersihan anak yang lebih buruk dan lebih sering mengkonsumsi tanah.
Cacing ini bersifat kosmolit, terutama dinegara panas dan lembab seperti
Indonesia (Sutanto et al., 2011).
Telur Trichuris trichiura yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
melalui tinja. Dalam lingkungan yang sesuai yaitu pada tanah yang lembab
dan teduh, telur akan matang dalam waktu 3-6 minggu. Telur matang adalah
telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Infeksi secara
langsung terjadi bila hospes secara tidak sengaja tertelan telur matang.
Larva akan keluar melalui dinding telur dan masuk kedalam usus halus.
Setelah dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk kedalam
kolon, terutama sekum. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa
pertumbuhan sejak telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur
kembali adalah sekitar 30-90 hari (Sutanto et al., 2011).
9

Gambar 2.5 Siklus hidup Trichuris trichiura


(https://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html)
4. Manifestasi Klinis
Infeksi berat oleh Trichuris trichiura yang terjadi terutama pada anak-
anak, cacing dapat menyebar di seluruh kolon dan rektum. Dapat pula
terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat penderita
yang mengejan saat defekasi. Cacing dapat memasukkan kepalanya ke
mukosa usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan pada mukosa usus. Ditempat perlekatan tersebut, dapat pula
terjadi perdarahan. Selain itu, cacing juga mengisap darah hospes sehingga
menyebabkan anemia. Gejala yang timbul pada anak-anak adalah diare
yang diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan menurun, dan
prolapsus rektum (Sutanto et al, 2011).
5. Tatalaksana
Mebendazol merupakan obat pilihan untuk trichuriasis dengan dosis
100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Albendazol untuk anak-
anak diatas 2 tahun diberikan dosis 400 (2 tablet) atau 20 ml suspensi berupa
dosis tunggal. Sedangkan anak- anka dibawah 2 tahun, diberikan
setengahnya (Soedarmo, 2012). Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10
mg/kgBB dan Oksantel pamoat 10-20 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal
(Supali, 2008).
10

C. Cacing Tambang

Cacing tambang atau hookworm terdapat dua spesies yang sangat sering
menginfeksi manusia yaitu “The Old World Hookworm” atau Ancylostoma
duodenale dan “The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Hotez,
2008)
1. Klasifikasi
Sub kingdom : Metazoa
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Phasmidia
Ordo : Rhabditida
Super famili : Ancylostomaidea dan Necator
Genus : Ancylostoma dan Necator
Spesies : A. Duodenale dan N. Americanus (Margono, 2008)
2. Morfologi
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat
pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik.
Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacing dewasa
jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina berukuran 10 sampai
13 mm (Safar, 2010).
Cacing dewasa Ancylostoma duodenale berbentuk huruf C dan
memiliki dua pasang gigi. Cacing silinder kecil dan berwarna putih keabu-
abuan. Ukuran cacing jantan 8 mm sampai 11mm dengan diameter 0,4 – 0,5
mm, ujung posterior pada jantan mempunyai bursa copulatrix yang
bentuknya khas . Cacing betina berukuran 10mm sampai 13mm dengan
diameter 0,6 mm , serta memiliki caudal spine. Cacing betina dapat
memproduksi 10.000 hingga 30.000 telur perhari (Staf Laboratorium
Parasitologi FKUB, 2010) .
11

Gambar 2.6 Morfologi cacing dewasa dan anteriror end


Ancylostoma duodenale (Staf Laboratorium Parasitologi FKUB, 2010)
Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S dengan
rongga mulut yang mempunyai benda kitin dan gigi berbentuk semilunar
(Safar, 2010). Bentuk langsing, silindris. Ukuran caacing jantan 7 mm
sampai 9mm dengan diameter 0,3 mm, sedangkan cacing betina 9mm
sampai 11mm dengan diameter 0,4 mm. Ujung posterior pada jantan
mempunyai bursa copulatrix yang digunaka untuk memegang cacing betina
pada waktu copulasi. Didalamnya terdapat spiculae yang homolog dengan
penis. Betina tidak memiliki caudal spine.Cacing betina.dapat memproduksi
telur 5000 hingga 10.000 telur per hari

Gambar 2.7 Morfologi cacing dewasa dan anterior end Necator


americanus (Staf Laboratorium Parasitologi FKUB, 2010).
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan
dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur
cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis
dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5
hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform.
Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan.
Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada
12

stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut


tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan
(Margono, 2008).

