Anda di halaman 1dari 21

TUGAS RANGKUMAN

“RUPTUR URETRA”

Oleh :

Revania Radina Thirza G4A018080

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
A. Definisi Batu Saluran Kemih
Batu saluran kemih (BSK) atau urolithiasis didefinisikan sebagai
pembentukan batu atau kalkuli di traktur urinarius yang meliputi batu ginjal
(nefrolithiasis), ureter (ureterolithiasis), buli (vesicolithiasis), dan uretra
(uretrhrolithiassi) (Wardana, 2017). Pembentukan batu dapat diklasifikasikan
berdasarkan etiologinya, yaitu infeksi, non-infeksi, kelainan genetik, dan
obat-obatan (Rasyid et al., 2018).
Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus
tersering di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka
prevalensi batu saluran kemih nasional di Indonesia. Namun, di beberapa
negara di dunia berkisar antara 1-20% (Rasyid et al., 2018). Laki-laki lebih
sering mengalami BSK dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan puncak
insiden terjadi pada usia 40-50 tahun (Turk et al., 2011).
B. Etiologi, Faktor Risiko, dan Patofisiologi Batu Saluran Kemih
Komposisi urin menentukan pembentukan batu berdasarkan tiga
faktor, berlebihnya komponen pembentukan batu, jumlah komponen
penghambat pembentukan batu (seperti sitrat, glikosaminoglikan) atau
pemicu (seperti natrium, urat). Anatomis traktus anatomis juga turut
menentukan kecendrungan pembentukan batu (Fauzi & Putra, 2016).
Batu saluran kemih berdasarkan komposisinya terbagi menjadi
batu kalsium, batu struvit, batu asam urat, batu sistin, batu xanthine, batu
triamteren, dan batu silikat. Pembentukan batu saluran kemih umumnya
membutuhkan keadaan supersaturasi. Namun pada urin normal, ditemukan
adanya zat inhibitor pembentuk batu. Pada kondisi-kondisi tertentu,
terdapat zat reaktan yang dapat menginduksi pembentukan batu. Adanya
hambatan aliran urin, kelainan bawaan pada pelvikalises, hiperplasia
prostat benigna, striktura, dan buli bulineurogenik diduga ikut berperan
dalam proses pembentukan batu (Fauzi & Putra, 2016).

Tabel 1.1 Klasifikasi Batu Saluran Kemih berdasarkan Etiologi (Rasyid et


al., 2018)

Batu Akibat tanpa Infeksi


Kalsium Oksalat
Kalsium Fosfat
Asam Urat
Batu Akibat Infeksi
Magnesium amonium fosfat
Karbonat
Amonium Urat
Kelainan Genetik
Sisti Xantin
Obat

Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan


adanya kejadian kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting
dalam tata laksana farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan
batu saluran kemih. Sekitar 50% pembentukan batu saluran kemih juga
dapat ditemukan kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam seumur hidup.
Faktor risiko terjadinya pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di
usia muda, faktor keturunan, batu asam urat, batu akibat infeksi,
hiperparatiroidisme, sindrom metabolik, dan obat-obatan (Rasyid et al.,
2018).
Tabel 1.2 Faktor risiko tinggi pembentukan batu (Rasyid et al., 2018)
Faktor umum
Terjadinya Batu Saluran Kemih (BSK) di usia muda (khususnya anak
dan remaja)
Faktor keturunan dengan riwayat batu saluran kemih
Batu mengandung brushite (CaHPO4.2HO)
Asam ruat dan batu mengandung asam urat
Batu akibat infeksi
Ginjal tunggal
Penyakit yang berhubungan dengan pembentukan batu
Hiperparatioridisme
Sidndroma Metabolik
Nefroalsinosis
Penyakit ginjal polikistik
Penyakit gastrointestinal (seperti reseksi intestinal, oenyakit Chron,
malabsorpsi)
Kelainan medula spinalis, seperti neurogenic bladder)
Kelainan genetik yang berhubungan dengan pembentukan batu
Sistinuria
Hiperoksaluria primer
Asidosis tubuler ginjal tipe I
Xantinuria
Abnormalitas anatomis yang berhubungan dengan pembentukan
batu
Ureteroperlvic Junction (UPJ) Onstruction
Divertikulum kaliks
Striktur uretra
Refluks vesiko-uretero-renal
Ginjal tapal kuda
Ureterocele

Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan


organik maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal
tersebut akan tetap berada pada posisi metastable (tetap terlarut) dalam
urin jika tidak ada keadaan-keadaan yang menyebabkan presipitasi kristal.
Apabila kristal mengalami presipitasi membentuk inti batu, yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan yang lain
sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Kristal akan mengendap pada
epitel saluran kemih dan membentuk batu yang cukup besar untuk
menyumbat saluran kemih sehingga nantinya dapat menimbulkan gejala
klinis. Terdapat beberapa zat yang dikenal mampu menghambat
pembentukan batu. Diantaranya ion magnesium (Mg), sitrat, protein
Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid, dan glikosaminoglikan. Ion
magnesium ternyata dapat menghambat batu karena jika berikatan dengan
oksalat, akan membentuk garam oksalat sehingga oksalat yang akan
berikatan dengan kalsium menurun. Demikian pula sitrat jika berikatan
dengan ion kalsium (Ca) untuk membentuk kalsium sitrat, sehingga
jumlah kalsium oksalat akan menurun (Fauzi & Putra, 2016).
C. Gejala dan Tanda Klinis Batu Saluran Kemih
Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai
dari tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria,
hematuria, retensi urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan
penyulit seperti demam dan tanda gagal ginjal. Gejala dan tanda batu saluran
kemih yang bervariasi ini juga bergantung pada lokasi dan ukuran batu.
Semakin kecil batu, gejala yang dirasakan pasien biasanya semakin ringan.
(Rasyid et al., 2018). Gejala lain seperti mual dan muntah pun dapat
ditemukan pada pasien, hal ini biasanya dihubugkan akibat adanya nyeri
kolik yang akut. Mual biasanya terjadi akibat jalur innervasi pelvis renalis,
gaster, dan intestinal melalui aksis celiac dan nervus vagus aferen (Dave,
2020).
Tabel 1.5 Manifestasi Klinis Batu Saluran Kemih berdarsarkan Lokasi
Anatomi (Smith, 2018; Rasyid et al., 2018)
Nefrolitiasis Ureterolitiasi Ureterolitia Vesicolithia
s Proksimal sis distal sis
Flank pain Flank pain Flank pain Nyeri saat
bersifat kolik menjalar ke yang berkemih
atau non-kolik area lumbar menjalar ke atau
dan bersifat area mendekati
kolik genitalia akhir
(skrotum) berkemih
dan bersifat
kolik
Mikrohaematu Mikrohaematu BAK terputus-
ria ria putus
Frekuensi, Frekuensi, Hematuria
Urgensi, Urgensi,
Disuria Disuria
Mual, muntah Mual, muntah Mual,
muntah

Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu yang


berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas,
hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau
pankreas. Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu
pada pasien, antara lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang
tinggi, buah dan sayur kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan,
jenis minuman yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi.
Riwayat pengobatan dan suplemen seperti probenesid, inhibitor protease,
inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor
karbonik anhidrase. Apabila pasien mengalami demam atau ginjal tunggal
dan diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan pencitraan (Rasyid
et al., 2018).
D. Klasifikasi Batu Saluran Kemih
Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi,
karakteristik pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya batu, komposisi batu,
dan risiko kekambuhan. Ukuran batu biasanya diklasifikasikan dalam 1 atau
2 dimensi, yang dibagi menjadi beberapa ukuran, yaitu 5, 5-10, 10-20, dan
>20 mm. Berdasarkan letak batunya, batu saluran kemih dapat terletak pada
kaliks ginjal superior, medial, atau inferior, pelvis renal, ureter proksimal
atau distal, dan buli (Turk et al., 2017).
Tabel 1.3 Klasifikasi batu saluran kemih berdasarkan karakteristik
pencitraan sinar X (Rasyid et al., 2018)
Radioopak Opasitas Rendah Radiolusen
Kalsium oksalat Magnesium Asam urat
dihidrat amonium fosfat Amonium Urat
Kalsium oksalat Apatit Xantin
monohidrat Sistin 2,8-dihydroxyadenine
Kalsium Fosfat Obat-obatan

Tabel 1.4 Klasifikasi Batu Saluran Kemih berdasarkan Etiologi (Turk et al.,
2011)
Batu Non- Batu Infeksi Batu Genetik Drug
Infeksi Stone
Kalsium Magnesium- Cistine Indinavir
Oksalat Amonium
Sulfat
Kalsium Apatit Xanthine
Fosfat
Asam Urat Amonium Urat 1,8-
dihydroxyaden
ine
1. Batu Kalsium
Batu yang palng sering terjadi pada kasus batu ginjal. Knadungan
batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsim fosfat, atau campuran
keduanya. Faktor-faktor terbentuknya batu kalsium adalah (Fauzi & Putra,
2016):
a. Hiperkalsiuria : akibat penigkatan absorbsi kalsium usus (absorptif),
gangguan kemampuan reabsorpsi kalsium melalui tubulus ginjal (renal),
peningkatan resorpsi tulang (resorptif)
b. Hiperoksaluria : ekskresi oksalat urin >45 gram/hari
c. Hiperurikosuria : kadar asam urat urin >850 mg/24 jam
d. Hipositraturia : sitat berfungsi untuk menghalangi ikatan kaslium
dengan oksalat
e. Hipomagnesuria : magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya
batu kalsium kadarnya sedikit dalam tubuh. Penyebab hipomagnesuria
tersering adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti dengan gangguan
malabsorbsi
2. Batu Struvit
Batu yang terbentuk akibat adanya infeksi saluran kemih (Fauzi &
Putra, 2016).
3. Batu Asam Urat
Biasanya diderita pasien dengan gout, penyakit mieloproliperatif,
pasien yang mendapatkan terapi anti kanker, dan yang banyak
menggunakan obat urikosurik seperti sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat
(Fauzi & Putra, 2016).
4. Batu Jenis Lain
Batu jenis lain seperti sistin, xnathine, batu triamteran, dan batu
silikat sangat jarang dijjumpai (Fauzi & Putra, 2016).
E. Diagnosis dan Diagnosis Banding Batu Saluran Kemih
Diagnosis batu saluran kemih ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien biasanya mengeluh nyeri
pinggang yang bersifat kolik maupun tidak di area pinggang dengan derajat
yang sangat bervariasi. Keluhan seperti hematuria, disuria, retensi urin,
hingga anuria juga dapat muncul (Rasyid et al., 2018).
Pada Pemeriksaan fisik, pasien dengan batu saluran kemih sangat
bervariasi mulai tanpa kelainan fisik dampai adanya tanda-tanda sakit berat,
tergantung letak batu dan penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pada
pemeriksaan fisik urologi, apabila dicurigai terdapat batu di ginjal atau
nefrolithiasis dapat ditemukan nyeri tekan, nyeri ketok, atau pembesaran
ginjal di sudut kostovertebra. Batu pada buli dapat dicurigai apabila pada buli
didapatkan adanya nyeri tekan, buli terasa penuh, hingga teraba batu di area
surpa simfisis, batu juga dapat teraba pada buli saat melakukan pemeriksaan
rectal toucher. Jika dicurigai terdapat batu pada urethra, khususnya pada
laki-laki, dapat teraba batu di uretra. Pada pemeriksaan fisik umum perlu
dipastikan pula apakah pasien mengalami hipertensi, demam tanda-tanda
anemia hingga syok (Rasyid et al., 2018).
F. Pemeriksaan Penunjang Batu Saluran Kemih
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah dan Urinalisis
Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, dan hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk
diintervensi, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum,
kreatinin, uji koagulasi (activated partial thromboplastin time/aPTT,
international normalised ratio/INR), natrium, dan kalium. Bila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan atau C-reactive protein (CRP)
(Rasyid et al., 2018).
Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria,
leukosuria, bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Hanya
pasien dengan risiko tinggi terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan
analisis spesifik lebih lanjut. Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan
apabila didapatkan sampel batu pada pasien BSK. Pemeriksaan analisis
batu yang dianjurkan menggunakan sinar X terdifraksi atau spektroskopi
inframerah. Selain pemeriksaan di atas, dapat juga dilakukan pemeriksaan
lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar vitamin D, bila dicurigai
hiperparatiroid primer (Rasyid et al., 2018).
2. Pemeriksaan Pencitraan
Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan pencitraan yang tepat
untuk membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter. Evaluasi
pada pasien termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap serta
pemeriksaan fisik.Pencitraan rutin antara lain, foto polos abdomen
(kidney-ureter-bladder/KUB radiography). Pemeriksaan foto polos dapat
membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk
membandingkan saat follow-up (Rasyid et al., 2018).

