Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA

DI RUANG PERAWATAN BEDAH RSUD SYEKH YUSUF MAKASSAR


DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH
Nurul Putri Savira, S.Kep
NIM : 70900123009

RESEPTOR LAHAN RESEPTOR INSTITUSI

(……………………...) (…..……………………)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN. XXIII
TAHUN 2023
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan epifisis dan atau
tulang rawan sendi. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang
berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). Sebagian besar
fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan.
Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung berarti
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung bila
titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Tekanan yang berulang-ulang
dapat menyebabkan keretakan pada tulang. Keadaan ini paling sering ditemui pada tibia,
fibula, atau metatarsal. Fraktur dapat pula terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit
paget).
B. Klasisfikasi Fraktur
Fraktur dapat di klasifikasikan sebagai berikut.
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat,yaitu:
Derajat I
1. Luka kurang dari 1 cm
2. kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
3. fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
4. Kontaminasi ringan.
Derajat II
1. Leserasi lebih dari 1cm
2. Kerusakan jaringan lunak,tidak luas,avulse.
3. Fraktur komuniti sedang.
Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran bergeser
dari posisi normal.
d. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

C. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
a. Peristiwa trauma tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi
miring, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada
tempat yang terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya; penghancuran
kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang
luas. Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang
jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa :
1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur

melintang
3. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang

tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang terpisah


4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang menyebabkan

fraktur obliq pendek


5. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang sampai

terpisah
b. Tekanan yang berulang – ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat
tekanan berulang – ulang.
c. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh.

D. Patofisiologi
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada tulang dapat
menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas tulang atau pemisahan
tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen tulang menyebabkan perubahan pada
jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut,
perlukaan jaringan kulit ini memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas
kulit. Perlukaan kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah
vena dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada vena dan
arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama dapat menimbulkan
penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada pembuluh darah sehingga
akan
muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan deformitas pada
area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area
ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan
untuk beraktivitas akibat perubahan dan gangguan fungsi pada area deformitas tersebut
sehingga muncul masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran
fragmen tulang sendiri memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri.
Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan
mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme otot. Spasme
otot merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen tulang ke tingkat yang
lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh darah kapiler dan
merangsang tubuh untuk melepaskan histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial.
Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan
cairan intravaskuler ke interstitial yang berlangsung dalam beberapa waktu akan
menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena penumpukan cairan
sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada pembuluh darah sekitar dan perfusi
sekitar jaringan tersebut mengalami penurunan. Penurunan perfusi jaringan akibat
edema memunculkan masalah keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan.
Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan fragmen
tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan fragmen tulang
meningkatkan tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan kapiler dan tubuh melepaskan
katekolamin sebagai mekanisme kompensasi stress. Katekolamin berperan dalam
memobilisasi asam lemak dalam pembuluh darah sehingga asam-asam lemak tersebut
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga
menyumbat pembuluh darah dan mengganggu perfusi jaringan.
E. Penyimpangan KDM
F. Manifestasi Klinis
1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap regid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya terjadi
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma
dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cidera.
G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
1. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma.
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur. Pemeriksaan
penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap
Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah
sel darah putih adalah respons stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera hati.
H. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu:
a. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
1. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (missal pen,
kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
2. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace, bidai dan
fiksator eskterna.
b. Imobilisasi.
Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan. Metode imobilisasi
dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
2. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
3. Memantau status neuromuskuler
4. Mengontrol kecemasan dan nyeri
5. Latihan isometric dan setting otot
6. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
I. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
1. Syok
Syok dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema. Shock terjadi
karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Emboli lemak
Emboli lemak dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
3. Sindrom kompartemen
Perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan. Kompartement Syndrom merupakan
komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:
a. Pain (Nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma
langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri
tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen
merupakan gejala yang spesifik dan sering.
b. Pallor (Pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
c. Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
d. Parestesia (rasa kesemutan)
e. Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan
hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom kompartemen.
4. Infeksi dan tromboemboli
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
Koagulopati intravaskuler diseminata.
b. Komplikasi Lanjut
1. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
2. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih
lambat dari keadaan normal.
3. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
4. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran
darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
5. Reaksi terhadap alat fiksasi interna.
BAB II
TINJAUAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap pasien dengan
fraktur yaitu :
1) Identitas pasien

a) Nama : Nama pasien

b) Usia : usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami


osteoporotik, penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan.
c) Suku : Suku pasien

d) Pekerjaan : Pekerjaan pasien

e) Alamat : Alamat pasien

2) Riwayat keperawatan

a) Riwayat perjalanan penyakit

1. Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan : nyeri


pada paha
2. Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma, berapa jam/menit
yang lalu
3. Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll

4. Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan

5. Kehilangan fungsi

6. Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis

b) Riwayat pengobatan sebelumnya

1. Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis


kortikosteroid dalam jangka waktu lama
2. Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal,
terutama pada wanita
3. Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut

4. Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir

3) Pemeriksaan fisik Mengidentifikasi


tipe fraktur
a) Inspeksi daerah mana yang terkena

1. Deformitas yang nampak jelas

2. Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera

3. Laserasi

4. Perubahan warna kulit

5. Kehilangan fungsi daerah yang cidera

b) Palpasi

1. Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran

2. Krepitasi

3. Nadi, dingin

4. Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

4) Pemeriksaan Penunjang

a) Foto Rontgen

1. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung


2. Mengetahui tempat dan tipe fraktur

b) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama


proses penyembuhan secara periodik
c) Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler

d) Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau


menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple).

B. Diagnosis Keperawatan
1) Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang
c. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan
2) Intra operasi
Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan akibat
pembedahan
3) Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post
pembedahan
C. Intervensi Keperaawatan
Diagnosis keperawatan Luaran keperawatan Intervensi keperawatan
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
keperawatan 3x24 jam maka tingkat Observasi:
nyeri menurun dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
- Kemampuan menuntaskan aktivitas frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
meningkat 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
- Keluhan nyeri menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Meringis menurun memperingan nyeri
- Gelisah menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
- Kesulitan tidur menurun nyeri
- Frekuensi nadi membaik 6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Pola napas membaik 7. Monitor efek samping penggunaan analgetik
- Tekanan darah membaik Terapeutik:
- Nafsu makan membaik 8. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
- Pola tidur membaik mengurangi rasa nyeri
9. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri
10. Fasilitasi istirahat dan tidur
11. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
12. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
13. Jelaskan strategi meredakan nyeri
14. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurang
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan mobilisasi
3x24 jam maka mobilitas fisik Observasi:
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
meningkat dengan kriteri hasil : lainnya
- Pergerakan ekstremitas meningkat 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Kekuatan otot meningkat 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan
- Rentang gerak (ROM) meningkat darah sebelum memulai mobilisasi
- Gerakan terbatas menurun 4. Monitor kondisi umum selama
- Kelemahan fisik menurun melakukan mobilisasi
Terapeutik:
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
4. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
5. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. Duduk di tempat tidur)
Gangguan integritas Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 Perawatan luka
kulit/jaringan jam maka integritas kulit/jaringan Observasi
meningkat dengan kriteria hasil : 1. Monitor karakteristik luka
- Perfusi jaringan meningkat 2. Monitor tanda-tanda infeksi
- Kerusakan jaringan menurun Terapeutik
- Nyeri menurun 3. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
- Perdarahan menurun 4. Bersihkan dengan NaCl atau pembersih
- Hematoma menurun nekrotik, jika perlu
- Suhu kulit membaik 5. Pertahankan teknik steril
6. berikan salep yang sesuai ke kulit, jika perlu
7. pasang balutan sesuai jenis luka
Edukasi
8. ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Ansietas Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 Terapi relaksasi
jam maka tingkat ansietas menurun dengan Observasi
kriteria hasil :
1. Identifikasi penurunan tingkat energy,
- Perilaku gelisah menurun
- Perilaku tegang menurun ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejala
- Konsentrasi membaik
lain yang mengganggu kemampuan kognitif
- Pola tidur membaik
- Frekuensi pernapasan membaik 2. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
- Frekuensi nadi membaik
digunakan
- Tekanan darah membaik
3. Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
penggunaan teknik sebelumnya
4. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan suhu sebelum dan sesudah
latihan
5. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
6. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan suhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
7. Berikan informasi tertulis tentang persiapan
dan prosedur teknik relaksasi
8. Gunakan pakaian longgar
9. Gunakan nada suara lembut dengan irama
lambat dan berirama
10. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetik atau tindakan medis lain, jika
sesuai
Edukasi
11. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis
relaksasi yang tersedia (mis. Music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
12. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang
dipilih
13. Anjurkan mengambil posisi nyaman
14. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi
relaksasi
15. Anjurkan sering mengulangi atau melatih
teknik yang dipilih
16. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
Napas dalam, peregangan, atau imajinasi
terbimbing)

Risiko hipovolemia Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 manajemen hipovolemia


jam maka status cairan membaik dengan Observasi
kriteria hasil :
1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis.
- Kekuatan nadi meningkat
- Ortopnea menurun Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
- Dyspnea menurun
tekanan darah menurun, tekanan nadi
- Edema anaserka menurun
- Edema perifer menurun menyempit, turgor kulit menurun, membrane
- Perasaan lemah menurun
mukosa kering, volume urin menurun,
- Frekuensi nadi membaik
- Tekanan darah membaik hematokrit meningkat, haus, lemah)
- Hemoglobin membaik
2. Monitor intake dan output cairan
- Hematocrit membaik
Terapeutik
3. Hitung kebutuhan cairan
4. Berikan posisi modified Trendelemburg
5. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
6. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
7. Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian cairan IV Isotonis (mis.
NaCl, RL)
9. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis.
Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
10. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis.
Albumin, plasmanate)
11. Kolaborasi pemberian produk darah
Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 Pencegahan infeksi
jam maka tingkat infeksi menurun dengan Observasi
kriteria hasil: 1. monitor tanda dan gejala infeksi
- Demam menurun terapeutik
- Nyeri menurun 2. batasi jumalh pengunjung
- Bengkak menurun 3. berikan perawatan kulit pada area edema
- Kadar sel darah putih membaik 4. cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan
- Kultur darah membaik pasien dan lingkungan
5. pertahankan teknik aseptic pada pasien
edukasi
6. jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
operasi
8. anjurkan meningkatkan asupan nutris
9. anjurkan meningkatkan asupan cairan
DAFTAR PUSTAKA

Apleys, & Solomon. (2018). System Of Orthopaedic and Trauma. New York: CRC Press.

Astanti, F. Y. (2017). Pengaruh ROM Tehadap Perubahan Nyeri Pada Pasien Ekstremitas Atas.

Lukman, & Ningsih. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskulokeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin. (2015). Asuhan Keperawatan Gangguan Integumen. Jurnal Kedokteran dan


Kesehatan, 253-260.

Pokja, T. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: PPNI.

Pokja, T. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: PPNI.

Pokja, T. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: PPNI.

Anda mungkin juga menyukai