Gambar 2.8 Morfologi telur cacing tambang (Faust, 2012)


3. Habitat dan Siklus Hidup
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva
filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir
telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan
kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di
dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari
keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur
tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari
larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat
bertahan hidup 7-8 minggu di tanah (Safar, 2010).
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke
paruparu. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu
ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam
usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Margono et al., 2008).
Gambaran umum siklus hidup cacing Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus dapat dilihat pada gambar berikut ini :
13

Gambar 2.9 Siklus hidup cacing tambang A.duodenale dan N.americanus


(Sumber : Safar, 2010)
Tahap-tahap dari siklus hidup cacing ini adalah : (Staf Laboratorium
Parasitologi FKUB, 2010)
a. Telur dikeluarkan dalam tinja Nomor ,
b. Dalam kondisi yang menguntungkan (kelembaban , kehangatan,
temaram), larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform ini
tumbuh dalam tinja dan/atau tanah,
c. Setelah 5 sampai 10 hari (mengalami dua kali molting) menjadi
filariform larva (L3/tahap ketiga) yang infektif.
d. Infektif larva dapat bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi
lingkungan yang menguntungkan. Pada kontak dengan inang manusia,
larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung
dan kemudian ke paru-paru. Mereka menembus ke dalam alveoli paru ,
naik cabang bronkial menuju faring , dan tertelan.
e. Larva mencapai usus kecil, tinggal dan tumbuh menjadi dewasa.
Cacing dewasa hidup di lumen usus kecil, menempel pada dinding usus.
Sebagian besar cacing dewasa dieliminasi dalam 1 sampai 2 tahun, tapi
umur panjang bisa mencapai beberapa tahun.
Beberapa larva A. duodenale, setelah penetrasi kulit host, dapat
menjadi dorman (di usus atau otot). Selain itu, infeksi oleh A. duodenale
14

mungkin juga terjadi melalui oral dan transmammary route. Untuk N.


americanus, bagaimanapun, memerlukan fase migrasi transpulmonary (Staf
Laboratorium Parasitologi FKUB, 2010).
4. Manifestasi Klinis
Seseorang yang menderita helminthiasis biasanya lesu, tidak
bergairah, dan kurang konsentrasi belajar (Umar, 2008). Hal tersebut
dikarenakan penderita penyakit cacingan mengalami anemia atau kondisi
kekurangan darah. Anemia yang terjadi dikarenakan cacing dalam usus
menghisap darah penderitanya, sehingga dalam kondisi yang parah
menyebabkan kekurangan darah (Sumanto, 2010).
Larva cacing di paru-paru dapat menembus dinding pembuluh darah,
lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus, sehingga menimbulkan rangsangan pada
faring dan merangsang penderita mengalami batuk yang berlangsung lama
(Umar, 2008). Infeksi usus akibat cacing menghisap darah pada dinding
usus penderita, menyebabkan anak mengalami suhu tubuh yang meningkat.
Sehingga pada anak yang menderita penyakit cacingan lanjut, akan
mengalami suhu tubuh yang panas (Sumanto, 2010).
5. Pengobatan
Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di
masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan
untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole
(dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pyrantel
pamoate.(5) Anak usia sekolah merupakan kelompok risiko tinggi untuk
menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi. Pengobatan secara
teratur dapat mencegah terjadinya kesakitan yang kemudian mampu
memperbaiki keadaan gizi dan kognitif anak-anak (BPOM RI, 2012; Hanif,
2017).
Bukan hanya anak usia sekolah yang memperoleh manfaat dari
pemberian pengobatan antelmintik, anak usia pra-sekolah (1–5 tahun) juga
sangat rentan untuk mengalami anemia defisiensi zat besi yang
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perilaku anak. Infeksi cacing
15

tambang terbukti merupakan kontributor utama terhadap anemia defisiensi


zat besi pada anak-anak pra sekolah ( WHO, 2016).
Ibu hamil di daerah endemik yang diberikan pengobatan satu atau dua
kali selama kehamilan terbukti dapat memperbaiki status anemia ibu dan
berat lahir bayi serta menurunkan angka kematian bayi pada 6 bulan
pertama. Pada daerah di mana infeksi cacing tambang sudah endemik,
dianjurkan pemberian pengobatan antelmintik selama kehamilan kecuali
pada trimester pertama (WHO, 2016).
E. Cacing Pita (Cestoda)
1. Hymenolepis sp
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Hymenolepididae
Genus : Hymenolepis
Species : H. nana, H. diminuta (Ransom, 1901)
b. Morfologi
Telur H. nana berbentuk lonjong, ukurannya 30- 47 mikron,
mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi
sebuah onkosfer dengan penebalan pada kedua kutub. Dari masing-
masing kutub keluar 4-8 filamen. Perbedaan dengan H. nana, telur H.
diminuta berbentuk agak bulat, berukuran 60-79 mikron, mempunyai
lapisan luar yang jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi onkosfer
dengan penebalan pada kedua kutub, tetapi tanpa filamen. Pengamatan
pada mikroskop menunjukkan bahwa telur H. nana tampak lebih jernih
dibandingkan H. diminuta. Selain itu, pada telur H. nana juga terlihat
adanya filament polar sedangkan pada telur H. diminuta tidak
ditemukan adanya filament pola (Widiastuti et al., 2016).
16

