Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN FRAKTUR

Oleh:

OLEH :
NI LUH PUTU SUKMA KRISMAYANTI, SST
NIM. P07120320118

PRODI PROFESI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN FRAKTUR

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. PENGERTIAN
 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Smeltzer & Bare, 2002).
 Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price
& Wilson, 2006).
 Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer dkk,2000).
 Fraktur adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang; pecahan atau rupture pada
tulang .
Jadi, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga
fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.

2. EPIDEMIOLOGI
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur di
bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang
disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki-
laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan
lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopause.
Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cedera yang
disebabkan olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cedera terbanyak adalah
fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki-laki dengan umur di bawah 15 tahun.
Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas 4 kali
lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
3. ETIOLOGI
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh
beberapa hal yaitu:
a) Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagisan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila
tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak
juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan
fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b) Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula
atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-
berbaris dalam jarak jauh.
c) Fraktur petologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh
tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

4. PATOFISIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada interupsi dari kontinuitas tulang. Biasanya, fraktur di sertai
cedera jaringan di sekitar yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan persarafan.
Fraktur bisa juga di sebabkan karena trauma ataupun karena suatu penyakit, misal
osteoporosis. Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan fraktur dan akan
mengakibatkan seseorang memiliki keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri
pergerakan jaringan lunak yang terdapat di sekitar fraktur, missal pembuluh darah, saraf,
dan otot serta organ lainnya yang berdekatan dapat di rusak. Pada waktu trauma ataupun
karena mencuatnya tulang yang patah, apabila kulit sampai robek akan mengakibatkan
luka terbuka dan akan mengakibatkan seseorang beresiko terkena infeksi. Luka dan
keluarnya darah dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.
Pada osteoporosis secara tidak langsung mengalami penurunan kadar kalsium
dalam tulang. Dengan berkurangnya kadar kalsium dalam tulang lama-kelamaan tulang
menjadi rapuh sehingga hanya trauma minimal saja atau tanpa trauma sedikitpun akan
mengakibatkan terputusnya kontinuitas tulang yang di sebut fraktur.
Tingkatan pertumbuhan tulang :
1) Hematoma Formation (Pembentukan Hematoma)
Karena pembuluh darah cedera maka terjadi pada daerah fraktur dan kedalam jaringan
di sekitar tulang tersebut. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel-sel
darah putih dan sel mast terakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut. Darah menumpuk dan mengeratkna ujung-ujung tulang yang patah
dan fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
2) Fibrin Mesk Work (Pembentukan Fibrin)
Hematom menjadi terorganisasi karena fibrablast masuk lokasi cedera, membentuk
mesk work (gumpalan fibrin) dan berfungsi sebagai jala untuk melekatkan sel-sel
baru.
3) Invasi Osteoblast
Osteoblast masuk ke daerah fibrosis untuk mempertahnkan penyambungan tulang dan
merangsang pembentukan tulang baru imatur (callus). Pembuluh darah berkembang
mengalirkan nutrisi untuk membentuk collagen. Untaian collagen terus di satukan
dengan kalsium.
4) Callus Formation (Pembentukan Callus)
 Osteoblast terus membuat jalan untuk membangun tulang.
 Osteoblast merusakkan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru.
 Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.
5) Remodelling
Bekuan fibrin di reabsorpsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan mengalami tulang
sejati. Tulang sejati menggantikan callus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.
Penyembuhan memerlikan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila hematom fraktur atau callua
rusak sebelum tulng sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selam
proses kalsifikasi dan pengerasan. 
5. KLASIFIKASI
a) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Fraktur tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit dan jaringan
masih utuh.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I
 Luka kurang dari 1 cm.
 Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
 Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
 Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
 Laserasi lebih dari 1 cm.
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse.
 Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c) Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang, biasanya mengalami
pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d) Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e) Jenis khusus fraktur
1) Bentuk garis patah
 Garis patah melintang.
 Garis patah obliq, dimana fraktur membentuk sudut dengan garis tengah
tulang.
 Garis patah spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
2) Jumlah garis patah
 Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
 Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan.
 Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
3) Fraktur kompresi, fraktur akibat adanya kompresi, biasanya pada tulang belakang
4) Fraktur avulse, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada
perlekatannya
5) Fraktur greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patang sedang sisi lainnya
membengkok
6) Fraktur depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan wajah)
7) Fraktur patologik, fraktu yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,
paget, metastasis tulang, tumor)
8) Fraktur Epivisial, fraktur melalui epifisis
9) Fraktur impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya
10) Bergeser-tidak bergeser
Fraktur tidak bergeser garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut
di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001).

6. MANIFESTASI KLINIS
Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut :
1) Nyeri
Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan kompensasi tubuh untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot berrgantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3) Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang
melengket di atas dan bawah tempat fraktur.

4) Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
5) Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma.
 Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur dan juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
 Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
 Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
 Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
 Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel,
atau cedera hati (Dongoes: 1999). 

