C. KLASIFIKASI FRAKTUR
1. Klasifikasi berdasarkan luas fratur
a. Fraktur komplit : patah dari seluruh garis tengah tulang, biasanya mengalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal) dan tulang menjadi dua bagian yang
terpisah.
b. Fraktur inkomplit : patahnya terjadi di sebagian garis tengah tulang.
2. Klasifikasi berdasarkan luas kerusakan jaringan lunak sekitar
a. Fraktur terbuka (compound fraktur) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau
membrane mukosa sampai patahan tulang dan adanya luka eksternal. Fraktur
terbuka ini digradasi menjadi:
Grade I : luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, trauma dan kerusakan kulit
minimal, kontaminasi minimal
Grade II : luka bersih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif dengan
panjang lebih dari 1 cm. Adanya luka memar pada kulit dan otot, kontaminasi
sedang
Grade III : Kerusakan meliputi kulit (jaringan lunak), tendon, otot, saraf,
pembuluh darah, diameter luka lebih dari 6-8 cm, luka sangat terkontaminasi dan
mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
b. Fraktur tertutup (simple fraktur) : fraktur tidak melukai jaringan kulit dan tidak
terlihat adanya luka (tidak merobek jaringan kulit).
3. Klasifikasi berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (fraktur bergeser atau
tidak bergeser)
a. Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya
membengkok.
b. Tranversal, suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang garis
tengah tulang) merupakan akibat dari trauma langsung.
c. Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak
stabil dibanding tranversal) akibat trauma langsung.
d. Spiral, suatu fraktur yang mengelilingi batang tulang, arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan karena trauma rotasi
e. Impacted (Telescopic) atau kompresi, yaitu sebagian fragmen tulang menusuk
bagian fragmen yang lain.
f. Displaced. Fragmen tulang terpisah dengan kesegarisan tulang lain
4. Klasifikasi berdasarkan jumlah dan garis patah/bentuk/konfigurasi
a. Fraktur kominutif : lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah, terpisah-
pisah dalam berbagai serpihan.
b. Fraktur segmental : bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan satu
ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh dan
keadaan ini perlu terapi bedah.
c. Fraktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.
5. Klasifikasi berdasarkan lokasi fraktur
a. Colles Fraktur : jarak bagian distal fraktur lebih kurang 1 cm dari
permukaan sendi
b. Articular Fraktur : meliputi permukaan sendi
c. Extracapsular Fraktur : dekat sendi tetapi tidak masuk kedalam sendi
d. Intracapsular Fraktur : didalam capsul sendi
e. Apiphyseal Fraktur : terjadi kerusakan pasda pusat ossifikasi
6. Klasifikasi berdasarkan pergeseran fragmen tulang
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
a. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
D. ETIOLOGI
Etiologi fraktur, diantaranya:
1. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat
terkenanya benturan.
2. Fragility fraktur, yaitu fraktur yang terjadi karena kelemahan tulang, biasanyanya pada
lanjut usia yang mengalami osteoporosis.
3. Kelemahan/stress fraktur, yaitu fraktur yang terjadi bukan karena satu kali trauma,
tetapi karena stress tulang yang terjadi berulang-ulang, biasanya terjadi pada atlit.
Fraktur ini dimulai dari kerusakan-kerusakan kecil, dan berakumulasi dan berkembang
menjadi fraktur komplit.
4. Fraktur patologi, fraktur yang terjadi karena tulang yang lemah akibat suatu proses
penyakit misalnya kanker, riketsia, spiondilitis TB.
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan dari pengkajian fisik klien fraktur, diantaranya
(Black & Hawks, 2014):
1. Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
frakur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme otot
Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional atau
angulasi. Spasme otot involuntar dapat berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Intensitas dan keparahan nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya
terus menerus dan makin meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi. Hal ini terjadi
karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cidera pada struktur
lainnya.
6. Ketegangan
Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan karena cedera yang terjadi
7. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi
dari cidera saraf.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara deritan
9. Perubahan neurovascular
Cedera neurovascular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vascular yang
terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak terba nadi pada
daerah distal dari fraktur
10. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.