Gambar 2.10 Morfologi telur Hymenolepis diminuta (a) dan


Hymenolepis nana (b) (Widiastuti et al., 2016)
Ukuran kedua jenis cacing tersebut relatif sama yaitu panjang
antara 15—40 mm dengan ketebalan sebesar 1 mm, namun ukuran telur
berbeda H. diminuta lebih besar (70—85 µm) dibandingkan dengan H.
nana (30—47 µm)2) . Cacing dewasa berbentuk pipih seperti benang
terbagi atas kepala (skoleks) dengan alat pelekat yang dilengkapi batil
isap, leher dan sederet segmen (proglotid) yang membentuk rantai
(strobila) (Marbawati, 2010).
Hymenolepis diminuta mempunyai skoleks kecil bulat,
mempunyai 4 batil isap dan rostelum tanpa kait-kait. Proglotid gravid
lepas dari strobili menjadi hancur dan telurnya keluar bersama tinja.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Hospes perantaranya adalah
serangga berupa pinjal dan kumbang (Marbawati, 2010). Cacing dewasa
Hymenolepis nana memiliki skoleks yang berbentuk bulat kecil, 4 buah
batil isap dan rostelum yang pendek dan berkait-kait. Bagian leher
panjang dan halus. Strobila dimulai denga progotid imatur yang sangat
pendek dan sempit, lebih ke distal menjadi lebih lebar dan luas. Pada
ujung distal strobila membulat. Cacing dewasa hidup di usus halus untuk
beberapa minggu dan tidak memerlupak hospes perantara (Marbawati,
2010).
c. Habitat dan SIklus Hidup
Pada manusia, infeksi H. nana tidak memerlukan hospes
perantara. Infeksi terjadi melalui tertelannya telur. Telur menetas dan
onkosfer masuk mukosa, usus halus dan menjadi cysticercoid.
Cysticercoid bersarang dalam tunica propria dari villi usus halus.
Setelah beberapa hari kembali ke rongga usus halus menjadi dewasa.
17

Tiga puluh hari sesudah infeksi akan ditemukan telur di dalam tinja.
Kadang-kadang telur tidak dikeluarkan bersama tinja, tetapi menetas di
dalam usus, onkosfer yang keluar menembus villi usus dan siklus
hidupnya akan berulang. Hal ini disebut autoinfeksi interna yang dapat
menyebabkan infeksi menjadi berat. Tidak diperlukannya hospes
perantara dalam siklus hidup H. nana dan kondisi autoinfeksi dianggap
sebagai faktor utama yang mendukung tingkat infeksi yang lebih tinggi
pada populasi ketika terinfeksi oleh cacing tersebut (Safar, 2010).

Gambar 2.11 Siklus hidup Hymenolepis nana


(https://www.cdc.gov/dpdx/hymenolepiasis/index.html)
Berbeda dengan H. nana, H. diminuta memiliki hospes perantara
yaitu larva pinjal tikus dan kumbang tepung dewasa. Dalam tubuh
serangga ini embrio yang keluar dari telurnya berkembang menjadi
cycticercoid. Manusia terinfeksi jika secara tidak sengaja
mengkonsumsi larva pinjal atau kumbang tepung yang mengandung
cycticercoid. Cacing pita H. diminuta ditularkan ketika telur dikonsumsi
oleh arthropoda sebagai hospes perantara seperti kecoa dan kumbang
tepung. Telur kemudian berkembang menjadi cysticercoid dalam
rongga tubuh arthropoda vektor. Ketika arthropoda infektif termakan
oleh tikus, cysticercoids akan berkembang menjadi cacing pita dewasa
18

dalam usus. Apabila arthropoda infektif tidak sengaja tertelan oleh


manusia berkembang menjadi cacing pita dewasa dalam usus
(Widiastuti et al., 2016).

