Anda di halaman 1dari 19

PENYAKIT BEDAH FRAKTUR DISTAL RADIUS DAN DISTAL ULNA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa, dapat terjadi pada tulang, epiphyseal plate,
permukaan sendi tulang rawan. Fraktur berarti deformasi atau diskontinuitas
tulang oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang yang dapat mencederai
jaringan lunak di sekitarnya. Sebagian besar fraktur terjadi akibat trauma yang
disebabkan oleh kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar
dan tarikan. (Salter R.B, 1999) Fraktur distal radius adalah salah satu jenis
fraktur yang paling sering terjadi pada ekstremitas superior yaitu sebesar 8-
15% dari seluruh trauma pada tulang yang terjadi pada orang dewasa (Meena
S, dkk, 2014).
Angka kejadian fraktur distal radius yang dilaporkan di Amerika Serikat
yaitu 650.000 kasus setiap tahunnya. Insiden terjadinya fraktur distal radius
pada orang tua seringkali berhubungan dengan osteopenia, dan semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya usia. Pada laki laki yang berusia
lebih dari 35 tahun, didapatkan angka kejadian 90 per 100.000 populasi setiap
tahunnya, pada wanita yang berusia kurang dari 40 tahun didapatkan angka
kejadian 368 per 100.000 populasi setiap tahun, sedangkan pada wanita yang
berusia lebih dari 40 tahun didapatkan angka kejadian 1150 per 100.000
populasi setiap tahun. (Egol KA, Koval KJ, 2015).
Fraktur lengan bawah biasanya fraktur corpus radii, ulnae, ataupun
keduanya. Fraktur Radius Ulna dapat terjadi pada 1/3 proksimal, 1/3 medial,
atau 1/3 distal. Fraktur dapat terjadi pada salah satu tulang ulna atau radius
saja dengan atau tanpa dislokasi sendi. Fraktur radius ulna biasanya terjadi
pada anak usia 10 tahun (5-13 tahun) (Muttaqin, 2008)
Abraham Colles, pada tahun 1814, menggambarkan tentang salah satu
jenis fraktur yang terjadi pada distal radius, yang selanjutnya diberi nama
sesuai dengan dirinya. Fraktur Colles adalah suatu cedera metaphyseal pada
corticocancellous junction pada distal radius dengan kharasteristic dorsal tilt,
dorsal shift, radial tilt, radial shift, supinasi dan impaksi. Fraktur Smith, yang
merupakan kebalikan dari Fraktur Colles mempunyai karakteristik palmar tilt
dari fragmen distal radius. (Meena S, dkk, 2014) Komponen intraarticular
pada fraktur distal radius sering berkaitan dengan trauma dengan tenaga besar
pada dewasa muda, hal ini menyebabkan robekan dan impaksi pada
permukaan sendi pada sisi distal radius dengan pergeseran dari fragmen
fraktur. Pada dewasa tua, seringkali gambaran fraktur distal radius
dihubungkan dengan komponen ekstraartikular, yang disebabkan oleh
beberapa factor resiko di antaranya penurunan densitas mineral pada tulang,
banyak didapatkan pada wanita, ras kulit putih, riwayat keluarga, dan
menopause dini. (Meena S, dkk, 2014; Egol KA, Koval KJ, 2015)

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui mengenai fraktur distal radius
b. Untuk memahami mengenai fraktur distal ulna.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi, etiologi, patifisiologi kejadian fraktur
b. Untuk mengetahui etiologi fraktur distal radius
c. Untuk mengetahui etiologi dari fraktur distal ulna.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Menambah, memperdalam, dan memperluas wawasan tentang
penatalaksanaan fraktur distal ulna dan fraktur distal radius.
2. Bagi Rumah Sakit
Bermanfaat sebagai salah satu metode yang dapat digunakan dalam
menentukan penatalaksanaan fraktur distal ulna dan fraktur distal radius
3. Bagi Pasien
Bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi dan pengetahuan
yang lebih dalam tentang menghindari fraktur distal ulna dan fraktur distal
radius
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Anatomi Antebrachii
a. Tulang Ulna
Menurut Hartanto (2013) ulna adalah tulang stabilisator pada lengan
bawah, terletak medial dan merupakan tulang yang lebih panjang dari
dua tulang lengan bawah. Ulna adalah tulang medial antebrachium.
Ujung proksimal ulna besar dan disebut olecranon, struktur ini
membentuk tonjolan siku. Corpus ulna mengecil dari atas ke bawah.

