Anda di halaman 1dari 23

Program Profesi Ners

Lontara 2 Bawah Belakang (Bedah Orthopedi))


RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR TIBIA

Oleh:
NUR HIKMAH
R014191009

Preseptor Klinik Preseptor Institusi

( ) (Dr.Rosyidah Arafat, M.Kep., Ns.Sp.Kep.MB)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. DEFINISI
Fraktur didefinisikan sebagai gangguan pada kontinuitas tulang, tulang rawan
(sendi), dan lempeng epifisis (Tanto, et al. 2014). Fraktur juga merupakan cedera
traumatik dengan presentase kejadian yang tinggi, cedera tersebut dapat menimbulkan
perubahan yang signifikan pada kualitas hidup seseorang sebagai akibat dari pembatasan
aktivitas, kecacatan, dan kehilangan pekerjaan (Black and Hawks 2014). Sekitar 25%
populasi penduduk yang mengalami cedera muskuloskeletal setiap tahun, dan jumlah
cedera yang signifikan ini meliputi fraktur atau patah tulang (Kowalak, Welsh and Mayer
2014).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorbsinya
(Smeltzer & Bare, 2003).
.
B. ETIOLOGI
Menurut (Dewi, 2014), penyebab etiologi terjadinya fraktur yaitu trauma, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstem, keadaan patologis
osteoporosis, neoplasma, pembengkakan dan warna local pada kulit. Adapun trauma
fraktur terbagi 3 yaitu :
1. Trauma langsung
Seperti benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut akibat jatuh
atau kecelakaan lalu lintas
2. Trauma tidak langsung
Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari area benturan.
3. Fraktur patologis
Fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa trauma. Contoh fraktur
patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan tumor tulang.
C. KLASIFIKASI FRAKTUR
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan) terdiri dari:
a. Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup (fraktur simple) menurut (Smeltzer & Bare, 2001) tidak
menyebabkan robeknya kulit
b. Fraktur terbuka (open/compound)
Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan luka
pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang.
2. Berdasarkan komplet atau ketidakkompleten fraktur :
a. Fraktur komplet, jika garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang. Menurut Smeltzer & Bare (2001) merupakan
patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran
(bergeser dari posisi normal)
b. Fraktur inkomplet, jika garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
atau patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma :
a. Fraktur transversal : fraktur yang arah garis patahnya melintang pada tulang
dan terjadi akibat trauma angulasi atau langsung. Fraktur transversal terjadi
sepanjang garis tengah tulang.
b. Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu (garis tengah) tulang dan terjadi akibat trauma angulasi juga (lebih tidak
stabil disbanding trasversal).
c. Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral atau memuntir
seputar batang tulang dan disebabkan oleh trauma rotasi.
4. Berdasarkan jumlah garis patah :
a. Fraktur komunitif : garis patah lebih dari satu fragmen atau pecah menjadi
beberapa fragmen dan saling berhubungan
b. Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu, tetapi tidak berhubungan. Jika
ada dua garis patah, disebut fraktur bifocal
c. Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu, tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur femur dan fraktur tulang belakang
5. Berdasarkan bergeser atau tidak bergeser :
a. Fraktur undispaced (tidak bergeser), garis patah komplet, tetapi kedua fragmen
tidak bergeser, periosteumnya masih utuh
b. Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen fraktur yang juga
disebut lokasi fragmen.

D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut (Dewi, 2014) manifestasi klinis umum pada fraktur meliputi :
a. Luka pada daerah yang terkena membengkak dan disertai rasa sakit
b. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma dan edema.
c. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
d. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
e. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
f. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Pada pemeriksaan foto X-Ray, dua pertanyaan harus terjawab: apakah terdapat
fracture dan apakah mengalami pergeseran. Biasanya patahan itu jelas, tetapi fracture
yang terimpaksi dapat terlewatkan bila tidak hati-hati. Penilaian ini penting karena
fracture yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I dan II Garden) dapat membaik
setelah fiksasi internal, sementara fracture yang displaced sering mengalami non-
union dan nekrosis avaskular.

E. KOMPLIKASI
American Academy of Orthopaedic Surgeons (2017) menyatakan bahwa
komplikasi yang dapat terjadi terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Pre Operatif
1) Sindrom Kompartemen
Kondisi menyakitkan ini berkembang ketika lengan atau tungkai yang terluka
membengkak dan tekanan terbentuk di dalam otot. Ketika ini terjadi, operasi
segera untuk menghilangkan tekanan diperlukan. Jika tidak diobati, sindrom
kompartemen dapat menyebabkan kerusakan jaringan permanen dan
kehilangan fungsi.
2) Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar dan dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
3) Fat Emboli Sindrom
Fat Emboli Sindrom (FES) adalah komplikasi serius yang terjadi pada kasus
fraktur tulang ranjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi,
hipertensi, takipnue dan demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
volkman’s ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
b. Post Operatif
1) Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi paling umum dari fraktur terbuka. Infeksi
adalah hasil dari bakteri memasuki luka pada saat cedera. Infeksi dapat terjadi
sejak awal selama penyembuhan atau jauh setelah luka dan patah telah
sembuh. Infeksi tulang dapat menjadi kronis (osteomielitis) dan menyebabkan
operasi lebih lanjut.
2) Nonunion
Beberapa fraktur terbuka mungkin mengalami kesulitan penyembuhan karena
kerusakan suplai darah di sekitar tulang pada saat cedera. Jika tulang tidak
sembuh, operasi lebih lanjut, termasuk pencangkokan tulang ke lokasi fraktur
dan ulangi fiksasi internal, mungkin diperlukan.
3) Arthritis Pascatrauma
Artritis posttraumatic adalah jenis artritis yang berkembang setelah cedera.
Bahkan ketika tulang Anda sembuh secara normal, tulang rawan artikular
yang menutupi tulang bisa rusak, menyebabkan rasa sakit dan kekakuan dari
waktu ke waktu. Artritis parah terjadi pada sebagian kecil pasien dengan
fraktur patela. Artritis ringan hingga sedang — suatu kondisi yang disebut
chondromalacia patella — jauh lebih umum.
4) Kelemahan otot
Beberapa pasien mungkin memiliki kelemahan permanen pada otot paha
depan di bagian depan paha setelah fraktur. Beberapa kehilangan gerak pada
lutut, termasuk meluruskan (ekstensi) dan menekuk (fleksi), juga sering
terjadi. Kehilangan gerak ini biasanya tidak melumpuhkan.
5) Sakit kronis
Nyeri jangka panjang di depan lutut sering terjadi pada fraktur patela.
Meskipun penyebab nyeri ini tidak sepenuhnya dipahami, ada kemungkinan
bahwa hal itu terkait dengan artritis posttraumatic, kekakuan, dan kelemahan
otot. Beberapa pasien menemukan bahwa mereka lebih nyaman mengenakan
penyangga atau penyangga lutut.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rasjad (2011) dan American Academy of Orthopaedic Surgeons (2017)
menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Sinar X/Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
Sinar-X memberikan gambar struktur padat, seperti tulang. Rontgen dilakukan
dari sejumlah sudut yang berbeda untuk mencari fraktur dan untuk melihat
keselarasan tulang. Meskipun jarang, seseorang mungkin dilahirkan dengan
tulang ekstra di patela yang belum tumbuh bersama. Kondisi ini disebut patela
bipartit dan dapat disalahartikan sebagai fraktur. Sinar-X akan membantu
mengidentifikasi patella bipartit. Karena banyak orang mengalami kondisi di
kedua lutut.
b. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
c. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati
e. Pemeriksaan fisik, tepi-tepi fraktur sering dapat dirasakan melalui kulit, terutama
jika fraktur tersebut tergeser. Selama pemeriksaan, akan diperiksa apakah terjadi
hemarthrosis. Dalam kondisi ini, darah dari ujung tulang yang patah terkumpul di
dalam ruang sendi, menyebabkan pembengkakan yang menyakitkan. Jika terdapat
banyak darah di lutut, maka harus dikeringkan untuk membantu meringankan rasa
sakit.

G. PENATALAKSANAAN
Tata laksana fraktur terbuka bergantung pada derajat fraktur. Berdasarkan standar
manajemen fraktur terbuka pada ekstremitas bawah oleh British Orthopaedic
Association dan British Association of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgeons
2009, fraktur terbuka semua derajat harus mendapatkan antibiotic dalam 3 jam setelah
trauma. Antibiotik yang menjadi pilihan adalah ko-amoksiklav atau sefuroksim.
Apabila pasien alergi golongan penisilin, dapat diberikan klindamisin. Pada saat
debridemeen, antibiotic gentamisin ditambahkan pada regimen tersebut (Kowalak,
Welsh and Mayer 2014).
American Academy of Orthopaedic Surgeons (2017) dan (Muttaqin, 2008)
menyatakan bahwa penatalaksanaan fraktur terbuka yang dapat dilakukan yaitu:
a. Non operatif
1) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius
distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi.
2) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi
tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara
ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi berupaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera atau
alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera. Pasien dianjurkan untuk keluar dari tempat tidur dengan
dibantu ahli fisioterapi.
4) Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk
menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha dan untuk
memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan.
b. Debridemen dan Irigasi
Debridemen dan irigasi merupakan langkah pertama dalam mengendalikan risiko
infeksi. Dalam debridemen, semua bahan asing, bahan yang terkontaminasi dan
jaringan yang rusak dari luka akan dikeluarkan. Luka kemudian akan dicuci atau
diairi dengan beberapa liter larutan garam. Setelah luka dibersihkan, selanjutnya
mengevaluasi fraktur dan menstabilkan tulang. Patah tulang terbuka diobati
dengan fiksasi internal atau eksternal.
1) Fiksasi Internal
Fiksasi internal dapat digunakan untuk mengobati fraktur terbuka di mana:
a) Lukanya bersih
b) Ada kerusakan kulit atau jaringan minimal
c) Potongan-potongan tulang yang patah bisa disejajarkan dengan baik
Hal ini dapat dilakukan sebagai operasi awal atau ditunda jika jaringan lunak
perlu sembuh. Setelah fiksasi internal, anggota tubuh yang terluka akan
diimobilisasi dalam sling cast atau belat hingga fraktur sembuh. Selanjytnya
dapat diberikan antibiotik untuk jangka waktu tertentu untuk membantu
mencegah infeksi. Selama proses penyembuhan, luka harus selalu diperiksa
untuk memastikan tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) Fiksasi Eksternal
Fraktur terbuka yang parah pertama kali distabilkan dengan fiksasi eksternal.
Dalam operasi ini, akan dimasukkan sekrup atau pin logam ke tulang di atas
dan di bawah lokasi fraktur. Pin dan sekrup diproyeksikan keluar dari kulit
yang menempel pada logam atau batang serat karbon. Fiksasi eksternal
memiliki keuntungan menstabilkan tulang yang patah. Dalam beberapa kasus,
luka mungkin memerlukan debridemen lebih lanjut atau pencangkokan kulit
dan jaringan untuk menutupi tulang yang terluka. Fiksasi eksternal di tempat,
pasien sering dapat bangun dari tempat tidur dan bergerak meskipun luka
terbuka.
Dalam kebanyakan kasus, fixator eksternal tetap di tempatnya hanya sampai
aman untuk melakukan fiksasi internal. Namun, kadang-kadang, fixator
eksternal digunakan untuk menstabilkan tulang sampai penyembuhan selesai.
Ini kemudian dihapus selama prosedur kedua ketika fraktur sembuh.
c. Penatalaksanaan Pembedahan
1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire
(kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.
2. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF: Open Reduction internal
Fixation).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF: Open reduction Eksternal
Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil
untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk).
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesa
a. Data biografi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, alamat,
suku bangsa, status perkawinan, sumber biaya, sumber informasi.
b. Riwayat kesehatan masa lalu: Riwayat kecelakaan, Dirawat dirumah sakit, Obat-
obatan yang pernah diminum
c. Riwayat kesehatan sekarang: Alasan masuk rumah sakit, keluhan utama,
kronologis keluhan
d. Riwayat kesehatan keluarga: penyakit keturunan. Penyakit keluarga yang
berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
e. Riwayat psikososial: orang terdekat dengan klien, interaksi dalam keluarga,
dampak penyakit terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi klien,
mekanisme koping terhadap penyakitnya, persepsi klien terhadap penyakitnya,
sistem nilai kepercayaan
f. Pola kebersihan sehari- hari sebelum sakit dan selama sakit: Pola nutrisi, Pola
eliminasi, Pola Personal Hygiene, Pola Istirahat dan Tidur, Pola aktifitas dan
latihan, Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan,
2. Data Pengkajian Pasien
a. Aktifitas/istirahat
Gejala : kelemahan. Kelelahan, terdapat masalah pada mobilitas
Tanda :
1) Keterbatasan/ kelemahan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri).
2) Kelemahan dari ekstremitas yang terkena
3) Penurunan ROM
b. Sirkulasi
Tanda dan Gejala :
1) Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
2) Takikardia (respon stress, hipovolemia)
3) Penurunan/tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler
lambat, pusat pada bagian yang terkena.
4) Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Tanda dan Gejala :
1) Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot
2) Kebas/ kesemutan (parestesia)
3) Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit ) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
4) Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
d. Nyeri/ kenyamanan
Tanda dan Gejala :
1) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan
saraf
2) Spasme/ kram otot (setelah imobilisasi)
e. Keamanan
Tanda dan Gejala :
1) Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna
2) Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
f. Eliminasi
Tanda dan Gejala :
1) Hematuria
2) Sedimen urine
3) Perubahan output-GGA dengan kerusakan musculoskeletal
g. Pola nilai dan keyakinan
Tanda dan Gejala :
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan gerak
yang di alami klien.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai darah
ke jaringan
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi dan tekanan pada tonjolan
tulang
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
5. Risiko infeksi.
6. Risiko jatuh
C. Rencana Keperawatan
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Manajemen Nyeri
dengan agens cedera fisik jam, nyeri yang dirasakan klien berkurang dengan 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang
kriteria hasil: meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
Tingkat Nyeri berkurang, yang ditandai dengan: frekuensi, kualitas, intensitas atau berat nyero dan
- Nyeri yang dilaporkan berkurang faktor pencetus
- Panjang episode nyeri berkurang 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
- Tidak tampak ekspresi nyeri wajah ketidaknyamanan
- Dapat beristirahat dengan baik 3. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
Kontrol Nyeri yang ditandai dengan: (seperti hypnosis, relaksasi, terapi music, terapi
- Klien mampu mengenali kapan nyeri terjadi bermain, terapi aktivitas)
- Kolaborasi penggunaan obat analgesik 4. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap
- Klien melaporkan nyeri terkontrol kualitas hidup pasien (mis. Tidur, nafsu makan,
Tanda-tanda vital dalam kisaran normal pengertian, perasaan, hubungan)
5. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat, dan tim
kesehatan lainnya untuk memiih dan
mengimplementasikan tindakan penurun nyeri
nonfarmakologis
6. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk
membantu penurunan nyeri
7. Libatkan keluarga dalam modalitas penurun nyeri
Pemberian Analgesik
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan
keparahan nyeri
2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik yang diresepkan
3. Tentukan pilihan obat analgesik (narkotik, non
narkotik atau NSAID) berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
4. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
5. Evaluasi efektivitas pemberian analgesik setelah
dilakukan injeksi. Selain itu observasi efek
samping pemberian analgesik seperti depresi
pernapasan, mual muntah, mulut kering dan
konstipasi
Pengaturan Posisi
1. Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan
posisi
2. Imobilisasi bagian tubuh yang terkena dampak,
dengan tepat
3. Posisikan pasien untuk mengurangi dyspnea (mis.
Posisi semi fowler)
4. Dorong latihan ROM aktif dan pasif
5. Jangan memposisikan pasien dengan penekanan
pada luka
Monitor Tanda-Tanda Vital
1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
pernafasan dengan tepat
2. Monitor tekanan darah sebelum dan setelah
perubahan posisi
3. Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermia
dan hipertermia
Resiko disfungsi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Perawatan sirkulasi : Insufisiensi arteri (atau) vena
neurovascular perifer
jam, perfusi jaringan perifer efektif dengan kriteria
Faktor resiko : 1. Lakukan pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler
hasil:
Fraktur, imobilisasi, kompresi atau penialian yang komprehensif pada sirkulasi
Perfusi jaringan perifer efektif ditandai dengan:
mekanik (mis, balutan), perifer (denyut nadi perifer, edema, waktu
pembedahan ortopedik, trauma - Suhu kulit ujung kaki kiri dan kanan pasien
pengisian kapiler, warna, dan suhu)
dalam batas normal
2. Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam, dengan
- Kekuatan denyut nadi normal
tepat
- Pasien tidak mati rasa
3. Inspeksi kulit apakah terdapat luka tekan dan
- Pasien tidak pucat
jaringan yang tidak utuh
4. Lakukan pembalutan yang tepat sesuai dengan tipe
Status sirkulasi :
dan ukuran luka
- Capillary refill dalam batas normal
5. Monitor level ketidaknyamanan atau nyeri
- Tidak ada edema perifer
6. Dukung ROM pasif dan aktif, terutama pada
ekstremitas bawah, selama beraktivitas
7. Pertahankan hidrasi yang cukup untuk menurunkan
viskositas darah
Hambatan mobilitas fisik b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Exercise therapy: ambulation
gangguan muskuloskeletal: jam, hambatan mobilitas dapat teratasi dengan kriteria 1. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan
fraktur hasil: lihat respon pasien saat latihan.
- Joint movement: active. 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
- Mobility level ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
- Selft care: ADLs 3. Bantu klien untuk mengangkat tongkat saat
- Transfer performance berjalan dan cegah terhadap cedera.
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik 4. Kaji kemampuan pasien tentang mobilisasi
- Mengerti tujuan dan peningkatan mobilisasi. 5. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
- Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan secara mandiri sesuai kemampuan.
kekuatan dan kemampuan berpindah. 6. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
- Memperagakan penggunaan alat. bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien.
7. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
8. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan.
Defisit perawatan diri b/d
gangguan musculoskeletal Setelah perawatan selama 2x24 jam, defisit perawatan 1. Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan
diri klien teratasi dengan kriteria hasil: - Pertimbangkan budaya pasien saat
Bantuan perawatan Diri: Mandi/Kebersihan mempromosikan aktivitas perawatan diri
- Membantu pasien melakukan kebersihan diri - Tentukan jumlah dan tipe terkait dengan bantuan
yang diperlukan
- Letakkan handuk, sabun, deodorant, alat bercukur
dan asesoris lain yang diperlukan disisi tempat
tidur atau kamar mandi
- Sediakan lingkungan yang terapeutik dengan
memastikan kehangatan, suasana rileks, privasi dan
pengalaman pribadi
- Fasilitasi pasien untuk mandi sendiri dengan tepat
- Monitor kebersihan kuku, sesuai dengan
kemampuan merawat diri pasien
- Monitor integritas kulit pasien
- Berikan bantuan sampai pasien benar-benar
mampu merawat diri secara mandiri

Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... jam, Kontrol infeksi
resiko infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah

Keparahan infeksi digunakan untuk setiap pasien

- Tidak ada kemerahan 2. Ganti peralatan per pasien sesuai protokol institusi

- Tidak ada demam 3. Batasi jumlah pengunjung

- Tidak ada nyeri 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan

- Tidak ada peningkatan sel darah putih perawatan pasien

- Cairan (luka) tidak berbau busuk 5. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan

Kontrol risiko yang sesuai


6. Pakai sarung tangan yang steril dengan tepat
- Mengenali perubahan status kesehatan
7. Pastikan penangana aseptik dari semua saluran IV
- Memonitor perubahan status kesehatan
8. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
- Memonitor faktor risiko individu 9. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
- Memonitor faktor risiko di lingkungan 10. Dorong intake cairan yang sesuai
11. Dorong untuk beristirahat
12. Berikan terapi antibiotik yang sesuai
13. Anjurkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan
gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya
kepada penyedia perawatan kesehatan
14. Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
Perlindungan infeksi

1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik


maupun local
2. Monitor hitung mutlak granulosit, WBC, dan hasil-
hasil lainnya
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Pertahankan asespsis untuk pasien beresiko
5. Periksa kulit untuk adanya kemerahan, kehangatan
ekstrem
6. Periksa kondisi sayatan atau bedah
7. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
8. Berikan asupan cairan, dengan tepat
9. Anjurkan istirahat
10. Beri antibiotik
Monitor tanda-tanda vital

1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status


pernapasan dengan tepat
2. Monitor tekanan darah setelah pasien minum obat
jika memungkinkan
3. Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermia
dan hipertermia
4. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
5. Monitor oksimetri nadi
6. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan
tanda-tanda vital
Resiko jatuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...jam Pencegahan jatuh
Faktor resiko : tidak terjadi cedera dengan kriteria 1. Identifikasi kekurangan baik kognitif atau fisik dari
Periode pemulihan pasca - Tidak terjadi jatuh pasien yang mungkin meningkatkan potensi jatuh
operasi 2. Identifikasi perilaku dan factor yang
mempengaruhi risiko jatuh
3. Kaji ulang riwayat jatuh bersama dengan pasien
dan keluarga
4. Ajarkan pasien untuk beradaptasi dengan kondisi
fisiknya
5. Sediakan alat bantu untuk mengurangi risiko jatuh
6. Letakkan benda-benda dalam jangkauan yang
mudah bagi pasien
7. Monitor kemampuan pasien dalam mobilisasi
8. Ajarkan anggota keluarga mengenai faktor resiko
yang berkontribusi terhadap adanya kejadian jatuh
dan bagaimana keluarga bisa menurunkan resiko
ini
9. Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang
mungkin meningkatkan potensi jatuh (missal lantai
licin, tangga terbuka dll)
10. Instruksikan pasien untuk memanggil bantuan
terkait pergerakan dengan cepat
11. Ajarkan pasien jika jatuh, untuk meminimalkan
cedera
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)
Cedera traumatic (langsung/tdk Patologis
langsung)

Kekuatan daya trauma lebih besar dari kemampuan daya


menahan tulang

Fraktur

Peningkatan pelepasan mediator


kimia : prostaglandin, Tindakan invasif
histamine,dan bradikinin
Pembedahan Fraktur terbuka Fraktur tertutup
Penekanan berlebihan pada
Merangsang nosiceptor
Keterbatasan neurovaskuler
mengirim impuls ke saraf Port de entry
perifer aferen menuju ke kuman pathogen pergerakan fisik
medulla spinalis terputusnya Penurunan aliran darah ke
kontinuitas perifer
jaringan Hambatan
Korteks serebri ; Nyeri Risiko Infeksi
Mobilitas Fisik
dipersepsikan
Iskemia
Nyeri akut
Risiko jatuh
Defisit Resiko disfungsi neurovascular
perawatan diri perifer
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
interventions clasification (NIC). Singapore: Elsevier.
Dharmayuda, Cokorda.G.O. (2018). Laporan kasus Fraktur neck femur. Denpasar.
Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia. (2017). Rencana asuhan keperawatan
medikal-bedah : Diagnosis NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Maheswari, J. (2002). Essential Orthopaedics (3rd ed.). New delhi: Mehta Publisher.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
clasification (NOC). Singapore: Elsevier.
NANDA. (2015). Nursing diagnoses definitions and clasification. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2003). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner &
suddarth. Jakarta: EGC.
Solomon, L., Warwick, D., & Nayagam, S. (2010). Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures (9th ed.). London: Hodder Arnorld.
Temyang, A. . (2006). Himpunan Makalah, Prof. dr. H. Soelarto Reksoprodjo, SpB., SpOT.
Jakarta: Pelangi warna kreasindo.

Anda mungkin juga menyukai