Gambar Radiografi KUB yang menunjukan adanya kalkuli soliter


dan besar di vesica urinaria (Qureshi et al., 2002)
Intra Vena Pielografi (IVP) merupakan prosedur standar dalam
menggambarkan adanya batu pada saluran kemih. Pyelogram intravena
yang disuntikkan dapat memberikan informasi tentang baru (ukuran,
lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan derajat
obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis & Sundaram,
2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun
non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum
dapat menjelaskan keadaan saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi
ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd
(Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).
Gambar IVP yang menunjukan adanya batu pada ginjal kanan
(Smith, 2018)
USG merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan
aman, mudah diulang, dan terjangkau. USG juga dapat mengidentifikasi
batu yang berada di kaliks, pelvis, dan UPJ. USG memiliki sensitivitas
45% dan spesifisitas 94% untuk batu ureter serta sensitivitas 45% dan
spesifisitas 88% untuk batu ginjal.5,6 Pemeriksaan CT- Scan non kontras
sebaiknya digunakan mengikuti pemeriksaan USG pada pasien dengan
nyeri punggung bawah akut karena lebih akurat dibandingkan IVP (Rasyid
et al., 2018).
CT-Scan non kontras menjadi standar diagnostik pada nyeri
pinggang akut. CT-Scan non kontras dapat menentukan ukuran dan
densitas batu. CT-Scan dapat mendeteksi batu asam urat dan xantin.7,8
Pemeriksaan CT-Scan non kontras pada pasien dengan IMT <30, dapat
menggunakan dosis rendah dengan sensitivitas 86% pada batu ureter 3
mm. Pemeriksaan urografi intravena (IVP) dapat dipakai sebagai
pemeriksaan diagnostik apabila CT-Scan non kontras tidak
memungkinkan (Rasyid et al., 2018).