Gambar 2.1 Anatomi os ulna (Putz dkk, 2007)

b. Tulang Radius
Radius terletak di lateral dan merupakan tulang yang lebih pendek dari
dari dua tulang di lengan bawah. Ujung proksimalnya meliputi caput
pendek, collum, dan tuberositas yang menghadap ke medial. Corpus
radii, berbeda dengan ulna, secara bertahap membesar saat ke distal.
Ujung distal radius berbentuk sisi empat ketika dipotong melintang.
Processus styloideus radii lebih besar daripada processus styloideus
ulnae dan memanjang jauh ke distal. Hubungan tersebut memiliki
kepentingan klinis ketika ulna dan/atau radius mengalami fraktur
(Hartanto, 2013).

2. Anatomi Tulang Carpal


Struktur anatomis telapak tangan terdiri dari dua bagian utama yaitu :
- Bagian tulang : carpal, metacarpal, dan phalangs
- Bagian lunak : Otot, saraf, vascular, jaringan lemak, dan jaringan ikat
sendi (Snell, 2006)

Tulang carpal terdiri atas :

a) Carpal
Tulang carpal terdiri dari 8 tulang pendek yang berartikulasi dengan
ujung distal ulna dan radius dan dengan ujung proksimal dari tulang
metacarpal. Antara tulang-tulang carpal tersebut terdapat sendi geser.
Delapan tulang tersebut adalah scaphoid, lunatum, triqutrum,
piriformis, trapezium, trapezoid, capitatum, dan hamatum. (Moore,
2002)
b) Metacarpal
Metacarpal terdiri dari 5 tulang yang terdapat pada pergelangan tangan
dan bagian proksimalnya berartikulasi dengan distal tulang-tulang
carpal. Khususnya di tulang metacarpal jari 1 (ibu jari) dan 2 (jari
telunjuk) terdapat tulang sesamoid. (Moore, 2002)
c) Tulang-tulang phalanx
Tulang-tulang phalanx adalah tulang-tulang jari, terdapat dua phalanx
di setiap ibu jari (phalanx proksimal dan distal) dan 3 di masing-
masing jari lainnya (phalangs proksimal, medial, dan distal). Sendi
engsel yang terbentuk antara tulang phalanx membuat gerakan tangan
menjadi lebih fleksibel terutama untuk menggenggam sesuatu. (Moore,
2002)
B. Etiologi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa, dapat terjadi pada tulang, epiphyseal plate,
permukaan sendi tulang rawan. Fraktur berarti deformasi atau diskontinuitas
tulang oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang yang dapat mencederai
jaringan lunak di sekitarnya. Sebagian besar fraktur terjadi akibat trauma yang
disebabkan oleh kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar
dan tarikan. (Salter R.B, 2016). Menurut Nampira (2014) fraktur os radius dan
ulna biasanya terjadi karena cedera langsung pada lengan bawah, kecelakaan
lalu lintas, atau jatuh dengan lengan teregang yang merupakan akibat cedera
hebat.
Cedera langsung biasanya menyebabkan fraktur transversa pada tinggi
yang sama, biasanya di sepertiga tengah tulang (Hartanto, 2013). Mekanisme
trauma fraktur distal radius pada dewasa muda yaitu jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, maupun cedera pada olahraga. Pada dewasa tua, fraktur
distal radius dapat terjadi dari mekanisme dengan tenaga yang kecil seperti
terjatuh saat sedang berdiri atau berjalan (fragile fracture). Mekanisme yang
paling sering terjadi adalah jatuh dengan posisi dorsofleksi pada pergelangan
tangan dengan sudut bervariasi, seringkali antara 40-90 derajat. Trauma
dengan energi tinggi yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor dapat
menyebabkan fraktur kominutif atau displaced pada distal radius. (Egol KA,
Koval KJ, 2015)