Gambar 2.12 Siklus hidup Hymenolepis diminuta


(https://www.cdc.gov/dpdx/hymenolepiasis/index.html)
d. Manifestasi Klinis
Cacing dari genus Hymenolepis menyebabkan efek patologis
penting bagi kesehatan manusia. Infeksi cacing Hymenolepis sp.
menyebabkan himenolepiasis pada manusia. Himenolepiasis ringan
hanya menimbulkan gejala yang minimal atau sama sekali tanpa gejala.
Infeksi berat terutama pada siswa-siswa sering ditandai dengan sakit
perut, diare, pusing, dan sakit kepala. Eosinofilia terjadi pada 10-15%
kasus. Pada infeksi berat sekali yang disebut hiperinfeksi, cacing dewasa
dapat mencapai 2000 ekor pada seorang penderita (Widiastuti et al.,
2016).
e. Pengobatan
Untuk pengobatan cacing pita (Taenia sp dan Hymenolepis sp)
diberikan niklosamid atau prazikuantel. Niklosamid merupakan salah
satu obat pilihan untuk infeksi cacing cestoda pada manusia, namun
karena adanya bahaya timbulnya sistiserkosis maka niklosamid sering
diganti dengan prazikuantel (Anorital, 2014).
19

Prazikuantel adalah obat cacing yang berspektrum luas terhadap


trematoda dan cestoda baik untuk manusia maupun hewan. Dalam
konsentrasi efektif rendah, prazikuantel akan meningkatkan aktivitas
muskulus yang diikuti kontraksi dan paralisis spastik sehingga
menyebabkan lepasnya cacing dari hospes (Anorital, 2014).
Niklosamid diberikan dengan dosis 2,0 gram, dikunyah, sekali
sehari diberikan selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral
dengan dosis tunggal 15 mg/kg barat badan diberikan setelah makan
pagi (Anorital, 2014).
2. Taenia sp
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia saginata, Taenia solium (Pusarawati & Ideham,
2007)
b. Morfologi
Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4
meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya. Bentuk dari cacing
dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas
skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid
(Pusarawat & Idehami, 2007). Setiap cacing Taenia solium mempunyai
segmen yang berjumlah kurang dari 1000 buah (Soedarto, 2008).
Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm,
mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan
2 deret kait yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing
sebanyak 25-30 buah (Margono, 2008).
Morfologi cacing dewasa T. solium berwarna putih, tembus sinar,
dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5
20

meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun,


bahkan lebih. Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2
milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum
maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk sempit
memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas
dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Margono, 2008).
Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan
mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan
pemeriksaan menggunakan metode uji apung (Estuningsih, 2009).

Gambar 2.13 Morfologi telur Taenia sp (Tantri et al., 2013)


c. Habitat dan Siklus Hidup
Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata)
terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila
telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di
dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster (telur
yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan masuk ke
dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke
otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T.
saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang
disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan
daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan
dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada
usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa
yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan
21

telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian


termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam
usus sapi akan menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan
tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas
(Estuningsih, 2009).

Gambar 2.14 Siklus Hidup Taenia sp


(https://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/)
Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus hidup T.
saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan
manusia akan terinfeksi apabila memakan daging babi yang
mengandung kista dan kurang matang/tidak sempurna memasaknya
atau tertelan telur cacing. T. saginata menjadi dewasa dalam waktu10 –
12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12 minggu (OIE,
2005). Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak
tergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa
bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T. saginata biasanya lebih
aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari feses
menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan
atau pada rumput selama beberapa minggu/bulan (Estuningsih, 2009).
22

d. Manifestasi Klinis
Taeniasis dan sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
Taenia sp. T. solium yang terdapat pada daging babi menyebabkan
penyakit Taeniasis, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi
saluran pencernaan oleh cacing dewasa, dan bentuk larvanya dapat
menyebabkan penyakit sistiserkosis. Cacing T. saginata pada daging
sapi hanya menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia oleh cacing
dewasa (Estuningsih, 2009).
e. Pengobatan
Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada manusia,
pemberian obat cacing praziquantel, niklosamid, buklosamid atau
mebendazol dapat membunuh cacing dewasa dalam usus. Adapun
sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan
operasi (bedah) (Estuningsih, 2009).
23