Gambar CT Scan non-Kontras Aksial : (a) terdapat batu pada


ginjal secara bilateral dan sduah terjadi hidronefrosis ginja kanan; (b)
gambaran vesica urinaria yang menunjukan adanya batu di ureteropelvic
junction dextra (Smith, 2018).
Pada wanita hamil, paparan radiasi dapat menyebabkan efek
teratogenik dan karsinogenesis. USG menjadi modalitas pencitraan utama
pada pasien hamil dengan kecurigaan adanya kolik renal. Namun,
perubahan fisiologis pada wanita hamil dapat menyerupai gejala obstruksi
ureter. MRI dapat digunakan sebagai modalitas lini kedua untuk menilai
adanya obstruksi saluran kemih dan dapat melihat batu sebagai ‘filling
defect’. MRI 1,5 T merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan pada
wanita hamil. Penggunaan gadolinium tidak rutin digunakan pada wanita
hamil karena memiliki efek toksik pada janin. Untuk deteksi BSK selama
kehamilan, penggunaan CT-Scan dosis rendah memiliki nilai prediksi
positif 95,8% dibandingkan MRI (80%) dan USG (77%). Penggunaan CT-
Scan direkomendasikan pada wanita hamil sebagai pilihan modalitas
terakhir (Rasyid et al., 2018).
Pasien anak dengan batu saluran kemih memiliki risiko tinggi
terjadinya kekambuhan, oleh karena itu, perlu dilakukan prosedur analisis
batu saluran kemih. Gangguan metabolik yang dapat menimbulkan
pembentukan batu yang tersering pada anak adalah refluks vesikoureter
(VUR), obstruksi UPJ, neurogenic bladder dan kesulitan berkemih lainnya
(Rasyid et al., 2018).
G. Tatalaksana Batu Saluran Kemih sebagai Dokter Umum
Keputusan untuk memberikan tata laksana batu pada saluran kemih
bagian atas dapat berdasarkan komposisi batu, ukuran batu, dan gejala
pasien. Terapi umum untuk mengatasi gejala batu saluran kemih adalah
pemberian analgesik harus diberikan segera pada pasien dengan nyeri
kolik akut. Non Steroid Anti Inflammation Drugs (NSAID) dan
parasetamol dengan memperhatikan dosis dan efek samping obat
merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengan nyeri kolik akut dan
memiliki efikasi lebih baik dibandingkan opioid. Obat golongan NSAID
yang dapat diberikan antara lain diklofenak, indometasin, atau ibuprofen.2
Pada pasien yang belum diketahui fungsi ginjalnya, pemberian analgetika
sebaiknya bukan NSAID, utamanya bila ada riwayat tindakan untuk untuk
batu yang berulang dan komorbiditas diabetes mellitus (Rasyid et al.,
2018).
Diklofenak dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kongestif kelas II-IV berdasarkan klasifikasi New York Heart Association
(NYHA), penyakit jantung koroner, dan penyakit serebrovaskuler, serta
penyakit arteri perifer. Namun, pasien dengan faktor risiko kardiovaskular
dapat diberikan diklofenak dengan pengawasan dokter dan diberikan dosis
rendah dengan durasi yang singkat. Penambahan obat anti spasmodik pada
pemberian NSAID tidak menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik
(Rasyid et al., 2018).
1. Tatalaksana Spesifik Batu Ginjal (Nefrolithiasis)
a. Konservatif (Observasi) atau Terapi Ekspulsif Medikamentosa (TEM)
Observasi batu ginjal, terutama di kaliks, bergantung pada
riwayat perjalanan penyakit. Rekomendasi observasi pada batu ginjal
saat ini belum didukung literatur yang baik. Saat ini, suatu studi
prospektif menyarankan dilakukan observasi tahunan untuk batu
kaliks inferior asimptomatik ≤10 mm. Bila terdapat pertambahan
ukuran batu, interval follow-up perlu diperpendek. Intervensi
disarankan apabila batu bertambah ukurannya >5 mm (Rasyid et al.,
2018).
Terapi dengan menggunakan medikamentosa ditujukan pada
kasus dengan ukuran batu <5 mm, dapat juga diberikan pada pasien
yang belum memiliki indikasi pengeluaran batu secara aktif. Terapi
konservatif terdiri dari peningkatan asupan minum dan pemberian
diuretik; pemberian nifedipin atau agen alfa-blocker, seperti
tamsulosinl manajemen rasa nyeri pasien khususnya pada batu kolik;
pemantauan berkala setiap 1-14 hari sekali selama 6 minggu untuk
menilai posisi batu dan derajat hidronefrosis (Fauzi & Putra, 2016).
Pelarutan batu dengan tata laksana farmakologis merupakan pilihan
terapi hanya untuk batu asam urat, tetapi informasi mengenai
komposisi batu perlu dalam menentukan pilihan terapi (Rasyid et al.,
2018).
b. Pengangkatan Batu Ginjal secara Aktif
Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain:
1) Pertambahan ukuran batu (Rasyid et al., 2018);
2) Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;
3) Obstruksi yang disebabkan oleh batu;
4) Infeksi saluran kemih;
5) Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;
6) Ukuran batu >15 mm;
7) Ukuran batu
Tabel 1.4 Pilihan Prosedur Pengangkatan Batu Ginjal (Rasyid et al., 2018;
Fauzi & Putra, 2016)
Tindakan Keterangan
Shock Wave Bekerja dengan menggunakan
Lithotripsy (SWL) gelombang kejut yang dihasilkan di
luar tubuh untuk menghancurkan
batu di dalam tubuh. Batu akan
dipecah menjadi bagian-bagian yang
kecil sehingga mudah dikeluarkan
melalui saluran kemih
Percutaneus Merupakan salah satu tindakan
Nephrolithotripsy endourologi untuk mengeluarkan
(PNL) batu yang berada di saluran ginjal
dengan cara memasukan alat
endoskopi ke dalam kalises melalui
insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih
dahulu menjadi fragmen-fragmen
kecil. Europe Association of Urology
(EAU) merekomendasikan PNL jika
ukuran batu <20 mm
Retrograde Intra
Renal Surgery
(RIRS) (tingkat
keberhasilan tinggi
namun invasif)
Operasi Terbuka Tatalaksana untuk kasus batu yang
kompleks seperti batu Staghorn baik
parsial maupun komplit atau untuk
dilakuan pada fasilitas kesehatan
yang belum memiliki ESWl atau
PNL. Operasi terbuka dapat
dilakukan dengan metode
pielolitotomi atau nefrolitotomi