F. PATOFISOLOGI
1. Patofisiologi Fraktur
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang suatu
tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja, bukan patah. Jika
gayanya sangat ekstrem seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping.
Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat
mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keuar posisi. Kelompok otot yang bedat
dapat menimbulkan spasme otot yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar seperti
femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian
distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme otot-otot sekitar. Fragmen
fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa
segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah
juga terganggu, terutama pada cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera
jaringan lunak atau cedera tulang.pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi di antara
fragmen-fragmen dan di bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan
mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat. Respon dari fraktur akan terjadi
vasodilatai, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudari plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel
darah putih. Respon patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari penyembuhan tulang.
2. Penyembuhan tulang
Tulang merupakan salah satu jaringan tubuh manusia yang sapat sembuh melalui regenerasi.
Perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan pembentukan tulang saat fase
pertumbuhan normal dengan mineralisasi dan matriks tulang baru yang kemudian diikuti
oleh remodelisasi menuju tulang matur. Penyembuhan fraktur terjadi daam lima tahapan
yaitu (Black & Hawks, 2014):
a. Tahap I: Stadium hematoma atau stadium inflamatoris (1-3 hari)
Pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Jumlah kerusakan tulang dan jaringan ekitar
serta pembuluh darah akan menentukan ukuran hematoma. Darah membentuk gumpalan
diantara fragmen fraktur, memberikan sedikit stabilisasi. Terjadi nekrosis pada tulang
karena hilangnya suplai darah ke daerah luka dan akan meluas ke area sirkulasi kolateral.
Terjadi dilatasi vaskular sebagai respon akumulasi sel-sel mati dan debris pada lokasi
fraktur, dan eksudasi dari plasma kaya fibrin akan mendorong migrasi dari sel-sel
fagositik ke area cedera. Jika suplai vaskular ke lokasi fraktur tidak cukup, penyembuhan
stadium 1 akan terganggu.
b. Tahap II: Pembentukan fibrokartilago (3 hari-2 minggu)
Fibroblas, osteoblas, dan kondroblas bermigrasi ke daerah fraktur sebagai akibat
inflamasi akut kemudian membentuk fibrinokartilago. Adanya hematoma menjadi
dasar penyembuhan tulang dan jaringan stadium II. ktivitas osteoblastik distimulasi
oleh trauma periosteal dan pembentukan tulang terjadi dengan cepat. Periosteum
terangkat jauh dari tulang dan dalam beberapa hari kombinasi dari elevasi periosteum
dan pembentukan jaringan granulasi akan membentuk sabuk di sekitar ujung fragmen
fraktur. Saat sabuk tersebut berkembang, akan terbentuk jembatan di antara lokasi
fraktur. Pembentukan jaringan fibrosa awal ini disebut dengan kalus primer dan
membentuk stabilitas fraktur.
c. Tahap III: Pembentukan kalus (2-3 minggu)
Jaringan granulasi matur menjadi kalus provisonal (pro-kalus) saat kartilago baru dan
matriks tulang tersebar melalui kalus primer. Pro-kalus besar dan longgar, biasanya lebih
lebar daripada diameter normal dari tulang yang cedera. Pro-kalus mengikar fragmen-
fragmen fraktur, meluas hingga di luar lokasi fraktur agar dapat menjadi bidai walaupun
tidak cukup kuat. Jika sel-sel terletak jauh dari suplai darah dan tekanan oksigen cukup
rendah, akan terbentuk kartilagi. Ketika kalsium terdeposit ke dalam jaringan kolagen
dari jaringan granulasi akan terbentuk jaringan fibrosa. Kelurusan tulang yang baik
penting selama tahap III. Stadium ini sangat penting menentuka kesembuhan klien, jika
terjadi perlambatan atau gangguan, maka dua tahap berikutnya tidak dapat terjadi karena
dapat terjadi penyatuan terhambat dan tidak terjadi penyatuan.