III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

1. Alat :
a. Tabung Reaksi
b. Rak Tabung
c. Gelas ukur
d. Penyaring the
e. Batang pengaduk (Lidi)
f. Object Glass
g. Cover glass
h. Mikroskop
i. Beaker glass
2. Bahan :
a. Sample tinja 10 gram atau sebesar biji kacang
b. NaCL jenuh 33%
B. Cara Kerja
1. Siapkan alat dan bahan
2. Tuangkan NaCl 33% jenh kedalam beaker glass sebanyak 100 ml lalu
campurkan dengan 10 gram tinja, aduk hingga homogen, lalu saring
menggunakan penyaring teh.
3. Masukan campuran tinja dan larutan NaCl yang telah disaring tersebut ke
dalam tabung reaksi hingga penuh dan terlihat cembung.
4. Diamkan selama 5-10 menit, lalu tempelkan cover glas pada permukaan
campuran pada tabung reaksi. Lalu pindahkan ke atas object glass.
5. Letakan preparat pada meja spesimen dan amati menggunakan mikroskop.
24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Identitas pasien
Nama : Poppy
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Cunil Gumbul
Pada hasil pemeriksaan feses menggunakan metode apung tidak
didapatkan telur cacing.
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara dengan orangtua pasien menggunakan


kuosioner (Lampiran 2) diketahui bahwa anak selalu mencuci tangan setelah
bermain tanah, menggunakan air mengalir dan sabun untuk mencuci tangan,
mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar, memotong kuku
1 kali dalam seminggu, tidak punya kebiasaan menggigit kuku, selalu memakai
alas kaki ketika bermain di luar, tidak sering bermain di sungai/parit/selokan,
buang air besar di jamban/WC, dan tidak mempunyai kebiasaan menghisap jari.
Pasien kadang makan sayuran mentah dan bermain di tanah. Disamping itu,
pasien tdiak membersihkan kukunya saat mencuci tangan. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa pasien tidak terinfeksi parasit cacing karena tidak
ditemukan adanya telur cacing pada pemeriksaan feses dan pasien hanya
memiliki tiga faktor risiko yang berpotensi menyebabkan infeksi kecacingan.
25

DAFTAR PUSTAKA

Anorital. 2014. Kajian Penyakit Kecacingan Hymenolepis nana. Jurnal Biotek


Medisiana, 3(2) : 37-47.
Azizaturridha, A., Istiana, Hayatie, L. 2016. Pengaruh Infeksi Kecacingan terhadap
Status Gizi Pada Anak Di Sdn 2 Barabai Darat Kalimantan Selatan Tahun
2015. Berkala Kedokteran, 12(2):165-173.
BADAN POM RI. 2012. Seri Swamedikasi 4 “Obat Kecacingan”. (Online),
(http://bpom.go.id) diakses 28 Oktober 2018.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2013. Trichuris trichiura.
Parasites-Trichiuriasis (also known as Whipworm Infection). Available at:
https://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html. Diakses pada 31
Oktober 2018.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. Hymenolepiasis. DPDx-
Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health Concern.
https://www.cdc.gov/dpdx/hymenolepiasis/index.html. Diakses pada 03
November 2018.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. Taeniasis. DPDx-
Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health Concern.
https://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/. Diakses pada 03 November 2018.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2018. Ascariasis. DPDx-
Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health Concern.
Available at: https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html. Diakses pada
31 Oktober 2018.
Estuningsih, S.E. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis Merupakan Penyakit Zoonosis
Parasiter. Wartazoa 19(2):84-92.
Faust E.C., Russel P.F., Yung R.C. 2012. Clinical Parasitology. 10th ed.
Philadelphia: Lea&Febiger
Ganiswara S.G. (eds). 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Gaya Baru : Jakarta.
Hal :523-536.
Gillespie, S., & Pearson, R.D. 2001. Principels and Practice Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd, England.
Handayani, D., Ramdja, M., Nurdianthi, I.F. 2015. Hubungan Infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar pada Siswa SDN 169
di Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus Kota Palembang. MKS, 47(2):91-
96
Hanif, D.I, Yunus, M., Gayatri, R.W. 2017. Gambaran Pengetahuan Penyakit
Cacingan (Helminthiasis) Pada Wali Murid Sdn 1, 2, 3, Dan 4 Mulyoagung,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jurnal Preventia, 1(1): 2-
11.
26

