Anda di halaman 1dari 47

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur patella merupakan penyakit yang jarang ditemui dan bahkan satu-
satunya yang ditemui ruangan. Tulang patella merupakan tulang sesamoid terbesar
dalam tubuh manusia dan mempunyai fungsi mekanis dalam ekstensi anggota
gerak bawah. Untuk mengatasi masalah ini diperlikan strategi-strategi khusus dan
ahli bedah kusus dalam melakukan pembedahan (Billie Fernsebner 2010).
Fraktur patella sinistra adalah patah tulang yang terjadi pada tulang patella
sebelah kiri. Menurut stanley (2011) ORIF adalah suatu jenis operasi pemasangan
fiksasi internal untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur.
Asuhan keperawatan Fraktur Patella diangkat karna Fraktur. Patella
merupakan satu-satunya kasus yang dianggap lebih bertentangan dibandingkan
dengan kasus-kasus lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan yang ada pada kasu fraktur patella sinistra dalam
kaitannya dengan adanya nyeri, odema, gangguan gerak dan fungsi dengan
modalitas terapi.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan
memahami asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Fraktur
patella dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan
2. Tujuan Khusus
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Prioritas Masalah
d. Evaluasi

1
2

1.4 Manfaat
a. Bagi Rumah Sakit
Dapat menjadi acuan dan perbandingan dalam menerapkan asuhan
keperawatan kepada klian dengan penyakit Fraktur. Patella.
b.  Bagi Mahasiswa
Dapat mengetahui cara menerapkan asuhan keperawatan kepada klien
dengan penyakit Fraktur. Patella, mulai dari teori sampai pada kasusnya, antara
lain:
-       Laporan Pendahuluan
-       Asuhan Keperawatan Teori
-       Asuhan keperawatan kasus yang meliputi pengkajian, Analisa Data,
diagnose keperawatan, rencana asuhan keperawatan, implementasi dan
Evaluasi.
-       Perbandingan antara teori dan kasus (kesimpulan)
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksteral yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer, 2010).
Sedangkan menurut anatominya, patella adalah tempurung lutut. Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur patella merupakan suatu
gangguan integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang berlebihan yang terjadi pada
tempurung lutut

2.2 Anatomi Fisiologi


Sendi lutut merupakan sendi yang terbesar pada tubuh manusia. Sendi ini
terletak  pada kaki yaitu antara tungkai atas dan tungkai bawah. Pada dasarnya
sendi lutut ini terdiri dari dua articulation condylaris diantara condylus femoris
medialis, lateralis dan condylus tibiae yang terkait dalam sebuah sendi pelana ,
diantara patella dan fascies patellaris femoris. Sendi lutut dibentuk dari tiga buah
tulang yaitu tulang femur, tulang tibia, tulang fibula dan tulang patella.
Tulang patella merupakan tulang sesamoid terbesar dalam tubuh manusia dan
mempunyai fungsi mekanis dalam ekstensi anggota gerak bawah dengan bentuk
segitiga dan gepeng dengan aspex menghadap kearah distal. Pada permukaan
depan atau anterior tulang patella kasar sedangkan permukaan dalam atau dorsal
memiliki permukaan sendi yang lebih besar dan facies medial yang lebih kecil.
Fraktur patela Disebelah proksimal melekat otot kuadriseps dan di bagian distal
melekat ligament patella.
Mekanisme trauma yang terjadi pada Patella:
1. Kontraksi yang hebat otot kuadriseps, misalnya menekuk secara keras dan tiba-
tiba
2. Jatuh dan mengenai langsung tulang patella.
3
4

2.3 Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2011), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress
yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh
pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah
trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat
terjadi setelah trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur
patologis) fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami
osteoporosis, atau individu yang mengalmai tumor tulang, infeksi, atau penyakit
lain. Fraktur stress atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat
stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang, biasanya menyertai
peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet atau permulaan aktivitas fisik yang
baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar
tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
5

lengkap. Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang


maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan
mobil, olah raga atau karena jatuh.  Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan
tulang lebih besar daripada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh:
-  Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
-  Usia penderita.
-  Kelenturan tulang.
-  Jenis tulang.
Lewis (2009) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai
cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1.  Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian Fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan.
Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
Fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
Fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan akan menyebabkan Fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan
lunak yang luas.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia,
fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan
baris-berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur petologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh
6

2.4 Klasifikasi
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli:
1. Menurut Depkes RI (2011), berdasarkan luas dan garis Fraktur meliputi:
a. Fraktur komplit
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang
terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke
sisi lain serta mengenai seluruh kerteks.
b. Fraktur inkomplit
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak
menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang
utuh).
2. Menurut Black dan Matassarin (2009) yaitu Fraktur berdasarkan hubungan
dengan dunia luar, meliputi:
a. Fraktur tertutup yaitu Fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak menonjol melalui kulit.
b. Fraktur terbuka yaitu Fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka Fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
1)   Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit otot
2)   Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot
3)   Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah,
syaraf otot dan kulit.
3. Long (2010) membagi Fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
a.    Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang, sering terjadi pada anak-
anak dengan tulang lembek
b.    Transverse yaitu patah melintang
c.    Longitudinal yaitu patah memanjang
d.   Oblique yaitu garis patah miring
e.    Spiral yaitu patah melingkar
7

4. Black dan Matassarin (2009) mengklasifikasi lagi Fraktur berdasarkan


kedudukan Frakturagmen yaitu:
a.    Tidak ada dislokasi
b.    Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
1)   Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut
2)   Dislokasi at lotus yaitu Frakturagmen tulang menjauh
3)   Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang
4)   Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu Frakturagmen tulang
berjauhan dan memendek.

2.5 Patofisiologi
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan
hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan
jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat
sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan
leukoit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematon yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak
dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai
organ-organ yang lain. Hematon menyebabkn dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang
iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal
ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf.
8

2.6 Manifestasi Klinis


Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya:
a.   Pembengkakan.
b.   Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi
(terputar), atau pemendekan.
c.   Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.
Menurut Smeltzer dan Bare (2011), manifestasi klinis fraktur antara lain:
a.   Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
b.  Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
c.  Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d.  Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya.
e.  Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Adanya deformitas, seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi,
fragmen tulang (pada fraktur terbuka)
b.Palpasi
Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi. Palpasi pada daerah distal
terjadinya fraktur meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test
c.Gerakan
Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
9

2.  Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role
of two yang terdiri dari:
1. Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior dan lateral
2. Memuat dua sendi antara fraktur, yaitu bagian proksimal dan distal
3. Memuat dua ekstremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cedera maupun
tidak (untuk membandingkan dengan yang normal)
4. Dilakukan 2 kali, yaitu sebelum dan sesudah tindakan
b. Pemeriksaan laboratorium
1. Hb dan Ht mungkin rendah akibat perdarahan
2. LED meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas
3. Ca dan P dalam darah meningkat pada masa penyembuhan
c. Pemeriksaan arteriografi
Dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskular akibat fraktur.
d. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
mengetahui tempat dan type fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah
dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodic

2.8 Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a.  Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
10

menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan


dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.  Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
11

c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

2.9 Penatalaksanaan
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan yaitu mengembalikan atau
memperbaiki bagian-bagian yang patah ke dalam bentuk semula (anatomis),
imobiusasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang
yang rusak. Jenis-jenis Fraktur reduction yaitu:
1. Manipulasi atau close red
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan
bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun umum.
2. Open reduksi
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering
dilakukan dengan internal fixasi menggunakan kawat, screlus, pins, plate,
intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan
infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika dilakukan open
reduksi internal fixasi pada tulang (termasuk sendi) maka akan ada indikasi
untuk melakukan ROM.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang Fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 3 macam yaitu:
a. Skin traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang Fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya
digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera dan
sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) ke dalam
tulang.
12

c. Maintenance traksi
Merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan secara
langsung pada tulang dengan kawat

