Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR OSTIBIA FIBULA

DISUSUN OLEH :

NAMA : IFROHATI FITRI


NIM : 22222030

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2022
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan
epifisis dan atau tulang rawan sendi. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa
trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada
tulang (fraktur patologik) (Wijaya, 2013).
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan,
pemuntiran, atau penarikan. Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak
langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan
fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan (Wijaya, 2013).
Tekanan yang berulang-ulang dapat menyebabkan keretakan pada
tulang. Keadaan ini paling sering ditemui pada tibia, fibula, atau metatarsal.
Fraktur dapat pula terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit paget) (Kenneth et al., 2015).

B. JENIS FRAKTUR
Menurut Wahid, A. (2013), ada beberapa jenis-jenis fraktur yaitu:
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara
fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit,
fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat,yaitu:
1. Derajat I
 Luka kurang dari 1 cm
 kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
 fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
 Kontaminasi ringan.
2. Derajat II
 Leserasi lebih dari 1cm
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse.
 Fraktur komuniti sedang.
3. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit,
otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergerseran bergeser dari posisi normal.
d. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
1. Bentuk garis patah
 Garis patah melintang
 Garis  patah  obliq
 Garis patah spiral
 Fraktur kompresi
 Fraktur avulasi
2. Jumlah garis patah
 Fraktur komunitif, garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
 Fraktur segmental, garis patah lebih dari satu tetapi saling
berhubungan.
 Fraktur multiple, garis patah lebih dari satu tetapi pada pada
tulang yang berlainan.
3. Bergeser-tidak bergeser
 Fraktur undisplaced, garis fraktur komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser
 Fraktur displaced, terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur
D. ETIOLOGI
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Menurut Wahid, A.
(2013) Fraktur dapat terjadi akibat :
a. Peristiwa trauma tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang
terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya; penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan
jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
Kekuatan dapat berupa :
1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan
fraktur melintang
3. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga
yang terpisah
4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek
5. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik
tulang sampai terpisah
b. Tekanan yang berulang – ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain,
akibat tekanan berulang – ulang.
c. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh.

E. PATOFISIOLOGI
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada
tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas
tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen
tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi
kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini
memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan
kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena
dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada
vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama
dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada
pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika
perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan
deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri.
Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan
seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas akibat perubahan dan
gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga muncul masalah
keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri
memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri.
Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan
melakukan mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme
otot. Spasme otot merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen
tulang ke tingkat yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan
tekanan pembuluh darah kapiler dan merangsang tubuh untuk melepaskan
histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga
muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial. Perpindahan cairan
intravaskuler ke interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan cairan
intravaskuler ke interstitial yang berlangsung dalam beberapa waktu akan
menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena
penumpukan cairan sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada
pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami
penurunan. Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah
keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan.
Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan
fragmen tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan
fragmen tulang meningkatkan tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan
kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin sebagai mekanisme kompensasi stress.
Katekolamin berperan dalam memobilisasi asam lemak dalam pembuluh darah
sehingga asam-asam lemak tersebut bergabung dengan trombosit dan membentuk
emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat pembuluh darah dan
mengganggu perfusi jaringan (Brunner & Suddart, 2015).
F. PATHWAY
G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut UT Southwestern Medical Center (2016) adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas/perubahan bentuk, pemendekan ekstermitas, krepitus,
pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap regid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan
membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya terjadi
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa
jam atau beberapa hari setelah cidera.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
a. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma.
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur. Pemeriksaan
penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap
Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah
sel darah putih adalah respons stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera hati
(Doenges dalam Jitowiyono, 2016)

I. PENATALAKSANAAN
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur
(Sjamsuhidayat & Jong, 2015)., yaitu:
a. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan
selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa yang
terjadi serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan
keluhan dari klien
b. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
1. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (missal
pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
2. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace, bidai
dan fiksator eksterna
c. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan. Metode imobilisasi
dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
2. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
3. Memantau status neuromuskuler
4. Mengontrol kecemasan dan nyeri
5. Latihan isometric dan setting otot
6. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap

J. KOMPLIKASI
Menurut Sulistyaningsih (2016) komplikasi fraktur yaitu:
a. Komplikasi awal:
1. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema. Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur
2. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
3. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan.
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan
yang terlalu kuat. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen
dikenal dengan 5P, yaitu:
 Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan
klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan
analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
 Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
 Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
 Parestesia (rasa kesemutan)
 Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.

4. Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma
pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial)
dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
5. Koagulopati intravaskuler diseminata
b. Komplikasi lanjut
1. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
2. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
4. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran
darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
5. Reaksi terhadap alat fiksasi interna

K. PROSES PENYEMBUHAN TULANG


Penyembuhan fraktur merupakan proses biologis yang sangat luar biasa. Tidak seperti
jaringan lainnya, fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang
yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur merupakan dasar untuk mengobati
fragmen fraktur. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah tulang
mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi
konsolidasi. Selain factor biologis, faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi secara
fisik fragmen fraktur sangat penting dalam penyembuhan.:
a. Fase hematoma

Akibat robekan pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli-kanalikuli system


haversi sehingga terjadi ekstravasasi ke dalam jaringan lunak, yang menimbulkan
suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah
trauma.
b. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan andosteal

Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan.
Terbentuk kalus eksterna yang belum mengandung tulang sehingga secara radiology
bersifat radiolusen
c. Fase pembentukan kalus
Terbentuk woven bone atau kalus yang telah mengandung tulang. Fase ini merupakan
indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur
d. Fase konsolidasi

Woven bone membentuk kalus primer


e. Fase remodeling

Union telah lengkap dan terbentuk tulang kompak yang berisi system haversi dan
terbentuk rongga sumsum.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.
Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.

L. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
1. Anamnesa
 Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
 Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
 Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
 Pola-Pola Fungsi Kesehatan
 Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
 Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
 Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
 Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
 Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
 Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
 Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
 Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
 Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
 Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
 Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
 Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
 Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
- Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
- Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
- Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
 Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
- Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
- Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
- Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
- Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
- Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
- Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
- Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
- Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
- Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
- Paru
Inspeksi, pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru; Palpasi, pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba sama; Perkusi, suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara tambahan lainnya; Auskultasi, suara nafas normal, tak
ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
- Jantung
Inspeksi, tidak tampak iktus jantung; Palpasi, nadi
meningkat, iktus tidak teraba; Auskultasi, suara S1 dan S2
tunggal, tak ada mur-mur.
- Abdomen
Inspeksi, bentuk datar, simetris, tidak ada hernia; Palpasi,
tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba;
Perkusi, suara thympani, ada pantulan gelombang cairan;
Auskultasi, peristaltik usus normal  20 kali/menit.
- Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
 Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
 Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
- Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
- Cape au lait spot (birth mark).
- Fistulae.
- Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
- Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
- Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
 Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
- Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit.
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
 Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit
2. Resiko infeksi
3. Nyeri akut
4. Inefektif perfusi jaringan perifer
5. Resiko syok hipovolemik
6. Hambatan mobilitas fisik
7. Ansietas
8. Resiko cidera
Rencana keperawatan
Diagnosis
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Nyeri Akut b.d (D.0077) Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen nyeri (I.08238)
- Agen pencedera fisik - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
- Agen pencedera Kimiawi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. kualitas, intensitas nyeri
- Agen pencedera tingkat nyeri pasien menurun dengan kriteria hasil: - Identifikasi skala nyeri
fisiologis - Keluhan nyeri menurun - Identifikasi respon nyeri nonverbal
DS: - Tidak meringis - Identifikasifaktor yang memperberat dan
- Mengeluh nyeri - Sikap protektif menurun memperingankan nyeri
DO: - Tidak Gelisah - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Tampak meringis - Tidak kesulitan tidur - Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Bersikap protektif - Tidak menarik diri - Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
- Gelisah - Tidak berfokus pada diri sendiri - Monitor keberhasilan teraopi komplementer yang sudah
- Frekuensi nadi diberikan
meningkat - Monitor efek samping penggunaan analgetic
- sulit tidur - Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
- kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- fasilitasi istirahat dan tidur
- pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
- jelaskan penyebab, perode dan pemicu nyeri
- ‘jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetic secara tepat
- Anjurkan Teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa
nyeri
- Kolaborasi pemberian analgetic
Rencana keperawatan
DIAGNOSIS
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Gangguan Mobilitas fisik Mobilitas fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi (I.05173)
(D.0054) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Kerusakan integritas mobilitas fisik pasien meninkat dengan kriteria hasil: - Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
struktur tulang - Pergerakan ekstremitas meningkat - Monitor frekunesi jantung dan tekanna darah sebelum
- Perubahan metabolisme - Kekuatan otot meningkat memulai mobilisasi
- Ketidakbugaran fisik - Rentang gerak meningkat - Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
- Penuruan kendali otot - Nyeri menurun - Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
- Penurunan masa otot - Kecemasan menurun - Fasilitasi melakukan pergerakan
- Keterlambatan - Kaku sendi menurun - Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
perkembangan - Gerakan terbatas menurun meningkatkan pergerakan
- Kekakuan sendi - Kelemahan fisik menurun - Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Kontraktur - Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Malnutrisi - Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
- Gangguan muskilokeletal
- Gangguan
neuromuscular
- Efek agen farmakologis
- Program pembatasan
gerak
- Nyeri
- Kecemasan
- Gengguan kognitif
- Gangguan sensori
persepsi
Rencana keperawatan
DIAGNOSIS
Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Ansietas (D.0080) b.d Tingkat Ansietas (L.09093) Terapi relaksasi (I.09326)
- Krisis situasional Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Identifikasi penuruan tingkat nyeri, ketudakmampuan
- Kebutuhan tidak selama….tingkat ansietas pasien menurun dengan berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu
terpenuhi kriteria hasil: kemampuan kognitif
- Krisis maturasional - Verbalisasi kebingungan menurun - Identifikasi Teknik relaksasi yang pernah digunakan
- Ancaman terhadap - Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi - Identifikasi kesediaan, kemampuan dan penggunaan
konsep diri menurun Teknik sebelumnya
- Ancaman terhadap - Perilaku gelisah menurun - Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, dan suhu
kematian - Perilaku tegang menurun sebelum dab sesudah Latihan
- Kekhawatiran - Keluhan pusing menurun - Monitor respon terhadap terapi relaksasi
mengalami kegagalan - Anoreksia menurun - Ciptalan lingkungan tenang
- Disfungsi system - Palpitasi menurun - Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur
keluarga - Frekuensi nafas normal relaksasi
- Hubungan orang tua - Frekunsi nadi normal - Gunakan pakaian longgar
anak tidak memuaskan - Tekanan darah normal - Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat
- Faktor keturunan - Tremor menurun - Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan
- Penyalahgunaan zat - Tidak pucat analgetic dan Tindakan medis lain
- Terpapar bahaya - Jelaskan tujuan, manfaat, Batasan dan jenis relaksasi
lingkungan yangb tersedia
- Kurang terpapar - Jelaskan secara rinci intervensi yang dipilih
informasi - Anjurkan mengambil posisi nyaman
- Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
- Anjurkan sering mengulangi Teknik yang dipilih
- Demonstasikan dan latih Teknik relaksasi
DAFTAR PUSTAKA

Wahid, Abdul. (2013). Buku saku asuhan keperawatan dengan gangguan sistem musculoskeletal.
Jakarta: CV. Trans info media

Brunner & Suddrath. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi Dengan


Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sjamsuhidajat, R., & Jong, W. (2012). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Sulistyaningsih. (2016). Gambaran Kualitas Hidup pada Pasien ORIF eksterimtas bawah di Poli
Otropedi RS Ortopedi Prof.DR.R.Soeharto Surakarta. Jurnal Kesehatan, 1–8.

Anda mungkin juga menyukai