C. Patofisiologi Fraktur
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Rosyidi, 2013).
Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (1) Fase 1: inflamasi,
(2) Fase 2: proliferasi sel, (3) Fase 3: pembentukan dan penulangan kalus
(osifikasi), (4) Fase 4: remodeling menjadi tulang dewasa.
1. Inflamasi
Respons tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respons apabila
ada cedera di bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan yang
cedera dan pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen
tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat
cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar) yang
akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat ini terjadi
inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
2. Ploriferasi Sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan
osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan sel periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen
pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan
(osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang
rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah
tulang. Namun, gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus.
Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.
3. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang imatur.
Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran
tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang
tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen
tulang tak bisa lagi digerakkan. Pembentukan kalus mulai mengalami
penulangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang melalui proses
penulangan endokondrial. Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat
elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal,
penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.
4. Remodelling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi
tulang, dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang melibatkan
tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan
dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khusunya
pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan
permukaan pada tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang
dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X. Imobilisasi harus memadai
sampai tanda-tanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X.

D. Fraktur Distal Radius


Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang biasa
terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya sering terjadi karena jatuh dalam
keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia.
Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan akan tiba-tiba
menjadi kaku, dan kemudian menyebabkan tangan memutar dan menekan
lengan bawah. Jenis luka yang terjadi akibat keadaan ini tergantung usia
penderita. Pada anakanak dan lanjut usia, akan menyebabkan fraktur tulang
radius. Fraktur radius distal merupakan 15 % dari seluruh kejadian fraktur
pada dewasa. Abraham Colles adalah orang yang pertama kali
mendeskripsikan fraktur radius distal pada tahun 1814 dan sekarang dikenal
dengan nama fraktur Colles. Ini adalah fraktur yang paling sering ditemukan
pada manula, insidensinya yang tinggi berhubungan dengan permulaan
osteoporosis pasca menopause.
Karena itu pasien biasanya wanita yang memiliki riwayat jatuh pada
tangan yang terentang. Biasanya penderita jatuh terpeleset sedang tangan
berusaha menahan badan dalam posisi terbuka dan pronasi. Gaya akan
diteruskan ke daerah metafisis radius distal yang akan menyebabkan patah
radius 1/3 distal di mana garis patah berjarak 2 cm dari permukaan persendian
pergelangan tangan. Fragmen bagian distal radius dapat terjadi dislokasi ke
arah dorsal maupun volar, radial dan supinasi. Gerakan ke arah radial sering
menyebabkan fraktur avulsi dari prosesus styloideus ulna, sedangkan dislokasi
bagian distal ke dorsal dan gerakan ke arah radial menyebabkan subluksasi
sendi radioulnar distal. Komplikasi yang sering terjadi adalah kekakuan dan
deformitas (perubahan bentuk), jika pasien mendapat penanganan terlambat.
(Egol KA, Koval KJ, 2015)
1. Patofisiologi
Pada kebanyakan aktifitas, sisi dorsal dari radius distal cenderung
mengalami tension, sisi volar dari radius distal cenderung mengalami
kompresi, hal ini disebabkan oleh bentuk integritas dari korteks pada sisi
distal dari radius, dimana sisi dorsal lebih tipis dan lemah sedangkan pada
sisi volar lebih tebal dan kuat. Beban yang berlebihan dan mekanisme
trauma yang terjadi pada pergelangan tangan akan menentukan bentuk
garis fraktur yang akan terjadi. Lebih dari 68 persen dari fraktur pada
radius distal dan ulna memiliki korelasi dengan cedera jaringan lunak,
seperti robekan parsial dan total dari TFCC, ligament schapolunatum, dan
ligament lunotriquetral. Mekanisme trauma fraktur distal radius pada
dewasa muda yaitu jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, maupun
cedera pada olahraga. Pada dewasa tua, fraktur distal radius dapat terjadi
dari mekanisme dengan tenaga yang kecil seperti terjatuh saat sedang
berdiri atau berjalan (fragile fracture). Mekanisme yang paling sering
terjadi adalah jatuh dengan posisi dorsofleksi pada pergelangan tangan
dengan sudut bervariasi, seringkali antara 40-90 derajat. Trauma dengan
energi tinggi yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor dapat
menyebabkan fraktur kominutif atau displaced pada distal radius. (Egol
KA, Koval KJ, 2015)
2. Pemeriksaan Klinis dan Radiografi
Pasien seringkali datang dengan deformitas dan pergeseran sendi pada
pegelangan tangan yaitu pergeseran sendi (displacement) ke arah dorsal
pada fraktur Colles dan Barton dan volar pada fraktur Smith. Pemeriksaan
fisik juga menunjukkan adanya bengkak pada pergelangan tangan yang
berwarna kemerahan, nyeri tekan, nyeri saat digerakkan, dengan
pergerakan pergelangan tangan yang terbatas. Siku dan bahu pada sisi
yang sama juga harus dievaluasi untuk menyingkirkan adanya cedera
penyerta. Pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh juga harus dikerjakan
terutama untuk melihat fungsi dari N. Medianus. Gejala kompresi pada
carpal tunnel sering didapatkan yaitu sebesar 13- 23% yang disebabkan
oleh traksi oleh energi saat hiperekstensi dari pergelangan tangan, trauma
langsung dari fragmen fraktur, hematoma, atau peningkatan tekanan di
dalam kompartemen. (Egol KA, Koval KJ, 2015) Posisi Anteroposterior
dan Lateral dari wrist joint/pergelangan tangan harus dilakukan. Bahu atau
siku juga harus dievaluasi radiologi foto pergelangan tangan kontralateral
juga biasa dilakukan untuk dapat membantu menilai sudut ulnar varians
dan sudut scapholunate. Computed tomography scan dapat membantu
untuk menunjukkan tingkat keterlibatan intraartikular. (Egol KA, Koval
KJ, 2015)
3. Tata Laksana
a) Non-Operatif
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan yaitu
faktor local (kualitas tulang, cedera jaringan lunak. Fraktur kominutif,
fraktur dislokasi, dan energi yang menyebabkan trauma ), faktor pasien
(usia, gaya hidup, pekerjaan, tangan yang dominan, riwayat penyakit
dahulu, cedera lain yang menyertai). Pada dasarnya semua jenis fraktur
harus dikerjakan reduksi tertutup kecuali bila ada indikasi untuk
dilakukan dengan reduksi terbuka. Reduksi fraktur sangat membantu
untuk mengurangi edema pasca trauma, mengurangi nyeri, dan
memperbaiki kompresi N. Medianus. Indikasi dilakukan reduksi
tertutup adalah fraktur non displaced atau fraktur dengan pergeseran
minimal, fraktur displaced dengan pola fraktur yang stabil yang
dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang, pasien usia tua dengan
resiko tinggi dilakukan operasi. Imobilisasi cast/gyps, diindikasikan
untuk :
o Nondisplaced atau patah tulang radius dengan pergeseran
minimal.
o Displaced fraktur dengan pola fraktur yang stabil diharapkan
dapat sembuh dalam posisi radiologi yg acceptable/dapat
diterima.
o Dapat juga digunakan blok hematom dengan menggunakan
analgetik, berupa lidocain, ataupun juga berupa sedasi.

Hematoma block dengan sedasi intravena dan bier block dapat


digunakan sebagai analgesia untuk reduksi tertutup. Teknik reduksi
tertutup yaitu :

o Fragmen distal diposisikan hiperekstensi


o Dikerjakan traksi untuk mendekatkan jarak fragmen distal dan
proksimal dengan sedikit tekanan pada radius distal
o Pemasangan Long arm splint dengan posisi pergerangan netral
atau sedikit fleksi
o Hindari posisi yang berlebihan pada pergelangan tangan

Posisi lengan bawah yang ideal, waktu imobilisasi yang diperlukan


dan kebutuhan long arm cast masih merupakan kontroversi, di mana
dari beberapa penelitian menyebutkan tidak ada metode yang paling
superior. Posisi fleksi yang berlebihan harus dihindari karena hal ini
akan menyebabkan peningkatan tekanan kanal pada carpal yang
selanjutnya dapat meyebabkan kompresi N Medianus. Fraktur yang
memerlukan posisi fleksi maksimal pada pergelangan tangan
merupakan suatu indikasi untuk operasi terbuka dan fiksasi internal.
Cast harus dipertahankan selama 6 minggu atau sampai pemeriksaan
radiologis menunjukkan suatu fraktur union. Pemeriksaan radiologi
secara berkala diperlukan untuk evaluasi dan menghindari terjadinya
kesalahan maupun komplikasi yang dapat terjadi. (Egol KA, Koval
KJ, 2015)

E. Fraktur Metacarpal
Fraktur metakarpal adalah hal yang sering ditemukan dalam hand
injury, dari 1.475 fraktur yang terjadi di tangan, 495 darinya terjadi di tulang
metacarpal. Fraktur adalah kata lain dari patah, atau diskontinuitas, atau
disrupsinya bentuk jaringan tulang atau jaringan tulang rawan yang
disebabkan oleh energi berlebihan terhadap jaringan tersebut. Terdapat fraktur
akut, subakut, atau kronik. Ada banyak tipe fraktur yang dapat dialami oleh
tulang, khususnya metakarpal. Tipe- tipenya adalah fraktur terbuka dan fraktur
tertutup, fraktur transverse, oblique, spiral, dan comminuted, fraktur
intraarticular dan extraarticular, serta fraktur displaced dan non displaced.
Metakarpal sendiri terdiri dari lima tulang yang berurutan. Tulang
pertama, atau biasa disebut first metacarpal bone, adalah tulang yang sejajar
dengan tulang ibu jari, tulang kedua sejajar dengan tulang jari telunjuk dan
begitu pula seterusnya sampai tulang kelima. Setiap tulang tersebut terbagi
menjadi tiga bagian yakni head, shaft, dan base. Pada fraktur metakarpal, ada
beberapa kasus yang sering terjadi dan memiliki nama tersendiri, salah
satunya adalah Boxer’s Fracture, Bennet Fracture, dan Rolando Fractur.
Penyembuhan dari fraktur metakarpal terbagi menjadi dua bagian besar,
yakni operative, atau secara pembedahan, dan non-operative atau konservatif.
Mayoritas kasus fraktur metakarpal dapat ditangani dengan baik oleh
konservatif. Penatalaksanaan konservatif adalah sebuah penanganan dengan
splint atau cast yang membuat bagian tubuh yang patah terimmobilisasi, hal
ini dapat dilakukan dengan close reduction. Walaupun mayoritas lebih
memillih penatalaksanaan konservatif untuk patah tulangnya, ada beberapa
kasus yang harus ditangani dengan cara operatif. Kasus tersebut salah satunya
adalah displaced intra-articular fracture, polytrauma, unstable open fractures,
segmental bone loss, atau patah tulang yang tidak ditangani lebih dari empat
minggu. Penatalaksanaan operatif adalah penanganan yang berupa
pembedahan. Setelah adanya pembedahan dan open reduction jika
dibutuhkan, pelat atau wire dapat ditanam di bagian patah tulang untuk
mencegah pergerakan yang eksesif (Suryantari, 2019).

F. Fraktur Distal Ulna


Fraktur radius-ulna adalah terputusnya hubungan tulang radius dan ulna
yang disebabkan oleh cidera pada lengan bawah baik trauma langsung ataupun
tidak langsung. Pada tarauma tidak langsung, daya pemuntir (biasanya jatuh
pada tangan) menimbulkan fraktur spiral dengan kedua tulang patah pada
tingkat yang berbeda. Pukulan langsung atau daya tekukan menyebabkan
fraktur melintang kedua tulang pada tingkat yang sama. Deformitas rotasi
tambahan dapat di timbulkan oleh tarikan otot-otot yang melekat pada radius.
Otot tersebut adalah biseps dan otot supinator pada sepertiga bagian atas,
pronator teres pada sepertiga pertengahan, dan pronator quadratus pada
sepertiga bagian bawah. Perdarahan dan pembengkakan kompartemen otot
pada lengan bawah dapat menyebabkan gangguan peredaran darah. (Zairin
Noor Helmi, 2014)