2.10 Proses Penyembuhan Tulang


Proses penyembuhan tulang terdiri dari 5 tahap yang meliputi:
1. Fase inflamasi
Fase inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang
cidera dan pembentukan hematoma di tempat terjadinya fraktur. Ujung fragmen
tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya suplai darah. Tempat cidera
kemudian akan diinvasi oleh magrofag yang akan membersihkan daerah tersebut.
Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
2. Fase proliferasi sel
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah
mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam
lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses
osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Fase pembentukan kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast
dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang
mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang
imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
13

4. Fase konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan  osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Fase remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal
diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.

2.1.11 Definisi
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi) adalah sebuah prosedur bedah medis,
yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti
yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada
fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan.
(Brunner&Suddart, 2011)
ORIF adalah suatu tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan tehnik
pembedahan yang mencakup di dalamnya pemasangan pen, skrup, logam atau
protesa untuk memobilisasi fraktur selama penyembuhan.
2.1.12 Tujuan
Ada beberapa tujuan dilakukannya ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal),
antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas.
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam
lingkup keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
14

5. Tidak ada kerusakan kulit

2.1.13 Indikasi / Kontraindikasi


Indikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intra-
artikular disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur
otot tendon.
Kontraindikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.

2.1.14 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Muttaqin (2010) ada 2 yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
a) Proteksi adalah proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma
lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota
gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
b) Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan
bidai eksterna hanya memberikan imobilisasi. Biasanya
menggunakan Gips atau dengan macam-macam bidai dari plastik
atau metal.
c) Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi
eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan
manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal.
d) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan
ini mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap
dan imobilisasi.
15

2. Penatalaksanaan pembedahan
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka
dengan Fiksasi Internal akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat
fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara
bersamaan. Fiksasi internal sering digunakan untuk merawat fraktur pada
tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.
a. Metode Fiksasi Internal

Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:

1. Pemasangan kawat antartuang


Biasanya digunakan untuk fraktur yang relatif stabil, terlokalisasi dan
tidak bergeser pada kranium. Kawat kurang bermanfaat pada fraktur parah
tak stabil karena kemampuan tulang berputar mengelilingi kawat, sehingga
fiksasi yang dihasilkan kurang kuat.
2. Lag screw
Menghasilkan fiksasi dengan mengikatkan dua tulang bertumpuk satu
sama lain. Dibuat lubang-lubang ditulang bagian dalam dan luar untuk
menyamai garis tengah luar dan dalam sekrup. Teknik yang menggunakan
lag screw kadang-kadag disebut sebagai kompresi antarfragmen tulang.
Karena metode ini juga dapat menyebabkan rotasi tulang, biasanya
digunakan lebih dari satu sekrup untuk menghasilkan fiksasi tulang yang
adekuat. Lag screw biasanya digunakan pada fraktur bagian tengan wajah
dan mandibula serta dapat digunakan bersama dengan lempeng mini dan
lempeng rekonstruktif
3. Lempeng mini dan sekrup
Digunakan terutama untuk cedera wajah bagian tengah dan atas. Metode
ini menghasilkan stabilitas tiga dimensi yaitu tidak terjadi rotasi tulang.
Lempeng mini (miniplate) difiksasi diujung-ujungnya untuk menstabilkan
secara relatif segmen-segmen tulang dengan sekrup mini dan segmen-
segmen tulang dijangkarkan kebagian tengah lempeng juga dengan sekrup
mini
4. Lempeng kompresi
16

Karena lebih kuat dari lempeng mini, maka lempeng ini serring digunakan
untuk fratur mandibula. Lempeng ini menghasilkan kompresi di tempat
fraktur.
5. Lempeng konstruksi
Lempeng yang dirancang khusus dan dapat dilekuk serta menyerupai
bentuk mandibula. Lempeng ini sering digunakan bersama dengan
lempeng mini. Lag screw dan lempeng kompresi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billi Fernsebner,2010)

Keuntungan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yaitu :

1. Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.


2. Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.
3. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di sekitarnya.
4. Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai
5. Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi.
6. Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal serta
kekuatan otot selama perawatan fraktur.

Kerugian ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yaitu :

1. Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan


kematian akibat dari tindakan tersebut.
2. Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan
pemasangan gips atau traksi.
3. Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu
sendiri.
4. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan
struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong
atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.

b. Perawatan Post Operatif


Dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian
yang sakit. Dapat dilakukan dengan cara:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
17

2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.


3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)
4. Latihan otot
Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang,
tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot
akibat latihan yang kurang.
5. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan
menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien

2.1.15 Diagnosa Keperawatan Perioperatif

Pra-operatif :
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur, masalah ortopedik,
pembengkakan atau inflamasi.
2. Ansietas berhubungan dengan diagnosis dan rencana pembedahan
Post-operatif
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tindakan anestesi, kelemahan
dan penurunan sirkulasi

3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan pembedahan


4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan

2.1.16 Rencana Asuhan Keperawatan

Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur, masalah ortopedik,
pembengkakan atau inflamasi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..... x24 jam
diharapkan nyeri klien berkurang
Kriteria hasil :
 Mampu mengontrol nyeri
18

 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen


nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal (TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100
x/menit, RR : 18-20 x/menit dan Term : 36,5ºC-37,5ºC)
Intervensi :
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
 Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, latihan napas
dalam, sentuhan terapeutik dan distraksi)
 Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
2. Ansietas b/d diagnosis dan rencana pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama .... x 24 jam
diharapakan cemas klien terkontrol
Kriteria hasil :
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas
 Vital sign dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100
x/menit, RR : 18-20 x/menit dan Term : 36,5ºC-37,5ºC)
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
Intervensi :
 Kaji tanda-tanda vital
 Ajarkan kepada klien teknik relaksasi untuk dilakukan sekurang-
kurangnya setiap 4 jam ketika terjaga, untuk memperbaiki
keseimbangan fisik dan psikologis.
19

 Jelaskan semua prosedur tindakan yang akan dilakukan yang


bertujuan untuk mengurangi tingkat kecemasan klien
 Dengarkan dengan penuh perhatian setiap keluh kesah klien
 Identifikasi tingkat kecemasan
 Bila memungkinkan, libatkan klien dan anggota keluarga dalam
mengambil keputusan tentang perawatan untuk membangun
kepercayaan diri klien dan menumbuhkan rasa percaya.

Post operasi

1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik


Tujuan : Dalam waktu .... x 24 jam setelah diberi tindakan nyeri
klien berkurang / terkontrol
Kriteria Hasil :
 Skala nyeri 0-1 (dari 0-10)
 TTV dalam btas normal : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100 x/menit,
RR : 18-20 x/menit dan Term : 36,5ºC-37,5ºC
 Wajah tidak tampak meringis
 Klien tampak rileks

Intervensi

 Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi


lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,, intensitas nyeri dan
faktor presipitaasi
 Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya
meringis) terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara
efektif
 Minta klien untuk menggunakan sebuah skla 1 sampai 10 untuk
menjelaskan tingkat nyerinya (dengan nilai 10 menandakan tingkat
nyeri paling berat)
 Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, latihan napas
dalam, sentuhan terapeutik dan distraksi)
20