8. PENATALAKSANAAN
1) Penatalaksanaan Kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada
masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi
semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari
adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai
adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segera sebelum pasien
dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan
lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen
tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang
panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai
bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang
cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk
menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan melakukan reduksi fraktur,
bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang
diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi
cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa
mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
2) Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis,
gangguan peredaran darah (misal sindrom kompartemen), adanya tumor. Prosedur
pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna
atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan:
 Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
 Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam.
 Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang
berpenyakit.
 Amputasi : penghilangan bagian tubuh.
 Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)
atau melalui pembedahan sendi terbuka.
 Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
 Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis.
 Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis.
 Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi.
 Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia (Ramadhan, 2008).

9. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) antara lain:
1) Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada
fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin
yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c) Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi dan pembuluh darah
yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan
pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai
daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini
menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang
mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak
dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi
pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko
terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan
patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada
ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan
peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau
hilangnya ekstremitas dapat terjadi (Corwin, 2009).
d) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
e) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
f) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s
Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002).
2) Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union,
dan non union.
a) Mal union
Mal union adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Contoh yang khas adalah patah
tulang paha yang dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi
dimana kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang
diperhatikan. Akibatnya sesudah gips dibung ternyata anggota tubuh bagian distal
memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya
untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan
melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan
reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan.
Gips yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen tulang yang
patah dn bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan
melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali
dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan tindakan operasi.
b) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
c) Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Non union di tandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor predisposisi dari
nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagian-
bagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik
dengan cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya
otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat
berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang patah tersebut dapat
merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen tulang.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1) PENGKAJIAN
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit
dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronch/aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
penurunan nadi pada bagian distal yang cedera, capilary refil melambat, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis
pada tahap lanjut.
d. Disability
Dapat terjadi penurunan kesadaran pada pasien dengan komplikasi syok. Kehilangan
fungsi pada bagian yang patah. Keterbatasan mobilitas, Kesemutan, deformitas,
krepitasi, pemendekan, kelemahan
e. Exposure
Terdapat luka terbuka dan perdarahan pada fraktur terbuka, perubahan warna,
hematom dan pembengkakan lokal pada fraktur tertutup.
f. Give Comfort
Terdapat rasa nyeri yang meningkat saat bagian yang cedera digerakkan, dapat
menimbulkan syok neurologis pada nyeri yang tidak teratasi segera.

2) DIAGNOSA
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik (terputusnya jaringan tulang,
gerakan fragmen tulang, dan cedera pada jaringan).
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik (tekanan,
koyakan/robekan, friksi).
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal, dan
program pembatasan aktivitas.
d. Risiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
(kerusakan integritas kulit dan trauma jaringan.
3) RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Rencana Keperawatan
1 Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
agen cedera fisik (terputusnya selama 2 jam diharapkan nyeri dapat 1) Kaji tingkat nyeri yang komprehensif : lokasi,
jaringan tulang, gerakan terkontrol dengan kriteria hasil : durasi, karakteristik, frekuensi, intensitas, faktor
fragmen tulang, dan cedera  Melaporkan gejala nyeri menurun pencetus.
pada jaringan)  Melaporkan kenyamanan fisik dan 2) Monitor skala nyeri dan observasi tanda non verbal
psikologis. dari ketidaknyamanan.
 Mengenali faktor yang menyebabkan 3) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum
nyeri. menjadi berat.

 Melaporkan nyeri terkontrol (skala nyeri 4) Kelola nyeri pasca operasi dengan pemberian
<4 dari rentang 0-10). analgesik tiap 4 jam, dan monitor keefektifan

 Tidak menunjukkan respon non verbal tindakan mengontrol nyeri.

adanya nyeri. 5) Kontrol faktor lingkungan yang dapat

 Menggunakan terapi analgetik dan non mempengaruhi respon pasien terhadap

analgetik. ketidaknyamanan : suhu ruangan, cahaya,


kegaduhan.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal.
6) Ajarkan tehnik non farmakologis kepada pasien dan
keluarga : relaksasi, distraksi, terapi musik, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres
panas/dingin, masase, imajinasi terbimbing (guided
imagery),hipnosis (hipnoterapy) dan pengaturan
posisi.
7) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri : misal pasien cemas,
kurang tidur, posisi tidak rileks.
8) Kolaborasi medis untuk pemberian analgetik.
2 Kerusakan integritas jaringan Setelah diberikan askep selama 24 jam 1) Tempatkan pasien pada terapeutic bed
berhubungan dengan faktor diharapkan integritas jaringan pasien 2) Elevasi ekstremitas yang terluka
mekanik (tekanan, membaik, dengan kriteria hasil: 3) Monitor status nutrisi pasien
koyakan/robekan, friksi)  Temperatur jaringan dalam rentang yang 4) Monitor sumber tekanan
diharapkan. 5) Monitor mobilitas dan aktivitas pasien
 Elastisitas dalam rentang yang 6) Mobilisasi pasien minimal setiap 2 jam sekali
diharapkan. 7) Back rup
 Hidrasi dalam rentang yang diharapkan. 8) Ajarkan pasien untuk menggunakan pakaian yang

 Pigmentasi dalam rentang yang longgar

diharapkan.
 Warna dalam rentang yang diharapkan.
 Tekstur dalam rentang yang diharapkan.
 Bebas dari lesi.
 Kulit utuh
3 Hambatan mobilitas fisik Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor vital sign sebelum dan sesudah latihan dan
berhubungan dengan selama 24 jam diharapkan pasien dapat lihat respon pasien saat latihan.
gangguan muskuloskeletal, melakukan aktivitas secara bertahap sesuai 2) Konsultasikan dengan fisioterapis tentang rencana
dan program pembatasan batas kemampuannya, dengan kriteria hasil: ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
aktivitas NOC Label >> Mobility 3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
 Keseimbangan tubuh. berjalan dan cegah terhadap cedera.
 Posisi tubuh. 4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang

 Gerakan otot. teknik ambulasi.

 Gerakan sendi. 5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.


6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL
 Kemampuan berpindah.
secara mandiri sesuai kemampuan.
 Ambulasi: berjalan.
7) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
 Ambulasi: kursi roda.
bantu pemenuhan kabutuhan ADL.
8) Berikan alat bantu bila pasien memerlukan.
9) Ajarkan bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.
NIC Label >> Exercise Therapy: Joint Movement
1) Tentukan batasan gerakan.
2) Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
mengembangkan dan menentukan program latihan
3) Tentukan level gerakan pasien.
4) Jelaskan pada keluarga/pasien tujuan dan rencana
latihan.
5) Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama
gerakan atau aktivitas.
6) Lindungi pasien dari trauma selama latihan.
7) Bantu pasien untuk mengoptimalkan posisi tubuh
untuk gerakan pasif atau aktif.
8) Dorong ROM aktif.
9) Instruksikan pada pasien atau keluarga tentang
ROM pasif dan aktif.
10) Bantu pasien untuk mengembangkan rencana
latihan ROM aktif.
11) Dorong klien untuk menunjukan gerakan tubuh
sebelum latihan.
4 Risiko syok berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Monitor tanda dan gejala adanya perdarahan yang
dengan hipovolemia selama 2 jam diharapkan tidak terjadi syok persisten.
hipovolemik dengan kriteria hasil: 2) Catat nilai Hb dan HT sebelum dan sesudah
 Tekanan darah sistolik dalam batas kehilangan darah.
normal. 3) Berikan produk darah sesuai instruksi (platelet or
 Tekanan darah diastolik dalam batas fresh frozen plasma).
normal. 4) Cegah kehilangan darah dengan menekan sisi
 Nadi perifer tebada dan dalam batas perdarahan
normal.
 Irama jantung normal.
 Frekuensi napas dalam batas normal.
 Saturasi O2 > 90%.
 Tidak tampak pucat.
 Tidak terjadi restlessness.
 Tidak ada distensi vena jugularis.
 Tidak terjadi somnolen.
5 Risiko infeksi berhubungan Setelah diberikan askep selama 24 jam tidak 1) Ajarkan pada pasien dan keluarga cara menjaga
dengan pertahanan tubuh terjadi infeksi dengan kriteria hasil : personal hygiene untuk melindungi tubuh dari
primer tidak adekuat  Tidak didapatkan infeksi berulang. infeksi : cara mencuci tangan yang benar.
(kerusakan integritas kulit  Tidak didapatkan tumor. 2) Anjurkan kepada keluarga/pengunjung untuk
dan trauma jaringan  Status rspirasi sesuai yang diharapkan. mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan

 Temperatur badan sesuai yang ruang pasien.

diharapkan. 3) Jelaskan kepada pasien dan keluarga tanda dan

 WBC dalam batas normal. gejala infeksi.

 Mendeskripsikan proses penularan


1) Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu
penyakit.
tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi,
 Mendeskripsikan faktor yang
penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan
mempengaruhi terhadap proses
malaise.
penularan penyakit.
2) Pertahankan tehnik aseptik pada pasien yang
 Mendeskripsikan tindakan yang dapat
beresiko.
dilakukan untuk pencegahan proses
3) Bersihkan alat/lingkungan dengan benar setelah
penularan penyakit.
dipergunakan pasien.
 Mendeskripsikan tanda dan gejala
4) Dorong pasien untuk mengkonsumsi nutrisi dan
infeksi. cairan yg adekuat.
 Mendeskripsikan penatalaksanaan yang 5) Kolaborasi pemberian antibiotik.
tepat untuk infeksi. 6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi
sesuai indikasi, dan pemeriksaan laboratorium yang
sesuai.
4. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan kedalam
renpra. Tindakan keperawatan mencakup kolaborasi dan independent. Tindakan
independent/mandiri adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan sendiri
bukan merupakan petunjuk/perintah dari petugas kesehatan yang lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan oleh hasil keputusan antara dokter, perawat,
dan petugas kesehatan yang lain

5. EVALUASI
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap
perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah
dicapai.  
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Lynda Juall Carpenito. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawat (Handbook of Nursing
Diagnosis) Edisi 10. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan Dengan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Merdeka.
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta: EGC.
Reeves C. J., Roux G & Lockhart R. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Buku I. Jakarta:
Salemba Medika.
Smeltzer, S.C. dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Vol. 2.
Jakarta: EGC.
Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai