Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN FRAKTUR

DISUSUN OLEH :

Rana Rozanna 2010711104

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2022/2023
1. Anatomi Fisiologi

Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan
terletak medial dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa dengan sebuah
batang dan dua ujung yaitu : Ujung atas yang merupakan permukaan dua dataran
permukaan persendian femur dan sendi lutut. Ujung bawah yang membuat sendi
dengan tiga tulang, yaitu femur fibula dan talus. Fibula atau tulang betis adalah tulang
sebelah lateral tungkai bawah, tulang ini adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan
dua ujung

Fungsi Tulang

1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.

2) Tempat melekatnya otot.

3) Melindungi organ penting.

4) Tempat pembuatan sel darah.

5) Tempat penyimpanan garam mineral

2. Pengertian

Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang (Black 2014). Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang
disebabkanoleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur adalah
hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat total maupun sebagian, penyebab
utama dapat disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan
jaringan lunak disekitarnya (Helmi, 2012).

Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak tubuh yang disebut
dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas merupakan fraktur yang terjadi pada
tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, lengan, siku, bahu,
pergelangan tangan, dan bawah (pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan kaki).
Fraktur dapat meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas,
kemerahan, krepitasi, dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).

Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi
(sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu
menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah
yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black & Hawks,
2014).

3. Etiologi
Menurut Helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur adalah:
A. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang
mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.
B. Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
C. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis
penyakit yang akan menimbulkan fraktur. Tekanan berlebihan atau trauma langsung
pada tulang menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada
otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan,
edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang
dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada
semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson & Keogh,
2014).

Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan


menjadi:
A. Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
B. Fraktur patologik Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

4. Patofisiologi

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel
darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel – sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di
tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
keursakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom compartment (Brunner & Suddarth, 2002).

5. Manifestasi Klinik
Menurut Black, (2014) mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis
klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Beberapa fraktur
sering langsung tampak jelas; beberapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen
(sinar –x). Pengkajian fisik dapat menemukan beberapa hal berikut. Deformitas,
Pembengkakan (edema), Echimosisi (memar), Spasme otot , Nyeri, Ketegangan ,
Kehilangan fungsi, Pegerakan abnormal dan krepitasi, Perubahan neurovaskular.
Syok. Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien,
riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis.

Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:


a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.

b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.

c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.

d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.

e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.

f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.

g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi
dari cedera saraf.

h. Gerakan abnormal dan krepitasi


Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur.

i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba
nadi pada daerah distal dari fraktur.

j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok

6. Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain : Ada beberapa
komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia klien, adanya
masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi
perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi
setelah fraktur antara lain :

a. Cedera saraf Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien
yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan
jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.

b. Sindroma kompartemen Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah
dilapisi oleh jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika
otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur
dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi
perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolik jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu
kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang
terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun yang
menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau faktor-faktor internal seperti
perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan
histamin oleh otot-otot yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan
perfusi lebih lanjut. Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme
anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan
jaringan. Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan kompartemen.
Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di
tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa
terbakar (parestesia) pada otot.

c. Kontraktur Volkman Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat


sindroma kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang
terus-menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan
fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia
dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi

7. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin, (2013) konsep dasar penatalaksanaan fraktur yaitu:
a) Fraktur terbuka. Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan: Pembersihan luka, eksisi jaringan mati
atau debridement, hecting situasi dan pemberian antibiotik.
b) Seluruh fraktur. Rekognisi (Pengenalan). Riwayat kejadian harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
➔ Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and
Internal Fixation/ORIF). Merupakan upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimum. Dapat juga diartikan
reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaran dan rotasi anatomis.
➔ Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and Enternal
Fixation/ORIF), digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang
melibatkan kerusakan jaringan lunak. Ekstremitas dipertahankan sementara
dengan gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini akan
memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan
remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif
(Smeltzer & Bare, 2013).
➔ Retensi (Immobilisasi). Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus dimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksatoreksternal. Implant logam dapat digunakan untuk
fiksasi internal yang berperan sebagia bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
➔ Graf tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk menstabilkan sendi,
mengisi defek atau perangsangan dalam proses penyembuhan. Tipe graf yang
digunakan tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah
tulang yang hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang pasien
sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft) (Smeltzer & Bare,
2013).
➔ Rehabilitasi adalah upaya menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (missal: Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah orthopedi diberitahu segera bila ada tanda
gangguan neurovaskuler. Kegelisahan ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (misalnya: menyakinkan, perubahan posisi,
stageri peredaan nyeri, termasuk analgetik). Latihan isometric dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.

8. Pemeriksaan Penunjang

a) X-ray, menentukan lokasi/luasnya fraktur.

b) Scan tulang, memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan


jaringan lunak

c) Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler


d) Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
pendarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan. Profil
koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cidera hati

e) Kretinin trauma otot meningkatkan kreatinin untuk klirens ginjal.


ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

1. Pengumpulan Data

1. Anamnesa

1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang


menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat


Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat
besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein
dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama
pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan
pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa
nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
4. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain
5. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap
6. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image)
7. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur
8. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
9. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
klien bisa tidak efektif.
10. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi
dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
2.
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:

1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat


adalah tanda-tanda, seperti:

1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,


gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

1. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
2. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
4. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
5. Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika
terjadi perdarahan)
6. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
8. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
10. Paru
1. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
2. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
3. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
4. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
11. Jantung

1. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
2. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12. Abdomen

1. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
3. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4. Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.

Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

14. Look (inspeksi)


Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

1. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami


maupun buatan seperti bekas operasi).
2. Cape au lait spot (birth mark).
3. Fistulae.
4. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
5. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan
hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
6. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
7. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)

Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
8. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal
> 3 deti
9. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian
10. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
15. Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada
tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.

Move (pergerakan terutama lingkup gerak)


Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

Pemeriksaan Diagnostik

3. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:

1. Bayangan jaringan lunak.


2. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
4.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:

1. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi


struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

Pemeriksaan lain-lain:

1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:


didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berikut ini diagnosa keperawatan pada pasien fraktur:

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

Anda mungkin juga menyukai