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tindakan anestesi, kelemahan


dan penurunan sirkulasi
Tujuan : Dalam waktu ..... x 24 jam setelah diberi tindakan klien dapat
melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Kriteria Hasil :
 Klien mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri
 Klien menyatakan rasa puas dengan setiap tingkat aktivitas baru yang
dapat dicapai
 TD, N, RR dan T tetap dalam batas normal selama aktivitas
Intervensi
 Diskusikan dengan klien tentang perlunya beraktivitas
 Instruksikan dan bantu klien untuk beraktivitas diselingi istirahat
 Identifikasi aktivitas-aktivitas klien yang diinginkan dan sangat berarti
baginya
 Identifikasi dan minimalkan faktor-faktor yang dapat menurunkan
toleransi latihan klien
 Ajarkan kepada klien cara menghemat energi ketika melakukan
aktivitas sehari-hari. Misalnya duduk di kursi ketika berpakaian,
memakai baju ringan yang mudah digunakan.
 Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan pembedahan
Tujuan : Dalam waktu .... x 24 jam setelah diberi tindakan diharapkan
klien tidak mengalami infeksi
Kriteria Hasil :
 Tidak terjadi tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsi
laesea)
 Suhu dan nadi dalam batas normal (suhu : 36,5ºC-37,5ºC. Nadi : 80-
100 x/menit)
Intervensi:
 Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat
waktu pecah ketuban
 Kaji tanda adanya infeksi (kalor, rubor, tumor, dolor, fungsi lasea)
21

 Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik


 Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum/sesudah
menyentuh luka
 Pantau peningkatan suhu, nadi dan pemeriksaan laboratorium
 Anjurkan intake nutrisi yang cukup
 Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan
Tujuan : Dalam waktu .... x 24 jam setelah diberi tindakan diharapkan
integritas kulit dan proteksi jaringan membaik
Kriteria Hasil :
 Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
 Kulit tetap lembab dan bersih
Intervensi
 Berikan perhatian dan perawatan pada kulit
 Lakukan latihan gerak pasif
 Lindungi kulit yang sehat dari kemungkinanan maserasi
 Anjurkan untuk menjaga kelembaban kulit
 Anjurkan untuk tetap menjaga kebersihan kulit

2.1.17 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Radiologi
a) Sinar Rontgen
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit. Hal yang harus
dibaca pada x-ray adalah bayangan jaringan lunak, tipis tebalnya
korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi, trobukulasi ada tidaknya rare fraction, sela sendi serta
bentuknya arsitektur sendi.
b) Tomografi
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti tomografi yang menggambarkan tidak satu
22

struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi.
Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
d) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboraorium yang diperrluakan amtar lain pemeikssaan
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang, Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang, Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995)
23

2.1.18 Gambar
24

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN (TEORITIS)
3.1 Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan.
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.

27
25

c) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk


menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam
membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan
dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik.
f) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur
akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus
mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
26

penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa


membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia.
(3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur patella tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola
Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur
(4) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
(5) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat.
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien
fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
(7) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian sinistra fraktur, sedang pada indera
yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan.
27

(8) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien
tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
(9) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas
tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan
gerak klien
2) Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan
daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
28

(d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
(2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)Jantung
(1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(a) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
(c) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)Auskultasi Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit
29

3.2 Pemeriksaan Diagnostik


a) Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan xray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang
dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-
ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4)Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-
ray)

3.3 Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang di temukan pada klien fraktur adalah


sebagai berikut:

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
30

3.4 Intervensi Keperawatan


a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan
tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik
sesuai indikasi untuk situasi individual
Intervensi keperawatan dan Rasional
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan
posisi)
5. Ajarkan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual,
aktivitas dipersional
6. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi. Meningkatkan aliran balik vena,
mengurangi edema/nyeri. Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan
lokal dan kelelahan otot. Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama. Menurunkan edema dan
mengurangi rasa nyeri. Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer. Menilai perkembangan
masalah klien. perubahan tanda-tanda vital)
g. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan
kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif.
31