d. Tahap IV: Penulangan (3 minggu- 6 bulan)
Kalus permanen dari tulang keras akan menyebrangi gap fraktur di antara periosteum
dan korteks untuk bergabung dengan fragmen-fragmen. Selain itu, pembentukan
kalus medularis akan terjadi di dalam untuk memastikan keberlangsungan antara
rongga-rongga sumsum. Tulang trabekular akhirnya akan menggantikan kalus di
sepanjang garis tekanan, penyatuan tulang yang dapat dikonfirmasi dengan rontgen,
disebutkan dapat terjadi juka tidak ada gerakan dengan tekanan lembut dan tidak ada
ketegangan dengan tekanan langsung pada lokasi fraktur.
e. Tahap V: konsolidasi dan remodeling (6 minggu- 1 tahun)
Kalus yang tidak dibutuhkan akan diresorbsi atau dibuang dari lokasi penyembuhan
tulang. Proses resorpsi dan deposisi di sepanjang garis tekanan akan memungkinkan
tulang menahan beban yang diberikan. Jumlah dan waktu dari remodeling bergantung
pada stres yang diberikan pada tulang oleh otot, berat badan, dan usia.
G. FRAKTUR PELVIS
1. Anatomi Pelvis
Dinding pelvis dibentuk oleh tulang dan ligamen yang sebagian diantaranya
dilapisi oleh otot beserta fascia dan peritoneum parietal. Pelvis memiliki dinding anterior,
posterior, lateral, dan dinding inferior atau dasar pelvis (Black & Hawks, 2014). Dinding
anterior pelvis adalah dinding yang paling dangkal, dan dibentuk oleh permukaan
posterior korpus os pubis, rami pubicum, dan sympisis pubis. Dinding posterior pelvis
luas dan dibentuk oleh os sacrum, dan os coccygis serta musculus piriformis dan fasia
pelvis parietalis yang meliputinya. Dinding lateralis pelvis dibentuk oleh sebagian os
coxae dibawah aperture pelvis superior, membrane obturatoria, ligamentum
sakrotuburale, dan ligamentum sakrospinale, serta musculus obturatorius internus beserta
fascia yang meliputinya. Os coxae (tulang panggul) terdiri atas os ilium yang terletak di
superior, os ischium yang terletak di posterior dan inferior, dan os pubis yang terletak di
anterior dan inferior. Pada permukaan luar os coxae terdapat lekukan dalam, acetabulum,
yang bersendi dengan kaput femoralis. Dibelakang acetabulum terdapat incisura besar,
incisura ischiadica major yang dipisahkan dari incisura ischiadica minor oleh spina
ischiadica. Os ilium yang merupakan bagian atas os coxae yang rata, mempunyai crista
iliaca yang berjalan diantara spina iliaka anterior superior dan spina iliaka posterior
superior. Dibawah kedua spina ini terdapat spina iliaca anterior inferior, dan spina iliaca
posterior inferior. Os ischii merupakan bagian inferior dan posterior os coxae dan
mempunyai spina ischiadica dan tuber ishiadicum. Os pubis merupakan bagian anterior
os coxae dan mempunyai corpus ossis pubis, ramus superior ossis pubis, dan ramus
inferior ossis pubis. Pada bagian bawah coxae terdapat lubang besar, foramen
obturatorum yang dibatasi oleh bagian-bagian os ischium dan os pubis. Foramen
obturatoum ditutupi oleh membrane obturatoria. Fascia pelvis dibentuk oleh jaringan ikat
dan dilanjutkan ke atas sebagai fascia yang membatasi dinding abdomen. Dibawah, fascia
melanjut sebagai fascia perinea. Fascia pelvis dibagi menjadi fascia pelvis parietalis, dan
fascia pelvis visceralis. Fascia pelvis parietalis membatasi dinding-dinding pelvis dan
diberi nama sesuai dengan otot yang dilapisinya. Fascia pelvis viseralis merupakan
jaringan ikat longgar yang meliputi dan menyokong semua visceral pelvis.
Plexus sacralis terletak pada dinding posterior pelvis di depan musculus
piriformis.plexus ini dibentuk dari rami anterior nervi lumbales IV dan V serta nervi
anterior nervi sacrales I, II, III, IV. Sebagian nervus lumbalis IV bergabung dengan
nervus lumbalis V untuk membentuk truncus lumbosacralis. Truncus lumbosacralis
berjalan turun kedalam pelvis dan bergabung dengan nervus sacrales waktu nervus
sacrales keluar dari foramina sacralia anterior. Cabang-cabang plexus sacralis yang
menuju ke ekstremitas inferior antara lain : nervus ischiadicus, nervus gluteus superior,
nervus gluteus inferior, saraf untuk musculus quadratus femoris, saraf untuk musculus
obturatorius internus, nervus cutaneus femoris posterior. Cabang-cabang plexus sacralis
untuk otot-otot pelvis, visceral pelvis, dan perineum antara lain nervus pudendus, saraf
untuk musculus piriformis, nervus splanchnicus pelvicus, nervus cutaneus perforans.
Plexus lumbalis memiliki cabang-cabang antara lain truncus lumbosacralis, dan
nervus obturatorius. Truncus lumbosacralis dibentuk dari sebagian ramus anterior nervus
lumbalis 4 yang muncul dari sisi medial musculus psoas major dan bergabung dengan
ramus anterior nervus lumbalis 5. Nervus obturatorius yang merupakan cabang dari
plexus lumbalis ini muncul dari sisi medial musculus psoas major didalam abdomen dan
mengikuti truncus lumbosacralis kebawah masuk kedalam pelvis. Nervus obturatorius ini
terbagi 2 menjadi cabang anterior dan posterior yang berjalan melalui canalis obturatorius
dan masuk ke regio aduktor tungkai atas.
H. Komplikasi Fraktur
Komplikasi dari fraktur adalah sebagai berikut (Black & Hawks, 2014).
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat menyebabkan
cedera saraf. Perhatikan jika ada pucat dan tungkai klien yang teraba sakit dingin,
perubahan kemampuan klien untuk menggerakkan bagian distal tubuhnya, parestesia, atau
adanya keluhan nyeri yang meningkat merupakan tanda dan gejala dari sindrom
kompartemen yang berpengaruh pada persarafan klien (Black & Hawks, 2014).
2. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas (Black & Hawks,
2014). Sindrom ini terjadi disebabkan oleh faktor eksternal (contohnya kompresi dari gips
yang terlalu ketat) atau faktor internal (contohnya perdarahan dan edema). Edema yang
terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler (Black & Hawks, 2014). Jika
suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi
iskemia. Iskemia yang berkelanjutan akan mengakibatkan pelepasan histamine oleh otot-
otot yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan
peningkatan aliran darah, sehingga meningkatkan tekanan jaringan yang membuat adanya
peningkatan tekanan pada kompartemen (Black & Hawks, 2014). Sensasi kesemutan atau
rasa terbakar (parestesia) pada otot dapat juga ditemukan pada sindrom ini. Jika area
menjadi kebas atau lumpuh, kematian sel pun telah dimulai untuk menurunkan tekanan
dalam kompartemen mungkin tidak dapat mengembalikan fungsinya seperti semula.
3. Kontraktur Volkmann
Kontraktur Volkmann adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma kompartemen
yang tidak tertangani (Black & Hawks, 2014). Tekanan terus menerus yang
mengakibatkan iskemia membuat otot secara perlahan digantikan dengan jaringan fibrosa
yang menjepit tendon dan saraf. Pada tungkai atas, kontarktur Volkmann umumnya
terjadi setelah fraktur pada siku dan lengan bawah atau setelah cedera remuk pada lengan
bawah atau karena gips atau perban elastis yang terlalu ketat (Black & Hawks, 2014).
Gangguan tersebut dapat menyebabkan deformitas tangan dan lengan yang secara
permanen kakku dan terbentuk seperti cakar (claw). Kontraktur dpaat dihindari dengan
pengenalan dini dari manifestasi sindroma kompartemen, diikuti oleh pembidaian tungkai
dan dekompresi kompartemen.
4. Sindrom emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali embolusnya adalah lemak dan kondisi
ini muncul pada klien dengan fraktur. Insiden 90% dari keseluruhan kasus dari sindroma
emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang yaitu femur, tibia, tulang rusuk,
fibula dan panggul (Black & Hawks, 2014). Emboli lemak meingkatkan mortalitas
setelah fraktur sebesar 10% hingga 20%.
Dua teori terjadinya emboli lemak yaitu teori mekanikal dan teori biokimia (metabolik).
Teori mekanikal menyatakan bahwa terdapat pelepasan globulus lemak dari sumsum
tulang belakang ke dalam sirkulasi vena setelah terjadi fraktur, sedangkan teori biokimia
menyatakan bahwa trauma menyebabkan pelepasan asam lemak dan lemak netral yang
tersimpan selanjutnya terjadi agregasi platelet dan pembentukan globulus lemak (Black &
Hawks, 2014).
Manifestasi awal terjadinya emboli lemak pada umumnya 24 sampai 72 jam setelah
cedera yaitu takikardia persisten, takipnea yang tidak jelas penyebabnya, dispnea, dan
hipoksia yang terjadi karena abnormalitas ventilasi perfusi (Black & Hawks, 2014). Klien
dapat mengalami demam tinggi dengan kenaikan tiap harinya. Petekie merah-kecoklatan
yang tidal terpalpasi akan terjadi di seluruh tubuh bagian atas, terutama di ketiak, dalam
24 hingga 36 jam setelah cedera. Delirium dan agitasi sering muncul dan dapat berlanjut
menjadi stupor, kejang, atau koma. Pencegahan dari emboli lemak ini dimulai dengan
terapi fraktur tulang panjang yang tepat, yaitu dengan pembidaian yang tepat dan fiksasi
bedah segera setelah dalam 24 hingga 48 jam.
5. Trombosis vena dalam dan emboli paru
Peningkatan risiko tinggi tombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE) terjadi
karena stasis dari aliran darah vena, peningkatan koagulabilitas, dan cedera pada
pembuluh darah (Black & Hawks, 2014). Stasis darah meningkatkan waktu kontak antara
darah dengan ketidakteraturan dinding vena. Hal ini juga mencegah terbentuknya
antikoagulan alami yang terjadi pada saat pencampuran darah. Tirah baring terlalu lama
dan imobilitas juga mendorong terjadinya stasis. Trauma ortopedik sering kali melepas
bahan-bahan (seperti debris jaringan. Kolagen, atau lemak dalam vena) ke dalam
sirkulasi. Profilaksis penggumpalan direkomendasikan dengan menggunakan agen
farmakologis, seperti antikoagulan oral atau heparin. Beberapa alat fisik-mekanikal
seperti alat kompresi pneumatik intermiten atau stocking elastik dapat berperan dalam
pencegahan DVT.
6. Infeksi
Patogen dapat mengontaminasi fraktur terbuka saat terjadi cedera atau dapat masuk saat
prosedur bedah. Infeksi luka bedah pada masa pasca operasi biasanya diakibatkan oleh
Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermidis (Black & Hawks, 2014). Infeksi
parah juga dapat terjadi yaitu seperti osteomilitis.
7. Sindroma gips
Sindroma gips atau sindroma arteri mesentrika superior terjadi hanya pada gips spika
badan (Black & Hawks, 2014). Duodenum tertekan di antar arteri mesentrika superior di
bagian depan dan aorta serta badan vertebral di bagian belakang. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah, yang kemudian dapat menyebabkan perdarahan dan nekrosis dari
usus. Sindroma ini dapat terjadi beberapa hari hingga minggu setelah imobilisasi.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
untuk menemukan struktur tulang yang rusak.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
J. PENATALAKSANAAN
Ada dua metode penatalaksanaan medis pada fraktur, yaitu (Brunner & Suddart, 2002):
1. Metode Konservatif
a. Gips yaitu alat immobilisasi eksternal yang kaku dan dicetak sesuai bentuk tubuh yang
dipasang. Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya
pertumbuhan tulang panjang. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
- Immobilisasi dan penyangga fraktur
- Istirahatkan dan stabilisasi
- Koreksi deformitas
- Mengurangi aktivitas
- Membuat cetakan tubuh orthotik
b. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh (Brunner & Suddart, 2002).
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan
sumbu panjang tulang yang patah.
Kegunaan pemasangan traksi antara lain:
- Mengurangi nyeri akibat spasme otot
- Memperbaiki dan mencegah deformitas
- Immobilisasi
- Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
- Mengencangkan pada perlekatannya.
Macam-macam traksi antara lain:
- Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak
iliaka.
- Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan
untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi
spasme otot.
- Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini
biasa dipasang dengan halter kepala.
- Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk fraktur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk
terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan
vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
- Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen,
dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai
bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau
lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat
dilatih secara aktif.
Metode pemasangan traksi antara lain :
a. Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergensi
b. Traksi mekanik, ada 2 macam :
- Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction.
Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal /penjepit melalui
tulang /jaringan metal.
2. Metode Pembedahan
Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi
dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik
menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang
yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini
dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
a) ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Prosedur pembedahan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan stabilitas dan
mengurangi rasa nyeri pada tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup, paku
dan pin logam. Pada metode ini, kedua ujung tulang yang patah dikembalikan kepada
posisi asalnya dan difiksasi dengan pelat dan skrup atau diikat dengan kawat. Setelah
immobilisasi dilaksanakan, tulang akan beradaptasi pada kondisi tersebut, yaitu
mengalami proses penyembuhan dan perbaikan tulang.
Fiksasi internal diindikasikan pada:
- Fraktur intraartikular (untuk menstabilkan patahan tulang secara anatomi)
- Memperbaiki pembuluh darah dan nervus (untuk melindungi peredaran darah dan
perbaikan nervus)
- Multiple injuries
- Pasien lansia (untuk menunjang mobilisasi dini)
- Fraktur tulang panjang (tibia, femur, dan humerus)
- Kegagalan management konservatif
- Fraktur patologis
- Unstable fractures
Komplikasi yang mungkin muncul pada fiksasi internal diantaranya adalah infeksi, on-
union, kegagalan implant, dan Refracture
b) Fiksasi ekterna
Penanganan fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak dimana garis fraktur
direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah pin yang dimasukkan ke dalam
fragmen tulang. Terapi ini biasanya dilakukan pada kasus cedera tipe ‘open-book’ dimana
ligament sakroiliaka intak. Fiksasi eksternal diindikasikan pada:
- Trauma akut (fraktur terbuka dan tidak stabil)
- Non-union fracture
- Perbaikan pada joint contracture
- Terdapat pengisian pada kerusakan segmen limb (trauma, tumor dan osteomyelitis)
- Pemanjangan limb
c) Reduksi terbuka
Melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan
pemanjangan tulang yang patah.
K. DIAGNOSA DAN RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan Rasional
1 Nyeri (akut) b.d Nyeri hilang atau Mandiri
Spasme otot terkontrol a. Pertahankan imobilisasi bagian yang a. Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan
Gerakan fragmen Kriteria evaluasi: sakit dengan tirah baring, gips, posisi tulang yang cedera
tulang, edema, dan Klien tampak pembebat, traksi b. Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan
cedera pada jaringan rileks dan santai b. Tinggikan dan dukungan ekstrimitas edema dan meneurunkan nyeri
lunak Klien mau yang terkena c. Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena
Alat berpartisipasi c. Hindari penggunaan sprei/bantal peningkatan produksi padas dalam gips yang
traksi/imobilisasi dalam plastik dibawah ekstrimitas dalm gips kering
Stres, ansietas aktivitas/tidus/ d. Tinggikan penutup tempat tidur, d. Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa
istirahat yang pertahankan linen terbuka pada ibu jari ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada
tepat kaki bagian yang sakit
Klien mampu e. Evaluasi keluhan e. Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi.
menggunakan nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan Tingkat intensitas dapat mempengaruhi persepsi
ketrampilan karakteristik, lokasi, termasuk reaksi terhadap nyeri
relaksasi intensitasnya (skala 0-10). Perhatikan f. Membantu menghilangkan ansietas. Pasien dapat
Tanda-tanda vital petunjuk nyeri non verbal (perubahan merasakan kebutuhan untuk menghilangkan
stabil tanda-tanda vital dan emosi) pengalaman kecelakaan
f. Dorong pasien untuk mendiskusikan g. Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang
masalah sehubungan dengan cedera sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada
g. Lakukan dan awasi rentang gerak jaringan cedera
pasif/aktif h. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area
h. Berikan alternatif tindakan tekanan lokal dan kelelahan otot
ketidakmampuan (pijatan punggung, i. Menfokuskan kembali perhatian, meningkatkan
perubahan posisi) rasa kontrol kemampuan koping dalam
i. Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri untuk periode lebih lama
manajemen stres (relaksasi, latihan j. Mencegah kebosanan, menurunkan ketegangan
nafas dalam, imajinasi visualisasi, dan dapat meningkatkan kekuatan otot, dapat
sentuhan terapeutik) meningkatkan harga diri dan kemmapuan koping
j. Identifikasi aktifitas terapeutik yang k. Dapat menandakan terjadinya komplikasi
tepat untuk usia pasien, kemampuan l. Menurunkan edema/ pembentukan hematom,
fisik dan penampilan pribadi menurunkan sensasi nyeri
k. Cek adanya keluhan nyeri yang tidak m. Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau
biasa atau tidak hilang dengan spasme otot. Penelitia toradol telah diperbaiki
analgesik lebih efektif dalam menghilangkan nyeri tulang
Kolaborasi dengan masa kerja lebih lama
l. Lakukan kompres dingin 24-48 jam n. Pemberian rutin ADP mempertahankan kadar
pertama/ sesuai indikasi analgetik darah adekuat, mencegah fluktuasi
m. Berikan obat sesuai indikasi, narkotik, dalam menghilangkan nyeri sehubungan dengan
relaksan otot tegangan otot/spasme
n. Awasi pemberian analgetik yang
dikontrol pasien
. Kerusakan integritas Menpertahankan Mandiri:
kulit integritas kulit dan a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan
Berhubungan dengan: mukosa asing, kemerahan, perdarahan, masalah yang mungkin disebabkan oleh alat
cedera tusuk; fraktur Kriteria evaluasi: perubahan warna pada kulit. dan/atau pemasangan gips/bebat atau traksi, atau
terbuka; bedah perbaikan; Integritas kulit b. Masase kulit dan penonjolan tulang. pembentukan edema yang membutuhkan
pemasangan traksi pen, yang baik dapat Pertahankan tempat tidur kering dan intervensi medik lanjut.
kawat, sekrup; perubahan dipertahankan bebas kerutan. Tempatkan bantalan b. Menurunkan tekanan pada area yang peka dan
sensasi, sirkulasi; Penyembuhan air/bantalan lain bawah siku/tumit risiko abrasi/kerusakan kulit.
Ditandai dengan: luka sesuai indikasi. c. Mengurangi tekanan konstan pada area yang
Data Subyektif: Tidak ada tanda- c. Ubah posisi dengan sering. Dorong sama dan meminimalkan risiko kerusakan kulit,
- Keluhan nyeri tanda infeksi penggunaan trapeze bila mungkin. Penggunaan trapeze dapat menurunkan abrasi
Data Obyektif: d. Kaji posisi posisi fiksasi eksternal pada siku/tumit.
- Luka Tertutup/ terbuka Kolaborasi: d. Posisi yang tak tepat dapat menyebabkan cedera
- Fraktur e. Gunakan tempat tidur busa, bantal kulit/kerusakan.
- Kerusakan lapisan kulit apung, atau kasur udara sesuai e. Karena imobilisasi bagian tubuh, tonjolan tulang
indikasi. lebih dari area yang sakit oleh fiksasi mungkin
sakit karena penurunan sirkulasi.
3. Gangguan mobilitas fisik Mobilitas fisik Mandiri
b.d meningkat secara a. Kaji derajat mobilitas yang dihasikan a. Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri
Kerusakan rangka optimal oleh cedera/pengobatan dan perhatikan tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan
neurovaskuler: Kriteria evaluasi: persepsi pasien terhadap imobilisasi informasi untuk meningkatkan kemajuan
nyeri/ketidaknyaman Kekuatan otot b. Instruksikan pasien untuk/bantu dalam kesehatan.
an Posisi anatomis rentang gerak pasif/aktif pada b. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulnag
Terapi restriktif/ pada ektrimitas ektrimitas yang sakit dan tidak sakit untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan
imobilisasi tungkai yang cedera c. Dorong penggunaan latihan isometrik gerak sendi, mencegah kontraktur/atropi dan
Mampu mulai dengan tungkai yang tidak sakit resorpsi kalsium karena tidak digunakan
melakukan d. Bantu dorong untuk perawatan diri c. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk
aktivitas/ROM e. Berikan/bantu dalam mobilisasi sendi/menggerakkan tungkai dan membantu
Tanda vital stabil dengan kursi roda, kruk, tongkat mempertahankan kekuatan dan masa otot. Cat.
Luka membaik sesegera mungkin. Instruksikan Kontra indikasi pada perdarahan akut dan edema
keamanan dalam penggunaan alat d. Meningkatkan kekuatan otot/sirkulasi,
mobilitas meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
f. Awasi TD dengan melakukan aktivitas meningkatkan kesehatan diri langsung
perhatikan keluhan pusing e. Mobilsasi dini menurukan komplikasi tirah
g. Ubah posisi secara periodik dan baring dan meningkatkan pengaturan dan
dorong untuk latihan batuk/nafas normalisasi fungsi organ
dalam f. Hipotensi postural adalah masalah umum yang
h. Dorong masukan cairan sampai 2000- menyertai tirah baring lama dan memerlukan
3000 cc/hari intervensi khusus
Kolaborasi g. Mencegah/menurunkan insiden komplikasi
i. Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi kulit/pernapasan
dan atau rehabilitasi medik h. Mempertahankan hidrasi tubh, menurunkan
j. Lakukan prigram defikasi (pelunak resiko infeksi urinarius, pembentukan batu dan
feses, enema laksatif) konstipasi
i. Berguna dalam membuat aktifitas individual
paien dapat menentukan bantuan jangka anjang
dengan gerakan, kekuatan dan aktifitas yang
mengandalkan BB dan juga penggunaan alat
j. Dilakukan untuk meningkatkan evaluasi usus
4 Resiko infeksi b.d Perluasan/penyebara Mandiri a. Kemerahan/abrasi dapat menimbulkan infeksi
Tidak adekuatnya n infeksi tidak terjadi a. Inspeksi kulit untuk adanya luka tulang
pertahanan primer: Kriteria evaluasi: b. Kaji peningkatan keluhan nyeri, b. Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi
kerusakan kulit, trauma Luka membaik, adanya edema, drainase/bau tidak lokal/nekrosis jaringan yang dapat menimbulkan
jaringan, terpajan pada pus tidak ada, enak/asam osteomielitis
lingkungan tidak ada bau dan c. Berikan perawatan luka secra steril c. Dapat mencegah kontaminasi silang dan
Prosedur invasif adanya sesuai protokol kemungkinan infeksi
Traksi tulang pertumbuhan d. Observasi luka untuk pembentukan d. Tanda perkiraan infeksi gas gangren
jaringan/granulasi bula, krepitasi, perubahan warna kulit e. Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis
Sekitar luka tidak kecoklatan, bau drainase yang tidak f. Anemia dapat terjadi pada osteomielitis,
pucat, edema enak leukositosis biasanya ada dengan proses infeksi,
berkurang e. Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan Peningkatan osteomielitis, mengidentifikasi
Tidak ada demam gerakan dengan edema lokal/eritema organisme infeksi
Tanda vital stabil ektrimitas cedera g. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara
Hb 13-16 g/dl Kolaborasi profilaksis/dapat ditunjukkan pada
Ht 40-48% f. Awasi pemeriksaan laboratorimum mikroorganisme khusus
Lekosit 5000- - Hitung darah lengkap h. Debridement lokal/pembersihan luka
1000 - LED menurunkan mikroorganisme dan insiden infeksi
- Kultur sistemik
g. Berikan obat sesuai indikasi i. Banyak prosedur dilakukan pada pengobatan
- Antibiotik infeksi lokal, osteomielitis, gas gangren
h. Berikan irigasi luka/tulang j. Sequestrektomi/pengangkatan tulang nekrotik
i. Bantu prosedur insisi/drainase, perlu untuk membantu penyembuhan dan
pemasangan drain, terapi O2 mencegah perluasan proses infeksi
hiperbarik
j. Siapkan pembedahan sesuai indikasi
Daftar Pustaka
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perancanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8. Jakarta: EGC
Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: definitions &
classification 2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking for
collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir Saunders.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier
Mosby
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s textbook
of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.