G. Konsep Medis Nyeri


Nyeri adalah penyakit yang ditandai dengan sensasi tidak menyenangkan
yang hanya dapat dijelaskan secara akurat oleh orang yang mengalaminya,
karena pengalaman rasa sakit dan ketidaknyamanan setiap orang berbeda
(Alimul, 2015). Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
nyaman yang terjadi sebagai akibat dari kerusakan jaringan , atau kerusakan
jaringan yang ada atau yang akan datang (Aydede, 2017). Menurut
International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah fenomena
rumit yang tidak hanya mencakup respons fisik atau mental, tetapi juga emosi
emosional individu. Penderitaan seseorang atau individu dapat menjadi
penyebab utama untuk mencari perawatan medis, dan juga dapat menjadi
alasan individu untuk mencari bantuan medis. Kenyamanan individu
diperlukan, dan itu harus menyenangkan. Sakit merupakan kebutuhan
penderitanya. Nyeri adalah keadaan tidak nyaman yang disebabkan oleh
kerusakan jaringan yang terjadi dari suatu daerah tertentu (Siti Cholifah, et al
2020). Sehingga dari pernyataan diatas, nyeri adalah suatu stimulus yang tidak
menyenangkan dan sangat kompleks yang dapat diamati secara verbal maupun
nonverbal.

H. Konsep Medis Post Operasi


Periode postoperative adalah periode yang dimulai dari selesainya
prosedur operasi dan pemindahan pasien ke area khusus untuk pemantauan
seperti unit perawatan pasca anestesi (PACU) dan dapat dilanjutkan setelah
keluar dari rumah sakit sampai semua pembatasan dicabut. Sementara untuk
pasien yang dalam kondisi kritis setelah dilakukan operasi akan langsung
dipindahkan dari ruang operasi ke dalam ruang perawatan intensif (ICU)
(Donna D. Ignatavicius, et al., 2016). Setelah prosedur operasi selesai, pasien
memasuki masa postoperative. Periode post op membutuhkan pengawasan
ketat saat pasien selesai dari anestesi. Pasien kemudian akan dipindahkan ke
ruangan yang lain pada hari yang sama untuk menjalani perawatan
postoperative (Jim Keogh, 2019).
Dapat disimpulkan bahwa periode perawatan postoperative adalah
periode perawatan yang dimulai sejak pasien selesai dilakukan tindakan
operasi dengan melakukan pengawasan ketat terhadap perubahan kondisi
kesehatan selama berada di ruang pemulihan atau ruang perawatan pos
anestesia hingga pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa dan kemudian
pasien dibolehkan untuk keluar dari rumah sakit.
1. Fase Postoperative
Terdapat tiga fase perawatan postoperative. Fase-fase ini didasarkan
pada tingkat kebutuhan perawatan pasien postoperative, tetapi tidak semua
pasien melalui tiga fase perawatan postoperative (Jim Keogh, 2019). Fase
pertama, terjadi segera setelah operasi, bisanya setelahtindakan operasi
dilakukan, pasien ditempatkan di ruang post anestesi atau biasa disebut
recovery room (RR/PACU) meskipun biasanya ada pasien yang langsung
ditempatkan di ruang rawat inap biasa. Untuk itu, pasien yang memiliki
prosedur yang rumit atau masalah kesehatan yang serius, perawatan fase
pertama dapat dilakukan di ruang perawatan intensif (ICU). Lama pasien
untuk mendapatkan perawatan fase pertama adalah tergantung pada status
kesehatan, prosedur pembedahan, tipe anestesi, dan kecepatan
perkembangan kestabilan.
Hal ini membutuhkan waktu kurang lebih selama satu jam hingga satu
hari. Pengawasan ketat dilakukan terhadap jalan nafas, tanda-tanda vital,
dan indikator pemulihan yang bervariasi setiap 5 hingga 15 menit. Waktu
pengawasan meningkat secara bertahap seiring kemajuan pemulihan
pasien. Fase kedua, pemulihan fase kedua berfokus pada persiapan
perawatan pasien dalam ruang perawatan yang lebih luas, seperti ruang
bedah medis, ruang rawat inap, atau tempat tinggal. Fase ini bisa dimulai
di ruang perawatan post anestesi, ruang bedah-medis, atau di ruang rawat
jalan. Biasanya fase ini membutuhkan waktu 15-30 menit meskipun pada
umumnya dapat mencapai 1-2 jam. Pasien berada di fase ini ketika tingkat
kesadaran postoperative telah kembali, saturasi oksigen dalam batas
normal, dan tanda-tanda vital mulai stabil. Beberapa pasien dapat menapai
indikator ini pada fase pertama dan dapat langsung dipulangkan ke rumah.
Namun banyak pasien lain yang haru memerlukan observasi lebih lanjut.
Fase ketiga dari pemulihan postoperative paling sering terjadi di rumah
sakit atau di rumah. Untuk pasien yang memiliki kebutuhan perawatan
berkelanjutan yang tidak dapat dilakukan di rumah, pemulangan mungkin
dari rumah sakit ke fasilitas perawatan tambahan. Meskipun demikian,
tanda-tanda vital tetap dipantau dengan frekuensi yang berubah tergantung
perkembangan pasien, mulai dari beberapa kali dalam sehari hingga
menjadi sekali dalam sehari