Intervensi keperawatan dan Rasional


1. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu
ketat.
3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian
keketatan bebat/spalk. Meningkatkan drainase vena dan menurunkan
edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang
menyebabkan penurunan perfusi. Mungkin diberikan sebagai upaya
profilaktik untuk menurunkan trombus vena. Mengevaluasi
perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan
klien.
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi
dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam
batas normal
Intervensi keperawatan dan Rasional
a. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
b. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan
klien.
c. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan
kortikosteroid sesuai indikasi.
d. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan
trombosit 5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas,
perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan,
32

retraksi sela iga dan sianosis sentral. Meningkatkan ventilasi


alveolar dan perfusi. Reposisi meningkatkan drainase sekret dan
menurunkan kongesti paru. Mencegah terjadinya pembekuan darah
pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan
keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak. Penurunan
PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran
gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase,
lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan
emboli lemak. Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental
merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin
menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.
e. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas
pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan
posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan
mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang
memampukan melakukan aktivitas
Intervensi keperawatan dan Rasional
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio,
koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang
sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan
sesuai indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. Memfokuskan
perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial. Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan
gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi
33

kalsium karena imobilisasi. Mempertahankan posis fungsional


ekstremitas. Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri
sesuai kondisi keterbatasan klien. Menurunkan insiden komplikasi
kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
6. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi. Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual. Menilai perkembangan masalah
klien.
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan
perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan
sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi
terjadi
Intervensi keperawatan dan Rasional
1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
2. Masase kulit terutama daerah Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit
yang lebih luas. Meningkatkan sirkulasi perifer dan penonjolan tulang
dan area distal bebat/gips.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi
pen/traksi. meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan
yang relatif konstan pada imobilisasi. Mencegah gangguan integritas
kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal. Menilai perkembangan
masalah klien.
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
34

Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase


purulen atau eritema dan demam.
Intervensi keperawatan dan Rasional
1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka
2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas
3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah Mencegah
infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka. Meminimalkan
kontaminasi. Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan
secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus. Leukositosis biasanya terjadi pada
proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada
osteomielitis. Kultur untuk lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas
luka/serum/tulang)
5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada
luka. mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. Mengevaluasi
perkembangan masalah klien.
35

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KELOLAAN

I PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Banjar / Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Pendidikan : Pelajar
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Bangaris
Tgl MRS : 15-11-2019
Diagnosa Medis : Close Fraktur Patella

a. RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN


1. Keluhan Utama /Alasan di Operasi :
Klien mengatakan bahwa dirinya merasa cemas sebelum melakukan
tindakan operasi dan alasan dilakukannya tindakan operasi tersebut
karena terjadinya patah tulang pada bagian kaki sebelah kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada tanggal 15 November 2019, masuk RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya dengan keluhan patah kaki pada bagian kiri
dikarenakan klien mengalami kecelakaan, Setibanya di IGD dilakukan
pemeriksaan secara lengkap dan dilakukan pemasangan infus RL 16
tpm dan terpasang balutan bidai di kaki bagian kiri, terpasang O2
nasal kanul 3 L/menit atas instruksi dari dokter. Kemudian klien alih
rawat ke ruang Dahlia.

35
36

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)


Klien mengatakan tidak pernah memiliki riwayat operasi sebelumnya
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan didalam riwayat penyakit keluargannya tidak
memiliki penyakit menular maupun penyakit keturunan lainnya.

GENOGRAM KELUARGA : Ket : = meninggal

= laki-laki
= perempuan
.......= tinggal serumah
- = tinggal
serumah
= klien

B. PEMERIKASAAN FISIK
1. Keadaan Umum :
Klien terlihat gelisah, terpasang infus RL 16 tpm persiapan pre operasi
sudah dilakukan, klien terbaring di atas brankar di ruang pre medikasi.
2. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 36,6 0C √ Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR : 98 x/mt
c. Pernapasan/RR : 24 x/tm
d. Tekanan Darah/BP : 120/80 mm Hg
3. DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATURIUM,
PENUNJANG LAINNYA)
Tanggal 11 Desember 2020

No Hasil lab Hasil Nilai normal


1 WBC 6,90 x 10^3/ul 400-10.00
2 RBC 4,97 x 10^6/ul 3,50-5,50
3 HGB 9,5 g/dl 11.0-16.0
4 PLT 217 x 10^3/ul 150-100
5 Natrium 126 135-148 mmol
6 Kalium 3,6 3,5-5,3 mmol
7 Calcium 1,16 0,98-1,2 mmol
37

4. PENATALAKSANAAN MEDIS

Terapi pre operasi premedikasi Post operasi


1. Infus RL 16 tpm
2. Cefotaxime 2x1
(IV)
3. Ketorolac 3x1
(IV)

PRIORITAS MASALAH

1. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.


2. Resiko pendarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
38

ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN MASALAH


DAN DATA PENYEBAB
OBYEKTIF
39

Pre Operatif : Distress karena ketakutan


DS : Klien mengatakan atas tindakan operasi Ansietas
merasa cemas sebelum
melakukan tindakan
operasi. Adanya sesuatu yang
DO: - TTV : mengancam diri
TD:130/60mmhg
N : 95x/menit
S : 36,6 0C
RR : 21x/menit. Adanya perasaan takut
- Klien tampak tidak terima dalam suatu
gelisah lingkungan tertentu
- Klien tampak
sering bertanya-
tanya.
- Klien tampak Klien cemas dengan
selalu keadaannya
mengungkapkan
rasa takutnya.

Intra Operatif : Luka tindakan operasi Resiko perdarahan


DS : -
DO : - Klien terpasang Perdarahan pada bagian
40

infus kaki kiri


Nacl 0,9%.
- Klien terpasang Peningkatan tekanan
oksigen vena
- Klien terpasang
monitor Terjadinya pengeluaran
- Dilakukan darah
tindakan
pembedahan Resiko perdarahan
- TTV :
TD: 100/80mmhg
N: 99x/menit
S: 36,6 0C
RR : 19x/menit
- Darah yang
dikeluarkan 50 cc.

Agen injuri fisik

Pembedahan

Pascaoperatif

Efek anestesi

Perdarahan pascaoperatif

Terdapat luka bedah pada


abdomen
Post Operatif
Terputusnya kontinuitas
DS : Klien mengatakan
jaringan kulit Nyeri akut
merasa nyeri pada bagian
Nyeri akut
kaki sebelah kiri yang
telah dilakukan tindakan
41

operasi.
P = Nyeri
Q = Seperti ditusuk-tusuk
R = Bagian kaki sebelah
kiri
S = 5 ( nyeri sedang)
T = 5-10 menit
DO : - klien tampak
meringis
- Klien hanya
berbaring
terlentang
- Skala nyeri 5
(nyeri sedang)
- TTV
TD : 120/70mmhg
N : 97x/menit
S : 36,6 0C
- Klien tampak
gelisah

RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn.M

Ruang Rawat : RR IBS

Diagnosa Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi


Keperawatan
Pre Operatif : Setelah dilakukan tindakan 1.Observasi TTV pada klien dan tingkat
42

perawatan selama 1x20 menit kecemasan klien


diharapkan kecemasan klien
1. Ansietas 2. Motivasi klien untuk tidak terlalu cem
berkurang dengan kriteria hasil:

1. Klien tampak tenang 3.Jelaskan pada klien bahwa kecemasan


2. Klien tidak tampak adalah masalah yang banyak dialami ora
gelisah lagi lain dalam situasi sebelum operasi.
3. Klien siap untuk 4. Anjurkan klien ditemani keluarganya.
menghadapi operasi

RENCANA KEPERAWATAN
45

Nama Pasien : Tn. M

Ruang Rawat : RR IBS

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi


43

Intra Operatif : Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji TTV klien


keperawatan selama 1x2 jam 2. Kaji jumlah darah yang
2. Resiko diharapkan resiko pendarahan dapat keluar saat operasi
perdarahan teratasi dengan kriteia hasil: 3. Kolaborasi dengan tim m
dalam penanganan resik
1.Tidak terjadi pendarahan yang pendarahan
cukup banyak pada saat tindakan

2. TTV dalam batas normal

- TTV
TD : 120/80mmhg
N : 97x/menit
S : 36,5 0C

RR : 20 x/mnt

RENCANA KEPERAWATAN 46

Nama Pasien : Tn.M

Ruang Rawat : RR IBS

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi


44

Post Operatif : Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV dan skala nyeri
keperawatan selama 3x2 jam klien
3.Nyeri akut diharapkan rasa nyeri
berkurang dengan kriteria 2. Atur posisi klien senyaman
hasil: mungkin dengan berbaring terlentang

1.Klien tampak tidak meringis 3. Ajarkan teknik nafas dalam

2. Klien tampak tenang 4. Kolaborasi dengan dokter dalam


pemberiaan obat analgesik.
3. Skala nyeri berkurang

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN 47

Pre Operatif
Hari/Tanggal
Implementasi Evaluasi (SOAP
Jam
1.Observasi TTV pada klien dan tingkat S: Klien masih merasa bingun
kecemasan klien. khawatir dengan akibat dari ko
Selasa, dihadapi sebelum menjalani o
2. Motivasi klien untuk tidak terlalu cemas
14 Januari 2020 O: - Klien tampak lemas
3. Jelaskan pada klien bahwa kecemasan
08.00 wib adalah masalah yang banyak dialami orang - Klien tampak pucat
lain dalam situasi sebelum operasi. - TTV : TD: 130/80mmh
N : 80x/menit
4. Anjurkan klien untuk ditemani RR : 22x/menit
keluarganya. S : 36,6 0C
- Tingkat kecemasan kli

A: Masalah teratasi

P : Hentikan intervensi
45

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN 48


Intra Operatif
Hari/Tanggal
Implementasi Evaluasi (
Jam
1. Kaji TTV klien S:-
2. Kaji jumlah darah yang keluar saat operasi
Selasa, 3. Kolaborasi dengan tim medis dalam O : -Klien terpasang infu
penanganan resiko pendarahan tangan kanan.
14 Januari 2020
- Tampak kasa ste
10.15 wib - Klien terpasang b
- TTV : TD : 110/
N: 86x/me

S : 36,6 0C

RR : 22x/me

A: Masalah belum terata

P : Lanjutkan intervensi

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN 49


Post Operatif
Hari/Tanggal
Implementasi Evaluasi (SOA
Jam
46

1. Observasi TTV dan skala nyeri klien S : klien masih merasakan nyeri p
sebelah kiri pada luka post opera
Selasa, 2. atur posisi klien senyaman mungkin
dengan berbaring terlentang. P = Nyeri, Q = Seperti ditusuk-tu
14 Januari 2020 abdomen
3. ajarkan teknik nafas dalam S = 5 ( nyeri sedang), T = 5-10 m
11.30 wib
O: - Klien tampak meringis
4. kolaborasi dengan dokter dalam
- Klien tampak lemas
pemberiaan obat analfilaktik.
- TTV : TD : 136/80mmhg
N: 86x/menit
S : 36, 0C
RR : 20x/menit
- Klien tampak berbaring te
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Observasi TTV dan skala
2. Ajarkan teknik nafas dala
3. Kolaborasi dalam pember

50
DAFTAR PUSTAKA

Gruendemann, Barbara J. dan Billie Fernsebner. 2010. Keperawatan


Perioperatif. Jakarta : EGC
Marrelli, T.M. 2007. Buku saku Dokemtasi Keperawatan. Jakarta : EGC
Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan Yogyakarta : Moca Media
Taylor, Cynthia M. Taylor. 2011. Diagnosa keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta : EGC
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8
vol.3. EGC. Jakarta

Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta:


EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat
Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC)  Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
47

Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:


Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-
2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai