Anda di halaman 1dari 21

TUGAS RANGKUMAN

“FRAKTUR COLLES”

Oleh :

Revania Radina Thirza G4A018080

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
A. Definisi

Fraktur Colles adalah salah satu bagian dari fraktur radius distal dimana

fragmen distal dari os. radius mengalami displacement ke arah posterior

(Tortora & Derrickson, 2014). Fraktur biasanya terjadi 3-4 cm diatas

artikulasio radiocarpal. Selain displacment posterior, deformitas klasik yang

menandakan terjadinya fraktur colles yaitu adanya angulasi dorsal kartilago

artikular radius distal dan pemendekan radial length. Fraktur colles pertama

kali diperkenalakan oleh Abraham Colles pada 1814, dan fraktur ini

mewakili 90% kasus fraktur radius distal. Pada literatur Eropa, fraktur ini

juga disebut sebagai Pouteau’s fracture atau dinner fork fracture atau

bayonet dimana tampak prominensia pada bagian depan dan depresi pada

bagian belakang pergelangan tangan (Setiadi, 2009).

Gambar 1.1 Fraktur Colles (Tortora & Derrickson, 2014).

B. Etiologi, Faktor Risiko dan Patofisiologi Fraktur Colles

1. Etiologi dan Faktor Risiko

Fraktur colles merupakan fraktur yang dapat terjadi pada orangtua


maupun anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Pada orangtua fraktur ini
biasanya dikaitkan dengan faktor risiko osteoporosis, dimana rasio
fraktur colles pada antara orangtua dengan jenis kealmin wanita :
lakilaki berdasarkan tingkat kejadiannya adalah 3:1, hal ini disebebkan
karena insiden osteoporosis yang lebi tinggi pada wanita setelah
menopause (Nellans, et al., 2012; Burhan et al., 2014).
Kejadian pada pasien fraktur colles di bawah usia 50 tahun (usia
muda 16 sampai 50 tahun) sekitar 9 per 10.000 orang/tahun tanpa
memandang jenis kelamin. (Burhan et al., 2014). Fraktur colles pada
inidividu <50 tahun terjadi akibat adanya trauma seperti kecelakan
motor, jatuh dari ketinggian, trauma saat bermain, dan olahraga (Munk
et al., 2007).
2. Patofisiologi Fraktur Colles
Mekanisme terjadinya fraktur colles yang biasanya terjadi karena
penderita jatuh terpeleset sedangkan tangannya berusaha menahan
badan dalam posisi terbuka dan pronasi, dimana cedera ini biasanya
disebut sebagai FOOSH (Fall onto Outstreched Hands) (Bartuseck,
2018). Gaya akan diteruskan ke daerah metafisis distal radius yang akan
menyebabkan patah radius ⅓ distal dimana garis patah berjarak 3-4 cm
dari permukaan persendian pergelangan tangan. Fraktur terjadi pada
area metafisis karena pada bagian ini terdapat pesambungan antara
tulang spongiosa dan kortikal di dekat sendi sehingga relatif lemah.
Kemudian fragmen bagian distal radius yang fraktur akan mengalami
dislokasi ke arah dorsal, radial dan supinasi (Reksoprodjo, 2010).
Cedera pada jaringan di sekitar fraktur colles yang terjadi pun
menyebabkan reaksi inflamasi, sehingga akan timbul edema
(pembengkakan). Edema dan pergerakan minimal pada area fraktur
akan menyebabkan penekanan pada nosiceptor sehingga akan timbul
rasa nyeri. Oleh karena itu, pasien biasanya enggan untuk bergerak.
Keengganan pasien untuk bergerak karena nyeri tersebut bisa
mengakibatkan berkurangnya lingkup gerak sendi. Bila ini berlangsung
lama kekuatan otot bisa mengalami penurunan kekuatan otot, sehingga
aktifitas fungsionalnya juga mengalami penurunan (Greene, 2006).
Gambar 1.2 Mekanisme trauma pada Fraktur Colles (Thompson, 2010)
C. Gejala dan Tanda Klinis

Tanda klinis fraktur colles secara umum dideskripsikan sebagai dinner

fork deformity, dimana tampak prominensia pada bagian depan dan depresi

pada bagian belakang pergelangan tangan sehingga membentuk kurvatura

seoerti garpu atau bayonet. Gejala dan tanda klinis lain yang dijumpai pada

fraktur colles, yaitu (Hoynak et al., 2009) :

1. Riwayat jatuh (FOOSH)

2. Nyeri pergelangan tangan

3. Edema pada pergelangan tangan

4. Ketidakmampuan mengenggam objek

Gambar 1.3 Dinner Fork Deformity (Thompson, 2010)


D. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis fraktur colles didasarkan pada hasil anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi riwayat terjadinya

trauma seperti mekanisme terjadinya trauma, posisi pasien saat terjadinya

trauma, dan gejala akibat trauma yang saat ini dirasakan pasien. Pada

pemeriksaan fisik trauma neuromuskular yaitu Look, Feel, & Move pada

pergelangan tangan untuk menilai gejala dan tanda klinisi seperti dinner fork

deformity serta nyeri, bengkak, dan pergerakan terbatas pada pergelangan

tangan yang mengalami trauma (Hoynak et al., 2009). Penting juga untuk

menilai keterlibatan cedera nervus medianus, yang biasanya jarang terjadi pada

fraktur colles. Selain itu itu, nilai juga apakah ada cedera pada bagian lain

seperti skafoid, bahu, dan siku (Setiadi, 2009) Pemeriksaan penunjang setperti

Foto Polos, CT Scan, dan MRI dapat dilakukan untuk menegakan dan

mendukung diagnosis serta sebagai dasar untuk menentukan tatalaksana lebih

lanjut (Nelson, 2018).

Diagnosis Banding Fraktur Colles, yaitu :

1. Fraktur Smith

2. Fraktur Galleazi

3. Robekan ligamen scapholunate

4. Cedera nervus medianus

5. DRUJ (Distal Radial Ulnar Joint) Instability

E. Klasifikasi Fraktur Colles

Klasifikasi Frykman hingga saat ini merupakan klasifikasi yang banyak

digunakan, meskipun tidak secara universalm, karena dapat membantu


mendeskripsikan kompleksitas fraktur dan membedakan fraktur ekstraartikular

atau intraartikular pada Fraktur Colles (Nelson, 2018).

Tipe 1 : Fraktur distal radius dengan garis fraktur extra articular

Tipe 2 : Tipe 1 + Fraktur prosesus styloid radius

Tipe 3 : Tipe 1 + Fraktur permukaan sendi radiocarpalia12

Tipe 4 : Tipe 3 + Fraktur prosesus styloid radius

Tipe 5 : Fraktur distal radius dengan garis melewati sendi radio ulnar distal

Tipe 6 : Tipe 5 + Fraktur prosesus styloid radius

Tipe 7 : Tipe 5 + Fraktur permukaan sendi radiocarpalia

Tipe 8 : Tipe 7 + Fraktur prosesus styloid radius

Gambar 1.4 Klasifikasi Frykman Fraktur Colles (Nelson, 2018)

F. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis

1. Foto Polos

Pemeriksaan foto polos yang perlu dilakukan yaitu proyeksi

pergelangan tangan anteroposterior (AP) dan lateral, dan jika diperlukan


dapadt ditambahkan proyeksi oblique. Pemeriksaan foto polos pergelangan

tangan kontralateral kadang diperlukan untuk menentukan ukuran ulnar

varian normal (Greenspan & Beltran, 2015).

a b

Gambar 1.5 Foto Polos pergelangan tangan kiri proyeksi AP (a) dan
Lateral (b) : (a) terdapat displacement radius distal, fraktur comminuted
regio matafisis radius distal dengan ekstensi pada garis fraktur ke arah
ruangan artikulasio radiocarpal, disertai fraktur dan displacement processus
styloideus; (b) fraktur intraartikular displaced comminuted pada bagian
metafisis radius distal dengan angulasi dorsal (Huq, 2018) .

Beberapa hal yang perlu diperhatian pada proyeksi AP untuk fraktur

radius distal ekstraartikuler diantaranya radial shortening, ada tidaknya

comminution, dan adanya fraktur pada styloid ulna. Sedangkan pada fraktur

radius distal intraaartikuler hal yang perlu diperhatikan adalah fragmen

impaksi sentral, gap antara skafoid dan facet lunate, serta interupsi dari

carpal row bagain proksimal. Pada proyeksi lateral, hal yang perlu

diperhatikan pada fraktur distak ekstraartikular adalah palmar tilt,

metaphyseal comminuition, displacement, korteks volar, sudut scapholunte,

serta posisi DRUJ. Sedangkan pada fraktur radius distal intraartikular yang

peru diperhatian yaitu adanya depresi facet lunate palmar, depresi fragmen

sentral, serta gap antara volar dan dorsal (Huq, 2018) .