Gambar Algoritma Pemilihan Tindakan untuk Batu Ginjal Pelvis atau Kaliks
Superior/Media (Rasyid et al., 2018)

Gambar Algoritma Pemilihan Tindakan untuk Batu Ginjal Kaliks Inferior


(Rasyid et al., 2018)
2. Tatalaksana Spesifik Batu Ureter
a. Konservatif
Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu
secara spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu
dapat keluar spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga
4 mm. Observasi juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak
memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi
ginjal, kelainan anatomi saluran ureter) (Rasyid et al., 2018).
b. Farmakologi
Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive
therapy/MET), perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan
batu tidak diindikasikan. Bila direncanakan pemberian terapi MET,
selain ukuran batu ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor
lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi. Apabila timbul
komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal,
dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda (Rasyid et
al., 2018).
Penggunaan α-blocker sebagai terapi ekspulsi dapat
menyebabkan efek samping seperti ejakulasi retrograd dan hipotensi.
Pasien yang diberikan α-blocker, penghambat kanal kalsium
(nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih
besar untuk keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah
dibandingkan tidak diberikan terapi. Terapi kombinasi penghambat
PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak direkomendasikan.
Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih superior
dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi
medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan
batu ureter, khususnya batu ureter distal ≥5 mm. Beberapa studi
menunjukkan durasi pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu,
namun belum ada data yang mendukung untuk interval lama
pemberiannya (Rasyid et al., 2018).
c. Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif
Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:
1) Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan (Rasyid et al.,
2018);
2) Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;
3) Obstruksi persisten;
4) Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary
kidney); atau
5) Kelainan anatomi ureter
Tabel 1.5 Pilihan Prosedur Pengangkatan Batu Ureter (Rasyid et al., 2018)
Tindakan Keterangan
Ureteronoskopi (URS) Lebih baik jika dilakukan pada batu
yang ukurannya lebih besar, aamn
pada pasien obesitas (IMT>30
kg/m2), tingkat pengulangan terapu
lebih rendah
SWL
RIRS
Litotripsi Intrakorporal
Operasi Laparoskopi ureterolitotomi per laparoskopi dapat
dilakukan pada batu ureter proksimal
besar sebagai alternatif dari URS atau
SWL

Gambar Algoritma Pemilihan Tindakan Batu Ureter (Rasyid et al., 2018)


3. Tatalaksana Spesifik Batu Buli
Tabel Pilihan Terapi pada batu Buli (Rasyid et al., 2018)
Tindakan Keterangan
SWL Pilihan terapi yang efektif dan non-
invasif
Vesikolitotripsi Kekurangan : memanipulasi uretra
Transuretra dengan instrumen besar sehingga
dapat menyebabkan cedera uretra
Vesikulototripsi Digunakan jika apsien tidak
perkutan memungkinkan akses melalui uretra
(anak dan pasien dengan rekonstruksi
bladder neck)
Gambar Algoritma Pemilihan Tindakan pada Batu Buli (Rasyid et al., 2018)
H. Edukasi Pasien
Edukasi yang disampaikan kepada pasien dengan BSK adalah
edukasi mengenai penyakit meliputi pengertian, tanda dan gejala, faktor
risiko dan kemungkinan penyebab, terapi, serta komplikasi. Komplikasi
yang dapat terjadi yaitu batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis
renalis sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien
yang berada pada tahap ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada
fase lanjut ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus
berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan
gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et
al., 2005; Purnomo, 2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih
juga dapat menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi
urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa,
bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke
seluruh tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo &
Pranata, 2014).
Eduaksi mengenai pencegahan pun tidak kalah penting setelah batu
dikeluarkan dari saluran kemih untuk menghindari terjadinya
kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kurang lebih 50% tahun dalam 10 tahun (Purnomo, 2012).
Pencegahan dilakukan berdasarkan kandungan dan unsur yang menyusun
batu saluran kemih dimana hasil ini didapat dari analisis batu (Lotan, et
al., 2013). Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan pengaturan
diet makanan, cairan dan aktivitas serta perawatan pasca operasi untuk
mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi. Beberapa tindakan gaya
hidup yang dapat dimodifikasi dalam upaya pencegahan kekambuhan
urolithiasis adalah:
1. Cairan
Peningkatan konsumsi air setiap hari dapat mengencerkan urin dan
membuat konsentrasi pembentuk urolithiasis berkurang. Konsumsi air
sebanyak-banyaknya dalam satu hari minimal 8 gelas atau setara dengan
2-3 liter per hari (Lotan, et al., 2013) Anggraini (2015) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa pencegahan lain dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi air jeruk nipis atau jeruk lemon yang berfungsi
sebagai penghambat pembentukan batu ginjal jenis kalsium dengan
mekanisme utamanya yaitu menghambat pembentukan batu kalsium
melalui reaksi pemutusan ikatan antara kalsium oksalat maupun kalsium
posfat oleh sitrat, sehingga pada akhir reaksi akan terbentuk senyawa
garam yang larut air, endapan kalsium tidak terbentuk dan tidak tidak
terbentuk batu saluran kemih jenis batu kalsium
2. Makanan
a. Konsumsi makanan seperti ikan dan kurangi konsumsi oksalat
(seperti daging) untuk menurunkan oksalat dalam urin dan resiko
pembentukan batu oksalat (Maalouf, et al., 2010).
b. Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya untuk menurunkan
kadar asam urat dalam urin dan resiko pembentukan batu asam urat
(Maalouf, et al., 2010).
c. Mengurangi makanan yang mengandung tinggi kadar garam karena
dapat meningkatkan rasa haus, selain itu garam akan mengambil
banyak air dari dalam tubuh sehingga tubuh akan mengalami
dehidrasi tanpa disadari. Disarankan jika terlalu banyak
mengkonsumsi garam hendaknya anda imbangi dengan
mengkonsumsi banyak air yang berfungsi untuk melarutkan garam
yang ada di dalam tubuh (Maalouf, et al., 2010).
d. Meningkatkan diet kalsium untuk mengikat oksalat di usus dan
dengan demikian akan menurunkan kadar oksalat dalam urin
3. Aktivitas
Aktivitas fisik sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya
urolithiasis. Tingginya aktivitas yang dilakukan dengan diimbangi
asupan cairan yang seimbang maka ada kemungkinan akan
memperkecil resiko terjadinya pembentukan batu. Aktivitas fisik dapat
menyebabkan kehilangan banyak cairan sehingga memungkinkan untuk
berada dalam kondisi dehidrasi tanpa disadari maka dari itu disarankan
untuk mempertahankan hidrasi (cairan) dalam tubuh sebanyak-
banyaknya selama melakukan aktivitas, khususnya aktivitas berat
seperti latihan fisik (treadmill) untuk mengganti ciaran tubuh yang
hilang saat melakukan aktivitas (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012).
4. Dukungan sosial
Rahman, et al., (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan
antara adekuasi hemodialisa terhadap kualitas hidup pasien menyatakan
bahwa dukungan sosial merupakan salah satu indikator yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dukungan sosial dapat
diberikan dari keluarga dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan
keoptimisan pada diri sendiri untuk sembuh dari penyakit dan memiliki
kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang dapat diberikan berupa
memberikan dukungan kepada orang lain untuk beradaptasi dengan
kondisinya saat ini (Guundgard, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, T. 2015. Potency of citrus (citrus aurantium) water as inhibitor calcium
lithogenesis on urinary tract. J Majority. Vol. 4 No. 1: 99-104.
Brunner & Suddart. 2015. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 12. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Colella, J., Kochis, E., Galli, B., & Manuver, R. 2005. Urolithiasis/
Nephrolithiasis: What’s It Alla About?. Urology Nursing. Vol. 24. No. 6:
427-449.
Dave, C.N. 2020. Nephrolihiasis Clinical Presentation. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/437096-clinical#b2 pada 27 Juli
2020.
Fauzi, A., & Putra, M.M.A. 2016. Nefrolitiasis. Majority, 5(2) : 69-73.
Guundgard, J. 2006. Decomposition of sources of incomes-related health
inequality applied on SF-36 summary scores: a Danish health survey.
Health and Quality of Life Outcomes. 4.53.
Lotan, Y., Jimenez, I.B., Wijnkoop, I.L., Daudon, M., Molinier, L., Tack, I., &
Nuijten, M.J.C. 2013. Increased Water Intake as a Prevention Strategy of
Recurrent Urolithiasis: Major Impact of Compliance dalam Cost-
Effectiveness. J Urology. Volume 189, Issue 3, Pages 935-939
Maalouf, M., Rho. J.M., & Mattson, M.P. 2010. The neuroprotective properties of
calories restriction, the katogenic diet, and ketone bodies. Brain Res. 59.
293-315.
Portis A.J., & Sundaram, C.P. 2001. Diagnosis and initial management of kidney
stone. American Family Physician. Vol. 63. No. 7: 1329-1338.
Prabowo, E., & Pranata, A.E. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan Pendekatan NANDA, NIC dan NOC. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Purnomo, B.B. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto.
Qureshi, K., Oakley, N., Hastie, K. 2002. Management of Urinary Tract Calculi.
The Medicine Publishing Company Ltd, 285-290.
Rahman, A.R., Rudiansyah, M., & Triawanti. 2013. Hubungan antara adekuasi
hemodialisis dan kualitas hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin.
Berkala Kedokteran. Vol.9. No.2: 151-160.
Smith, J.K. 2018. Urinary Calculi (Urolithiasis) Imaging. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/381993-overview#a2 pada 27
Juli 2020.
Turk, C., Neisius, A., Petrik, A., Seitz, ., Skolarikos, A., Tepeler, A., et al., 2017.
European Association of Urology Guidelines on Urolithiasis.

Anda mungkin juga menyukai