Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR SMITH

Disusun Oleh :

1. Feri Brilian Widodo (P27220017056)


2. Winda Meliana (P27220018082)
3. Yeyen Dwi Weliyanti (P27220018083)

DIII KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA
2020
KONSEP DASAR TEORI
A. Definisi
Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar)
karena itu sering disebut reverse colles fracture. Fraktur ini biasa
terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan sedang
posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi.
Garis patahan biasanya transversal, kadang-kadang intraartikular.
Fraktur Smith atau Fraktur Colles adalah fraktur metafisis distal radius,
biasanya terjadi 3 sampai 4 cm dari permukaan sendi dengan angulasi volar apeks
fraktur (deformitas garpu perak/ silver fork deformity), dislokasi fragmen distal
ke arah dorsal, dan disertai pemendekan radius. Fraktur Colles dapat dengan atau
tanpa disertai fraktur styloideus ulnae (Hoppenfeld, 2011).

B. Klasifikasi
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan pada fraktur ekstensi dari
radius distal. Namun yang paling sering digunakan adalah sistem klasifikasi oleh
Frykman. Berdasarkan sistem ini maka fraktur Colles dibedakan menjadi 4 tipe
berikut : (Simon & Koenigsknecht, 1987)
Tipe IA : Fraktur radius ekstra artikuler
Tipe IB : Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
Tipe IIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal
Tipe IIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal
Tipe IIIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radioulnar
Tipe IIIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radioulnar
Tipe IVA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal dan
sendi 
radioulnar.
Tipe IVB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal
dan sendi radioulnar.

Gambar: Klasifikasi Fraktur Colles

C. Etiologi
Menurut, (Hoppenfeld, 2011) etiologi fraktur colles diakibatkan karena
jatuh dengan menumpu pada tangan yang mengakibatkan fraktur dan dislokasi
radius distal.
Menurut (Sjamsujidajat, 2004) etiologi fraktur colles paling sering
ditemukan di kehidupan normal karena jatuh bertumpu tangan.
Etiologi dan Faktor Resiko :
1. Usia lanjut
2. Postmenopause
3. Massa otot rendah
4. Osteoporosis
5. Kurang gizi
6. Olahraga seperti sepakbola dll
7. Aktivitas seperti skating, skateboarding atau bike riding
8. Kekerasan
9. ACR (albumin creatinin ratio) yang tinggi
Efek ini kemungkinan disebabkan oleh gangguan sekresi 1,25 hidroksi
vitamin D yang menyebabkan malabsorpsi kalsium (Dani, 2010)