Hotez P.J, et al. 2008. Helminth Infections: The Great Neglacted Tropical Deseases.
(Online),
(http://search.proquest.com/docview/200561377/fulltextPDF/B5CC6ECF10
D740FFPQ/20?accountid38628)diakses 28 Oktober 2018.
Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya:
Airlangga University Press, 77-81, 89-99.
Jodjana, E., & Majawati, E.S. 2017. Gambaran Infeksi Cacing Trichuris trichiura
pada Anak di SDN 01 PG Jakarta Barat. Jurnal Kedokteran Meditek,
23(61):32-40.
Katzung B.G. 2004. Farmakologi dasar dan Klinik. Salemba Empat . Jakarta. Hal :
259, 286-287.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Kemenkes Berkomitkmen
Eleminasi filariasis dan kecacingan.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan tahun 2012
Kurniawan A. 2010. Infeksi Parasit: Dulu dan Masa Kini. Majalah Kedokteran
Indonesia, 60(11) : 487-88
Kurniawan, B., Ramadhian, M.R., Rahmadhini, N.S. 2018 Uji Diagnostik
Kecacingan antara Pemeriksaan Feses dan Pemeriksaan Kotoran Kuku pada
Siswa SDN 1 Krawangsari Kecamatan Natar Lampung Selatan Jurnal
Kedokteran Unila, 2(1):20-24.
Marbawati, D. Hymenolepis sp, Caciing ita Parasit pada Tikus dan Manusia.
Balaba 6(2) : 24-25.
Margono S. 2008. Nematoda Usus Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4.
Jakarta : FK UI, 6-20.
Padmasutra, Leshmana. 2007. Catatan Kuliah: Ascaris lumbricoides. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta
Ransom, B.H. 1901. On Hymenolepis carioca (Magalhaes) and H. Megalops
(Nitzsch) with Remarks on The Classification of The Group.Transactions of
the American Microscopical Society, 23 : 151-172.
Regina, M.P., Halleyantoro, R., Bakri, S. 2018. Perbandingan Pemeriksaan Tinja
Antara Metode Sedimentasi Biasa Dan Metode Sedimentasi Formolether
Dalam Mendeteksi Soil-Transmitted Helminth. Jurnal Kedokteran
Dipenogoro, 7(2):527-537.
Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran: Protozoologi, Entomologi dan
Helmintologi. Cetakan I. Bandung: Yrama Widya.
Sakai S, Shida Y, Takahashi N, Yabuuchi H, Soeda H, Okafuji T, Hatakenaka M,
Honda H. 2006. Pulmonary Lesions Associated With Visceral Larva Migrans
Due to Ascaris suum or Toxocara canis: Imaging of Six Cases. AJR ;
186:1697–1702
27

Seltzer E, Barry M, Crompton DWT. 2006. Ascariasis. In: Guerrant RL, Walker
DH, Weller PF, editors. Tropical infectious diseases. Principles, pathogens &
practice. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; p :1257-1264.
Soedarmo S, Poorwo, Herry G, Sri Rezeki S, Hindra I. 2008. Buku Ajaran : Infeksi
dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: IDAI.
Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University
Staf Laboratorium Parasitologi FKUB, 2010, Diktat Biologi Mikroba Sub Modul
Parasitologi, Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, Malang
Sumanto, D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah
(Studi kasus kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak). (Online),
http://eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf diakses 28
Oktober 2018.
Syarif, A & Elysabeth. 2007.Antelmintik. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5.
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Indonesia. hlm: 541-550.
Tantri, N., Setyawati, T.R., Khotimah, S. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur
Cacing Parasit pada Feses Sapi (Boss p.). RUmah Potong Hewan (RPH) Kota
Pontianak Kalimantan Barat. Protobiont, 2(2):102-106.
Umar, Z. 2008. Perilaku Cuci Tangan Sebelum Makan Dan Kecacingan Pada
Murid SD di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Barat. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional vol.2 no.6 Juni 2008.
Utari Cr. S. ,2002. Infeksi Nematoda Usus. Sebelas Maret University Press.
Surakarta. Hal : 3 – 11.
Widiastuti, D., Astuti, N.T., Pramestuti, N., Sari, T.F. 2016. Infeksi Cacing
Hymenolepis nana Dan Hymenolepis diminuta pada Tikus Dan Cecurut Di
Area Pemukiman Kabupaten Banyumas. Vektora, 8(2) : 81-90.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis. Erlangga :Surabaya. Hal : 130-132.
Winita, R., Mulyati, Astuty, H. 2012. Upaya Pemberantasan Kcacingan di Sekolah
Dasar. Makara Kesehatan, 16(2):65-71.
World Health Organization. Report of the WHO informal consultation on the use
of praziquantel during pregnancy/lactation and albendazole/mebendazole in
children under 24 months. Geneva: WHO;2016.
Yamaguchi T, 1981. Atlas Berwarna Parasitologi Klinik. Jakarta: EGC.
28

