Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

NEGLECTED FRAKTUR LEFT NECK FEMUR


RUANG PERAWATAN LONTARA 2 BAWAH BELAKANG (BEDAH ORTHOPEDI)

OLEH :

WIWIK KRISNAWATI

R014191004

Mengetahui:

Preseptor Klinik Preseptor Institusi

Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp., M.Kes

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi
1. Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorsinya (Smeltzer & Bare, 2001). Sedangkan
menurut Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia (2017) mengatakan bahwa
fraktur merupakan terputusnya kontuinitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang.
2. Neglected fractures
Neglected fracturs adalah fraktur yang terlantar penanganannya, karena
tidak dilayani dengan baik (proper treatment) (Temyang, 2006). Definisi lain
mengatakan, bahwa neglected fractures (fraktur terlantar) adalah fraktur yang
penangannya lebih dari 72 jam. Menurut Ayu (2014) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa femur merupakan tulang yang paling banyak mengalami
neglected fractures.
Tulang femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat yang dimiliki
tubuh yang berfungsi penting untuk mobilisasi atau berjalan. Tulang femur lebih
sering mengalami fraktur daripada tulang yang lain karena posisi saat jatuh dan lebih
sulit mempertahankan posisi pada tulang tungkai atas dibandingkan dengan tulang
pada tungkai bawah.

B. Klasifikasi
1. Klasifikasi Fraktur
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan) menurut (Dosen Keperawatan
Medikal-Bedah Indonesia, 2017) terdiri dari:
1) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup (fraktur simple) menurut (Smeltzer & Bare, 2001) tidak
menyebabkan robeknya kulit
2) Fraktur terbuka (open/compound)
Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan
luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang.
b. Berdasarkan komplet atau ketidakkompleten fraktur :
1) Fraktur komplet, jika garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang. Menurut Smeltzer & Bare (2001) merupakan
patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran
(bergeser dari posisi normal)
2) Fraktur inkomplet, jika garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
atau patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma :
1) Fraktur transversal : fraktur yang arah garis patahnya melintang pada tulang
dan terjadi akibat trauma angulasi atau langsung. Fraktur transversal terjadi
sepanjang garis tengah tulang.
2) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu (garis tengah) tulang dan terjadi akibat trauma angulasi juga (lebih
tidak stabil disbanding trasversal).
3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral atau
memuntir seputar batang tulang dan disebabkan oleh trauma rotasi.
d. Berdasarkan jumlah garis patah :
1) Fraktur komunitif : garis patah lebih dari satu fragmen atau pecah menjadi
beberapa fragmen dan saling berhubungan
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu, tetapi tidak berhubungan. Jika
ada dua garis patah, disebut fraktur bifocal
3) Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu, tetapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur dan fraktur tulang belakang
e. Berdasarkan bergeser atau tidak bergeser :
1) Fraktur undispaced (tidak bergeser), garis patah komplet, tetapi kedua
fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh
2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen fraktur yang juga
disebut lokasi fragmen.
2. Klasifikasi atau derajat neglected fracture
a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari sampai 3 minggu
b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu sampai 3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan sampai kurang lebih 1 tahun
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1 tahun

C. Etiologi
1. Fraktur
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsosbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer & Bare,
2001). Penyebab fraktur menurut (Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia,
2017) adalah sebagai berikut :
a. Traumatik : cedera langsung, cedera tidak langsung, dan tarikan otot
b. Patologis : tumor tulang (jinak atau ganas), infeksi seperti osteomyelitis, rakhitis
2. Neglected fractures
Neglected fractures atau fraktur yang terabaikan disebabkan karena
terlambat mendapatkan penanganan. Ayu (2014) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa neglected fractures banyak dialami pada femur dan telah mendapatkan
perawatan oleh dukun patah (bone setter) sebelum ke Rumah Sakit dan umumnya
terjadi pada pendidikan rendah dan sosial ekonomi rendah. Peneliti beranggapan
bahwa hal ini dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan masih
rendah, kepercayaan terhadap dukun masih tinggi daripada dokter, ketakutan
masyarakat akan tindakan pembedahan dan pengetahuan masih rendah.

D. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer & Bare (2001) tanda dan gejala fraktur antara lain:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang
2. Hilangnya fungsi terjadi setelah fraktur, sehingga bagian-bagian tidak dapat
digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
3. Deformitas terjadi akibat pergeseran fragmen pada fraktur. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya otot
4. Pemendekan ekstremitas terjadi pada fraktur panjang
5. Krepitus teraba saat palapasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur menurut Dosen Keperawatan Medikal-Bedah
Indonesia (2017) adalah :
1. Komplikasi awal, yaitu kerusakan arteri, sindrom kompartemen, fat embolism
syndrome, infeksi, syok, dan nekrosis avaskuler
2. Komplikasi dalam waktu lama :
a. Delayed union (kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung)
b. Nonunion (kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan)
c. Malunion (penyembuhan tulang yang ditandai dengan peningkatan kekuatan dan
perubahan bentuk/deformitas). Malunion diperbaiki dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
Pada neglected fracture terdapat beberapa komplikasi yang paling sering terjadi yaitu
malunion, delayed union, non union dan osteomyelitis kronik (Maheswari, 2002;
Solomon, Warwick, & Nayagam, 2010)

F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang lengkap
mengenai kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme trauma; pemeriksaan
fisik yang lengkap dan menyeluruh, serta pemeriksaan penunjang. Terdapat berbagai
macam pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan fraktur menurut
Smeltzer & Bare (2001) antara lain:
1. Sinar-X menggambarkan lokasi fraktur, kepadatan tulang, tekstur, erosi dan
perubahan hubungan tulang. Dapat menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan,
adanya cairan, iregulitas, dan perubahan struktur sendi.
2. CT scan (Computed tomografi) menunjukkan abnormalitas fraktur yang kompleks.
Dapat juga menunjukkan adanya tumor jaringan lunak atau cedera ligament atau
tendon, digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang
didaerah yang sulit dievaluasi (mis. Asetabulum)
3. Magnetic resonance imaging (MRI), untuk memperlihatkan abnormalitas (mis,
tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang)