Gambar 1.6 Pengukuran hasil pemeriksaan radiologi pada fraktur radius
distal proyeksi AP dan Lateral (Meena et al., 2014).

Radial inclination adalah sudut yang dibentuk antara garis yang ditarik

tegak lurus dari aksis longitudinal os. Radius dengan garis yang ditarik dari

bagian paling distal processus styloideus dan distal notch sigmoid.

Normalnya radial inclination adalah 15-25o. Radial length adalah jarak

antara garis yang ditarik tegak lurus dengan aksis longitudinal os. radius

setinggi processus. styloideus os radius dan garis yang ditarik tegak lurus

dengan aksis longitudinal os. Ulna setinggi caput ulna. Normalnya radial

length adalah 11-12 mm. Volar tilt adalah sudut yang dibentuk oleh garis

yang ditarik antara permukaan radius distal dengan garis yang tergak lurus

dari poros radius. Normalnya volar tilt adalah 11-12o, jika sudut <5% hingga

20% dari volar tilt kontralateral maka terjadi dorsal angulus (Meena et al.,

2014).

Karakkteristik klasik gambaran foto polos pada fraktur colles

diantaranya yaitu (Greenspan & Beltran, 2015):

1. Fraktur transversal pada os. Radius

2. Lokasi 3-4 cm di proksimal dari sendi radiocarpal

3. Displacement ke arah dorsal dan angulasi dorsal disertai edngan


radial tilt

Beberapa karakteristik lain yang dapat ditemulan pada ratur colles, yaitu

(Greenspan & Beltran, 2015):

1. Fraktur Galleazi

2. Fraktur Montegia

3. Fraktur Smith

2. CT Scan

Pemeriksaan CT Scan juga dapat memberikan informasi yang lebih

signifikan dibandingkan pemeriksaan foto polos dalam mengevaluasi fraktur

yang komplec, permukaan artikulatio distal radial, artikulatio radioulnar,

fragmen fraktur ventro-medial, menilai penyembuhan fraktur saat evaluasi

post-surgical. CT Scan diindikasikan untuk evaluasi pra-operasi fraktur

radius distal kominutif kompleks dan untuk mengevaluasi dengan tepat

permukaan artikulatio distal. Proyeksi aksial dan sagital atau aksial dan

koronal mungkin cukup untuk mengevuasli fraktur colles (Meena et al.,

2014).

3. MRI

MRI bukan merupakan pilihan pertama dalam mengevaluasi fraktur

radius distal akut, nemun MRI dapat digunakan sebagai alat diagnostik kuat

untuk menilai abnormalitas tulang, ligamen dan jaringan lunak yang terkait

dengan fraktur ini. MRI telah terbukti menjadi alat diagnostik yang sangat

penting untuk menggambarkan perforasi Triangular Fibrocartilage Complex

(TFCC), [22] perforasi ligamen interoseus, mengevaluasi fraktur okultisme,

nekrosis post-traumatik atau nekrosis tulang karpal. Sehubungan dengan


cedera terkait dengan tendon fleksor atau ekstensor serta cedera pada nervus

medianus, MRI dapat menjadi modalitas yang sangat berguna. Evaluasi

carpal tunnel syndrome setelah malunion fraktur radial distal dapat dilakukan

dengan baik menggunakan MRI (Meena et al., 2014).

G. Rencana Tata Kelola sebagai Dokter Umum

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk

mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan

baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal

yang harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1)

survey primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2)

meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4)

menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika

semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi

sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan

tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut (American College of

Surgeon, 2018)

1. Primary Survey
Tabl 1.1 Primary Survey (American College of Surgeon, 2018; Parahita &
Kurniyanta, 2020)
Airway dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran
jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu
teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran
atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif.
Breathing Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin
ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan
pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi
high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir
bag.
Circulation Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini
adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah
tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah
dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan
pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan
meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas
level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan
secara nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan
balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan. Penggantian
cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan

Disabillity menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap
keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Exposure pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian
dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
2. Manajemen Trauma Muskuloskeletal

a. Imobilisasi

Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam

posisi seanatomis mungkin, mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah

fraktur, dan mengurangi rasa nyeri. Hal ini akan tercapai dengan melakukan

traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi.

pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan,

mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.

Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur(American

College of Surgeon, 2018).

b. Pemeriksaan Radiologis
3. Secondary Survey

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal

adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder

adalah mencari cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien

sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati (American College

of Surgeon, 2018).

a. Analisis Ample

Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus

mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication,

Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme

kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk

mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien,

terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat

primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari

informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit

(American College of Surgeon, 2018).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk

dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan

cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4)

integritas ligamentum dan tulang (American College of Surgeon, 2018).

Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move.

Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas,

pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu


dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula

dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa

pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang

bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury

dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita

menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi

neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of

Motion (ROM) dan gerakan abnormal (American College of Surgeon,

2018; Parahita & Kurniyanta, 2020).

Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi

bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung

jari kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat.

Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat

Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien

dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi,

dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan

trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan

yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial

(Parahita & Kurniyanta, 2020).

Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat

cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf

dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja

sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan

sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik (American College of


Surgeon, 2018).

c. Pencegahan Infeksi

Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber –

sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Pada semua

kasus open fracture, antibiotik profilaksus harus diberikan sesegera

mungkin. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah

mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan

ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan

vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi.

Antibiotik yang dapat diberikan adalah

Tabel 1.2 Pemilihan antibiotik profilaksis (American College of

Surgeon, 2018)

Sefalosporin Jika alergi Aminogliks Piperacilin/Tazo


geenerasi penicilin : id (Gram bactam
pertama Klindamicin Negative) (Spektrum Luas
(gram : Gram Positif
positif) : dan Gram
Sefazoline Negatif)
Luka <50 kg : 1 <80 kg : 600
<1cm, gram/8 jam mg/8 jam
kontaminas
i atau 50-100 kg : 2 >80kg : 900
kerusakan gram/8 jam mg/8 jam
jaringan
minimal >100 kg : 3
mg/8 jam
Luka 1-10 <50 kg : 1 <80 kg : 600
cm, gram/8 jam mg/8 jam
kerusakan
jaringan 50-100 kg : 2 >80kg : 900
moderate, gram/8 jam mg/8 jam
fraktur
commintue
d
Kerusakan <50 kg : 1 <80 kg : 600 Loading
jaringan gram/8 jam mg/8 jam Dose di
berat dan IGD :
kontaminas 50-100 kg : 2 >80kg : 900
i gram/8 jam mg/8 jam Anak 2.5
substansial mg/kgBB
dengan
cedera Dewasa : 5
vaskular mg/kgBB
Riwayat 3,375 gram/6 am
taruma di (<100 kg)
kebun,
kontaminas 4,5 gram/6 jam
i tanaj, (>100 kg)
genangan
air terlepas
dari derajat
luka

Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka

ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan

sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca

trauma (American College of Surgeon, 2018).

d. Reduksi, Reposisi, dan Imobilisasi

Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat

menunggu hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit

neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk

reposisi karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya reposisi

dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia yang

memadai. Pada cedera forearm dan wrist lengan dan pergelangan tangan

diimobilisasi secara rata menggunakan padded-splint. Siku biasanya

diimobilisasi dalam posisi tertekuk, baik dengan menggunakan Padded

splint atau dengan imobilisasi langsung sehubungan dengan tubuh

menggunakan sling-and-swath. Lengan atas dapat diimobilisasi dengan

membalutnya ke tubuh atau menggunakan sling and swath, yang dapat

ditambah dengan perban torakobrachial. Cedera bahu dikelola oleh alat

sling-and-petak atau jenis hook-and loop (American College of

Surgeon, 2018).
Gambar 1.7 Imobilisasi fraktur forearm dan wrist menggunakan

padded-splint, sling-and swath, dan hook-and-loop (American College

of Surgeon, 2018)

e. Manajemen Nyeri

Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam

patah tulang digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari

WHO.

Gambar 1.8 Analgesic Step Ladder WHO (Anekar & Cascella, 2020)

Pada nyeri ringan pasien sebaiknya diberikan analgesik non-opioid

seperti NSAID atau asetaminofen dengan/tanpa adjuvan. Jika nyeri

sedang, beri opioid lemah (hydrocodone, kodein, tramadol) dengan atau

tanpa analgesik non-opioid, dan atau tanpa adjuvan. Jika nyeri berat,

berikan analgesik opioid kuat (morfin, methadone, fentanyl, oxycodone,

buprenorphine, tapentadol, hydromorphone, oxymorphone) dengan atau

tanpa analgesik non-opioid dan dengan atau tanpa adjuvan (Anekar &
Cascella, 2020).

Pada kasus nyeri akut sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat

seperti Opioid kuat. Dosis pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg

diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat

efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir

ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis

rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai

respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek

menguntungkan dari ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan

depresi pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek bronkodilator

pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah dapat menimbulkan

delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan benzodiazepine

sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena. Peripheral nerve blocks

juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan

analgesik intravena (Parahita & Kurniyanta, 2020).

H. Edukasi untuk Pasien

Edukasi pada pasien orthopaedi difokuskan pada pemberian informasi

mengenai komplikasi, pembatasan gerak, latihan, dan rehabilitasi (Nurulhuda,

2008). Komplikasi fraktur dapat dikasifikasikan mejadi dua berdasarkan

waktunya, yaitu komplikasi jangka pendek dan jangka panjang (Helmi, 2013) :

1. Kerusakan Jangka Pendek

a. Kerusakan Arteri (Helmi, 2013)

Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak adanya nadi,

CRT (capillary refil time) menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan

emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi,

dan pembedahan (Helmi, 2013) .

b. Kompartment Sindrom

Kompartment sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena

terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.

Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan

pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan

pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom kompartemen (5P)

sebagai berikut: (1) Pain (nyeri lokal), (2) Pallor (pucat bagian distal), (3)

Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak

baik dan CRT>3 detik pada bagian distal kaki), (4) Paraestesia (tidak ada

sensasi), (5) Paralysis (kelumpuhan tungkai) (Helmi, 2013) .

c. Fat Embolism Syndrome

Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering

terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak

yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan

menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan

gangguan pernafasan, tachykardi, hipertensi, tachypnea, demam (Helmi,

2013) .

d. Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma

osthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini

biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan sperti pin dan plat. 5)

Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah

ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang

dan diawali dengan adanya Volkman Ischemia (Helmi, 2013).

2. Kerusakan Jangka Panjang

a. Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung)

sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk menyambung (Helmi,

2013) .

b. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi

sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan(Helmi, 2013) .

c. Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan perubahan

bentuk (deformitas) (Helmi, 2013)

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 2018. Advance Trauma Life Support (ATLS).


Chicago.

Anker, A.A., & Cascella, M. 2020. WHO Analgesic Ldder.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554435/#!po=58.3333 diakses
pada 22 Juni 2020.
Bartuseck, M. 2018. Injuries to the Upper Extremity Due to falls on Outstretched
Hands (FOOSH). The Journal of Urgent care Medicine.

Greene, W. B. 2006. Orthopaedics. Philadelphia: Eelsevier

Greenspan, A., & Beltran, J. 2015 Orthopedic Imaging : A Practical Approach.


Philadeplphia : Wolters Kluwer.

Helmi, Noor Zairin. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:


Penerbit Salemba Medika.

Hoynak BC, Hopson L. EMedicine. Wrist


Fractures.http://emedicine.medscape.com/article/828746-overview (Acessed
2 July 2009)

Hoynak. Bryan.C. Wrist Fracture in Emergency Medicine.


www.emedicine.com. diakses pada 19 Juni 2020.

Huq, S. 2018. Clinical case : 65 year old presents after a fall on an outsrecehed
arm. Uconn Health Radiology. https://health.uconn.edu/radiology-online/wp-
content/uploads/sites/175/2018/01/SH-10-MSK-RF-Colles-Fracture.pdf
diakses pada 19 Juni 2020.

Meena, S., Sharma, P., Sambharia, A. K., Dawar, A. 2014. Fractures of istal
Radius : An Overview. J Family Med Prim Care, 3(4) : 325-332.

Munk PL, Munk P, Ryan A. Teaching Atlas of Musculoskeletal Imaging. Thieme


Medical Pub. (2007) ISBN:1588903729.

Nellans KW, kowalski E, Chung KC. The epidemiology of distal radius


fractures. Hand Clin. 2012; 28(2): 113-125.reksoprodjo, 2010

Nelson, D. L. 2018. Distal Radius Fractures Treatment & Management.


https://emedicine.medscape.com/article/1245884-treatment Diakses pada 19
Juni 2020.

Nurulhuda, U. 2008. Pengaruh Edukasi Suportif Terstruktur terhadap


Mobilisasi dalam Konteks Asuhan Keperawatan Pasien Fraktur dengan Fiksasi
Ekstremitas Bawah diRSUP Fatmawati Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indoneia.

Parahita, P. S., & Kurniyanta, P. 2020. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan pada


Cedera Fraktur Ekstremitas. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Setiadi, T.H. 2009. Colles Fractire. Ebers Papyrus, 1 (15) : 35-44

Thompson, J. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy. Elsevier Saunders, 2010;


251, 266-268

Tortora & Derrickson, G. J., & Derrickson, B. 2014. Principles of Anatomy and
Physiology. United States of America, Wiley.

Anda mungkin juga menyukai