BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
1.4 Manfaat
a. Bagi Rumah Sakit
Dapat menjadi acuan dan perbandingan dalam menerapkan asuhan
keperawatan kepada klian dengan penyakit Fraktur. Patella.
b. Bagi Mahasiswa
Dapat mengetahui cara menerapkan asuhan keperawatan kepada klien
dengan penyakit Fraktur. Patella, mulai dari teori sampai pada kasusnya, antara
lain:
- Laporan Pendahuluan
- Asuhan Keperawatan Teori
- Asuhan keperawatan kasus yang meliputi pengkajian, Analisa Data,
diagnose keperawatan, rencana asuhan keperawatan, implementasi dan
Evaluasi.
- Perbandingan antara teori dan kasus (kesimpulan)
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksteral yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer, 2010).
Sedangkan menurut anatominya, patella adalah tempurung lutut. Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur patella merupakan suatu
gangguan integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang berlebihan yang terjadi pada
tempurung lutut
2.3 Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2011), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress
yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh
pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah
trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat
terjadi setelah trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur
patologis) fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami
osteoporosis, atau individu yang mengalmai tumor tulang, infeksi, atau penyakit
lain. Fraktur stress atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat
stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang, biasanya menyertai
peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet atau permulaan aktivitas fisik yang
baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar
tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
5
2.4 Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli:
1. Menurut Depkes RI (2011), berdasarkan luas dan garis Fraktur meliputi:
a. Fraktur komplit
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang
terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke
sisi lain serta mengenai seluruh kerteks.
b. Fraktur inkomplit
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak
menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang
utuh).
2. Menurut Black dan Matassarin (2009) yaitu Fraktur berdasarkan hubungan
dengan dunia luar, meliputi:
a. Fraktur tertutup yaitu Fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak menonjol melalui kulit.
b. Fraktur terbuka yaitu Fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka Fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
1) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit otot
2) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot
3) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah,
syaraf otot dan kulit.
3. Long (2010) membagi Fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
a. Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang, sering terjadi pada anak-
anak dengan tulang lembek
b. Transverse yaitu patah melintang
c. Longitudinal yaitu patah memanjang
d. Oblique yaitu garis patah miring
e. Spiral yaitu patah melingkar
7
2.5 Patofisiologi
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan
hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan
jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat
sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan
leukoit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematon yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak
dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai
organ-organ yang lain. Hematon menyebabkn dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang
iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal
ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf.
8
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role
of two yang terdiri dari:
1. Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior dan lateral
2. Memuat dua sendi antara fraktur, yaitu bagian proksimal dan distal
3. Memuat dua ekstremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cedera maupun
tidak (untuk membandingkan dengan yang normal)
4. Dilakukan 2 kali, yaitu sebelum dan sesudah tindakan
b. Pemeriksaan laboratorium
1. Hb dan Ht mungkin rendah akibat perdarahan
2. LED meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas
3. Ca dan P dalam darah meningkat pada masa penyembuhan
c. Pemeriksaan arteriografi
Dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskular akibat fraktur.
d. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
mengetahui tempat dan type fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah
dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodic
2.8 Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
10
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
2.9 Penatalaksanaan
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan yaitu mengembalikan atau
memperbaiki bagian-bagian yang patah ke dalam bentuk semula (anatomis),
imobiusasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang
yang rusak. Jenis-jenis Fraktur reduction yaitu:
1. Manipulasi atau close red
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan
bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun umum.
2. Open reduksi
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering
dilakukan dengan internal fixasi menggunakan kawat, screlus, pins, plate,
intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan
infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika dilakukan open
reduksi internal fixasi pada tulang (termasuk sendi) maka akan ada indikasi
untuk melakukan ROM.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang Fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 3 macam yaitu:
a. Skin traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang Fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya
digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera dan
sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) ke dalam
tulang.
12
c. Maintenance traksi
Merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan secara
langsung pada tulang dengan kawat
4. Fase konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Fase remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal
diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.
2.1.11 Definisi
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi) adalah sebuah prosedur bedah medis,
yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti
yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada
fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan.
(Brunner&Suddart, 2011)
ORIF adalah suatu tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan tehnik
pembedahan yang mencakup di dalamnya pemasangan pen, skrup, logam atau
protesa untuk memobilisasi fraktur selama penyembuhan.
2.1.12 Tujuan
Ada beberapa tujuan dilakukannya ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal),
antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas.
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam
lingkup keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
14
2.1.14 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Muttaqin (2010) ada 2 yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
a) Proteksi adalah proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma
lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota
gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
b) Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan
bidai eksterna hanya memberikan imobilisasi. Biasanya
menggunakan Gips atau dengan macam-macam bidai dari plastik
atau metal.
c) Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi
eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan
manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal.
d) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan
ini mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap
dan imobilisasi.
15
2. Penatalaksanaan pembedahan
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka
dengan Fiksasi Internal akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat
fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara
bersamaan. Fiksasi internal sering digunakan untuk merawat fraktur pada
tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.
a. Metode Fiksasi Internal
Karena lebih kuat dari lempeng mini, maka lempeng ini serring digunakan
untuk fratur mandibula. Lempeng ini menghasilkan kompresi di tempat
fraktur.
5. Lempeng konstruksi
Lempeng yang dirancang khusus dan dapat dilekuk serta menyerupai
bentuk mandibula. Lempeng ini sering digunakan bersama dengan
lempeng mini. Lag screw dan lempeng kompresi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billi Fernsebner,2010)
Pra-operatif :
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur, masalah ortopedik,
pembengkakan atau inflamasi.
2. Ansietas berhubungan dengan diagnosis dan rencana pembedahan
Post-operatif
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tindakan anestesi, kelemahan
dan penurunan sirkulasi
Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur, masalah ortopedik,
pembengkakan atau inflamasi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..... x24 jam
diharapkan nyeri klien berkurang
Kriteria hasil :
Mampu mengontrol nyeri
18
Post operasi
Intervensi
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi.
Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
d) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboraorium yang diperrluakan amtar lain pemeikssaan
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang, Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang, Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995)
23
2.1.18 Gambar
24
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN (TEORITIS)
3.1 Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan.
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
27
25
(8) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien
tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
(9) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas
tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan
gerak klien
2) Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan
daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
28
(d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
(2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)Jantung
(1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(a) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
(c) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)Auskultasi Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit
29
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
30
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KELOLAAN
I PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Banjar / Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Pendidikan : Pelajar
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Bangaris
Tgl MRS : 15-11-2019
Diagnosa Medis : Close Fraktur Patella
35
36
= laki-laki
= perempuan
.......= tinggal serumah
- = tinggal
serumah
= klien
B. PEMERIKASAAN FISIK
1. Keadaan Umum :
Klien terlihat gelisah, terpasang infus RL 16 tpm persiapan pre operasi
sudah dilakukan, klien terbaring di atas brankar di ruang pre medikasi.
2. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 36,6 0C √ Axilla Rektal Oral
b. Nadi/HR : 98 x/mt
c. Pernapasan/RR : 24 x/tm
d. Tekanan Darah/BP : 120/80 mm Hg
3. DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATURIUM,
PENUNJANG LAINNYA)
Tanggal 11 Desember 2020
4. PENATALAKSANAAN MEDIS
PRIORITAS MASALAH
ANALISIS DATA
Pembedahan
Pascaoperatif
Efek anestesi
Perdarahan pascaoperatif
operasi.
P = Nyeri
Q = Seperti ditusuk-tusuk
R = Bagian kaki sebelah
kiri
S = 5 ( nyeri sedang)
T = 5-10 menit
DO : - klien tampak
meringis
- Klien hanya
berbaring
terlentang
- Skala nyeri 5
(nyeri sedang)
- TTV
TD : 120/70mmhg
N : 97x/menit
S : 36,6 0C
- Klien tampak
gelisah
RENCANA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
45
- TTV
TD : 120/80mmhg
N : 97x/menit
S : 36,5 0C
RR : 20 x/mnt
RENCANA KEPERAWATAN 46
Post Operatif : Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV dan skala nyeri
keperawatan selama 3x2 jam klien
3.Nyeri akut diharapkan rasa nyeri
berkurang dengan kriteria 2. Atur posisi klien senyaman
hasil: mungkin dengan berbaring terlentang
Pre Operatif
Hari/Tanggal
Implementasi Evaluasi (SOAP
Jam
1.Observasi TTV pada klien dan tingkat S: Klien masih merasa bingun
kecemasan klien. khawatir dengan akibat dari ko
Selasa, dihadapi sebelum menjalani o
2. Motivasi klien untuk tidak terlalu cemas
14 Januari 2020 O: - Klien tampak lemas
3. Jelaskan pada klien bahwa kecemasan
08.00 wib adalah masalah yang banyak dialami orang - Klien tampak pucat
lain dalam situasi sebelum operasi. - TTV : TD: 130/80mmh
N : 80x/menit
4. Anjurkan klien untuk ditemani RR : 22x/menit
keluarganya. S : 36,6 0C
- Tingkat kecemasan kli
A: Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi
45
S : 36,6 0C
RR : 22x/me
P : Lanjutkan intervensi
1. Observasi TTV dan skala nyeri klien S : klien masih merasakan nyeri p
sebelah kiri pada luka post opera
Selasa, 2. atur posisi klien senyaman mungkin
dengan berbaring terlentang. P = Nyeri, Q = Seperti ditusuk-tu
14 Januari 2020 abdomen
3. ajarkan teknik nafas dalam S = 5 ( nyeri sedang), T = 5-10 m
11.30 wib
O: - Klien tampak meringis
4. kolaborasi dengan dokter dalam
- Klien tampak lemas
pemberiaan obat analfilaktik.
- TTV : TD : 136/80mmhg
N: 86x/menit
S : 36, 0C
RR : 20x/menit
- Klien tampak berbaring te
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Observasi TTV dan skala
2. Ajarkan teknik nafas dala
3. Kolaborasi dalam pember
50
DAFTAR PUSTAKA