Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NN.

H
DENGAN DIAGNOSA CLOSE FRAKTUR TIBIA
DI DAHLIA RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKARAYA

Oleh :
NUNING PRATIWIE
(NIM : 2017.C.09a.0903)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SERJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :

Nama : Nuning Pratiwie


NIM : 2017.C.09a.0903
Program Studi : Serjana Keperawatan
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Nn. H Dengan Diagnosa Medis Close Fraktur
Tibia Dekstra Di Ruang Dahlia Rsud Dr Doris Sylvanus Palangka Raya.
Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan Praktik
Pra Klinik Keperawatan II Program Studi Serjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Dian Mitra D Silalahi, S. Kep., Ners Ria Asihai, S. Kep., Ners


BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Dasar
1.1.1 Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang dan tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan maupun kiri
akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki.(E. Oswari, 2011).
Fraktur Tibia adalah patah atau gangguan kontinuitas pada tulang tibia.

1.1.2 Klasifikasi Fraktur


Klasifikasi fraktur ada empat yang utama adalah :
1. Incomplit
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang.
2. Complit
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat atau bergeser (bergeser dari posisi
normal).
3. Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas dan tidak menyebabkan robekan pada kulit.
4. Terbuka (compound)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan adanya perlukaan di kulit yang
terbagi menjadi 3 derajad :
Derajad 1 : luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak
ada tanda remuk, fraktur sederhana atau kominutif ringan dan
kontaminasi minimal.
Derajad 2 :laserasi lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas,
fraktur kominutif sedang, dan kontaminasi sedang.
Derajad 3 : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas(struktur kulit, otot,
dan neurovaskuler) serta kontaminasi derajad tinggi.

1.1.3 Etiologi
Menurut (Rasjad, 2009) penyebab paling utama fraktur tibia yang disebabkan
oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan merobek ligamentum medialis
sendi tersebut, benturan langsung pada tulang tibia misalnya kecelakaan lalu lintas,
serta kerapuhan struktur tulang. Penyebab terjadinya fraktur yang diketahui adalah
sebagai berikut :
1. Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang
seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda
keras oleh kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan
oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya
seperti pada olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu
tangannya untuk menumpu beban badannya.
3. Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison / ACTH,
osteogenesis imperfecta (gangguan congenital yang mempengaruhi
pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang yang lemah dan
mudah patah.
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi kecepatan
pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi keropos dan
rapuh dan dapat mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c. Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan sendi
dan tulang rawan

1.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis fraktur tibia adalah :
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur, dan bertambah jika ditekan/diraba
2. Tak mampu menggerakan kaki
3. Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan
posisi fragmen tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan
penyatuan dan tidak seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek
ekstermitas bawah karena adanya tarikan dari otot ektermitas bawah saat
fragmen tergelincir dan tumpah tindih dengan tulang lainnya. Dan dapat
juga terjadi rotasional karena tarikan yang tidak seimbang oleh otot yang
menempel pada fragmen tulang sehingga fragmen fraktur berputar
keluar dari sumbu longitudinal normalnya.
4. Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena
gesekan antara fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5. Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan
pembuluh darah sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area
kulit.
6. Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan
karena terjadi ekstravasasi darah dan cairan jaringan di sekitar area
fraktur.

1.1.5 Patofisiologis
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter
dan Bare,2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah
ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.
1.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada fraktur tibia adalah :
1. Komplikasi awal ;
Compartemant Syndrome :Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan vaskularisasi ektermitas bawah yang dapat mengancam
kelangsungan hidup ektermitas bawah. Mekasnisme terjadi fraktur tibia terjadi
perdarahan intra – compartment, hal ini akan menyebabkan tekanan
intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran balik balik darah vena
terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedema. Dengan adanya oedema tekanan
intrakompartemen makin meninggi sampai akhirnya sedemikian tinggi sehingga
menyumbat arteri di intrakompartemen.Gejalanya rasa sakit pada ektermitas
bawah dan ditemukan paraesthesia, rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan
secara pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada
otot-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibial anterior.
2. Komplikasi dalam waktu lama :
a. Malunion: Dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan penyembuhan
tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas).
b. Delayed Union :adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.
c. NonUnion :merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di
tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Rongent
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior
lateral.
2. CT Scan tulang, fomogram MRI
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
3. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)
4. Hitung darah kapiler
a. HT mungkin meningkat (hema konsentrasi) meningkat atau menurun.
b. Kreatinin meningkat, trauma obat, keratin pada ginjal meningkat.
c. Kadar Ca kalsium, Hb

1.1.8 Penatalaksanaan
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi /Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Metode reduksi terbagi atas ;
a) Reduksi Tertutup ; dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Ektermitas dipertahankan dalam
posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ekstermitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-
X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam
kesejajaran yang benar.
b) Traksi ;alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang fraktur untuk
meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan spaasme otot yang terjadi.
a. Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menepelkan
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera dan biasanya digunakan
untuk jangka pendek (48-72jam).
b. Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cidera dan sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins
(kawat) kedalam tulang.
c. Maintenance traksi merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat
diberikan secara langsung pada tulang dengan kawat atau pins.
3. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi
interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan,harus segera
dimulai latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan
mobilisasi.

1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan


1.2.1 Pengkajian
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur ada berbagai
macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang , pertolongan apa
yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka
kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia
proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau
oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab
utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang
atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu,
klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan
kronik serta penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
c Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

1.2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
2) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
3) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup).
4) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
1.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria : Klien akan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi
mdalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individual.
Intervensi :
a. Identifikasi skala nyeri
b. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
c. Jelaskan strategi meredakan nyeri
d. kolaborasi pemberian analgetik
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh.
Kriteria : Klien dapatmenunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan
aktivitas
Intervensi :
a. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
b. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakkan
d. Anjukan untuk elakukan mobilisasi dini
3. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup).
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang,
Kriteri : Klien menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
Intervensi :
a. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
b. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
c. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang
d. Anjurkan menggunakan pelembab
4. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Kriteria : Bebas drainase purulen atau eritema dan demam
Intervensi :
a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
b. Berikan perawatan kulit pada area edema
c. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
d. kolaborasi pemberian imunisasi
1.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Jenis tindakan pada implementasi ini
terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan / kolaborasi, dan tindakan rujukan
/ketergantungan. Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan rencana. Hal ini
terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan,
dirasakan, itu yang dilaksanakan.
Hal ini sangat membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal, dan juga tidak
memenuhi aspek legal. Sebelum meleksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan
klien sesuai dengan kondisi saat ini. Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai
kemampuan interpersonal, intelektual, teknik sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan

1.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat
menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal.(Alfaro-
LeFevre, 1994). Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat
diterima.Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.
Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk mengganti
atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi keperawatan. Menentukan
target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan bersama antara perawat dank lien
(Yura & Walsh, 1988) Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu
sendiri. Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana
asuhan keperawatan., termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan, respon
klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan konsep teladan dari
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

E. Oswari, 2011, Bedah dan Perawatannya, cetakan VI, Jakarta.


Keliat Anna Budi, SKp, MSC,2010, Proses Keperawatan, penerbit EGC, Jakarta.
Mariylnn E. Doenges, at all 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi III, penerbit EGC,
Jakarta.
Priharjo Rasional, 2009, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, edisi revisi penerbit EGC,
Jakarta.
Rasjad Chaeruddin, Ph. D. Prof, 2009, Ilmu Bedah Orthopedi, cetakan IV, penerbit Bintang
Lamumpatue, Makassar

Anda mungkin juga menyukai