G. Penatalaksanaan
Pada fraktur penting ditanyakan waktu terjadi kecelakaan, menurut Dosen
Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia (2017) waktu emas atau golden period pada
fraktur adalah 1 sampai 6 jam sehingga perlu dengan cepat mendapatkan penanganan.
Apabila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara singkat, cepat, dan lengkap, kemudian lakukan pemeriksaan
foto radiologis.
Pada fraktur tertutup, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan konservatif atau
operatif. Sedangkan pada fraktur terbuka harus secepat mungkin untuk mencegah
terjadinya komplikasi infeksi. Terdapat prinsip penanganan fraktur menurut (Smeltzer &
Bare, 2001) antara lain:
1. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur atau setting fraktur yaitu mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Reduksi dilakukan untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisistasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Sebelum direduksi dilakukan, harus mendapatkan izin pasien untuk melakukan
tindakan, pemberian analgesik sesuai ketentuan, ekstremitas ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
a. Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, dan alat imobilisasi akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x perl
dilakukan untuk mengetahui fragmen tulang dalam kesejajaran yang benar.
b. Traksi
Dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Akan terbentuk kalus dan terlihat
dalam pemeriksaan sinar-x ketika tulang sudah sembuh dan dapat dipasang gips
atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
c. Reduksi terbuka
Fragmen tulang direduksi melalui tindakan pembedahan dengan menggunakan
alat fiksasi interna seperti pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam
sehingga dapat mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang terjadi.
2. Imobilisasi fraktur
Dilakukan setelah fraktur direduksi untuk mempertahankan posisi dan kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan.
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Dilakukan untuk mengembalikan secara bertahap untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga diri.
Proses penyembuhan tulang menurut Dosen Keperawatan Medikal-Bedah
Indonesia (2017) terdiri atas lima stadium yaitu sebagai berikut:
1. Stadium 1
Pembentukan hematoma, yang berlangsung dalam 24 sampai 48 jam, perdarahan
pada fase ini berhenti sama sekali.
2. Stadium 2
Proliferasi seluler, yang berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung pada frakturnya
3. Stadium 3
Pembentukan kalus, berlangsung pada 4 minggu setelah fraktur menyatu
4. Stadium 4
Konsolidasi yang merupakan proses lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban normal
5. Stadium 5
Remodelling terjadi selama beberapa bulan atau tahun dan akhirnya membentuk
struktur tulang yang mirip dengan normalnya.
Proses penyembuhan tulang menurut Smeltzer & Bare (2001) terdiri dari
inflamasi, proliferasi sel, fibroblast, pembentukan kallus, osifikasi, dan remodeling. Proses
penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemerikasaan sinar-x.
1. Inflamasi
Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma
pada tempat patah tulang. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel
darah putih besar), yang akan membersihakan daerah tersebut. Terjadi inflamasi,
pembengkakan, dan nyeri.
2. Proliferasi sel
Terbentuk benang-benang fibrin, hematoma akan mengalami organisasi terjadi
dalam 5 hari dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan
osteoblast.
3. Fibroblast dan osteoblast
Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan yang berkembang dari osteosit, sel
endostel, dan sel periosteum. Kalus tulang rawan dirangsang oleh gerakan mikro
minimal pada tempat patah tulang.
4. Pembentukan kallus
Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, dan perlu waktu 3
sampai 4 minggu agar fragmen tulang bergabung dalam tulang rawan atau jaringan
fibrus.
5. Osifikasi
Proses penulangan endokondral dari pembentukan kalus dan terjadi dalam 2 sampai
3 minggu. Mineral ditimbun secara terus menerus sampai tulang benar-benar telah
bersatu dengan keras. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, proses
penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
6. Remodeling
Pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru kesusunan struktural
sebelumnya dan memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Meliputi dampak gangguan terhadap pasien, menjaga kesehatan pasien secara umum,
melaksanakan Activity Daily Living secara mandiri, penanganan modalitas
pengobatannya. Homeostatik sistemik dipastikan baik, asupan nutrisi yang optimal,
pencegahan komplikasi immobilitas.
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
1) Nyeri
Gejala paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan muskuloskletal,
dilakukan melalui metode PQRST :
a) Provoking Incident : pencetus atau penyebab nyeri
b) Quality of Pain : rasa nyeri atau gambaran nyeri yang dirasakan
c) Region : menentukan lokasi atau area nyeri dan penyebarannya
d) Severity (Scale) : seberapa sakit nyeri yang dirasakan
e) Time : kapan nyeri timbul
2) Deformitas
Kelainan bentuk tubuh, perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma
sebelumnya, penggunaan pengobatan alternative serta persepsi pasien terhadap
citra tubuh
3) Kekakuan sendi
Potensial mengakibatkan gangguan aktivitas sehari-hari
4) Pembengkakan/ benjolan
Pembengkakan menandakan ada bekas trauma baik pada jaringan lunak, sendi
atau tulang. Berapa lama pembengkakan terjadi
5) Kelemahan Otot
Waktu dan sifat kelemahan, apakah terjadi secara bertahap atau tiba-tiba,
lokasi tubuh yang mengalami kelemahan (seluruh tubuh atau pada daerah
tertentu), parestesia.
6) Gangguan sensibilitas
Gangguan muskuloskletal dapat melibatkan kerusakan saraf upper/lower
motor neuron baik local ataupun seluruhnya. Dan dapat pula mengakibatkan
gangguan sirkulasi darah (sianosis, oedema)
b. Riwayat klinis
1) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan saat masuk, kronologis terjadinya gangguan dan persepsi pasien
terhadap keluhan yang dirasakannya saat ini. Data yang didapat secara
subjektif dapat menentukan diagnose yang tepat untuk penanganan masalah
pasien, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun
patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainnya
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit yang mungkin dapat berhubungan
dengan penyakit saat ini. Riwayat trauma yang pernah dialami pasien dapat
menentukan sejauh mana kecemasan yang dirasakan pasien saat ini. Selain itu
penggunaan obat-obatan dan riwayat alergi.
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung.
Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami
osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat
penyembuhan tulang.
3) Bio-psiko-sosio-spiritual
Meliputi dimensi yang memungkinkan didapatkannya data tentang persepsi,
status emosi, kognitif dan perilaku pasien. Pengkajian dilakukan dengan
memasukkan unsure penampilan, perilaku,afek, suasana hati dan kognitif.
Tingkat kesadaran, penggunaan bahasa, memori dan tingkat pengetahuan
pasien dan keluarga juga merupakan hal yang harus dikaji.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok,
anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum
tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan resusitasi untuk menstabilkan kondisi
pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain, misalnya
pada fraktur patologis sebagai salah satu penyebab terjadinya fraktur.
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal dilakukan.
Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
1) Bandingkan dengan bagian yang sehat
2) Perhatikan posisi anggota gerak
3) Keadaan umum penderita secara keseluruhan
4) Ekspresi wajah karena nyeri
5) Lidah kering atau basah
6) Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei pada
seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
7) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
8) Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
9) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
10) Perhatikan kondisi mental penderita
11) Keadaan vaskularisasi
b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan palpasi adalah
sebagai berikut:
1) Temperatur setempat yang meningkat
2) Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
3) Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
4) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna
kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
5) Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya
e. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan adanya fraktur
sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan
sebagai konfirmasi adanya fraktur, menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi
fraktur, untuk melihat adakah kecurigaan keadaan patologis pada tulang, untuk
melihat benda asing—misalnya peluru, dan tentunya untuk menentukan teknik
pengobatan atau terapi yang tepat.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of two, yaitu:
dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior
dan lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan
di bawah sendi yang mengalami fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-anak
sebaiknya dilakukan foto pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur
epifisis; dua kali dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi.
3. Pola kesehatan fungsional
a. Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan,
nyeri)
1) Sirkulasi
(a) Hipertensi (kadang–kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
(b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
(c) Penurunan/tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera,pengisian
kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
(d) Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
2) Neurosensori
(a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
(b) Kebas/kesemutan (parestesia)
(c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi
(d) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
3) Keamanan
(a) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
(b) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-
tiba).
4) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat karena
klien harus menjalani rawat inap.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.
6) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain
itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
7) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan
gerak yang di alami klien
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma, prosedur bedah)
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal,
kerusakan integritas struktur tulang, program pembatasan gerak
3. Risiko infeksi
4. Resiko disfungsi neurovascular perifer
5. Resiko cedera(NANDA, 2015).
C. Rencana/Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Nyeri akut berhubungan Kontrol nyeri Manajemen nyeri
dengan agen cedera fisik Kriteria hasil : a. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
(trauma, prosedur bedah) a. Mengenali kapan nyeri terjadi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
Definisi :
b. Menggambarkan faktor penyebab intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus
Pengalaman sensori dan
c. Menggunakan tindakan b. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
emosional tidak
pengurangan nyeri tanpa analgesik ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat
menyenangkan yang
d. Menggunakan analgesik yang berkomunikasi secara efektif
muncul akibat kerusakan
jaringan actual atau
direkomendasikan c. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui

potensial atau yang Tingkat nyeri pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien
digambarkan sebagai Kriteria hasil : terhadap nyeri
kerusakan (International a. Tidak ada nyeri yang dilaporkan d. Gali pengetahuan dan kepercayaan klien tentang nyeri
Association for the Study b. Frekuensi napas, denyut nadi, dan e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lalu
of Pain); awitan yang tiba- tekanan darah dalam rentang f. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri,
tiba atau lambat dari normal berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari
intensitas ringan hingga
ketidaknyamanan akibat prosedur
berat dengan akhir yang
g. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
dapat diantisipasi atau
respon pasien terhadap ketidaknyamanan
diprediksi.
h. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
i. Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan nyeri
j. Berikan penurun nyeri yang optimal
k. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu
menurunkan nyeri
Pemberian analgesik
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien
2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
obat analgesik yang diresepkan
3. Cek adanya riwayat alergi obat
4. Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketika
lebih dari satu diberikan
5. Tentukan pilihan obat analgesik berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
6. Monitor tanda vital sebelum dan setelah memberikan
analgesik
7. Berikan analgesik sesuai waktu paruhnya, terutama pada
nyeri yang berat
8. Evaluasi keefektifan analgesik dengan interval yang teratur
pada setiap setelah pemberian
9. Dokumentasikan respon terhadap analgesik dan adanya efek
samping
10. Kolaborasikan dengan dokter apakah obat, dosis, rute
pemberian, atau perubahan interval dibutuhkan
2. Hambatan mobilitas fisik Pergerakan Perawatan traksi/imobilisasi
berhubungan dengan Kriteria hasil : a. Posisikan kesejajaran tubuh yang sesuai
gangguan a. Keseimbangan tidak terganggu b. Pertahankan posisi yang tepat pada tempat tidur untuk
musculoskeletal, b. Mampu bergerak dengan mudah meningkatkan traksi
kerusakan integritas c. Yakinkan berat yang tepat diaplikasikan
struktur tulang, program d. Yakinkan bahwa tali dan katrol tergantung bebas
pembatasan gerak e. Yakinkan bahwa tarikan tali dan berat tetap sepanjang aksis
Definisi : dari tulang yang patah
Keterbatasan dalam f. Pertahankan traksi sepanjang waktu
gerakan fisik atau satu g. Monitor adanya komplikasi imobilisasi
lebih ekstremitas secara h. Berikan perawatan kulit yang sesuai pada area gesekan
mandiri dan terarah i. Instruksikan pentingnya nutrisi adekuat untuk penyembuhan
tulang
Perawatan tirah baring
a. Jelaskan alasan perlunya tirah baring
b. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang
tepat
c. Posisikan sesuai body alignment yang tepat
d. Hindari penggunaan kain linen kasur yang teksturnya kasar
e. Jaga linen kasur tetap bersih, kering dan bebas kerutan
f. Balikkan pasien sesuai dengan kondisi kulit
g. Monitor kondisi kulit pasien
h. Ajarkan latihan di tempat tidur dengan cara yang tepat
i. Bantu menjaga kebersihan (misalnya dengan menggunakan
deodorant atau farfum)
j. Aplikasikan aktifitas sehari-hari
k. Monitor komplikasi tirah baring
3. Resiko infeksi Keparahan infeksi Kontrol infeksi
Faktor resiko : Kriteria hasil : a. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk
Pertahanan primer tidak a. Tidak ada kemerahan setiap pasien
adekuat (gangguan b. Tidak ada demam b. Ganti peralatan per pasien sesuai protokol institusi
integritas kulit, prosedur c. Tidak ada nyeri c. Batasi jumlah pengunjung
invasive) d. Tidak ada peningkatan sel darah d. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien
Definisi : putih e. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan yang sesuai
Rentan mengalami invasi e. Cairan (luka) tidak berbau busuk f. Pakai sarung tangan yang steril dengan tepat
dan multiplikasi Kontrol risiko g. Pastikan penangana aseptik dari semua saluran IV
organisme patogenik Kriteria hasil h. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
yang dapat mengganggu a. Mengenali perubahan status i. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
kesehatan kesehatan j. Dorong intake cairan yang sesuai
b. Memonitor perubahan status k. Dorong untuk beristirahat
kesehatan l. Berikan terapi antibiotik yang sesuai
c. Memonitor faktor risiko individu m. Anjurkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala
d. Memonitor faktor risiko di infeksi dan kapan harus melaporkannya kepada penyedia
lingkungan (Moorhead, Johnson, perawatan kesehatan
Maas, & Swanson, 2013) n. Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana
menghindari infeksi
Perlindungan infeksi
a. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik maupun
local
b. Monitor hitung mutlak granulosit, WBC, dan hasil-hasil
lainnya
c. Batasi jumlah pengunjung
d. Pertahankan asespsis untuk pasien beresiko
e. Periksa kulit untuk adanya kemerahan, kehangatan ekstrem
f. Periksa kondisi sayatan atau bedah
g. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
h. Berikan asupan cairan, dengan tepat
i. Anjurkan istirahat
j. Beri antibiotik
Monitor tanda-tanda vital
a. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernapasan
dengan tepat
b. Monitor tekanan darah setelah pasien minum obat jika
memungkinkan
c. Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermia dan
hipertermia
d. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
e. Monitor oksimetri nadi
f. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tanda-tanda
vital (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
4. Resiko disfungsi Perfusi jaringan perifer Perawatan sirkulasi : Insufisiensi arteri (atau) vena
neurovascular perifer Kriteria hasil : a. Lakukan pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler atau
Faktor resiko : f. Pengisian kapiler jari kaki tidak penialian yang komprehensif pada sirkulasi perifer (denyut
Fraktur, imobilisasi, terganggu nadi perifer, edema, waktu pengisian kapiler, warna, dan
kompresi mekanik (mis, g. Suhu kulit ujung kaki dan tangan suhu)
balutan), pembedahan tidak terganggu b. Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam, dengan tepat
ortopedik, trauma h. Denyut nadi teraba c. Inspeksi kulit apakah terdapat luka tekan dan jaringan yang
Definisi : i. Tanda-tanda vital stabil tidak utuh
Rentan terhadap j. Tidak ada nekrosis, kerusakan d. Lakukan pembalutan yang tepat sesuai dengan tipe dan
gangguan sirkulasi, kulit, kelemahan otot, dan mati ukuran luka
sensasi, atau gerakan rasa e. Monitor level ketidaknyamanan atau nyeri
ekstremitas, yang dapat f. Dukung ROM pasif dan aktif, terutama pada ekstremitas
mengganggu kesehatan bawah, selama beraktivitas
g. Pertahankan hidrasi yang cukup untuk menurunkan viskositas
darah
5. Resiko cedera Penyembuhan tulang Pencegahan jatuh
Faktor resiko : Kriteria hasil : a. Identifikasi kekurangan baik kognitif atau fisik dari pasien
Hambatan fisik a. Pengembalian fungsi skeletal yang mungkin meningkatkan potensi jatuh pada lingkungan
(gangguan struktur b. Penyembuhan tulang (pembentukan tertentu
musculoskeletal) kallus, osifikasi, konsolidasi, dan b. Kaji ulang riwayat jatuh bersama dengan pasien dan keluarga
Definisi : remodeling) c. Sarankan perubahan gaya berjalan terutama kecepatan pada
Rentan mengalami c. Tidak ada edema, nyeri, dan infeksi pasien
cedera fisik akibat tulang d. Ajarkan pasien untuk beradaptasi terhadap modifikasi gaya
kondisi lingkungan yang berjalan
berinteraksi dengan e. Bantu ambulasi individu yang memiliki ketidaksimbangan
sumber adaptif dan f. Letakkan benda-benda dalam jangkauan yang mudah bagi
sumber defensive pasien
individu, yang dapat g. Ajarkan anggota keluarga mengenai faktor resiko yang
mengganggu kesehatan berkontribusi terhadap adanya kejadian jatuh dan bagaimana
keluarga bisa menurunkan resiko ini
h. Berikan penanda untuk memberikan peringatan pada staf
bahwa pasien beresiko tinggi jatuh
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)

Cedera traumatik Patologis

Kekuatan daya trauma lebih besar dari kemampuan daya


menahan tulang

Fraktur femur

Peningkatan pelepasan mediator Tindakan invasif


kimia : prostaglandin,
histamine,dan bradikinin
Pembedahan Fraktur terbuka Fraktur tertutup
Penekanan berlebihan pada
Merangsang nosiceptor neurovaskuler
mengirim impuls ke saraf Port de entry Keterbatasan
perifer aferen menuju ke kuman pathogen pergerakan fisik
medulla spinalis terputusnya Penurunan aliran darah ke
kontinuitas perifer
Korteks serebri jaringan Hambatan
Risiko Infeksi
Mobilitas Fisik
Iskemia

Nyeri Risiko Cedera


Resiko disfungsi neurovascular
perifer
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, O. (2014). Karakteristik Penderita Neglected Fractures yang Dirawat di RSUP H .


Adam Malik Medan. The Journal of Medical School, 47(2), 68–71.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
interventions clasification (NIC). Singapore: Elsevier.
Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia. (2017). Rencana asuhan keperawatan
medikal-bedah : Diagnosis NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Maheswari, J. (2002). Essential Orthopaedics (3rd ed.). New delhi: Mehta Publisher.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
clasification (NOC). Singapore: Elsevier.
NANDA. (2015). Nursing diagnoses definitions and clasification. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner &
suddarth. Jakarta: EGC.
Solomon, L., Warwick, D., & Nayagam, S. (2010). Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures (9th ed.). London: Hodder Arnorld.
Temyang, A. . (2006). Himpunan Makalah, Prof. dr. H. Soelarto Reksoprodjo, SpB., SpOT.
Jakarta: Pelangi warna kreasindo.

Anda mungkin juga menyukai