Lampiran 1. Lembar informed consent


Lembar Informasi dan Kesediaan

(Information and Consent Form)

Saya, Muhammad Zulfikar Rizki Aditya mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Jenderal Soedirman. Saya ingin mengajak Anda untuk berpartisipasi

dalam praktikum kami yang berjudul “Pemeriksaan Feses dan Jentik Nyamuk”

yang akan dilaksanakan oleh tim peneliti yang beranggotakan:

1. Noor Aziz Sukma Adi (G1A015072)

2. Rahmat Yusuf Arifin (G1A015073)

3. Yusril Firzatullah (G1A015074)

4. Salahudin Al Ayubi (G1A015075)

5. Yusril Isra Fhrasetya (G1A015076)

6. Dien Novitasari Anggraini (G1A015077)

7. Ovia Sesa Andriana (G1A015078)

8. Intan Rahmawati (G1A015079)

9. Rosalia Kusuma Dewi (G1A015080)

10. Akhmad Faizal Aziz (G1A015081)

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adakah suatu kelainan yang

ditemukan pada hasil dari pemeriksaan feses pada praktikum kami guna

menentukan diagnosa dari hasil pemeriksaan tersebut serta mengetahui jenis

dan morfologi jentik nyamuk pada rumah yang kami kunjungi.


29

2. Keikutsertaan sukarela

Partisipasi Anda dalam penelitian ini adalah sukarela tanpa paksaan.

Anda berhak untuk menolak keikutsertaan dan berhak pula untuk

mengundurkan diri dari penelitian ini, meskipun Anda sudah menyatakan

kesediaan untuk berpartisipasi. Tidak akan ada kerugian atau sanksi apa pun

(termasuk kehilangan perawatan kesehatan maupun terapi yang seharusnya

Anda terima) yang akan Anda alami akibat penolakan atau pengunduran diri

Anda. Jika Anda memutuskan untuk tidak berpartisipasi atau mengundurkan

diri dari penelitian ini, Anda dapat melakukannya kapan pun.

3. Durasi (lama) penelitian, prosedur penelitian, dan tanggungjawab

partisipan

Prosedur yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah/meliputi :

 Pengambilan Feses:

a. Penyerahan pot yang akan digunakan sebagai wadah untuk menampung

feses subyek

b. Subyek melakukan pengambilan sampel feses sebanyak satu ruas jari jentik

kemudian diletakan di pot yang sudah disediakan

c. Sampel feses yang sudah diambil kemudian disimpan ditutup rapat dan

dibungkus dengan kantong plastik hitam

 Pengambilan Jentik Nyamuk

a. Petugas mendatangi rumah subyek yang akan diambil sampel jentik nyamuk

b. Petugas menyiapkan alat untuk pengambilan jentik nyamuk

c. Pengambilan jentik nyamuk diambil di tempat penampungan air seperti bak

mandi, gentong air, ember, dan lain lain yang terdapat jentik nyamuk
30

d. Petugas menyimpan jentik nyamuk dalam botol untuk diperiksa lebih lanjut

di laboratorium kampus

4. Manfaat penelitian

Partisipasi Anda dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk

Anda/orang lain berupa mengetahui hasil pemeriksaan feses secara makroskopis

dan mikroskopis juga mengetahui adakah kelainan dari hasil pemeriksaan

tersebut serta mengetahui jenis nyamuk yang berada pada daerah rumah Anda.

5. Risiko dan ketidaknyamanan

Resiko yang dapat terjadi dari pengambilan feses adalah penularan

penyakit infeksi pada orang-orang disekitar, namun hal ini dapat dihindari

dengan pengambilan feses secara baik dan benar.

6. Kompensasi

Peneliti bertanggung jawab sepenuhnya sampai dengan akhir penelitian.

Bila ada risiko akibat pengambilan sampel dan pemeriksaan sampel, peneliti

akan bertanggung jawab terhadap risiko yang terjadi.

7. Kerahasiaan

Kami menjamin kerahasiaan seluruh data dan tidak akan mengeluarkan

atau mempublikasikan informasi tentang data diri Anda tanpa ijin langsung dari

Anda sebagai partisipan. Data akan disimpan oleh peneliti dan akses terhadap

data hanya dapat dilakukan oleh peneliti, asisten peneliti dan Anda selaku

partisipan.

8. Klarifikasi
31

Jika Anda memiliki pertanyaan apapun terkait prosedur penelitian, atau

membutuhkan klarifikasi serta tambahan informasi tentang penelitian ini, Anda

dapat menghubungi:

(Muhammad Zulfikar Rizki Aditya / HP. 081393831829)

(Dicky Prasetyo / HP. 085943032615)

9. Kesediaan

Jika Anda bersedia untuk berpartisipasi maka Anda akan mendapatkan

satu salinan dari lembar informasi dan kesediaan ini. Tandatangan Anda pada

lembar ini menunjukkan kesediaan Anda untuk menjadi partisipan dalam

penelitian.

Tanggal: 25 Oktobel 2018

Tandatangan Partisipan atau Wali*,

…………………………………….......

(BAPAK WARSO)

Yang menyampaikan informasi: Yang menyampaikan informasi:

………………………………… …………………………………
(ROSALIA KUSUMA DEWI) (AKHMAD FAIZAL AZIZ)
32

Lampiran 2. Kuesioner Pemeriksaan Feses


KUESIONER PEMERIKSAAN FESES
SDN 1 PEGALONGAN

I. Kuesioner HIGINE PERORANGAN

Identitas Responden
1. Nama
Ayah :warso
Ibu :tumini
2. Umur
Ayah :42th
Ibu :38th
3. Pendidikan
Ayah :sd
Ibu :sd
4. Pekerjaan
Ayah :tani buruh
Ibu :ibu rumah tangga

Identitas Anak
1. Nama : poppy
2. Umur :11th
3. Jenis kelamin : perempuna
4. Kelas :5
5. Alamat :cunil grumbul

PETUNJUK PENGISIAN
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara memberi tanda silang (x) pada
huruf, sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan saudara.

1. Apakah anak Anda sering bermain dengan tanah?


a. Ya
b. Kadang-kadangv
c. Tidak
2. Apakah anak Anda selalu mencuci tangan setelah bermain di tanah?
a. Yav
b. Kadang-kadang
c. Tidak
3. Bagaimana air yang digunakan anak Anda untuk mencuci tangan?
a. Memakai air kobokan
b. Memakai air mengalirv
4. Apakah bila mencuci tangan anak Anda selalu memakai sabun?
33

a. Yav
b. Kadang-kadang
c. Tidak
5. Apakah kuku ikut dibersihkan saat anak Anda mencuci tangan?
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidakv
6. Apakah anak Anda selalu mencuci tangan sebelum makan?
a. Yav
b. Kadang-kadang
c. Tidak
7. Berapa kali anak anda memotong kuku?
a. 1 kali dalam semingguv
b. 1 kali dalam 2 minggu
c. Memotong kuku lebih dari 2 minggu
8. Apakah anak Anda mempunyai kebiasaan menggigit kuku?
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidakv
9. Apakah anak Anda selalu memakai alas kaki ketika bermain di luar
rumah?
a. Yav
b. Kadang-kadang
c. Tidak
10. Apakah anak Anda sering bermain di sungai/parit/selokan?
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidakv
11. Dimana anak Anda biasa buang air besar?
a. Jamban/WCv
b. Sungai/parit
c. Halaman/kebun
12. Apakah anak Anda selalu mencuci tangan setelah buang air besar?
a. Yav
b. Kadang-kadang
c. Tidak
13. Apakah anak Anda suka makan sayuran mentah/lalapan?
a. Ya
b. Kadang-kadangv
c. Tidak
14. Apakah anak Anda punya kebiasaan menghisap jari?
a. Ya
34

b. Tidakv

II. KUESIONER SANITASI LINGKUNGAN

PETUNJUK PENGISIAN
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara memberi tanda silang (x) pada
huruf, sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan saudara.

1. Apakah sumber penyediaan air bersih di rumah Anda dari sungai?


a. Ya
b. Tidakv
2. Apakah rumah anda memiliki sumur
a. Yav
b. Tidak
35

3. Berapa kira-kira jarak dari sumur dengan jamban/WC (bila ada)


a. <10 m
b. ≥10 m
4. Apakah di rumah memiliki jamban/WC keluarga?
a. Yav
b. Tidak
5. Apakah jenis jamban/WC yang ada di rumah?
a. Jamban/WC jongkok
b. Jamban/WC kolamv
6. Apakah jamban/WC dilengkapi dengan sumur penampung feses?septic
tank
a. Ya
b. Tidakv
7. Apakah di rumah memiliki tempat sampah?
a. Yav
b. Tidak
8. Bagaimanakah keadaan tempat sampah tersebut?
a. Tertutup
b. Terbukav

Terimakasih atas kesediaannya menjadi responden dan telah mengisi kuesioner


ini.

Responden

( ....................................... )

Anda mungkin juga menyukai