Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas PKKD 1
Dosen pembimbing : Nurul Sri W, M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok C2
1. Moh. Dzakiy Naashiruddiin 19613292
2. Eplin Febriana Putri 18613220
3. Widya Nursukma 19613296
4. Novita Ayu Kusumastuti 19613294

PRODI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2021
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

A. KONSEP DASAR FRAKTUR


1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang (Black 2014). Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang
disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur adalah
hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat total maupun sebagian, penyebab
utama dapat disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan
lunak disekitarnya (Helmi, 2012).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak tubuh yang disebut
dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas merupakan fraktur yang terjadi pada
tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, lengan, siku, bahu,
pergelangan tangan, dan bawah (pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan
kaki). Fraktur dapat meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal,
deformitas, kemerahan, krepitasi, dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).

2. Etiologi
Menurut helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur adalah:
a. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang
mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.
b. Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
c. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis
penyakit yang akan menimbulkan fraktur.

3. Manisfestasi klinis
Menurut Black, (2014) mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis
klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Beberapa fraktur sering
langsung tampak jelas; beberapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen (sinar –x).
Pengkajian fisik dapat menemukan beberapa hal berikut. Deformitas, Pembengkakan
(edema), Echimosisi (memar), Spasme otot , Nyeri, Ketegangan , Kehilangan fungsi,
Pegerakan abnormal dan krepitasi, Perubahan neurovaskular. Syok.

4. Tanda dan gejala


a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat
memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien.
Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi
karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur
sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga
dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan
antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak
teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.

5. Klasifikasi
Fraktur dapat dijelaskan dengan banyak cara. Bahkan ada lebih dari 150 tipe
fraktur yang telah dinamai bergantung pada berbagai metode klasifikasi (Black,
2014). Menurut Wahid (2013) penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk
alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan sifar fraktur
1) Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih karena kulit masih utuh tanpa
komplikasi.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti :
a) Hair line fracture (patah retak rambut). Hal ini disebabkan oleh stress yang
tidak biasa atau berulang-ulang dan juga karena berat badan terus menerus
pada pergelangan kaki.
b) Buckle atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
c) Green stick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma:
1) Fraktur tranversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik: Fraktur yang arah garis patahannya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral: Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi: Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fieksi yang
mendorong tulang arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif: Fraktur dimana garis patah lebuh dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur segmental: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
3) Fraktur multiple: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak padda
tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser): Garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan masih utuh
2) Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contraction (pergeseran searah sumbu dan
overlapping)
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh.
f. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
g. Fraktur patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang
6. Komplikasi
Menurut Wahid (2013) komplikasi fraktur dibedakan menjadi komplikasi awal dan
lama yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergency splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
2) Kompartemen syndrom. Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh odema atau peredaran arah yang menekan
otot, tulang, saraaf dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat embolism syndrom Kompilasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
yang ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipneu dan
demam.
4) Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk kedalam.
Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
pengunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler nekrosis Avaskuler Nekrosis (AV) terjadi karena aliran daarah ke
tulang rusak atau terganngu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman Ischemia.
6) Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebakan menurunnya oksigenasi.
b. Komplikasi lanjut.
Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya fraktur
paada pasien yang telah menjalani proses pembedahan. Menurut kutipan dari
Smeltzer dan Bare (2013), komplikasi ini dapat berupa:
1) Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap dan penyakit
degeneratif sendi pasca trauma.
2) Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang tidak normal
(delayed union, mal union, non union).
3) Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan rupture tendon lanjut.
4) Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf menebal akibat
adanya fibrosis intraneural

7. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur


Beberapa faktor yang mempengaruhi cepat dan terhambatnya proses
penyembuhan fraktur menurut Smeltzer dan Bare, (2013) antara lain:
a. Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu imobilisasi fragmen tulang
dan dipertahankan dengan sempurna agar penyembuhan tulang optimal, kontak
fragmen tulang maksimal, aliran darah baik, nutrisi tepat, latihan pembebanan
berat untuk tulang panjang, hormone-hormon pertumbuhan mendukung seperti
tiroid, kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolic akan mempercepat perbaikan
tulang yang patah, serta potensial listrik pada area fraktur.
b. Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur, yaitu trauma lokal ekstensif,
kehilangan tulang, immobilisasi tidak optimal, adanya rongga atau jaringan
diantara fragmen tulang, infeksi, keganasan local, penyakit metabolic, nekrosis
avaskuler, fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin yang akan
melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan), usia
(lansia akan sembuh lebih lama), dan pengobatan kortikosteroid menghambat
kecepatan penyembuhan fraktur.

8. Pemeriksaan diagnostik
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur lebih
jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun pada
perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai respon
terhadap peradangan.

9. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2013) konsep dasar penatalaksanaan fraktur yaitu:
a. Fraktur terbuka.
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan: Pembersihan luka, eksisi jaringan mati atau
debridement, hecting situasi dan pemberian antibiotik.
b. Seluruh fraktur.
Rekognisi (Pengenalan). Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya.
1) Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and
Internal Fixation/ORIF). Merupakan upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimum. Dapat juga diartikan
reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaran dan rotasi anatomis.
2) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and Enternal
Fixation/ORIF), digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang
melibatkan kerusakan jaringan lunak. Ekstremitas dipertahankan sementara
dengan gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini akan
memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan
remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif
(Smeltzer & Bare, 2013).
3) Retensi (Immobilisasi). Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus dimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksatoreksternal. Implant logam dapat digunakan untuk
fiksasi internal yang berperan sebagia bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
4) Graf tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk menstabilkan sendi,
mengisi defek atau perangsangan dalam proses penyembuhan. Tipe graf yang
digunakan tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah
tulang yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang pasien
sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft) (Smeltzer & Bare,
2013)
5) Rehabilitasi adalah upaya menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (missal: Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah orthopedi diberitahu segera bila ada tanda
gangguan neurovaskuler. Kegelisahan ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (misalnya: menyakinkan, perubahan
posisi, stageri peredaan nyeri, termasuk analgetik). Latihan isometric dan
setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap
pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.
10. Pathway/WOC

Trauma langsung, benturan, kecelakaan

Trauma eksternal > kekuatan tulang

Kompresi tulang
Patah tulang tak sempurna patah tulang sempurna

Patah tulang tertutup & patah tulang terbuka


Kerusakan struktur tulang
Patah tulang merusak jaringan
Pembuluh darah pendarahan lokal Resiko defisit volume
cairan

Kebersihan plasma darah hematome pada daerah fraktur

Akumulasi di dalam jaringan aliran darah ke perifer jaringan berkurang


atau hambat
Bengkak atau tumor
Warna jaringan pucat, Gangguan perfusi
nadi lemah, sianosis, kesemutan jaringan

Desakan kejarinagn
disekitar atau tekanan
Saraf perifer terganggu
Saraf terjepit atau desak

Resiko tinggi Gangguan


Nyeri cidera mobilitas fisik
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN FRAKTUR
1. Pengkajian
a. Identitas
Klien Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk-nusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, 27 dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna
D,1995).
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan 28 penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa
nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos.Marilynn E, 2002).
4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya 29 fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
1995).
5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6) Pola Persepsi dan Konsep
Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
30
9) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
h. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
Klien Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan
kebersihan umum, tinggi badan, BB, gaya berjalan.
2) Tanda-tanda Vital
Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup : suhu, nadi, pernapasan dan
tekanan darah.
3) Pemeriksaan Local
Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur biasanya seperti pemeriksaan fisik pada
umumnya, tetapi pada saat pemeriksaan fraktur dilakukan hal – hal sebagai
berikut :
a) Keadaan Lokal
Harus di perhitungkan keadakan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan halhal yang tidak
biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas(deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamarperiksa)
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembabankulit.Capillary refilltime€Normal 3– 5 “
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995).

2. Masalah yang mungkin muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencendera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang
c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur

3. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)


(SDKI) (SLKI)
1 D.0077 L.08063 1.08238
Nyeri Akut Kontrol Nyeri Manajemen Nyeri
Definisi : Tujuan :
Tindakan :
Pengalaman sensorik Setelah dilakukam tindakan
keperawatan 1x24 jam Observasi
atau emosional yang
diharapkan nyeri menurun  Identifikasi lokasi,
berkaitan dengan
dengan,
kerusakan jaringan karakterisstik, durasi,
Kriteria Hasil :
actual atau fungsional,  Melaporkan nyeri frekuensi, kualitas,
terkontrol meningkat intensitas nyeri
dengan onset mendadak
 Kemempuan mengenali
atau lambat dan  Identifikasi skala nyeri
onset nyeri meningkat
berintensitas ringan  Kemampuan mengenali  Identifikasi respon nyeri
hingga berat yang penyebab nyeri meningkat non verbal
 Kemampuan menggunakan
berlangsung kurang dari  Identifikasi faktor yang
teknik non farmakologis
3 bulan. meningkat memperberat dan
 Keluhan nyeri menurun memperingan nyeri
 Penggunaan analgesic  Identifikasi pengaruh nyeri
menurun
pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
 Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Edukasi penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan penggunaan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu
2 D.0054 L.05042 1.05180
Gangguan Mobilitas Mobilitas Fisik Pembidaian
Fisik
Tujuan: Tindakan
Definisi :
Keterbatasan dalam Setelah dilakukan tindakan Observasi
gerakan fisik dari satu keperawatan 1x24 jam  Identifikasi kebutuhan
atau lebih ektremitas
diharapkan mobilitas fisik dilakukan pembidaian
secara mandiri.
meningkat dengan, (fraktur).
Kriteria Hasil :  Monitor bagian distal area
 Pergerakan ekstremitas cidera.
meningkat  Monitor adanya adanya
 Kekuatan otot meningkat pedarahan pada daerah
 Rentang gerak (ROM) cidera.
meningkat  Identifikasi material bidai
 Nyeri menurun yang sesuai.
 Kelemahan fisik menurun Terapeutik
 Tutup luka terbuka dengan
balutan.
 Atasi perdarahan sebalum
bidai di pasang.
 Berikan bantalan pada
bidai.
 Imobilisasi sendi di atas
dan di bawah area cidera.
 Topang kaki mengunakan
penyangga kaki.
 Tempatkan eksremitas yang
cidera dalam posisi
fungsional.
 Pasang bidai pada posisi
tubuh seperti saat di
temukan.
 Gunakan kedua tangan
untuk menopang area
cedera
 Gunakan kain gendong
secara tepat
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
langkahlangkah prosedur
sebelum pemasangan bidai
 Anjurkan membatasi gerak
pada area cedera
3 D.0067 L.06051 Tindakan :
Risiko Disfungsi Neurovaskuler Perifer Observasi
Neurovaskuler Perifer Tujuan :  Periksa sirkulasi perifer
Definisi : Setelah dilakukan tindakan secara menyeluruh (mis,
Beresiko mengalami keperawatan 1x24 jam pulsasi perifer, edema,
gangguan sirkulasi, diharapkan risiko disfungsi warna, dan suhu
sensasi dan pergerakan neurovaskuler perifer menurun eksremitas)
pada ektremitas. dengan,  Monitor nyeri pada daerah
Kriteria Hasil : yang terkena .
 Pergerakan sendi  Monitor tanda-tanda
meningkat penurunan sirkulasi vena .
 Pergerakan ekstremitas (mis, bengkak ,nyeri,
meningkat peningkatan nyeri pada
 Nyeri menurun posisi tergantung, nyeri
 Perdarahan menurun menetap saat hangat, mati
 Luka tekan membaik rasa, pembesaran vena
superfesial, merah, hangat,
perubahan warna kulit).
Terapeutik
 Tinggikan daerah yang
cidera 20 derjat di atas
jantung.
 Lakukan rentang gerak
aktif dan pasif.
 Ubah posisi setiap 2 jam.
 Hindari akses intravena
antekubiti.
 Hindari memijat atau
mengompres otot yang
cidera.
Edukasi
 Jelaskan mekanisme
terjadinya embili perifer.
 anjurkan menghindari
maneuver valsava
 Ajarkan cara mencegah
emboli perifer. (mis,
hindari imobilisasi jangka
panjang).
 Ajarkan pentingnya
antikoagulan selama 3
bulan.
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
antikoagulan.
 Kolaborasi pemberian
prometazim intravena
dalam NaCL 0,9% 25-50
secara lambat dan hindari
pengenceran kuran dari 10
cc.

4. Implementasi
Pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan tang telah disusun pada
tahap perencanaan (intervensi). Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat pada
kebutuhan klien, faktor-fakor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan,
strategi implementasi keperawatan dan kegiatan komunikasi.
Setelah rencana tindakan ditetapkan, maka dilanjutkan dengan melakukan rencana
tersebut dalam bentuk nyata, sebelum diterapkan kepada klien terlebih dahulu
melakukan pendekatan kepada klien dan keluarga klien agar tindakan yang akan
diberikan dapat disetujui klien dan keluarga klien, sehingga seluruh rencana tindakan
asuhan keperawatan sesuai dengan masalah yang dihadapi klien.

5. Evaluasi
Rencana keperawatan yang dirancang untuk mengurangi risiko cedera pada klien,
dievaluasi dengan cara membandingkan kriteria hasil dengan tujuan yang ditetapkan
selama tahap perencanaan. Jika tujuan telah dicapai, maka intervensi keperawatan
dengan efektif dan tepat. Jika tidak tercapai, maka perawat harus menentukan apakah
ada risiko baru yang berkembang pada klien atau apakah risiko sebelumnya tetap ada.
Lingkungan yang aman berperan penting dalam meningkatkan, mempertahankan dan
memulihkan kesehatan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat mengkaji
klien dan lingkungannya untuk menentukan faktor risiko, mengelompokkan faktor-
faktor risiko, membuat diagnosa keperawatan, merencanakan intervensi yang
spesifik, termasuk pendidikan kesehatan (Potter dan Perry, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : DPP PPNI.

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1360/4/4%20CHAPTER%202.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1370/3/BAB%20II%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf
http://repo.stikesperintis.ac.id/801/1/7%20FAJAR%20WATULANGI.pdf

Anda mungkin juga menyukai