D. Manifestasi Klinis
Pada inspeksi bentuk khas yang dapat dilihat seperti sendok makan
(dinner fork deformity). Gejala-gejala yang lain seperti lazimnya gejala patah
tulang, ada pembengkakan, nyeri tekan, nyeri gerak.
Kita dapat mengenali fraktur ini (seperti halnya Colles jauh sebelum
radiografi diciptakan) dengan sebuah sebutan deformitas garpu makan, dengan
penonjolan punggung pergelangan tangan dan depresi di depan. Pada pasien
dengan sedikit deformitas mungkin hanya terdapat nyeri tekan local dan nyeri
bila pergelangan tangan digerakkan. Pada sinar X terdapat fraktur radius
melintang pada sambungan kortikokanselosa, dan prosesus stiloideus ulnar sering
putus. Fragmen radius (1) bergeser dan miring ke belakang, (2) bergeser dan
mirirng ke radial, dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami
peremukan dan kominutif (Apley, 1995).
Gambar: Dinner Fork Deformity (The Internet Journal of
Orthopedic Surgery)
E. Patofisiologi
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan
biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan
sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar
menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi
ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping
menyerupai garpu. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998). 
Benturan mengena di sepanjang lengan bawah dengan posisi pergelangan
tangan berekstensi. Tulang mengalami fraktur pada sambungan kortikokanselosa
dan fragmen distal remuk ke dalam ekstensi dan pergeseran dorsal (Solomon &
Appley, A.G,2010).
Garis fraktur berada kira-kira 3 cm proksimal prosesus styloideus radii. Posisi
fragmen distal miring ke dorsal, overlapping dan bergeser ke radial, sehingga
secara klasik digambarkan seperti garpu terbalik (dinner fork deformity). (Armis,
2000).
F. Pathway
G. Penatalaksana
- Penanganan Non Operatif
Pengobatan non operatif meliputi reposisi tertutup dan kemudian dilanjutkan
dengan immobilisasi (Hutagalung, 2003).
1) Teknik Reposisi
Reposisi dapat dilakukan dengan memakai anastesi local, regional blok
(plexus brachialis dan axilaris) atau anastesi umum. Reposisi harus
segera dilakukan sebelum adanya edema yang dapat mengganggu.
2) Metode Immobilisasi
Berbagai teknik pemasangan cast telah dikenal. Pada prinsipnya cast
tidak boleh melebihi atau melewati sendi metacarpofalangeal, dimana
jari-jari harus dalam posisi bebas bergerak. Immobilisasi dapat
menggunakan gips ataupun functional brace yang dapat dipasang di atas
atau di bawah siku. Yang paling sering dipakai dan hasilnya cukup stabil
adalah pemasangan below elbow cast (Hutagalung, 2003).
3) Posisi pergelangan tangan
Dilakukan dengan posisi palmar fleksi 15 derajat dan ulnar deviasi 20
derajat, karena dengan posisi tersebut tendon ekstensor dan otot
brakhioradialis sedikit teregang sehingga dapat menambah stabilitas hasil
reposisi. Tetapi posisi palmar fleksi dan ulnar deviasi yang ekstrim akan
menimbulkan komplikasi berupa edema dan kompresi saraf medianus,
sehingga jari sukar digerakkan yang akhirnya dapat menimbulkan
kekakuan (Hutagalung, 2003).
4) Posisi lengan bawah
Below elbow cast menghasilkan posisi netral dari lengan bawah,
sehingga pronasi dan supinasi tidak dikurangi secara penuh. Beberapa
penulis menganjurkan posisi supinasi dalam pemakaian above elbow
cast. Posisi ini dikemukakan oleh Sarmiento dan kawan-kawan dengan
dasar hasil pemeriksaan EMG menunjukkan penurunan aktivitas otot
brakhioradialis yang berinsersi pada distal radius berperan penting
terhadap penyebab redislokasi pada fraktur colles (Hutagalung, 2003).
5) Lama Immobilisasi
Lama pemasangan gips bervariasi antara 3-6 minggu. Wahlstrom dengan
bone scanning membuktikan bahwa setelah 28 hari fraktur sudah cukup
stabil dan boleh immobilisasi. Sarmiento menganjurkan pemakaian
setelah 1 minggu dengan gips. Pada kasus minimal displacemet
immobilisasi cukup 3-4 minggu, sedang pada tindakan operatif berkisar
6-12 minggu.
- Penanganan Operatif
Pengobatan operatif dilakukan pada kasus-kasus yang tidak stabil seperti
fraktur yang kominutif, angulasi hebat > 20 derajat, serta adanya kerusakan
pada permukaan sendi terutama pada penderita usia muda atau adanya
redislokasi dini dengan cara pengobatan konservatif (Hutagalung, 2003).
1) Fiksasi Internal
Keuntungan teoritis fiksasi internal radius distal tidak hanya terletak pada
reduksi anatomi, tetapi juga dalam membangun fiksasi yang stabil untuk
memungkinkan pergerakan di tahap awal dan juga rehabilitasi
(Blakeney,2010). Pada orang tua, fraktur radius distal sering disebabkan
oleh osteoporosis (Sakai et al., 2008). Perangkat fiksasi internal
bagaimanapun juga jauh lebih lemah dalam menangani tulang
osteoporosis, oleh karena itu cenderung akan longgar dan kehilangan
keselarasan fraktur (Walz et al., 2004). Teknik bedah berkembang untuk
memungkinkan kontrol yang lebih baik untuk tulang osteoporosis.Sekrup
pengunci sudut-tetap (Fixed-angle locking screws) yang terkunci di
dalam pelat tidaklah bergantung dengan benang sekrup yang ada di
tulang. Sekrup tersebut berfungsi sebagai penopang internal tetap yang
memindahkan beban artikular dari tulang metaphysis yang fraktur ke
tulang diaphysis yang utuh (Blakeney, 2010).
2) Fiksasi Eksternal
a) Bridging External Fixation
Bridging ekternal fiksasi dulunya menjadi pilihan pertama dalam
perawatan operasi hampir pada semua fraktur radius distal kecuali fraktur
volar Barton.Tetapi beberapa ahli bedah yang berpengalaman keluar dari
zona nyaman mereka dan mencoba melakukan perawatan fraktur radius
distal dengan volar locking plates atau implant lainnya yang baru
diperkenalkan (Vasenius, 2008).
b) Nonbridging External Fixation
Indikasi; fraktur ekstra-artikular yang mempunyai resiko tinggi
untuk kambuh.

H. Komplikasi
1) Redisplacement
Hal ini merupakan komplikasi penting yang paling umum antara 15-20
persen. Dari semua fraktur radius distal yang telah direduksi menunjukkn
adanya beberapa derajat redisplacement. Tiga penyebab komplikasi ini
adalah (a) imobilisasi yang salah, (b) groos comminution, (c) Tekanan tulang
pada fraktur aspek dorsal. Immobilisasi yang dilakukan secara segera di
lokasi atas dan bawah fraktur merupakan prinsip kardinal dalam
penatalaksanaan fraktur radius distal, namun fiksasi standar fraktur colles
entah dengan plastercast ataupun splintage bentuk lain tidak boleh sampai
memfiksasi sendi siku hingga mempengaruhi rotasi lengan bawah. Oleh
karena itu sangat penting bahwa penggunaan splintage harus dilakukan
dengan cukup hati-hati dan harus sering diamati beberapa selang waktu
terutama selama dua minggu pertama.
Mobilisasi dalam posisi lain seperti Cotton Loder telah dicoba akan tetapi
tidak ada posisi yang benar-benar berhasil dalam mencegah redisplacement.
Gross comminution dapat terlihat di semua kelompok umur akan tetapi lebih
sering teramati di usia tua. Kominusi berarti ketidakstabilan dan bahkan
dengan dukungan redisplacement terbaikpun masih ada kemungkinan untuk
terjadi (Stephenson, 1951).
2) Mal-union
Mal-union juga merupakan komplikasi yang umum terjadi. Tingkat
keparahan dan juga jenis kelainan bentuknyapun sangatlah
bervariasi(Stephenson, 1951). Disebutkan bahwa perawatan yang tidak
adekuat pada fraktur yang baru terjadi menyebabkan mal union, keluhan rasa
sakit yang signifikan, deformitas, dan keterbatasan dalam bergerak. Hal ini
mucul pada 25 pasien yang diteliti dan membuat pasien-pasien tersebut
direkomendasikan untuk melakukan osteotomi korektif (Cooney et al., 1980).
3) Kelemahan Sendi Radio-Ulnar bawah
Telah ditunjukkan oleh Lippman (1937) dengan eksperimennya pada
mayat bahwa terputusnya kartilago fibro triangular menghasilkan tingkat
kelemahan abnormal yang sangat kecil, tetapi ketika ligamen radio-ulnar
terbagi muncullah dislokasi sendi radio-ulnar. Penemuan ini telah
dikonfirmasi oleh penulis di ruang pembedahan. Lippman telah sampai pada
kesimpulan bahwa ketika fraktur colles dengan displacement dibiarkan, akan
terjadi kerusakan pada ligamen dorsal dan kegagalannya untuk sembuh
adalah penyebab utama dari kelemahan residual.
4) Kekakuan Sendi dan Adhesi
Kaku tangan akibat arthrofibrosis pada jari-jari adalah komplikasi berat
pada Sembilan pasien yang diteliti oleh Cooney. Hal itu diwujudkan dengan
nyeri dan pembengkakan yang terbatas pada tangan, kehilangan kebebasan
bergerak pada jari, dan sesekali kehilangan kebebasan bergerak pada
peregelangan tangan. Bengkak dan nyeri, terutama pada struktur yang dilapisi
jaringan sinovial merupakan temuan yang paling khas pada tujuh pasien.
Pembengkakan sendi interphalangeal proksimal merupakan sumber utama
rasa nyeri yang mengakibatkan kehilangan kebebasan bergerak yang parah
(Cooney et al., 1980).
Sebagian besar pasien fraktur colles akan sulit menggerakkan
pergelangan tangan mereka setelah beberapa minggu tindakan immobilisasi
dihentikan. Adanya kekakuan sendi ini mungkin diakibatkan adanya adhesi
intra-artikular akibat fraktur yang melibatkan sendi radio carpal atau adhesi
ekstra-artikular akibat edema traumatik dengan terbentuknya eksudat
serofibrinous dalam adhesi tersebut. Salah satu upaya untuk menangani
kekakuan sendi tersebut adalah dengan menggunakan bahu, siku, dan tangan
secara aktif dalam rutinitas pengobatan sehingga dapat mencegah kekakuan
lanjutan pada pergelangan tangan (Stephenson, 1951).
5) Traumatic Arthritis pada Sendi Pergelangan Tangan
Kondisi ini merupakan sekuel yang jarang terjadi dan berdasarkan
perbandingan yang telah muncul lebih sering terjadi akibat fraktur skaphoid
karpal. Tidak ada penjelasan yang jelas untuk hal ini. Gangguan kontinuitas
kartilago artikular oleh garis patahan fraktur sendiri sudah cukup menginisiasi
perubahan arthritis, dan seperti pada fraktur kominutif seringkali tidak
mungkin untuk sepenuhnya mengembalikan permukaan artikular seperti
semula (Stephenson, 1951).
6) Tendon rupture
7) Volkmann’s Ischemic Contracture
8) Shoulder-Hand Syndrom
9) Sudeck’s Atrophy (Post-Tarumatik Osteodystrophy)
10) Compressive Neuropathy

I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi dan luasnya fraktur
2. Scan tulang, tonogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur,
juga dapatdigunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada taruma
multiple).
5. Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk kliren ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusimultiple atau cedera hari.
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Meliputi tanggal pengkajian, ruangan, nama (inisial), No MR, umur,
pekerjaan, agama, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk RS, alasan masuk
RS, cara masuk RS, penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan juga penyakit yang pernah dialami pasien sebelumnya, riwayat
penyakit pasien yang pernah dirawat dirumah sakit serta pengobatan
yang pernah didapatkan dan hasilnya. Dan ada tidaknya riwayat DM
pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan post operasi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan pada pasien dan atau keluarga tentang keluhan pasien saat ini,
biasanya pasien mengalami nyeri pada daerah fraktur, kondisi fisik yang
lemah, tidak bisa melakukan banyak aktifitas, mual, muntah, dan nafsu
makan menurun.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada pasien dan atau keluarga mengenai penyakit yang
berhubungan dengan yang diderita pasien saat ini dan penyakit
herediter/keturunan lainnya (anggota keluarga dengan riwayat penyakit
yang sama).
3. Pola Pengkajian Gordon
a. Nutrisi
Makanan
Catat pola kebiasaan makan saat sehat dan sakit. Catat diit yang
diberikan rumah sakit pada pasien dan jumlahnya. Tanyakan
konsumsi diit atau makanan sehari-hari lainnya pada waktu sakit dan
bandingkan pada waktu sehat, catat porsi makan yang dihabiskan,
keluhan saat makan serta kemandirian dalam pelaksanannya.
Minuman
Tanyakan jumlah cairan yang diminum dan ragamnya, bandingkan
jumlahnya pada saat sakit dengan sehat. Catat keluhan yang
dirasakan pasien dan kemandirian dalam melaksanakannya.
b. Eliminasi
Miksi
Tanyakan frekuensi buang air kecil dan perkiraan jumlahnya,
bandingkan pada keadaan sakit dengan sehat serta catat karakteristik
urine (warna, konsistensi dan bau serta temuan lain) serta keluhan
yang dirasakan selama BAK dan kemandirian dalam
melaksanakannya serta alat bantu yang dipakai.
Defekasi
Tanyakan frekuensi buang air besar, bandingkan pada keadaan sakit
dengan sehat serta catat karakteristik feses(warna, konsistensi dan
bau serta temuan lainnya) serta keluhan yang dirasakan selama BAB
dan kemandirian dalam melaksanakannya.
4. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum pasien
a) Tingkat kesadaran 
b) Berat badan  
c) Tinggi badan
2) Kepala
Amati bentuk kepala, adanya hematom/oedema, perlukaan (rinci
keadaan luka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka).
a) Rambut : Amati keadaan kulit kepala dan rambut
sertakebersihannya dan temuan lain saat melakukan inspeksi.
b) Wajah:  Amati adanya oedema/hematom, perlukaan
disekitarwajah (rinci keadaan luka, luas luka, adanya jahitan,
kondisi luka) dan temuan lain saat melakukan inspeksi.
c) Mata      : Amati kesimetrisan kedua mata, reflek cahaya,
diameterpupil, kondisi bola mata (sklera, kornea, atau lensa,
dll) keadaan kelopak mata dan konjungtiva serta temuan
lainya.
d) Hidung  : Amati keadaan hidung, adanya perlukaan,
keadaanseptum, adanya sekret pada lubang hidung, darah
atau obstruksi), adanya pernafasan  cuping hidung dan
temuan lain saat melakukan inspeksi (rinci keadaan luka,
luas luka, adanya jahitan, kondisi luka).
e) Bibir      : Amati adanya oedema, permukaan (rinci
keadaanluka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka), warna
bibir dan kondisi mukosa bibir serta  temuan lain saat
melakukan inspeksi.
f) Gigi       : Amati kelengkapan gigi, kondisi gigi dan
kebersihanserta temuan lain saat melakukan inspeksi.
g) Lidah : Amati letak lidah, warna, kondisi dan
kebersihanlidah serta temuan lain saat melakukan inspeksi.
3) Leher
Amati adanya pembesaran kelenjar thyroid, kelenjar getah bening dileher
serta deviasi trakea, adanya luka operasi, pemasangan drain serta temuan 
lain saat melakukan inspeksi. Lakukan auskultasi pada kelenjar thyroid
jika ditemukan pembesaran. Ukur jugularis vena pressure (JVP), tuliskan
lengkap dengan satuannya.
1. Dada/thorak
a) Inspeksi : Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna
kulit pucat, laserasi, kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya
fraktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.
b) Palpasi : Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakanotot
oleh sentuhan kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana
daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan
didaerah luka insisi.
c) Perkusi  : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasusfraktur.
d) Auskultasi : Periksaan dengan cara mendengarkan gerakanudara
melalui struktur merongga atau cairan yang mengakibatkan struktur
sulit bergerak. Pada pasian fraktur pemeriksaan ini pada area yang
sakit jarang dilakukan.
2. Jantung
a) Inspeksi : Amati ictus cordis.
b) Palpasi  : Raba lokasi dirasakan ictus cordis dan
kekuatanangkanya.
c) Perkusi : Tentukan batas-batas jantung.
d) Auskultasi : Dengarkan irama denyutan jantung, keteraturandan
adanya bunyi tambahan.
3. Perut/abdomen
a) Inspeks : Amati adanya pembesaran rongga abdomen,keadaan
kulit, luka bekas operasi pemasangan drain dan temuan lain saat
melakukan inspeksi.
b) Auskultasi : Dengarkan bunyi bising usus dan catatfrekuensinya
dalam 1 menit.
c) Palpasi : Raba ketegangan kulit perut, adanya
kemungkinanpembesaran hepar, adanya massa atau cairan.
d) Perkusi : Dengarkan bunyi yang dihasikan dari ketukandirongga
abdomen bandingkan dengan bunyi normal.
4. Genetalia
Amati keadaan genetalia, kebersihan dan pemasangan kateter serta
temuan lain saat melakukan inspeksi.
5. Ekstremitas
Amati adanya bentuk, adanya luka (rinci keadaan luka), oedema, dan
pengisian kapiler, suhu bagian akral serta temuan lain saat pemeriksaan.
6. Sistem integument
Amati warna kulit, rasakan suhu kulit, keadaan turgor kulit, adanya luka
serta temuan lain saat pemeriksaan.
1) Sistem neurologi (diperiksa lebih rinci jika pasien mengalami penyakit
yang berhubungan dengan sistem neurologis)
a) Glascow Come score  
b) Tingkat kesadaran 
c) Refleks fisiologis
d) Reflek patologis
e) Nervus cranial I – XII

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik, fraktur
2. Resiko terhadap cidera b/d kerusakan neuromuskuler, tekanan dan disuse
3. Sindrom defisit self care b/d kelemahan, fraktur
4. Risiko infeksi b/d imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasive, fraktur
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan patah tulang
6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d kurang paparan
terhadap informasi, keterbatan kognitif

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
b/d agen Asuhan keperawatan  Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
injuri fisik, …. jam tingkat karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
fraktur kenyamanan klien faktor presipitasi.
meningkat, tingkat  Observasi reaksi nonverbal dari ketidak
nyeri terkontrol dg nyamanan.
KH:  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
 Klien mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
melaporkan nyeri  Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi
berkurang dg scala 2- nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,
3 kebisingan.
 Ekspresi  Kurangi faktor presipitasi nyeri.
wajah tenang  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
 klien dapat (farmakologis/non farmakologis).
istirahat dan tidur  Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,
 v/s dbn distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain
tentang pemberian analgetik tidak berhasil.

Administrasi analgetik :.
 Cek program pemberian analgetik; jenis, dosis,
dan frekuensi.
 Cek riwayat alergi.
 Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan
dosis optimal.
 Monitor TV
 Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri
muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala
efek samping.

2 Resiko Setelah dilakukan Memberikan posisi yang nyaman untuk Klien:


terhadap askep … jam terjadi  Berikan posisi yang aman untuk pasien dengan
cidera b/d peningkatan Status meningkatkan obsevasi pasien, beri pengaman
kerusakan keselamatan Injuri tempat tidur
neuromuskul fisik Dg KH :  Periksa sirkulasi periper dan status neurologi
er, tekanan  Bebas dari cidera  Menilai ROM pasien
dan disuse  Pencegahan Cidera  Menilai integritas kulit pasien.
 Libatkan banyak orang dalam memidahkan
pasien, atur posisi
3 Sindrom Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri
defisit self akep … jam  Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan
care b/d kebutuhan ADLs diri
kelemahan, terpenuhi dg KH:  Monitor kebutuhan akan personal hygiene,
fraktur  Pasien dapat berpakaian, toileting dan makan

 melakukan aktivitas  Beri bantuan sampai pasien mempunyai


sehari-hari. kemapuan untuk merawat diri
 Kebersihan diri  Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
pasien terpenuhi  Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari sesuai kemampuannya
 Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin

4 Risiko Setelah dilakukan Konrol infeksi :


infeksi b/d asuhan keperawatan  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
imunitas … jam tidak terdapat  Batasi pengunjung bila perlu.
tubuh primer faktor risiko infeksi  Intruksikan kepada pengunjung untuk mencuci
menurun, dan infeksi terdeteksi tangan saat berkunjung dan sesudahnya.
prosedur dg KH:  Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci
invasive,  Tdk ada tanda- tangan.
fraktur tanda infeksi  Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
 AL normal tindakan keperawatan.
 V/S dbn  Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat
pelindung.
 Pertahankan lingkungan yang aseptik selama
pemasangan alat.
 Lakukan perawatan luka, dainage, dresing infus
dan dan kateter setiap hari.
 Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
 berikan antibiotik sesuai program.
 Jelaskan tanda gejala infeksi dan anjurkan u/
segera lapor petugas
 Monitor V/S
Proteksi terhadap infeksi
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal.
 Monitor hitung granulosit dan WBC.
 Monitor kerentanan terhadap infeksi..
 Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
 Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase.
 Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
 Ambil kultur, dan laporkan bila hasil positip jika
perlu
 Dorong istirahat yang cukup.
 Dorong peningkatan mobilitas dan latihan sesuai
indikasi
5 Kerusakan Setelah dilakukan Terapi ambulasi
mobilitas askep … jam terjadi  Kaji kemampuan pasien dalam melakukan
fisik peningkatan ambulasi
berhubungan Ambulasi :Tingkat  Kolaborasi dg fisioterapi untuk perencanaan
dengan patah mobilisasi, Perawtan ambulasi
tulang diri Dg KH :  Latih pasien ROM pasif-aktif sesuai kemampuan
 Peningkatan  Ajarkan pasien berpindah tempat secara bertahap
aktivitas fisik  Evaluasi pasien dalam kemampuan ambulasi

Pendidikan kesehatan
 Edukasi pada pasien dan keluarga pentingnya
ambulasi dini
 Edukasi pada pasien dan keluarga tahap ambulasi
 Berikan reinforcement positip atas usaha yang
dilakukan pasien.
6 Kurang Setelah dilakukan Pendidikan kesehatan : proses penyakit
pengetahuan askep …. Jam  Kaji pengetahuan klien.
tentang pengetahuan klien  Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda gejala
penyakit dan meningkat dg KH: serta komplikasi yang mungkin terjadi
perawatanny  Klien dapat  Berikan informasi pada keluarga tentang
a b/d kurang mengungkapkan perkembangan klien.
paparan kembali yg  Berikan informasi pada klien dan keluarga
terhadap dijelaskan. tentang tindakan yang akan dilakukan.
informasi,  Klien kooperatif  Diskusikan pilihan terapi
keterbatan saat dilakukan  Berikan penjelasan tentang pentingnya ambulasi
kognitif tindakan dini
 jelaskan komplikasi kronik yang mungkin akan
muncul
DAFTAR PUSTAKA

Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K. D. (2010).Community health nursing:


promoting and protecting the public’s health. 7th Ed.Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.Jakarta: Widya
Medika.
Budiasmita, F., Heryati, A., & Attamimi, L. (2009). Fraktur radius ulna. Diunduh dari:
http://scribd.com.
NANDA. (2015). Nursing diagnoses: definition and classification. Oxford: Willey-
Blackwell.
Solomon & Appley, A.G. 2010. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley.Jakarta:Widya
Medika.

Anda mungkin juga menyukai