Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR

OLEH:

PUTU INDAH PERMATA SARI (P07120216019)

TINGKAT IV.A / S.Tr Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2020
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN FRAKTUR

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. PENGERTIAN
1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2002).
2. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price & Wilson, 2006).
3. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa
(Mansjoer dkk, 2000).
4. Fraktur adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang; pecahan atau
rupture pada tulang (Dorland, 1998).
Jadi, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan
trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.

B. ETIOLOGI
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur
dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagisan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan
pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat
patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan
ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang
luas.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari
atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang
tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat
rapuh.

C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari fraktur menurut (Brunner and Suddarth, 2002)
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang
di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas
yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan
ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

D. POHON MASALAH
E. PATOFISIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada interupsi dari kontinuitas tulang. Biasanya, fraktur
disertai cedera jaringan di sekitar yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah
dan persarafan. Fraktur bisa juga di sebabkan karena trauma ataupun karena
suatu penyakit, misal osteoporosis. Trauma yang terjadi pada tulang dapat
menyebabkan fraktur dan akan mengakibatkan seseorang memiliki
keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan jaringan lunak
yang terdapat di sekitar fraktur, missal pembuluh darah, saraf, dan otot serta
organ lainnya yang berdekatan dapat di rusak. Pada waktu trauma ataupun
karena mencuatnya tulang yang patah, apabila kulit sampai robek akan
mengakibatkan luka terbuka dan akan mengakibatkan seseorang beresiko
terkena infeksi. Luka dan keluarnya darah dapat mempercepat pertumbuhan
bakteri.
Pada osteoporosis secara tidak langsung mengalami penurunan kadar
kalsium dalam tulang. Dengan berkurangnya kadar kalsium dalam tulang
lama-kelamaan tulang menjadi rapuh sehingga hanya trauma minimal saja
atau tanpa trauma sedikitpun akan mengakibatkan terputusnya kontinuitas
tulang yang di sebut fraktur.
Tingkatan pertumbuhan tulang:
1. Hematoma Formation (Pembentukan Hematoma)
Karena pembuluh darah cedera maka terjadi pada daerah fraktur
dan kedalam jaringan di sekitar tulang tersebut. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast terakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Darah
menumpuk dan mengeratkna ujung-ujung tulang yang patah dan
fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
2. Fibrin Mesk Work (Pembentukan Fibrin)
Hematom menjadi terorganisasi karena fibrablast masuk lokasi
cedera, membentuk mesk work (gumpalan fibrin) dan berfungsi sebagai
jalan untuk melekatkan sel-sel baru.
3. Invasi Osteoblast
Osteoblast masuk ke daerah fibrosis untuk mempertahankan
penyambungan tulang dan merangsang pembentukan tulang baru imatur
(callus). Pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk
membentuk collagen. Untaian collagen terus di satukan dengan kalsium.
4. Callus Formation (Pembentukan Callus)
a. Osteoblast terus membuat jalan untuk membangun tulang.
b. Osteoblast merusakkan tulang mati dan membantu mensintesa tulang
baru.
c. Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.
5. Remodelling
Bekuan fibrin di reabsorpsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan
mengalami tulang sejati. Tulang sejati menggantikan callus dan secara
perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlikan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu
atau terlambat apabila hematom fraktur atau callua rusak sebelum tulng
sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selam proses
kalsifikasi dan pengerasan. 

F. KLASIFIKASI
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar. Fraktur tidak menyebabkan robeknya kulit,
integritas kulit dan jaringan masih utuh.
2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka
dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka kurang dari 1 cm.
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
3) Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
4) Kontaminasi ringan.
b. Derajat II
1) Laserasi lebih dari 1 cm.
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse.
3) Fraktur komuniti sedang.
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas :
1) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
2) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat dipertahankan, terjadi kerusakan jaringan lunak
hebat.
3. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang, biasanya
mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
4. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
5. Jenis khusus fraktur
a. Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang.
2) Garis patah obliq, dimana fraktur membentuk sudut dengan garis
tengah tulang.
3) Garis patah spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
b. Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling
berhubungan.
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan.
6. Fraktur kompresi, fraktur akibat adanya kompresi, biasanya pada tulang
belakang
7. Fraktur avulse, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada
perlekatannya
8. Fraktur greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patang sedang sisi
lainnya membengkok
9. Fraktur depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah)
10. Fraktur patologik, fraktu yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit
(kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor)
11. Fraktur Epivisial, fraktur melalui epifisis
12. Fraktur impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya
13. Bergeser-tidak bergeser
Fraktur tidak bergeser garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser. Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur
yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma.
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur dan juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal
setelah trauma.
4. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila
sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting
ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat
golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan
foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi
bagain tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang
mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan
fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan
kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas
yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus
dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril)
untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan
melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap.
Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan
kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang
dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi,
jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (misal sindrom
kompartemen), adanya tumor. Prosedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat
ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan:
a. Reduksi terbuka: melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan
tulang yang patah.
b. Fiksasi interna: stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan
skrup, plat, paku dan pin logam.
c. Graft tulang: penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi
atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d. Amputasi: penghilangan bagian tubuh.
e. Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat
yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka.
f. Menisektomi: eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g. Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan bahan logam
atau sintetis.
h. Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan artikuler dalam
sendi dengan logam atau sintetis.
i. Transfer tendo: pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi.
j. Fasiotomi: pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot
atau mengurangi kontraktur fasia (Ramadhan, 2008).

I. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,
pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi dan
pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di
daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan
pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan
hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang
mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu
mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom
kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi
volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya sinrome
kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah
tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan
gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat
dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan
hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat
terjadi (Corwin, 2009).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002).
g. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal
union, delayed union, dan non union.
1) Mal union
Mal union adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah
telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk
sudut, atau miring. Contoh yang khas adalah patah tulang paha
yang dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk
imobilisasi dimana kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen-
fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah
gips dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke
dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan
tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini
dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu
melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik
mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan.
Gips yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-
fragmen tulang yang patah dan bergeser sesudah direduksi harus
diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan
radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan
reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan
tindakan operasi.
2) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus
berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
3) Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-
9 bulan. Non union ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor
predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak
benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap
tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara
terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak
(biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera
jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran
darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai
darah ke satu atau lebih fragmen tulang.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur,
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan
patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini
dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh mengakibatkan
hiperekstensi leher. Cara melakukan chinlift dengan menggunakan
jari-jari satu tangan yang diletakan dibawah mandibula, kemudian
mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit
menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika diperlukan ibu
jari dapat diletakkan didalam mulut dibelakang gigi seri untuk
mengangkat dagu. Jaw trust juga merupakan tekhnik untuk
membebaskan jalan nafas. Tindakan ini dilakukan oleh dua tangan
masing-masing satu tangan dibelakang angulus mandibula dan
menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan memakai face-
mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut sehingga dapat
dilakukan ventilasi yang baik. Jika kesadaran klien menurun
pembebasan jalan nafas dapat dipasang guedel (oro-pharyngeal
airway) dimasukkan kedalam mulut dan diletakkan dibelakang lidah.
Cara terbaik adalah dengan menekan lidah dengan tongue spatol dan
mendorong lidah kebelakang, karena dapat menyumbat fariks. Pada
klien sadar tidak boleh dipakai alat ini, karena dapat menyebabkan
muntah dan terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan
memasukkan guedel secara terbalik sampai menyentuh palatum molle,
lalu alat diputar 180o dan diletakkan dibelakang lidah. Naso-
Pharyngeal airway juga merupakan salah satu alat untuk membebaskan
jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah satu lubang hidung yang
tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya
terletak di fariks. Jika pada saat pemasangan mengalami hambatan
berhenti dan pindah kelubang hidung yang satunya.Selama memeriksa
dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher.
b. Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada
dan diafragma. Dada klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang
baik. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke
dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah
dalam rongga pleura.Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan
dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Evaluasi kesulitan
pernafasan karena edema pada klien cedera wajah dan leher. Perlukaan
yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothoraks
dan hemathotoraks massif. Jika terjadi hal yang demikian siapkan klien
untuk intubasi trakea atau trakeostomi sesuai indikasi.
c. Circulation
Control pendarahan vena dengan menekan langsung sisi area
perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat
dengan area perdarahan. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan
tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus. Darah yang keluar
berkaitan dengan fraktur femur dan pelvis. Pertahankan tekanan darah
dengan infuse IV, plasma. Berikan transfuse untuk terapi komponen
darah sesuai ketentuan setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena
obstruksi jantung paru menyebabkan penurunan suplai oksigen pada
jaringan menyebabkan kolaps sirkulsi. Pembebatan ekstremitas dan
pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang menyertai
fraktur.
d. Disability/evaluasi neurologis
Dievalusai keadaan neurologisnya secara cepat, yaitu tingkat
kesadaran ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigen atau penurunan perfusi ke otak atau
perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran menuntutu dilakukannya
pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
e. Exporsure/ control lingkungan
Pada saat tiba di RS, seluruh pakaian yang dikenakan klien harus
dibuka, untuk mengevaluasi klien. Setelah pakaian dibuka, penting
untuk menjaga klien agar tidak kedinginan, harus diberikan selimut
hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal
seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan
radiologi
f. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang
cedera dalam posisi anatomis mungkin dan mencegah gerakan yang
berlebihan pada daerah fraktur.hal ini akan tercapai dengan melakukan
traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat
imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu
menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah
kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup
sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan imobilisasi
sementara dengan traction splint. Traction splint menarik bagian distal
dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint
didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai
tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. Pada cedera
lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan
dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam
ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan
cardboard atau metal gutter, long leg splint. Jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan
pergelangan kaki.
h. Pemeriksaan Radiologi
Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan
bagian dari survey sekunder. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis
yang akan dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis,
keadaan hemodinamik, sertamekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu
dilakukan sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan
hemodinamik dan pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum
dapat ditentukan.

2. Pengkajian Sekunder
a. Kaji riwayat trauma, mengetahui riwayat trauma, karena penampilan
luka kadang tidak sesuai dengan parahnya cidera, jika ada saksi
seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara petugas
melakukan pemeriksaan klien.
b. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki
secara sistematis, inspeksi adanya laserasi bengkak dan deformitas.
c. Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple:
1) Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian sering disertai
dengan trauma pada lumbal
2) Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat
disertai dengan trauma panggul
3) Trauma lengan sering menyebabkan trauma pada siku sehingga
lengan dan siku harus dievaluasi bersamaan.
4) Trauma proksimal fibula dan lutut sering menyebabkan trauma
pada tungkai bawah.
d. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi
e. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
f. Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur pelvis dan
femur.
g. Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka, tertutup dapat
menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup
sehingga menyebabkan penekanan saraf.
h. Kaji TTV secara continue.

B. DIAGNOSA
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma) dibuktikan
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah.
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan kekurangan volume
cairan dibuktikan dengan pengisian kapiler >3 detik, akral teraba dingin,
warna kulit pucat, turgor kulit menurun, edema.
3. Risiko syok dibuktikan dengan faktor risiko kekurangan volume cairan
C. RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SLKI) (SIKI)
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen nyri (I.08238)
Penyebab …x….. jam diharapkan tingkat nyeri menurun 1. Observasi
□ Agen pencedera fisiologis (L.08066) dengan kriteria: □ Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
(mis, inflamasi, iskemia, □ Keluhan nyeri menurun (5) frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
neoplasma) □ Meringis menurun (5) □ Identifikasi skala nyeri
□ Agen pencedera kimiawi (mis □ Sikap protektif menurun (5) □ Identifikasi respons nyeri non verbal
terbakar, bahan kimia iritan) □ Gelisah menurun (5) □ Identifikasi faktor yang memperberat dan
□ Agen pencedera fisik (mis □ Frekuensi nadi membaik (5) memperingan nyeri
abses, amputasi, terbakar, □ Pola nafas membaik (5) □ Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
terpotong, mengangkat berat, □ Tekanan darah membaik (5) tentang nyeri
prosedur operasi, trauma, □ Identifikasi pengaruh budaya terhadap
latihan fisik berlebihan). respons nyeri
□ Identifikasi pengaruh nyeri terhadap
Gejala dan tanda mayor kualitas hidup
Subjektif □ Monitor keberhasilan terapi
□ Mengeluh nyeri komplementer yang sudah diberikan
Objektif □ Monitor efek samping penggunaan
□ Tampak meringis analgetik
□Bersikap protektif (mis 2. Terapeutik
waspada, posisi menghindari □ Berikan teknik nonfarmakologis untuk
nyeri) mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
□ Gelisah hypnosis, akupresur, terapi music,
□ Frekuensi nadi meningkat biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
□ Sulit tidur teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
Gejala dan tanda minor □ Kontrol lingkungan yang memperberat
Subjektif (tidak tersedia) rasa nyeri ( mis. Suhu ruangan,
Objektif pencahayaan, kebisingan)
□ Tekanan darah meningkat □ Fasilitasi istirahat dan tidur
□ Pola nafas berubah □ Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
□ Nafsu makan berubah dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
□ Proses berpikir terganggu 3. Edukasi
□ Menarik diri □ Jelaskan penyebab periode dan pemicu
□ Berfokus pada diri sendiri nyeri
□ Diaforesis □ Jelaskan strategi meredakan nyeri
□ Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
□ Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
□ Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu

Pemberian analgesik (I.08243)


1. Observasi
□ Identifikasi karakteristik nyeri (mis.
Pencetus, kualitas, lokasi, intensitas,
frekuensi, durasi)
□ Identifikasi riwayat alergi obat
□ Identifikasi kesesuaian jenis anlagetik
(mis. Narkotika, non-narkotk, atau
NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
□ Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian analgetik
□ Monitor efektifitas analgesic
2. Terapeutik
□ Diskusikan jenis analgesic yang disukai
untuk mencapai analgesia optimal, jika
perlu
□ Perimbangkan penggunaan infus kontinu
atau bolus oploid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
□ Tetapkan target efektifitas analgesic untuk
mengoptimalkan respons pasien
□ Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesic dan efek yang tidak diinginkan.
3. Edukasi
□ Jelaskan efek terapi dan efek samping
obat
4. Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesic, sesuai indikasi
2. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Perawatan sirkulasi (I.20279)
Penyebab …x….. jam diharapkan perfusi perifer (L.02011) 1. Observasi
□ Hiperglikemia meningkat dengan kriteria hasil: □ Periksa sirkulasi perifer (mis.nadi perifer,
□ Penurunan konsentrasi □ Denyut nadi perifer meningkat (5) edema, pengisian kapiler, warna, suhu,
hemoglobin □ Penyembuhan luka meningkat (5) ankle brachial index)
□ Peningkatan tekanan darah □ Sensasi meningkat (5) □ Identifikasi faktor resiko gangguan
□ Kekurangan volume cairan □ Warna kulit pucat menurun (5) sirkulasi (mis.diabetes, perokok, orang
□ Penuruan aliran arteri □ Kelemahan otot menurun (5) tua, hipertensi, dan kadar kolesterol
dan/atau vena □ Kram otot menurun (5) tinggi)
□ Kurang terpapar informasi □ Nekrosis menurun (5) □ Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
tentang faktor pemberat □ Pengisian kapiler membaik (5) bengkak pada ekstremitas.
(mis. Merokok, gaya hidup □ Akral membaik (5) 2. Terapeutik
menoton, trauma, obesitas, □ Turgor kulit membaik (5) □ Hindari pemasangan infus atau
asupan garam, imobilitas) □ Tekanan darah sistolik membaik (5) pengambilan darah di area keterbatasan
□ Kurang terpapar informasi □ Tekanan darah diastolik (5) perfusi
tentang proses penyakit (mis □ Hindari pengukuran tekanan darah pada
diabetes mellitus, Tingkat cedera (L.14136) menurun dengan ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
hyperlipidemia) kriteria hasil : □ Lakukan pencegahan infeksi
□ Kurang aktivitas fisik □ Kejadian cedera menurun (5) □ Hindari penekanan dan pemasangan
□ Luka/lecet menurun (5) tourniquet pada area yang cedera.
Gejala dan tanda mayor □ Fraktur menurun (5) □ Lakukan hidrasi
Subjektif (tidak tersedia) □ Perdarahan menurun (5) 3. Edukasi
Objektif □ Ekspresi wajah kesakitan menurun (5) □ Anjurkan berhenti merokok
□ Pengisian kapiler > 3 detik □ Tekanan darah membaik (5) □ Anjurkan berolahraga rutin
□ Nadi perifer menurun atau □ Frekuensi nadi membaik (5) □ Anjurkan menggunakan obat penurun
tidak teraba □ Frekuensi napas membaik (5) tekanan darah, antikoagulan, dan penurun
□ Akral teraba dingin kolesterol jika perlu
□ Warna kulit pucat Tingkat perdarahan (L.02017) menurun dengan □ Anjurkan minum obat pengontrol tekanan
□ Turgor kulit menurun kriteria hasil : darah jika perlu
□ Kelembapan membran mukosa meningkat □ Ajarkan program diet untuk memperbaiki
Gejala dan tanda minor (5) sirkulasi (mis. Rendah lemak jenuh,
Subjektif □ Kelembapan kulit meningkat (5) minyak ikan omega tiga)
□ Parastesia □ Hemoptisis menurun (5) □ Informasikan tanda dan gejala darurat
□ Nyeri ekstremitas □ Hematemesis menurun (5) yang harus dialporkan (mis rasa sakit yang
(klaudikasi intermiten) □ Hematuria menurun (5) tidak hilang saat istirahat, luka tidak
Objektif □ Hemoglobin membaik (5) sembuh, hilangnya rasa)
□ Edema □ Hematokrit membaik (5)
□ Penyembuhan luka lambat □ Tekanan darah membaik (5)
□ Indeks ankle-brachial <0,90 Manajemen Sensasi Perifer (I.06195)
□ Bruit femoral 1. Observasi
□ Identifikasi penyebab perubahan sensasi
□ Identifikasi penggunaan alat pengikat,
prosthesis, sepatu, dan pakaian
□ Periksa perbedaan sensasi tajam atau
tumpul
□ Periksa perbedaan sensasi panas atau
dingin
□ Periksa kemampuan mengidentifikasi
lokasi dan tekstur benda
□ Monitor terjadinya paresthesia, jika perlu
□ Monitor perubahan kulit
□ Monitor adanya tromboflebitis dan
tromboemboli vena
2. Terapeutik
□ Hindari pemakaian benda-benda yang
berlebihan suhunya (terlalu panas atau
dingin)
3. Edukasi
□ Anjurkan penggunaan sarung tangan
termal saat memasak
□ Anjurkan memakai sepatu lembut dan
bertumit rendah
4. Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian analgesic, jika
perlu
□ Kolaborasi pemberian kortikosteroid jika
perlu

Manajemen hipovolemia (I.03116)


1. Observasi
□ Periksa tanda dan gejala hypovolemia
(mis frekuensi nadi meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor kulit menurun,
membrane mukosa kering, volume urine
menurun, hematocrit meningkat, haus,
lemah.
□ Monitor intake dan output cairan
2. Terapeutik
□ Hitung kebutuhan cairan
□ Berikan posisi modified trendelenburg
□ Berikan asupan cairan oral
3. Edukasi
□ Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral
□ Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak
4. Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis
(mis.NaCl, RL)
□ Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis
(mis. Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
□ Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis,
albumin, plasmanate)
□ Kolaborasi pemberian produk darah
3. Risiko syok Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Pencegahan Syok (I.02068)
Faktor resiko: …x….. jam diharapkan tidak terjadi syok 1. Observasi
□ Hipoksemia (L.03032) dengan kriteria hasil: □ Monitor status kardiopulmonal (frekuensi
□ Hipoksia □ Kekuatan nadi meningkat (5) dan kekuatan nasi, frekuensi napas, TD,
□ Hipotensi □ Output urine meningkat (5) MAP)
□ Kekurangan volume cairan □ Tingkat kesadaran meningkat (5) □ Monitor status oksigenasi
□ Sepsis □ Akral dingin menurun (5) □ Monitor status cairan (masukan dan
□ Sindrom respons inflamasi □ Mean arterial pressure membaik (5) haluaran, turgor kulit, CRT)
sistemik □ Tekanan darah sistolik membaik (5) □ Monitor tingkat kesadaran da respon pupil
□ Tekanan darah diastolik membaik (5) □ Periksa riwayat alergi
□ Tekanan nadi membaik (5) 2. Terapeutik
□ Frekuensi nadi membaik (5) □ Berikan oksigen untuk mempertahankan
□ Frekuensi napas membaik (5) saturasi oksigen >90%
□ Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis
jika perlu
□ Pasang jalur IV jika perlu
□ Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urine, jika perlu
□ Lakukan skin test untuk mencegah reaksi
alergi
3. Edukasi
□ Jelaskan penyebab/faktor resiko syok
□ Jelaskan tanda dan gejala awal syok
□ Anjurka melapor jika menemukan
/merasakan tanda dan gejala awal syok
□ Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral
□ Anjurkan menghindari allergen

4. Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian IV jika perlu
□ Kolaborasi pemberian trasfusi darah jika
perlu
□ Kolaborasi pemberian antiinflamasi jika
perlu

Pemantauan cairan (I.03121)


1. Observasi
□ Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
□ Monitor frekuensi napas
□ Monitor tekanan darah
□ Monitor berat badan
□ Monitor waktu pengisian kapiler
□ Monitor elastisitas atau turgor kulit
□ Monitor jumlah,warna dan berat jenis
urine
□ Monitor kadar albumin dan protein total
□ Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.
Osmolaritas serum, hematocrit, natrium,
kalium, BUN)
□ Monitor intake dan output cairan
□ Identifikasi tanda-tanda hypovolemia
(mis. Frekuensi nasi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun,membrane mukosa kering,
volume urine menurun, hematocrit
meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine
meningkat, berat badan menurun dalam
waktu singkat)
□ Identifikasi tanda-tanda hypervolemia
(mis dyspnea, edema perifer, edema
anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, Refleks hepatojugular positif,
berat badan menurun dalam waktu
singkat)
□ Identifikasi faktor resiko
ketidakseimbangan cairan (mis prosedur
pembedahan mayor, trauma/perdarahan,
luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pancreas, penyakit ginjal dan
kelenjar, disfungsi intestinal)
2. Terapeutik
□ Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informasikan hasil pemantauan jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A Graham.2012.Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.Jakarta:


Widya Medika
Dudley, Hugh AF.2011. Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II.Jogjakarta: FKUGM
Henderson, M.A.2012.Ilmu Bedah untuk Perawat.Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika
Herdman, T Heather.2012.Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014.Jakarta: EGC
Hudak and Gallo.2014.Keperawatan Kritis Volume I.Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif.2000.Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II.Jakarta: Medika
Aesculapius FKUI
Lynda Juall Carpenito.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawat (Handbook of
Nursing Diagnosis) Edisi 10.Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta: Media Aesculapius.
Price A S, Wilson.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi
Vol. 2. Jakarta: EGC
Price, Evelyn C.2007.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis.Jakarta: Gramedia
Smeltzer, S.C. dan Bare, B.G.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi
8, Vol. 2. Jakarta: EGC
LEMBAR PENGESAHAN

Gianyar, 2020

Mengetahui,

Pembimbing Klinik / CI Mahasiswa

.......................................
............ ...................................................

NIP. NIM.

Clinical Teacher/ CT

......................................................

NIP.
LEMBAR PENGESAHAN

Gianyar, 2020

Mengetahui,

Pembimbing Klinik / CI Mahasiswa

.......................................
............ ...................................................

NIP. NIM.

Clinical Teacher/ CT

......................................................

NIP.

Anda mungkin juga menyukai