I. Diet Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP)


Diet TETP merupakan singkatan dari Diet Energi Tinggi Protein
Tinggi. Diet ini sering juga disebut Diet TKTP atau Diet Tinggi Kalori Tinggi
Protein. Diet TETP adalah diet yang mengandung energi dan protein di atas
kebutuhan normal seseorang. Biasanya, Diet TETP diberikan seperti makanan
biasa akan tetapi disertai dengan bahan makanan sumber protein tinggi,
misalnya susu, telur, dan daging. Diet TETP bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Selain itu, diet TETP dapat digunakan
untuk menambah berat badan agar kembali mencapai berat badan normal.
Pasien yang mendapat Diet TETP adalah pasien dengan indikasi KEP (Kurang
Energi Protein), luka bakar berat, hipertiroid, hamil, post-partum, sebelum dan
setelah operasi tertentu, trauma, pasien yang sedang menjalani radioterapi atau
kemoterapi, ataupun keadaan lainnya dimana kebutuhan energi dan protein
meningkat (Hendrayati, 2022).
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya Medika:
Jakarta.
Bloch, B. 1996. Fraktur dan Dislokasi. Yayasan essentica Medica :Yogyakarta p.
1028-1030
Egol, KA, 2015. Handbook of Fractures 5th Edition. Wolters Kluwer Health :
New York.
Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper Limbs;
In: Clinical Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell Publishing;
Oxford University; p 169-170
Hendrayati, Chaerunnimah. 2022. Dampak Kemoterapi terhadap Status Gizi
Berdasarkan Subjective Global Assesment (SGA) pada Pasien Kanker
Payudara (Ca.Mamae). Jurnal Gizi dan Kesehatan, 2(1), 1-6.
Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika Aesculapius
FKUI : Jakarta
Paulsen F; Waschke J. 2011. Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th Edition.
Elsevier : Canada.
Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta. Hal
380-395.
Robinson, L.R,. 2000. Traumatic injury to peripheral nerves. MuscleNerve vol
23:863–73.
Salter, RB, 1999. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal
System. Williams and Wilkins : Philadelphia.
Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2002; Anatomi Bagian I, Penerbit
Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; Surabaya
Suryantari, S.A.A., Hamid, A.R.R.H. and Sanjaya, I.G.P.H., 2019. The
characteristics of mandibular fractures among patients attending Plastic
Surgery Unit in Sanglah General Hospital, Bali, Indonesia: A preliminary
study. Bali Medical Journal. 5: 8-2
Weum S, Millerjord S, de Weerd L. 2016. The distribution of hand fractures at the
university hospital of north Norway. Journal of plastic surgery and hand
surgery. 50(3):146-50
Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC :
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai